Alkisah, hidup seorang perempuan tua bersama anak laki-laki semata wayangnya bernama Dempu Awang. Mereka tinggal dalam sebuah gubuk reot di tengah hutan. Mereka hidup dari hasil penjualan tanaman ladang berupa keladi, ubi, jagung, dan sayur mayur. Dempu Awang yang menanam dan memanen. Hasil panen, bila berlebih dan itu pun jarang, akan dijual Sang ibu ke pasar untuk ditukar dengan lauk pauk atau kebutuhan hidup lainnya.
Hidup serba pas-pasan ini membuat Dempu Awang sering meratapi nasib hingga suatu hari datang tawaran dari seorang teman untuk bekerja pada Tuan Nueng, seorang pemilik kapal dan juga tengkulak bagi nelayan-nelayan kecil di sekitarnya. Tugas Dempu Awang hanya memilih dan memilah ikan-ikan hasil tangkapan para nelayan yang dijual ke Tuan Nueng.
Tawaran tadi tentu disambut baik oleh Dempu Awang. Pikirnya, ini adalah waktu yang tepat beralih pekerjaan. Siapa tahu penghasilannya dapat mencukupi kebutuhan keluarga dan tidak perlu lagi bergantung pada hasil ladang. Oleh karena itu, ketika sudah bekerja dia sangat rajin, ulet, dan cekatan tanpa sedikit pun mengeluh.
Tuan Nueng sangat senang melihat kinerja Dempu Awang. Dia kerap memberi bonus sebagai imbalan atas kerja yang telah dilakukan. Bahkan, suatu hari dia menawarkan Dempu Awang bekerja di kapalnya. Tuan Nueng membutuhkan lebih banyak orang karena akan berlayar hingga ke negeri seberang mencari ikan-ikan besar yang hidup berkelompok.
Tawaran Tuan Nueng tidak serta merta disanggupi Dempu Awang. Walau berminat tetapi terlebih dahulu dia harus meminta izin pada Sang ibu. Dia meminta waktu untuk berbicara dan membujuk Sang Ibu. Tuan Nueng memberi tenggat waktu selama dua hari sebelum kapal berlayar.
Sampai di rumah Dempu Awang langsung menyampaikan tawaran Tuan Nueng. Awalnya Sang ibu tidak mengizinkan karena Dempu Awang adalah anak semata wayang sementara dia sendiri sudah semakin tua. Namun, karena agak memaksa, maka akhirnya dia mengizinkan. Dempu Awang berkata bahwa pelayarannya tidak akan memakan waktu terlalu lama. Dan, apabila telah kembali dia pasti membawa banyak uang karena upahnya jauh lebih besar ketimbang menjadi tukang sortir ikan.
Restu Sang ibu merupakan berkah bagi Dempu Awang. Esok harinya dia langsung menemui Tuan Nueng dan menyatakan menerima tawarannya. Lusanya, berbekal beberapa helai pakaian seadannya dia ikut bergabung bersama awak kapal pimpinan Tuan Nueng. Mereka berlayar menuju ke negeri seberang yang diperaya memiliki sumber daya ikan melimpah.
Sejak itu Sang ibu tinggal seorang diri. Untuk mencukupi kebutuhan hidup dia bekerja seperti biasa. Hanya saja segalanya harus dilakukan sendiri, mulai dari menanam, memanen, hingga memasarkannya. Begitu setiap hari hingga tanpa terasa telah sepuluh tahun berlalu sejak kepergian Dempu Awang. Entah mengapa Sang anak tidak kunjung pulang, padahal waktu itu katanya hanya beberapa bulan berlayar.
Sementara di tempat lain Dempu Awang telah menjadi pria sukses. Kebiasaan rajin, ulet, dan tidak pernah mengeluh membuatnya menjadi kaya raya. Dia pun telah mempunyai seorang istri cantik jelita. Mereka tinggal di sebuah rumah mewah dengan puluhan pelayan yang selalu siap melayani.
