Bebecek adalah istilah orang Sunda bagi bagian tanah sawah yang digunakan sebagai tempat persemaian benih padi. Lahan bebecek umumnya berukuran sekitar 1/20 dari luas lahan yang akan ditanami. Adapun kriteria pemilihannya adalah tanah yang paling dianggap subur, tidak terlindung dari sinar matahari, dekat sumber pengairan, dan aman dari gangguan hewan (burung, ayam, dan hewan lainnya).
Sandhur Pantel
Sandhur Pantel adalah sebuah kesenian yang berbau magis berasal dari Desa Ambunten Barat, Kecamatan Ambunten, Kabupaten Sumenep. Tarian ini berfungsi sebagai media untuk menolak dan mengusir serta menjauhkan bencana yang direfleksikan dalam bentuk puji-pujian, rangkuman doa yang disertai dengan nyanyian dan ragam gerak dalam alunan musik pengiring.
Kesenian ini konon berasal dari kisah penggembala kambing bernama “Sandhur”. Walau hanya seorang penggembala dia adalah anak yang saleh (taat beragama Islam) hingga menjadi buah bibir warga masyarakat setempat. Ketenaran Sandhur rupanya membuat iri hati seseorang yang tidak mempercayai adanya Tuhan (kafir). Si Kafir berniat untuk mencelakakannya. Sahdan, ketika Sandhur sedang mengembalakan kambingnya di gunung, dia berencana membunuhnya. Akan tetapi, niatnya tidak terlaksana karena Shandur tiba-tiba hilang bagaikan ditelan bumi. Namun demikian, Si Kafir tidak putus asa. Melalui meditasi, dia mendengar suara gaib yang memberitahu persembunyian Sandhur, yaitu di dalam sebuah pohon besar. Dan, tanpa pikir panjang, Si Kafir langsung memotong pohon tersebut dengan gerjaji. Kisah tentang hilangnya Sandhur inilah yang kemudian menjadi “ruh” kesenian sandhur pantel.
Sandhur Pantel dimainkan oleh laki-laki dan perempuan, terdiri atas: 13 penabuh, 5 penembang, seorang penebas, 14 penari. Pementasan awal berdurasi sekitar 3-4 jam. Setelah itu, dilanjutkan dengan pelantunan bait-bait pujian dan doa. Pada bagian kedua, penari melakukan gerak ragam yang sama. Dalam setiap pementasan selalu ada sesaji (sesajen) berupa: kelapa gading, jajan pasar, rengginang, nasi dan panggang ayam, serta roncean jagung. Selain itu, disediakan pula berbagai pakaian anak-anak, remaja, dan dewasa berbeda warna (merah, kuning, hitam, dan hijau). Konon, pakaian tersebut diperuntukkan bagi makhluk lain (halus) agar tidak mengganggu kehidupan manusia.
Kesenian ini konon berasal dari kisah penggembala kambing bernama “Sandhur”. Walau hanya seorang penggembala dia adalah anak yang saleh (taat beragama Islam) hingga menjadi buah bibir warga masyarakat setempat. Ketenaran Sandhur rupanya membuat iri hati seseorang yang tidak mempercayai adanya Tuhan (kafir). Si Kafir berniat untuk mencelakakannya. Sahdan, ketika Sandhur sedang mengembalakan kambingnya di gunung, dia berencana membunuhnya. Akan tetapi, niatnya tidak terlaksana karena Shandur tiba-tiba hilang bagaikan ditelan bumi. Namun demikian, Si Kafir tidak putus asa. Melalui meditasi, dia mendengar suara gaib yang memberitahu persembunyian Sandhur, yaitu di dalam sebuah pohon besar. Dan, tanpa pikir panjang, Si Kafir langsung memotong pohon tersebut dengan gerjaji. Kisah tentang hilangnya Sandhur inilah yang kemudian menjadi “ruh” kesenian sandhur pantel.
Sandhur Pantel dimainkan oleh laki-laki dan perempuan, terdiri atas: 13 penabuh, 5 penembang, seorang penebas, 14 penari. Pementasan awal berdurasi sekitar 3-4 jam. Setelah itu, dilanjutkan dengan pelantunan bait-bait pujian dan doa. Pada bagian kedua, penari melakukan gerak ragam yang sama. Dalam setiap pementasan selalu ada sesaji (sesajen) berupa: kelapa gading, jajan pasar, rengginang, nasi dan panggang ayam, serta roncean jagung. Selain itu, disediakan pula berbagai pakaian anak-anak, remaja, dan dewasa berbeda warna (merah, kuning, hitam, dan hijau). Konon, pakaian tersebut diperuntukkan bagi makhluk lain (halus) agar tidak mengganggu kehidupan manusia.
