Monumen Geger Cilegon merupakan salah satu monumen bersejarah yang memiliki nilai penting dalam merepresentasikan ingatan kolektif masyarakat Banten terhadap peristiwa perlawanan rakyat Cilegon pada akhir abad ke-19. Monumen ini didirikan untuk mengenang peristiwa Geger Cilegon 1888, sebuah pemberontakan rakyat yang dipimpin oleh tokoh-tokoh ulama dan masyarakat terhadap pemerintahan kolonial Belanda. Secara historis, Geger Cilegon tidak dapat dilepaskan dari konteks penindasan kolonial, ketimpangan sosial, serta perlawanan berbasis agama yang berkembang kuat di wilayah Banten pada masa tersebut (Kartodirdjo, 1966).
Keberadaan Monumen Geger Cilegon bukan sekadar penanda ruang fisik, melainkan simbol ideologis yang merepresentasikan semangat perjuangan, keberanian, dan resistensi rakyat terhadap ketidakadilan. Dalam kajian sejarah sosial, monumen berfungsi sebagai media ingatan (site of memory) yang menghubungkan masa lalu dengan kesadaran kolektif masa kini (Nora, 1989). Dengan demikian, monumen ini memiliki peran strategis dalam membangun identitas historis masyarakat Cilegon dan Banten secara umum.
Latar Belakang Historis Geger Cilegon 1888
Peristiwa Geger Cilegon terjadi pada tahun 1888, ketika wilayah Banten berada di bawah kekuasaan kolonial Hindia Belanda. Pada masa tersebut, kebijakan kolonial yang represif, seperti sistem pajak yang memberatkan, kerja paksa, serta pengawasan ketat terhadap aktivitas keagamaan, menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat. Sartono Kartodirdjo (1966) menjelaskan bahwa Banten merupakan wilayah dengan tradisi keislaman yang kuat, sehingga perlawanan terhadap kolonialisme sering kali dimaknai sebagai jihad atau perjuangan suci.
Tokoh-tokoh ulama seperti Haji Wasid, Kiai Tubagus Ismail, dan beberapa pemimpin lokal lainnya memainkan peran sentral dalam mengorganisasi perlawanan rakyat. Gerakan ini melibatkan petani, santri, dan masyarakat pedesaan yang merasa terpinggirkan secara ekonomi dan politik. Geger Cilegon bukanlah pemberontakan spontan, melainkan hasil dari akumulasi ketegangan sosial yang berlangsung dalam jangka waktu panjang (Kartodirdjo, 1984).
Pemberontakan tersebut memang berhasil dipadamkan oleh pemerintah kolonial, namun dampaknya sangat signifikan dalam sejarah perlawanan rakyat Indonesia. Geger Cilegon menjadi salah satu contoh awal gerakan rakyat yang terorganisasi dan berbasis kesadaran kolektif terhadap ketidakadilan struktural kolonialisme.
Pendirian dan Makna Simbolik Monumen Geger Cilegon
Monumen Geger Cilegon didirikan sebagai bentuk penghormatan terhadap para pejuang yang gugur dan terlibat dalam peristiwa tersebut. Pendirian monumen ini mencerminkan upaya negara dan masyarakat lokal dalam merawat memori sejarah serta menegaskan pentingnya peristiwa Geger Cilegon dalam narasi sejarah nasional. Dalam perspektif kajian memorialisasi, monumen berfungsi sebagai sarana edukasi sejarah dan pembentukan identitas kolektif (Assmann, 2011).
Secara simbolik, monumen ini merepresentasikan semangat perlawanan rakyat kecil terhadap kekuasaan yang menindas. Bentuk monumen yang menjulang ke atas dapat dimaknai sebagai simbol keteguhan dan harapan, sementara lokasinya di wilayah Cilegon menegaskan keterikatan antara ruang geografis dan peristiwa historis. Monumen ini menjadi pengingat bahwa Cilegon bukan hanya kota industri modern, tetapi juga ruang historis yang sarat dengan perjuangan rakyat.
Fungsi Sosial dan Edukatif Monumen
Dalam konteks masyarakat modern, Monumen Geger Cilegon memiliki fungsi sosial dan edukatif yang penting. Monumen ini sering dijadikan lokasi peringatan hari-hari bersejarah, kegiatan ziarah sejarah, serta pembelajaran luar ruang bagi pelajar dan mahasiswa. Menurut Lubis (2014), pelestarian situs sejarah lokal berperan besar dalam menumbuhkan kesadaran sejarah dan nasionalisme di tingkat akar rumput.
Monumen ini juga menjadi ruang simbolik tempat masyarakat merefleksikan nilai-nilai perjuangan, keberanian, dan pengorbanan. Dalam kajian antropologi sejarah, ruang memorial seperti ini berfungsi sebagai arena reproduksi nilai-nilai budaya dan ideologis lintas generasi (Koentjaraningrat, 2009).
Monumen Geger Cilegon dalam Konteks Identitas Lokal Banten
Identitas masyarakat Banten sangat erat kaitannya dengan sejarah perlawanan terhadap kolonialisme. Monumen Geger Cilegon memperkuat narasi bahwa Banten memiliki tradisi panjang resistensi sosial dan religius. Hal ini sejalan dengan pandangan Guillot (2008) yang menyebutkan bahwa Banten sejak masa Kesultanan telah menjadi wilayah dengan dinamika politik dan keagamaan yang kuat.
Monumen ini juga berfungsi sebagai penanda identitas lokal Kota Cilegon. Di tengah citra Cilegon sebagai kota industri dan baja, keberadaan monumen ini mengingatkan bahwa modernisasi tidak boleh menghapus memori sejarah dan nilai-nilai lokal yang membentuk karakter masyarakatnya.
Pelestarian dan Tantangan di Era Modern
Di era modern, tantangan utama dalam pelestarian Monumen Geger Cilegon adalah menjaga relevansinya di tengah perubahan sosial dan urbanisasi. Banyak monumen sejarah menghadapi risiko marginalisasi akibat minimnya literasi sejarah dan dominasi budaya populer. Oleh karena itu, diperlukan strategi pelestarian yang tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga kultural dan edukatif (Ashworth, Graham, & Tunbridge, 2007).
Integrasi monumen ini dalam kurikulum lokal, pengembangan wisata sejarah, serta pemanfaatan media digital dapat menjadi langkah strategis untuk memperluas jangkauan makna monumen bagi generasi muda. Dengan demikian, Monumen Geger Cilegon dapat terus berfungsi sebagai media transmisi nilai sejarah dan identitas budaya.
Foto: https://www.instagram.com/p/DN3Jwo65EtZ/?img_index=2
Sumber:
Assmann, J. 2011. Cultural memory and early civilization. Cambridge: Cambridge University Press.
Ashworth, G. J., Graham, B., & Tunbridge, J. E. 2007. Pluralising pasts: Heritage, identity and place in multicultural societies. London: Pluto Press.
Guillot, C. 2008. Banten: Sejarah dan peradaban abad X–XVII. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Kartodirdjo, S. 1966. The peasants’ revolt of Banten in 1888. The Hague: Martinus Nijhoff.
Kartodirdjo, S. 1984. Pemberontakan petani Banten 1888. Jakarta: Pustaka Jaya.
Koentjaraningrat. 2009. Pengantar ilmu antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Lubis, N. H. 2014. Banten dalam pergumulan sejarah. Serang: Dinas Kebudayaan Provinsi Banten.
