Masjid Raya Sultan Riau atau Masjid Putih Telur berada di Pulau Penyengat, Provinsi Kepulauan Riau. Keberadaan masjid ini tidak lepas dari sejarah Pulau Penyengat yang luasnya hanya sekitar 240 hektar. Menurut Evawarni (2000), nama Penyengat baru dicatat dalam sejarah ketika terjadi perang perebutan kekuasaan antara Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah dengan iparnya Raja Kecil pada tahun 1719. Raja Kecil menjadikan Penyengat sebagai benteng pertahanan untuk menangkis serangan yang datang dari Hulu Riau.
Pulau Penyengat mulai ditempati sebagai perkampungan setelah Sultan Mahmud Syah III menghadiahkannya sebagai mas kawin pada Raja Hamidah binti Raja Haji (Engku Puteri) tahun 1803. Setelah menjadi kediaman Raja Hamidah dan sadara-saudaranya, Penyengat diubah sebagai sebuah negeri kedudukan Yang Dipertuan Muda Kerajaan Riau yang pangkatnya setara dengan perdana menteri (Sultan berkedudukan di Daik Lingga).
Keberadaan Masjid Sultan Riau yang dibangun sekitar tahun 1761-1812 atau pada masa awal dihuninya pulau ini hanyalah berupa bangunan kayu sederhana berlantai batu bata yang dilengkapi dengan sebuah menara setinggi sekitar enam meter (id.wikipedia.org). Perbaikan atau renovasi masjid baru dilakukan ketika Sultan Abdurrahman Muazzam Syah atau Yang Dipertuan Muda Raja Abdurrahman memindahkan pusat pemerintahan dari Lingga ke Penyengat (Sultan berkedudukan di Pulau Penyengat).
Perpindaham pusat pemerintahan Kerajaan Riau-Lingga menjadikan Penyengat semakin ramai. Jumlah penduduk bertambah dan masjid tidak lagi mampu menampung orang-orang yang akan sholat berjamaah. Oleh sebab itu, Sultan Abdurrahman berinisiatif memperbaiki dan memperbesar masjid (Stone, 2017). Bertepatan dengan hari raya Idul Fitri 1 Syawal 1248 Hijriah (1823 M) Sultan berseru pada wakyatnya untuk bergotong-royong memperbaiki masjid.
Seruan Sultan diindahkan oleh rakyatnya. Mereka (laki-laki dan perempuan) berbondong-bondong datang mengantarkan bahan bangunan, makanan, maupun tenaga agar renovasi masjid berjalan lancar. Bahkan konon, karena terlalu banyak bahan makanan yang disumbangkan, khususnya telur, sehingga tidak termanfaatkan dengan baik. Para pekerja hanya memakan bagian kuning telurnya saja sebagai lauk (Stone, 2017). Agar tidak mubazir, putih telur dimanfaatkan sebagai bahan baku oleh arsitek masjid keturunan India yang didatangkan dari Tumasik (Singapura). Bersama dengan pasir, tanah liat, dan kapur, putih telur diaduk dan dijadikan sebagai perekat. Hasilnya, bangunan masjid menjadi semakin kuat dan kokoh (Rosikhin, 2016).
Sampai saat ini Masjid Raya Sultan Riau masih digunakan oleh warga setempat untuk melaksanakan kegiatan keagamaan. Bila datang waktu sholat, akan terlihat puluhan warga menunaikan ibadah. Di luar waktu sholat banyak warga yang menggunakan masjid untuk berinteraksi, belajar Al Quran, mengadakan kenduri jamak sebelum bulan Ramadhan, dan lain sebagainya.
Komplek Masjid Raya Sultan Riau
Komplek Masjid Raya Sultan Riau dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu halaman, bangunan utama, dan bangunan tambahan. Area komplek masjid ini seluas 54,4x32,2 meter dikelilingi dinding tembok terbuat dari batu bata berwarna kuning (Stone, 2017). oleh karena letaknya agak tinggi dari areal di luar komplek, untuk memasuki gerbang utama masjid di sisi timur harus menaiki anak tangga berwarna hijau sejumlah belasan buah.
Setelah melewati pintu gerbang ada halaman yang sebagian dikeramik dan sisanya dibiarkan tetap berupa tanah berumput. Pada bagian yang dikeramik terdapat dua buah balai tidak berdinding yang oleh Adiputra (2016) dan wisatago.com disebutkan berfungsi sebagai tempat istirahat sambil menunggu waktu sholat, berkesenian, dan berbuka puasa saat bulan Ramadhan.
Di belakang balai ada bangunan yang oleh masyarakat setempat disebut sebagai sotoh. Bangunan tersebut berfungsi antara lain sebagai: tempat penyimpanan peralatan dan perlengkapan upacara yang berkaitan dengan hari-hari besar Islam (ksmtour.com); peristirahatan musafir serta penyelenggaraan musyawarah (wisatago.com); dan tempat menimba ilmu agama. Wikipedia.org mencatat, setidaknya ada empat ulama besar yang pernah mengajar di masjid ini, yaitu: Syekh Ahmad Jabrati, Syekh Ismail, Syekh Arsyad Banjar, dan Haji Shahabuddin.
