(Cerita Rakyat Daerah Bengkulu)
Alkisah, ada seorang perempuan tua yang hidup sebatang kara. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dia bekerja sebagai peladang di tanah peninggalan milik orang tuanya. Namun karena usia telah lanjut, Sang perempuan tua tidak dapat bekerja penuh di ladang sebagaimana orang-orang di desanya. Sebagian besar waktu hanya dia gunakan untuk beristirahat di teras maupun di dalam rumah.
Suatu hari, di kala sedang beristirahat dia berangan ingin memiliki seorang anak laki-laki. Pikirnya, bila memiliki anak laki-laki tentu dapat membantu pekerjaannya di ladang. Tak masalah rupa dan penampilan fisik anak tersebut menyerupai katak sekalipun. Yang penting dia dapat bekerja dengan rajin di ladang serta patuh terhadapnya.
Rupanya angan-angan sekaligus harapannya didengar oleh Langit. Hanya dalam waktu beberapa minggu saja di dalam perutnya terasa ada yang aneh. Seiring waktu perut tadi semakin membesar menandakan tengah mengandung. Para tetangga yang melihat menjadi gempar, sebab seumur hidup Sang perempuan tua belum pernah menikah. Mereka menjadi curiga kalau dia telah melakukan perbuatan asusila dengan laki-laki yang belum menjadi suami.
Kecurigaan semakin bertambah kuat ketika ada beberapa di antara mereka yang memberi “bumbu” pada cerita tentang asal-usul kehamilan Sang perempuan tua. Akibatnya, banyak penduduk kampung menjadi terpancing mendatangi gubuk reot Sang perempuan tua untuk mengetahui duduk perkara yang sebenarnya. Mereka khawatir apabila dibiarkan akan menimbulkan malapetaka bagi seisi kampung.
Namun baru sampai di muka gubuk, dari dalam terdengar suara tangisan. Dia telah melahirkan seorang bayi. Orang-orang pun langsung merangsek ke dalam gubuk untuk mengetahui kondisi bayi beserta ibunya. Di sana mereka melihat seorang bayi laki-laki sehat dengan ukuran dan bentuk tubuh yang sangat aneh (menyerupai seekor katak).
Melihat kondisi fisik si bayi yang tidak lazim, sontak saja sebagian besar dari mereka terperanjat. Muncullah lagi prasangka-prasangka negatif yang berujung ejekan, cemoohan, dan bahkan bahan tertawaan karena mengira Sang perempuan tua telah berhubungan dengan seekor katak sehingga anak yang dihasilkan mirip seperti katak.
Berbagai perkataan miring tadi tidak dihiraukan. Dia tetap menyayangi serta merawat bayinya dengan sepenuh hati. Baginya, sang bayi merupakan sebuah anugerah dari Langit yang harus disyukuri. Dia tidak menyesal bila angan-angannya ingin memiliki anak walau berbentuk menyerupai katak rupanya dikabulkan.
Seiring waktu Sang bayi tumbuh menjadi seorang anak yang sehat dan kuat. Dalam bergaul walau memiliki bentuk tubuh aneh, dia tidak dikucilkan oleh teman-teman sebayanya. Mereka memanggilnya dengan sebutan Bujang Katak karena tubuhnya menyerupai seekor katak.
Ketika dewasa, pada suatu kesempatan Sang ibu bercerita tentang Raja mereka yang memiliki tujuh orang putri cantik jelita. Tanpa disangka, Bujang Katak mengatakan pada ibunya bahwa ingin mempersunting salah seorang dari mereka. Hal ini tentu saja membuat Sang ibu terkejut lalu menjelaskan bahwa Bujang Katak bukanlah padanan para putri tersebut. Bujang Katak hanyalah rakyat kebanyakan sementara mereka adalah para bangsawan yang mempunyai status sangat tinggi dalam masyarakat. Tetapi karena terus memaksa, terpaksa Sang ibu menuruti walau dalam hati merasa pesimis akan disambut baik oleh Raja.
