Jojorong

Jojorong merupakan salah satu makanan tradisional khas Provinsi Banten yang memiliki keterkaitan erat dengan sejarah, budaya, dan kehidupan sosial masyarakat setempat. Kue basah ini dikenal luas sebagai panganan tradisional berbahan dasar tepung beras, santan, dan gula aren yang disajikan dalam wadah daun pisang berbentuk silinder. Dalam konteks kebudayaan lokal, jojorong tidak hanya dipahami sebagai produk kuliner, tetapi juga sebagai bagian dari sistem simbolik yang merepresentasikan identitas budaya masyarakat Banten, khususnya pada komunitas agraris dan pesisir. Sejalan dengan pandangan Koentjaraningrat (2009), makanan tradisional merupakan salah satu unsur kebudayaan universal yang berfungsi sebagai media ekspresi nilai, norma, serta struktur sosial suatu masyarakat.

Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Banten, jojorong sering hadir dalam berbagai momen sosial dan religius, seperti pengajian, peringatan hari besar Islam, hajatan keluarga, dan tradisi selamatan. Kehadiran jojorong dalam konteks tersebut menunjukkan bahwa makanan tradisional memiliki fungsi sosial yang melampaui kebutuhan biologis semata. Lubis (2014) menegaskan bahwa kuliner tradisional Banten tidak dapat dilepaskan dari pengaruh sejarah Kesultanan Banten dan perkembangan masyarakat Islam pesisir, di mana makanan berperan sebagai simbol kebersamaan, rasa syukur, dan penghormatan terhadap tamu.

Dengan demikian, kajian mengenai jojorong perlu ditempatkan dalam kerangka interdisipliner yang mencakup sejarah, antropologi, dan studi kuliner. Pendekatan ini memungkinkan pemahaman yang lebih komprehensif mengenai asal-usul, bahan pembuat, peralatan tradisional, serta proses pembuatan jojorong sebagai bagian dari warisan budaya takbenda masyarakat Banten.

Asal Usul dan Latar Sejarah Jojorong
Secara historis, jojorong diyakini berasal dari tradisi kuliner masyarakat Banten yang berkembang sejak masa pra-kolonial hingga era Kesultanan Banten. Wilayah Banten yang didominasi oleh masyarakat agraris dan pesisir memiliki ketergantungan tinggi pada bahan pangan lokal seperti beras, kelapa, dan gula aren. Reid (2011) menyatakan bahwa masyarakat Asia Tenggara sejak lama mengembangkan sistem pangan berbasis padi dan kelapa yang kemudian melahirkan beragam makanan tradisional berbentuk kue basah.

Jojorong merupakan representasi dari sistem pangan tersebut. Penggunaan tepung beras menunjukkan pentingnya beras sebagai bahan pangan utama, sementara santan dan gula aren mencerminkan pemanfaatan sumber daya alam lokal yang melimpah. Dalam tradisi lisan masyarakat Banten, jojorong sering dikaitkan dengan kegiatan gotong royong, terutama dalam persiapan acara adat dan keagamaan. Proses pembuatannya yang relatif sederhana namun membutuhkan ketelatenan menjadikan jojorong sebagai makanan yang lazim dibuat secara kolektif oleh perempuan dalam komunitas.

Dari perspektif budaya, penggunaan daun pisang sebagai wadah jojorong memiliki makna simbolik. Daun pisang tidak hanya berfungsi sebagai pembungkus alami, tetapi juga merepresentasikan prinsip keselarasan dengan alam. Wessing (1997) menjelaskan bahwa dalam budaya Jawa dan Sunda, penggunaan bahan alami dalam makanan mencerminkan pandangan kosmologis yang menekankan keseimbangan antara manusia dan lingkungan. Dengan demikian, jojorong dapat dipahami sebagai produk budaya yang lahir dari interaksi antara manusia, alam, dan sistem kepercayaan lokal.

Bahan-Bahan Pembuatan Jojorong
Bahan utama dalam pembuatan jojorong terdiri atas tepung beras, santan kelapa, gula aren, dan garam. Tepung beras berfungsi sebagai bahan dasar yang memberikan tekstur lembut dan kenyal pada adonan. Santan kelapa digunakan untuk memberikan rasa gurih sekaligus memperkaya aroma khas jojorong. Gula aren berperan sebagai pemanis alami yang menghasilkan cita rasa manis-karamel yang khas, sementara garam digunakan dalam jumlah kecil untuk menyeimbangkan rasa.

Pemilihan bahan-bahan tersebut tidak bersifat kebetulan, melainkan mencerminkan pengetahuan lokal masyarakat Banten dalam memanfaatkan sumber daya alam sekitar. Menurut Winarno (2014), kuliner tradisional Indonesia umumnya menggunakan bahan lokal yang mudah diperoleh dan diolah dengan teknologi sederhana, namun mampu menghasilkan cita rasa yang kompleks. Dalam konteks jojorong, penggunaan gula aren juga menunjukkan preferensi masyarakat terhadap pemanis alami dibandingkan gula pasir yang baru dikenal luas pada masa kolonial.

Selain bahan utama, beberapa variasi jojorong modern menambahkan bahan pelengkap seperti daun pandan untuk memperkuat aroma atau sedikit tepung sagu untuk memodifikasi tekstur. Namun, dalam praktik tradisional, resep jojorong cenderung sederhana dan mempertahankan komposisi bahan yang telah diwariskan secara turun-temurun. Hal ini menunjukkan adanya upaya pelestarian tradisi kuliner sebagai bagian dari identitas budaya lokal.