Tan-Pangantanan
Tan-Pangantanan atau bisa juga disebut Dhe-nondhe Ne Nang adalah salah satu jenis permainan anak pada masyarakat Madura. Permainan ini erat kaitannya dengan bunga melati yang konon di masa lalu hampir ada setiap halaman rumah orang Madura. Pada musim kemarau bunga tersebut sangat melimpah. Melimpah-ruahnya bunga itulah yang kemudian melahirkan sebuah permainan anak-anak yang disebut “tan-pangantanan” Sesuai dengan namanya, yaitu tan-pangantan yang berarti pengantin-pengantinan (bukan pengantin sungguhan), pemain dihiasi layaknya pengantin. Kemudian, diarak mengelilingi kampung diiringi dengan tembang atau nyanyian yang berjudul atau disebut “Dhe-Nondhe” (bahasa Madura). Tembang tersebut sarat dengan nilai-nilai yang mesti diacu, baik dalam kehidupan bermasyarakat maupun berserah diri (bertaqwa) kepada Sang Pencipta (Allah). Nilai-nilai itu antara lain adalah: (1) keimanan dan ketaqwaan, (2) kepatuhan, (3) kerukunan, (4) tatakrama (sopan-santun), (5) kebersamaan (gotong-royong), dan (6) kebersyukuran.
Permainan ini biasanya dilakukan ketika pohon melati mulai berbunga (biasanya pada musim kemarau). Seiring dengan perkembangan zaman, terutama perkembangan permainan modern, ditambah dengan semakin langkanya pohon melati, pada gilirannya membuat permainan tan-pangantanan menjadi langka.
Permainan ini biasanya dilakukan ketika pohon melati mulai berbunga (biasanya pada musim kemarau). Seiring dengan perkembangan zaman, terutama perkembangan permainan modern, ditambah dengan semakin langkanya pohon melati, pada gilirannya membuat permainan tan-pangantanan menjadi langka.
Gelatik dan Betet
(Cerita Rakyat Daerah Jawa Timur)
Alkisah, ada seekor burung Betet berjalan ke arah pasar sambil memikul karung berisi beras. Padahal waktu itu sedang musim paceklik. Banyak tanaman padi yang rusak akibat kekeringan dan atau diserang hama.
Di tengah perjalanan dia bertemu dengan seekor burung gelatik. Sang Gelatik bertanya, “Hei, Betet. Benda apa yang ada di dalam karungmu?”
“Beras,” jawab Betet singkat.
“Akan engkau apakan beras itu?” tanya Gelatik.
“Aku akan menjualnya di pasar,” jawa Betet.
“Lah, bukannya banyak padi yang terserang penyakit? Jangan-jangan beras yang akan engkau jual itu berpenyakit?” selidik Sang Gelatik.
“Enak aja, ini beras terbaik yang terpaksa aku jual untuk menutupi biaya khitanan serta membeli sarung dan kopiah anakku”, Betet menjelaskan.
Penjelasan tadi bukan membuat Gelatik tergerak untuk membantu, tetapi malah berusaha memanfaatkannya. Dia yang sudah beberapa hari ini belum makan meminta Betet membuka karung berasnya. Dengan alasan ingin memeriksa kondisinya, dia berlagak membolak-balik beras. Padahal, sambil membolak-balik dia memakan sebagian biji beras itu hingga kenyang.
Melihat kelakuan Gelatik yang “mencicipi” beras tanpa membeli, Sang Betet menjadi marah. Leher Gelatik dicengkram lalu diputarnya sekuat tenaga hingga mengerang kesakitan. Cengkraman tadi membuat leher Gelatik menjadi berteleh (berkantung).
Merasa lehernya berteleh, giliran Gelatik yang marah dan memukul Sang Betet dengan pikulan beras pada bagian paruh hingga bengkok. Akibat perkelahian tadi, bentuk leher Gelatik menjadi berteleh dan paruh Betet bengkok secara permanan yang kemudian diturunkan pada anak cucu mereka hingga sekarang.
Diceritakan kembali oleh Gufron
Alkisah, ada seekor burung Betet berjalan ke arah pasar sambil memikul karung berisi beras. Padahal waktu itu sedang musim paceklik. Banyak tanaman padi yang rusak akibat kekeringan dan atau diserang hama.