Keesokan hari, pagi-pagi sekali mereka telah berangkat menuju kerajaan. Awalnya mereka disambut ramah oleh Raja beserta para putrinya karena melihat penampilan fisik Bujang Katak yang ajaib. Tetapi keramahan beralih menjadi kemarahan dan cacian dari para putri raja ketika Sang Ibu memberanikan diri melamar salah seorang dari mereka untuk diperistri Bujang Katak. Bahkan sebagian besar mereka meludah di depan anak-beranak tadi sambil memalingkan muka pertanda jijik. Hanya Sang putri bungsu yang merasa kasihan tetapi hanya berdiam diri tidak berbuat apa-apa.
Merasa masih ada harapan (dari putri bungsu), hari berikutnya anak-beranak itu datang lagi ke istana. Kali ini “sambutan” yang mereka dapatkan bukanlah amarah serta cacian, melainkan tertawaan dari segenap penghuni istana. Raja yang juga ikut mentertawakan lalu membuat siasat agar Bujang Katak beserta ibunya jera. Dia akan menikahkan salah seorang putrinya dengan Bujang Katak bila sanggup membuat sebuah jembatan emas dari gubuknya hingga ke istana hanya dalam waktu satu minggu. Sebuah syarat yang sangat mustahil dapat dipenuhi oleh manusia biasa.
Anehnya, setelah mendengar persyaratan tersebut Bujang Katak langsung menyanggupi. Dan, dengan raut muka masih terlihat datar dia meminta izin untuk pulang kembali ke gubuk guna mempersiapkannya. Sesampai di rumah, tanpa berganti pakaian dia pergi lagi ke suatu tempat untuk bertapa. Adapun tujuannya adalah mencari “wangsit” agar dapat membuat jembatan emas.
Namun, setelah bertapa selama enam hari enam malam, belum juga muncul tanda-tanda turunnya wangsit. Baru pada hari ketujuh secara perlahan tubuhnya mengeluarkan sinar berwarna keemasan. Bersamaan dengan itu, kulit tubuh yang berbentuk menyerupai katak secara perlahan pula mulai mengelupas hingga menampakkan wujud asli berupa seorang pemuda nan tampan dan gagah. Sementara kulit yang mengelupas tadi secara ajaib berubah menjadi batangan-batangan emas berjumlah ratusan ribu buah. Selanjutnya, batangan-batangan emas tadi dia susun sedemikian rupa membentuk sebuah jembatan mulai dari depan gubuk hingga ke istana raja.
Sang raja yang melihat ada sebuah jembatan emas di depan pintu istana tentu saja kaget bukan kepalang. Dia tidak menyangka kalau syarat mustahil yang diajukan ternyata dapat dipenuhi tepat waktu. Sebagai konsekuensinya, dia terpaksa harus menepati janji untuk menikahkan salah seorang putrinya dengan Bujang Katak. Dia lalu memerintah salah seorang penjaga memanggil Bujang Katak beserta ibunya datang ke istana.
Setelah mereka datang, giliran para putri raja yang terkejut sekaligus terkesima melihat ketampanan dan kegagahan Bujang Katak. Masing-masing berusaha tebar pesona agar dipilih menjadi isteri Sang Bujang. Namun, hati Bujang Katak telah tertambat pada Putri Bungsu yang tidak ikut menghina ketika tubuhnya masih berbentuk menyerupai katak. Selain itu, di antara para saudarinya Putri bungsulah yang memiliki paras paling cantik serta tubuh indah mempesona.
Singkat cerita, Bujang Katak memilih Putri bungsu sebagai calon pendampingnya. Pernikahan dilangsungkan secara meriah selama tujuh hari tujuh malam dengan dihadiri segenap rakyat kerajaan. Mereka pun hidup bahagia hingga akhir hayat.
Diceritakan kembali oleh Gufron