Peralatan Tradisional dalam Pembuatan Jojorong
Peralatan yang digunakan dalam pembuatan jojorong relatif sederhana dan mencerminkan teknologi tradisional masyarakat Banten. Peralatan utama meliputi wadah pencampur adonan, sendok atau pengaduk dari kayu, panci untuk merebus santan dan gula aren, serta kukusan untuk proses pematangan. Selain itu, daun pisang digunakan sebagai wadah sekaligus pembungkus adonan jojorong.

Penggunaan peralatan tradisional tersebut menunjukkan bahwa proses produksi jojorong tidak memerlukan teknologi modern yang kompleks. Menurut Koentjaraningrat (2009), teknologi tradisional dalam masyarakat Indonesia berkembang berdasarkan prinsip efisiensi dan kesesuaian dengan lingkungan. Dalam hal ini, penggunaan kukusan memungkinkan proses pemasakan yang merata tanpa merusak tekstur adonan, sementara daun pisang berfungsi sebagai wadah yang ramah lingkungan dan memberikan aroma khas pada makanan.

Peralatan tradisional juga memiliki dimensi sosial-budaya. Proses pembuatan jojorong yang melibatkan peralatan sederhana memungkinkan partisipasi banyak orang, terutama dalam konteks kerja kolektif. Aktivitas ini menjadi sarana interaksi sosial dan transmisi pengetahuan antargenerasi, di mana keterampilan memasak diwariskan melalui praktik langsung bukan melalui dokumentasi tertulis.

Proses Pembuatan Jojorong
Proses pembuatan jojorong diawali dengan menyiapkan bahan-bahan utama. Gula aren disisir atau dipotong kecil-kecil, kemudian direbus bersama santan hingga larut dan menghasilkan cairan manis yang homogen. Proses ini memerlukan pengadukan terus-menerus agar santan tidak pecah. Setelah itu, cairan santan dan gula aren disaring untuk memastikan tidak ada kotoran atau serat kasar yang tersisa.

Tahap berikutnya adalah pencampuran cairan santan dengan tepung beras dan sedikit garam. Adonan diaduk hingga tercampur rata dan memiliki konsistensi cair-kental. Konsistensi ini sangat penting karena akan memengaruhi tekstur akhir jojorong. Winarno (2014) menjelaskan bahwa keseimbangan antara cairan dan tepung merupakan faktor kunci dalam pembuatan kue basah tradisional agar menghasilkan tekstur yang lembut namun tidak terlalu lembek.

Setelah adonan siap, daun pisang dibentuk menyerupai tabung atau mangkuk kecil dan disematkan dengan lidi atau tusuk bambu. Adonan kemudian dituangkan ke dalam wadah daun pisang tersebut. Selanjutnya, jojorong dikukus selama kurang lebih 20–30 menit hingga matang. Proses pengukusan memungkinkan adonan mengeras secara perlahan dan menghasilkan tekstur yang halus serta rasa yang menyatu.

Setelah matang, jojorong didinginkan sebelum disajikan. Dalam tradisi masyarakat Banten, jojorong umumnya disajikan pada suhu ruang dan dinikmati bersama keluarga atau tamu. Proses pembuatan yang relatif sederhana namun membutuhkan ketelitian ini mencerminkan nilai kesabaran dan ketekunan dalam tradisi kuliner lokal.

Jojorong sebagai Warisan Budaya Takbenda
Dalam konteks masyarakat modern, jojorong menghadapi tantangan berupa perubahan pola konsumsi dan dominasi makanan modern. Namun demikian, keberadaan jojorong masih dapat ditemukan di pasar tradisional, acara adat, dan kegiatan keagamaan. Lubis (2014) menegaskan bahwa pelestarian kuliner tradisional merupakan bagian penting dari upaya menjaga identitas budaya lokal di tengah arus globalisasi.

Sebagai warisan budaya takbenda, jojorong tidak hanya perlu dilestarikan sebagai produk makanan, tetapi juga sebagai praktik budaya yang mencakup pengetahuan, keterampilan, dan nilai sosial. Upaya dokumentasi, edukasi, dan promosi kuliner tradisional menjadi langkah strategis untuk memastikan keberlanjutan jojorong sebagai bagian dari identitas budaya masyarakat Banten.

Foto: https://www.tribunnews.com/ramadan/2025/03/23/jojorong-makanan-khas-banten-naik-kelas-andra-soni-dorong-pariwisata-kuliner-di-banten
Sumber:
Koentjaraningrat. 2009. Pengantar ilmu antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.

Lubis, N. H. 2014. Banten dalam pergumulan sejarah. Serang: Dinas Kebudayaan Provinsi Banten.

Reid, A. 2011. Asia Tenggara dalam kurun niaga 1450–1680. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Wessing, R. 1997. Cosmology and social behavior in Sundanese culture. Journal of Southeast Asian Studies, 28(2), 234–256. Winarno, F. G. (2014). Kuliner tradisional Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Cara Pasang Tali Layangan agar Manteng di Udara
Topeng Monyet
Museum Situs Kepurbakalaan Banten Lama

Archive