Di tengah perjalanan dia bertemu dengan seekor burung gelatik. Sang Gelatik bertanya, “Hei, Betet. Benda apa yang ada di dalam karungmu?”
“Beras,” jawab Betet singkat.
“Akan engkau apakan beras itu?” tanya Gelatik.
“Aku akan menjualnya di pasar,” jawa Betet.
“Lah, bukannya banyak padi yang terserang penyakit? Jangan-jangan beras yang akan engkau jual itu berpenyakit?” selidik Sang Gelatik.
“Enak aja, ini beras terbaik yang terpaksa aku jual untuk menutupi biaya khitanan serta membeli sarung dan kopiah anakku”, Betet menjelaskan.
Penjelasan tadi bukan membuat Gelatik tergerak untuk membantu, tetapi malah berusaha memanfaatkannya. Dia yang sudah beberapa hari ini belum makan meminta Betet membuka karung berasnya. Dengan alasan ingin memeriksa kondisinya, dia berlagak membolak-balik beras. Padahal, sambil membolak-balik dia memakan sebagian biji beras itu hingga kenyang.
Melihat kelakuan Gelatik yang “mencicipi” beras tanpa membeli, Sang Betet menjadi marah. Leher Gelatik dicengkram lalu diputarnya sekuat tenaga hingga mengerang kesakitan. Cengkraman tadi membuat leher Gelatik menjadi berteleh (berkantung).
Merasa lehernya berteleh, giliran Gelatik yang marah dan memukul Sang Betet dengan pikulan beras pada bagian paruh hingga bengkok. Akibat perkelahian tadi, bentuk leher Gelatik menjadi berteleh dan paruh Betet bengkok secara permanan yang kemudian diturunkan pada anak cucu mereka hingga sekarang.
Diceritakan kembali oleh Gufron
Jauwiru dan Suri Lemlai
(Cerita Rakyat Daerah Kalimantan Timur)
Alkisah, ada seorang bernama Kuwanyi. Dia adalah kepala suku Dayak Kayan yang tinggal di Sungai Long Payang, anak Sungai Kayan bagian hulu. Sebagai seorang kepala suku dia sangat berkharisma sehingga dihormati sekaligus ditakuti kaumnya. Untuk memenuhi kebutuhan hidup tidak perlu repot membanting tulang karena ada orang-orang yang rela mengerjakan ladangnya secara bergotong-royong tanpa imbalan.
Tetapi kenikmatan hidup tadi tidak lantas membuat bahagia. Kuwanyi selalu dilanda perasaan gundah gulana karena telah sekian lama belum juga memiliki anak. Sang istri dapat dikatakan sudah tidak muda lagi dan kecil kemungkinannya bisa hamil. Padahal, berbagai macam cara telah mereka tempuh agar memperoleh momongan.
Untuk menghilangkan keresahan hati, walau hanya sesaat, Kuwanyi sering pergi berburu binatang hutan seperti rusa, babi, pelanduk, dan lain sebagainya. Dia selalu ditemani oleh seekor anjing buru yang telah terlatih. Si anjing inilah biasanya akan memberi petunjuk keberadaan rusa, babi hutan, atau pelanduk yang akan disumpit. Apabila berhasil disumpit, daging hewan buruan akan dibawa pulang untuk selanjutnya dibagi rata dengan sesama sukunya.
Namun, tidak setiap perburuan mendapat hasil. Suatu hari si anjing hanya menyalak ke berbagai arah tanpa ada seekor binatang pun yang terlihat. Begitu juga yang terjadi pada perburuan berikutnya. Si anjing menyalak sambil berlari kesana kemari hingga akhirnya datang lagi pada Kuwanyi dengan membawa sebilah bambu kuning di mulutnya. Padahal, biasanya dia akan membawa binatang kecil atau menunjukkan arah apabila binatang yang dilihat lebih besar darinya.
Melihat bambu yang dibawa si anjing sangat unik dan berwarna kuning cerah Kuwanyi tidak lantas membuangnya begitu saja. Diambilnya bambu itu lalu dipotong menjadi beberapa ruas dan ruas paling besar dibawa pulang. Pikirnya, akan lebih baik apabila dijadikan sebagai wadah menyimpan anak sumpit. Dia sudah tidak lagi bernafsu melanjutkan perburuan karena bambu kuning tadi begitu menyita perhatiannya.