Beranjak dari balai dan gedung sotoh ada bangunan utama (masjid) berdenah segi empat dengan pintu masuk utama berada di sisi timur yang bagian depannya diatapi kubah dan berpliaster. Di dekat pintu masuk utama terdapat lemari kaca berisi mushaf Al Quran tulisan tangan Abdurrahman Stambul, putera Penyengat yang diutus Sultan belajar di Turki pada tahun 1867 M (wikipedia.org). Menurut Movanita (2017), ada sebuah kitab tulis tangan lebih tua lagi (dibuat tahun 1752 M tanpa nama penulis) yang disimpan bersama sekitar 300 buah kitab lain dalam dua lemari di sayap kanan masjid. Kitab-kitab tersebut merupakan warisan Kerajaan Riau-Lingga saat terjadi eksodus besar-besaran ke Singapura dan Johor pada awal abad ke-20 akibat perang melawan Belanda (wisatago.com).
Melewati lemari kaca terdapat ruang utama berukuran 29,3x19,5 meter berlantai batu bata. Dindingnya berketebalan sekitar 50 centimeter dengan enam buah jendela. Ruang utama ini memiliki empat buah soko guru terbuat dari beton guna menopang atap kubah berbentuk bawang. Jumlah seluruh kubah ada 13 buah, terdiri atas: empat mengarah kiblat, tiga kubah melintang dan satu kubah di pintu masuk. Selain itu, di tiap pejuru terdapat menara berdinding kuning dan beratap hijau setinggi 18,9 meter (wisatago.com). Apabila kubah dan menara digabungkan, ksmtour.com berpendapat bahwa akan sama jumlahnya dengan rakaat shalat lima waktu.
Sebagai catatan, selain mushaf Al Quran di ruang utama juga terdapat mimbar terbuat dari kayu jati yang didatangkan khusus dari Jepara. Wikipedia.org menyatakan bahwa mimbar tersebut sebenarnya dipesan sejumlah dua buah, berukuran besar dan becil. Mimbar berukuran besar ditempatkan di Masjid Sultan Riau, sedangkan yang lebih kecil berada di Daik Lingga. Di dekat mimbar terdapat sepiring pasir yang konon dibawa oleh Raja Ahmad Engku Haji Tua sepulang dari berhaji pada tahun 1820 M (Adiputra, 2016).
Bagaimana? Anda berminat mengunjungi Masjid Raya Sultan Riau yang saat ini telah ditetapkan pemerintah sebagai benda cagar budaya? Apabila berminat, untuk mencapainya Anda harus menaiki perahu motor yang oleh masyarakat setempat disebut sebagai pompong dari dermaga Sri Bintan Pura, Tanjungpinang. Sarana ini merupakan satu-satunya alternatif bagi masyarakat keluar-masuk Penyengat. Pompong tersedia baik di pelabuhan Sri Bintan Pura maupun di pelabuhan Penyengat yang melayani penumpang dari pagi sekitar pukul 06.00 WIB sampai dengan malam sekitar pukul 21.00 WIB.
Apabila belum puas hanya mengunjungi Masjid Raya Sultan Riau, di Penyengat masih ada 16 situs cagar budaya lain, di antaranya: Makam rraja-raja Melayu beserta keluarganya (makam Engku Puteri sebagai pemilik Pulau Penyengat, Makam Raja Jakfar, Makam Raja Haji Fisabilillah), Kedaton, dan Benteng Pertahanan. Adapun cara mengunjungi situs-situs cagar budaya tersebut selain dengan berjalan kaki, dapat juga menggunakan becak motor sambil mengitari kampung-kampung yang ada di Pulau Penyengat (Kampung Datuk, Kampung Bulang, Kampung Ladi, Kampung Balik Kota, dan Kampung Baru). (Ali Gufron)
Foto: https://travel.kompas.com/read/2013/07/21/2053532/Pulau.Penyengat.Menjadi.Hutan.Konversi
Sumber:
Evawarni, 2000, Naskah Kuno: Sumber Ilmu Yang Terabaikan (Telaah Terhadap Beberapa Naskah Kuno), Penelitian, Departemen Pendidikan Nasional Direktoran Jenderal Kebudayaan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Tanjungpinang.
"Masjid Raya Sultan Riau", diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Masjid_Raya_Sultan_ Riau, tanggal 30 Desember 2017.
"Megahnya Arsitektur Masjid Raya Sultan Riau yang Dibangun dengan Putih Telur", diakses dari https://www.wisatago.com/mesjid-raya-sultan-riau/, tanggal 25 Desember 2017.
Stone, Riyad. 2017. "Masjid Raya Sultan Riau, Masjid Peninggalan Kerajaan Riau-Lingga", diakses dari https://www.tempat.co.id/wisata/Masjid-Raya-Sultan-Riau, tanggal 25 Desember 2017.
Rosikhin. 2016. "Sejarah Masjid Raya Sultan Riau Pulau Penyengat", diakses dari http://khinrosi06.blogspot.co.id/2016/08/masjid-ini-mulai-dibangun-sekitar-tahun.html, tanggal 26 Desember 2017.
Movanita, Ambaranie Nadia Kemala. 2017. "Masjid di Pulau Penyengat, Kono Dibangun dengan Bahan Putih Telur", diakses dari http://travel.kompas.com/read/2017/05/18/ 060800327/masjid.di.pulau.penyengat.konon.dibangun.dengan.bahan.putih.telur, tanggal 27 Desember 2017.
Adiputra, Maryo Sanjaya. 2016. "Masjid Penyengat, Mesjid Sultan Riau - Mesjid Pulau Para Raja", diakses dari http://www.riaumagz.com/2016/10/masjid-penyengat-mesjid-sultan-riau.html, tanggal 27 Desember 2017.
"Masjid Raya Sultan Riau yang Unik di Pulau Penyengat Kepulauan Riau", diakses dari https://ksmtour.com/informasi/tempat-wisata/kepulauan-riau/masjid-raya-sultan-riau-yang-unik-pulau-penyengat-kepulauan-riau.html, tanggal 27 Desember 2017.