(Cerita Rakyat Sulawesi Tengah)
Alkisah, pada zaman dahulu ada sebuah daerah bernama Lobu yang berada di lereng gunung sebelah barat Palu. Desa ini dipimpin oleh seorang raja arif dan bijaksana sehingga rakyat dapat rukun dan damai. Dalam hidup keseharian, seluruh penduduk menggantungkan sepenuhnya pada tanah di sekitar lereng dengan bercocok tanam pertanian lahan kering alias berladang. Mereka tidak pernah kekuarangan makanan, kecuali bahan-bahan tertentu yang diambil dari laut seperti ikan dan garam.
Suatu hari, datanglah empat orang dari Tomene (Mandar) untuk berdagang garam. Mereka tidak hanya menerima uang sebagai imbalan atas garam yang diberikan, tetapi juga hasil pertanian ladang dan bahkan kain sarung hasil tenunan. Sebelum berdagang pada kalangan orang kebanyakan, tentu saja mereka menawarkan terlebih dahulu pada penguasa Lobu yang dalam hal ini adalah Raja Lobu.
Sang raja yang kebetulan sedang tidak mempunyai uang tetapi sangat membutuhkan garam kemudian menawarkan kain sarung terbuat dari kulit kayu sebagai barternya. Namun kain itu belumlah selesai ditetun. Salah seorang pedagang yang garamnya akan dibarterkan sempat terdiam sejenak. Setelah berpikir agak lama akhirnya Sang pedagang mensetujui dengan catatan raja harus menyelesaikan pengerjaan sarungnya. Sarung akan diambil saat dia datang lagi untuk berdagang.
Beberapa waktu setelahnya, istri Raja Lobu mengandung dan melahirkan seorang anak. Semenjak lahir sang anak tidak pernah berhenti menangis sehingga membuat kedua orang tua menjadi masygul karena khawatir akan terjadi hal-hal tidak diinginkan. Berbagai macam cara telah mereka lakukan, tetapi Sang bayi tetap saja menangis. Bahkan, Sang raja juga telah menitah salah seorang pembantunya mencari dukun-dukun sakti di sekitar kerajaan, namun tidak seorang pun dapat menghentikan tangis Sang bayi.
Oleh karena tangisan tak kunjung berhenti, lama-kelamaan kekhawatiran Sang ibu berubah menjadi kejengkelan. Semenjak bayi lahir, dia beserta seluruh isi rumah tidak dapat tidur nyenyak. Setiap saat selalu aja terdengar tangisan bayi yang terkadang sangat keras. Walhasil, karena telah habis akal dia pun geram dan menghardik Sang bayi dengan sebutan “nosonggo karatu pombalua” atau wadah terbuat dari tembaga yang biasa digunakan oleh kaum bangsawan sebagai tempat menaruh bayi.
Tanpa disangka, hardikan Sang ibu tadi langsung membuat bayi terdiam. Namun, bersama terdiamnya Sang bayi, hujan turun dengan sangat lebat disertai guntur dan likat yang sambar-menyambar disertai tiupan angin kencang. Akibatnya, bukan hanya seisi rumah menjadi terjaga, melainkan juga seisi kampung. Mereka tidak menyangka akan datang cuaca buruk bukan di saat sedang musim penghujan.
Keesokan hari, setelah beredar “bisik-bisik tetangga”, barulah mereka sadar bahwa cuaca buruk tadi malam adalah akibat umpatan istri raja pada bayinya yang tidak mau berhenti menangis. Bahkan, akibat dari umpatan itu, kini sang bayi tidak lagi berada dalam tempat buaian melainkan di atas karatu pombalua yang secara ajaib tiba-tiba saja ada di sana. Karatu pombalua tadi bukanlah benda sembarangan. Sebab, setiap malam Jumat selalu memuntahkan benda-benda kecil menyerupai kalung.
Pedagang garam yang mendengar berita Raja Lobu memiliki sebuah benda ajaib, segera bergegas menemui. Saat bertemu, pedagang langsung menagih hutang atas garam yang telah diberikan. Namun, ketika kain sarung yang telah ditenun sempura diserahkan, pedagang dengan tegas menolak. Dia menginginkan karatu pombalua sebagai ganti garam yang telah diberikan.
Permintaan tersebut tentu saja ditolak Raja Lobu yang menganggap bahwa karatu pombalua telah menjadi benda pusaka kerajaan. Sebagai ganti, dia lalu menawarkan sejumlah babi yang berusia masih muda. Ketika mereka tetap menolak, dia menawarkan lagi sejumlah kerbau, kemudian domba, sepasang budak belian, hingga tawaran terakhir berupa tujuh pasang budak belian. Dan, karena tetap memaksa karatu pombalua diserahkan, Raja Lobu kemudian meminta waktu untuk memikirkannya. Sementara Raja Lobu berpikir, para pedagang dipersilahkan menjajakan dagangan di daerah lain.
Sepeninggal para pedagang garam, Raja Lobu segera mengumpulkan orang tua-tua di seantero kerajaan guna mencari jalan keluar agar karatu pombalua tidak beralih tangan. Hingga larut malam mereka saling bertukar pikiran dan baru menjelang subuh dicapailah kesepakatan untuk membuat kalabu. Dalam kepercayaan masyarakat setempat, apabila kalabu dibuat maka seluruh manusia yang berada di sekitarnya akan musnah. Konsekuensi ini tetap ditempuh oleh Raja Lobu dan rakyatnya karena tidak rela menyerahkan karatu pombalua.
Pada hari yang telah disepakati diadakanlah sebuah pesta besar berlangsung selama tujuh hari tujuh malam. Seluruh penduduk desa beserta sejumlah tamu undangan (termasuk para pedagang garam dari Mandar) datang menghadiri pesta. Mereka bersuka-ria sambil menikmati berbagai macam hidangan mewah yang jarang ditemukan pada hari-hari biasa. Khusus bagi pedagang garam, mereka tidak tahu bahwa akan terjadi malapetaka apabila mereka tetap memaksa Raja Lobu menyerahkan karatu pombalua.
Esok harinya, saat pedagang garam datang, Raja Lobu segera memerintahkan bawahannya membuat kalabu beserta sebuah tulang kaki anjing dan kucing. Setelah selesai, diturunkanlah karatu pombalua di depan rumah lalu bagian bawahnya ditabuh menggunakan tulang kaki anjing dan kucing hingga mengeluarkan suara sangat merdu. Sang penabuh adalah tetua kampung yang biasa melaksanakan upacara adat, baik upacaraa lingkaran hidup individu maupun upacara adat lainnya.
Tidak lama kemudian, tanpa diduga-duga kerajaan itu lenyap berganti bebatuan besar yang muncul dari dalam tanah. Seluruh penduduk beserta harta benda mereka hilang tanpa bekas. Hanya ada seorang saja yang berhasil selamat, yaitu si bayi raja yang saat kejadian terlempar jauh hingga ke Desa Sibalaya, dekat Sungai Gumbasa.
Diceritakan kembali oleh Ali Gufron