Sampai di rumah bambu kuning diletakkan dekat tempayan. Setelah itu, dia mandi, makan, dan meneruskan aktivitas seperti biasa. Hari demi hari pun berlalu tanpa terasa hingga tiba bulan purnama. Kesibukan sebagai kepala suku membuat dia lupa akan membuat bambu kuning itu menjadi wadah sumpit.
Tepat tengah malam purnama ketika seluruh penghuni lamin (tempat dia tinggal bersama kerabat besarnya) tertidur lelap, tiba-tiba angin bertiup kencang disertai dengan suara guntur menggelegar. Tidak lama kemudian datanglah hujan sangat lebat yang membuat atap lamin menjadi bocor di sana-sini. Suasana menjadi lebih mencekam ketika datang angin topan yang memporak-porandakan pepohonan di sekitar lamin.
Sekitar setengah jam kemudian angin dan hujan mereda. Orang-orang yang tadinya panik kembali tenang dan hening. Sebagian ada yang tidur lagi karena tidak mungkin memperbaiki lamin dalam keadaan gelap gulita. Sedangkan sisanya, ada yang masih terjaga untuk memperbaiki tata letak berbagai barang di dalam lamin dan ada pula yang merenung mengapa datang angin topan bukan di musim penghujan.
Di tengah suasana tadi terdengarlah suara tangis bayi dekat tempayan tempat Kuwanyi manaruh ruas bambu kuning. Bersama Sang istri dia mendatangi sumber suara dan ternyata ada seorang bayi laki-laki sedang menangis di dekat bambu kuning yang telah pecah berantakan. Sang bayi lalu diambil dan dibawa masuk untuk ditunjukkan pada penguni lamin lainnya. Mereka pun senang Sang kepala suku akhirnya memiliki anak walau bukan darah dagingnya sendiri. Dan, oleh karena lahir bertepatan dengan datangnya angin topan, maka dia dinamakan Jauwiru atau Si Guntur Besar.
Kehadiran Jaiwaru rupanya tidak menyurutkan niat Kuwanyi untuk kembali berburu. Selang beberapa minggu setelah Jauwiru lahir dia pergi lagi bersama aningnya menuju hutan mencari binatang buruan. Namun, bukan rusa atau babi hutan didapat, melainkan hanya sebutir telur yang dia dapat di atas tunggul kayu jemelai.
Ketika dibawa pulang, oleh Sang istri telur ditaruh dalam bakul dan diletakkan di para. Tengah malam, dari arah para terdengar ada benda pecah disusul suara tangisan. Setelah didatangi ternyata ada bayi di dalam bakul. Telur telah pecah dan menjelma menjadi seorang bayi perempuan. Alangkah gembiranya hati pasangan tua ini karena dikaruniai anak lagi sehingga Jaiwaru memiliki teman bermain. Dia diberi nama Suri Lemlai.
Seiring berjalannya waktu, mereka tumbuh menjadi pemuda tampan-gagah dan pemudi nan cantik jelita. Keduanya hidup rukun bersama kerabat Kuwanyi dalam sebuah lamin panjang. Sebelum Kuwanyi meninggal dunia, atas kesepakatan penghuni lamin mereka kemudian dinikahkan. Dan, dari keturunan merekalah yang nantinya akan menurunkan raja-raja Bulungan hingga sekarang.
Diceritakan kembali oleh Gufron
Alkisah, ada seorang bernama Kuwanyi. Dia adalah kepala suku Dayak Kayan yang tinggal di Sungai Long Payang, anak Sungai Kayan bagian hulu. Sebagai seorang kepala suku dia sangat berkharisma sehingga dihormati sekaligus ditakuti kaumnya. Untuk memenuhi kebutuhan hidup tidak perlu repot membanting tulang karena ada orang-orang yang rela mengerjakan ladangnya secara bergotong-royong tanpa imbalan.
Tetapi kenikmatan hidup tadi tidak lantas membuat bahagia. Kuwanyi selalu dilanda perasaan gundah gulana karena telah sekian lama belum juga memiliki anak. Sang istri dapat dikatakan sudah tidak muda lagi dan kecil kemungkinannya bisa hamil. Padahal, berbagai macam cara telah mereka tempuh agar memperoleh momongan.
Untuk menghilangkan keresahan hati, walau hanya sesaat, Kuwanyi sering pergi berburu binatang hutan seperti rusa, babi, pelanduk, dan lain sebagainya. Dia selalu ditemani oleh seekor anjing buru yang telah terlatih. Si anjing inilah biasanya akan memberi petunjuk keberadaan rusa, babi hutan, atau pelanduk yang akan disumpit. Apabila berhasil disumpit, daging hewan buruan akan dibawa pulang untuk selanjutnya dibagi rata dengan sesama sukunya.