Suatu hari, entah mengapa, Sang istri ingin melihat kampung halaman suami. Awalnya Dempu Awang menolak dengan alasan kampungnya terlalu jauh dan tidak ada yang menarik untuk dikunjungi. Namun, karena Sang istri terus menerus merengek, terpaksa dia menyetujui. Pikirnya, Sang ibu kemungkinan telah meninggal dunia sehingga Sang istri tidak akan bertemu dengannya. Dia malu bila Sang istri tahu kehidupannya di masa lalu.
Beberapa hari kemudian berangkatlah mereka menuju kampung halaman Dempu Awang. Perjalanan yang menempuh waktu berhari-hari itu menggunakan sebuah perahu mewah dengan awak berjumlah puluhan orang. Mereka membawa perbekalan sangat banyak hingga perahu terasa penuh sesak oleh bahan makanan.
Saat tiba di pelabuhan banyak orang kagum melihat perahu mewah milik Dempu Awang. Mereka bertambah kagum ketika melihat sang pemilik turun berpakaian sangat mewah bersama seorang perempuan cantik di sampingnya. Keduanya bagaikan raja dan permaisuri dari negeri dongeng.
Salah seorang di antara kerumunan rupanya mengenali siapa pria bak raja itu. Dia lalu berlari menuju rumah Ibu Dempu Awang untuk memberitahu bahwa Sang anak telah kembali. Sang ibu yang baru pulang dari ladang tentu saja senang bukan kepalang. Tanpa mengganti pakaian dia langsung berlari menuju pelabuhan menemui anak tercintanya yang telah lama tidak bersua.
Namun, ekspektasi tidak sesuai dengan realita. Ketika bertemu dan hendak mendekap ternyata Sang anak menolak. Dempu Awang kaget bukan kepalang. Dia tidak menyangka kalau ibunya masih hidup walau penampilan fisiknya sudah tua renta dibalut pakaian seadanya dan tampak lusuh.
Malu pada Sang istri, Dempu Awang lantas menendang Sang ibu dan berteriak memerintah sejumlah pengawal mengusirnya. Dan, agar tidak bertambah malu bila orang-orang juga mengenalinya maka dia juga memerintahkan nahkoda menarik jangkar. Mereka langsung naik lagi ke perahu dan berlayar menjauh.
Sementara Sang ibu yang tidak diakui dan ditinggal begitu saja menjadi hancur hatinya. Anak yang dilahirkan, dirawat, dan didoakan setelah sukses malah mengkhianatinya. Dia benar-benar diperlakukan secara tidak layak oleh anak kandungnya sendiri. Oleh karena itu, dia pun berdoa agar Tuhan memberikan pelajaran setimpal atas perlakuan yang diterimanya.
Sejurus setelah berdoa, langitt tiba-tiba menjadi gelap yang disertai kilat menyambar-nyambar. Tidak lama kemudian datanglah hujan lebat dan angin topan penyebab gelombang tinggi. Perahu Dempu Awang yang baru saja berlayar menjadi terombang-ambing tak tentu arah dan akhirnya terbelah menjadi dua bagian. Seluruh barang bawaan beserta awaknya tergulung ombak dan tenggelam di dasar lautan.
Setelah cuaca mereda penduduk yang tadinya bersembunyi mulai berkumpul lagi di sekitar pelabuhan. Mereka heran tidak jauh dari dermaga yang surut tiba-tiba ada seonggok batu besar. Batu itu merupakan jelmaan dari Dempu Awang yang rupanya dikutuk karena telah mendurhakai orang tuanya. Singkat cerita, karena lambat laut air laut menjauh dari bibir pantai dan batu sepenuhnya tidak lagi tergenang, di sampingnya didirikan sebuah balai tempat bermusyawarah. Dan, karena letaknya berdekatan itulah maka masyarakat setempat kemudian menyebutnya sebagai Batu Balai.
Diceritakan kembali oleh gufron