Namun, tidak setiap perburuan mendapat hasil. Suatu hari si anjing hanya menyalak ke berbagai arah tanpa ada seekor binatang pun yang terlihat. Begitu juga yang terjadi pada perburuan berikutnya. Si anjing menyalak sambil berlari kesana kemari hingga akhirnya datang lagi pada Kuwanyi dengan membawa sebilah bambu kuning di mulutnya. Padahal, biasanya dia akan membawa binatang kecil atau menunjukkan arah apabila binatang yang dilihat lebih besar darinya.
Melihat bambu yang dibawa si anjing sangat unik dan berwarna kuning cerah Kuwanyi tidak lantas membuangnya begitu saja. Diambilnya bambu itu lalu dipotong menjadi beberapa ruas dan ruas paling besar dibawa pulang. Pikirnya, akan lebih baik apabila dijadikan sebagai wadah menyimpan anak sumpit. Dia sudah tidak lagi bernafsu melanjutkan perburuan karena bambu kuning tadi begitu menyita perhatiannya.
Sampai di rumah bambu kuning diletakkan dekat tempayan. Setelah itu, dia mandi, makan, dan meneruskan aktivitas seperti biasa. Hari demi hari pun berlalu tanpa terasa hingga tiba bulan purnama. Kesibukan sebagai kepala suku membuat dia lupa akan membuat bambu kuning itu menjadi wadah sumpit.
Tepat tengah malam purnama ketika seluruh penghuni lamin (tempat dia tinggal bersama kerabat besarnya) tertidur lelap, tiba-tiba angin bertiup kencang disertai dengan suara guntur menggelegar. Tidak lama kemudian datanglah hujan sangat lebat yang membuat atap lamin menjadi bocor di sana-sini. Suasana menjadi lebih mencekam ketika datang angin topan yang memporak-porandakan pepohonan di sekitar lamin.
Sekitar setengah jam kemudian angin dan hujan mereda. Orang-orang yang tadinya panik kembali tenang dan hening. Sebagian ada yang tidur lagi karena tidak mungkin memperbaiki lamin dalam keadaan gelap gulita. Sedangkan sisanya, ada yang masih terjaga untuk memperbaiki tata letak berbagai barang di dalam lamin dan ada pula yang merenung mengapa datang angin topan bukan di musim penghujan.
Di tengah suasana tadi terdengarlah suara tangis bayi dekat tempayan tempat Kuwanyi manaruh ruas bambu kuning. Bersama Sang istri dia mendatangi sumber suara dan ternyata ada seorang bayi laki-laki sedang menangis di dekat bambu kuning yang telah pecah berantakan. Sang bayi lalu diambil dan dibawa masuk untuk ditunjukkan pada penguni lamin lainnya. Mereka pun senang Sang kepala suku akhirnya memiliki anak walau bukan darah dagingnya sendiri. Dan, oleh karena lahir bertepatan dengan datangnya angin topan, maka dia dinamakan Jauwiru atau Si Guntur Besar.
Kehadiran Jaiwaru rupanya tidak menyurutkan niat Kuwanyi untuk kembali berburu. Selang beberapa minggu setelah Jauwiru lahir dia pergi lagi bersama aningnya menuju hutan mencari binatang buruan. Namun, bukan rusa atau babi hutan didapat, melainkan hanya sebutir telur yang dia dapat di atas tunggul kayu jemelai.
Ketika dibawa pulang, oleh Sang istri telur ditaruh dalam bakul dan diletakkan di para. Tengah malam, dari arah para terdengar ada benda pecah disusul suara tangisan. Setelah didatangi ternyata ada bayi di dalam bakul. Telur telah pecah dan menjelma menjadi seorang bayi perempuan. Alangkah gembiranya hati pasangan tua ini karena dikaruniai anak lagi sehingga Jaiwaru memiliki teman bermain. Dia diberi nama Suri Lemlai.
Seiring berjalannya waktu, mereka tumbuh menjadi pemuda tampan-gagah dan pemudi nan cantik jelita. Keduanya hidup rukun bersama kerabat Kuwanyi dalam sebuah lamin panjang. Sebelum Kuwanyi meninggal dunia, atas kesepakatan penghuni lamin mereka kemudian dinikahkan. Dan, dari keturunan merekalah yang nantinya akan menurunkan raja-raja Bulungan hingga sekarang.
Diceritakan kembali oleh Gufron