Konon semenjak kecil (Lakma sendiri sudah tidak dapat mengingat kapan tepatnya), telah menunjukkan bakat seni dengan pandai bernyanyi dan membawakan tari sempaya, cerai kasih, serta payung. Adapun belajarnya hanya dengan cara otodidak, alias melihat dan mendengar para seniman beraksi kemudian mempraktikkannya di rumah. Kebiasaan Lakma ternyata didukung oleh kedua orang tua. Bahkan, mereka menyarankan agar para tetangga yang sedang mengadakan pesta memberi kesempatan pada Lakma untuk mempertontonkan kebolehannya. Sebagai catatan, bagi generasi Lakma pengertian pesta yang dimaksud di sini adalah adalah gelaran-gelaran yang berkenaan dengan lingkaran hidup seseorang (kelahiran, perkawinan, kematian) atau acara adat lainnya (penobatan raja, pemberian gelar, dan lain sebagainya).
Di berbagai gelaran pesta inilah Lakma Dewi mulai mengasah diri untuk menjadi seorang seniman tradisi. Selain itu, berkat interaksi yang cukup intens dengan seniman-seniman seni tutur yang turut tampil dalam pesta, Lakma juga mulai merambah ke seni tutur. Hahiwang, segata, bebandung, ringget, wayak/muayak dan hahaddo hasil "contekan" dari para seniman tutur tersebut dipelajarinya secara rutin sepulang sekolah di SDN 04 Penengahan Laay. Namun, kebiasaan berlatih seni tradisi sempat terhenti ketika dia baru beberapa bulan duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama karena Sang kakek mengajaknya hijrah ke Jakarta.
Oleh karena sangat dimanja Sang kakek dan keluarganya, Lakma diberi kebebasan untuk melakukan segala hal sesuai dengan kemauan sendiri dan tidak dibebani kewajiban sebagaimana layaknya orang lain. Alhasil, dia terlalu "enjoy" dengan diri sendiri sehingga tidak berhasrat melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Pertamanya. Jadi, praktis selama di Jakarta rutinitas yang dilakukan hanyalah makan, tidur, dan jalan-jalan bersama keluarga Sang kakek.
Sepulang dari Jakarta, Lakma menggeluti kembali seni tradisi yang sempat ditinggalkan. Bahkan dia tidak hanya tampil dalam acara pesta-pesta adat yang diselenggarakan oleh masyarakat yang ada di sekitar pekon tempat tinggalnya. Secara rutin Lakma Dewi mengikuti berbagai ajang perlombaan kesenian daerah, baik yang diadakan oleh Pemerintah Kabupaten Lampung Barat maupun Pemerintah Provinsi Lampung. Dan, dari berbagai macam perlombaan ini banyak di antaranya yang berhasil dimenangkan.
Konsekuensi dari keberhasilan memenangkan sejumlah perlombaan, jadwal manggung pun semakin bertambah. Dia tidak hanya diundang memeriahkan acara adat yang diselenggarakan oleh Pekon, Kecamatan, dan Pemerintah Kabupaten Lampung Barat saja, tetapi juga orang-orang tertentu yang berniat ingin menjadi petinggi di Lampung Barat hingga para pejabat di pemerintahan Provinsi Lampung.
Tidak berapa lama setelah mencapai ketenaran sebagai seorang seniwati tradisi, Lakma Dewi menikah dengan Hermanto, seorang staf Dinas Kesehatan Kabupaten Lampung Barat. Dari pernikahan ini mereka dikaruniai empat orang anak (seorang laki-laki dan tiga orang perempuan), yaitu: Wawan Putra (kelahiran tahun 1983), Heidi Diana (kelahiran tahun 1985), Tria Yunisa (kelahiran tahun 1987), dan Wira Opana (kelahiran tahun 1990).
Pernikahan dengan Hermanto ternyata membawa berkah tersendiri bagi Lakma Dewi. Jadwal pentasnya menjadi kian banyak hingga rata-rata mencapai 20 kali dalam satu bulan. Oleh karena itu, tidak jarang Hermanto turut menemani ketika Lakma pentas keluar wilayah Lampung Barat, seperti: Bandarlampung, Metro, Jakarta, hingga Yogyakarta. Khusus di Bandarlampung dan Yogyakarta Lakma pernah diminta masuk dapur rekaman untuk membawakan sastra lisan muayak dan hahaddo. Namun, hasil rekamannya saat ini hanya ada di Kantor Dinas Pemuda, Pariwisata, dan Olahraga Kabupaten Lampung Barat.
Menurut Lakma tidak lakunya penjualan rekaman muayak dan hahaddo karena masyarakat (terutama generasi muda) menganggap bahwa kedua kesenian tersebut sudah ketinggalan zaman. Kemajuan dalam bidang teknologi dan informasi membuat orang lebih menghargai kesenian populer yang datang dari daerah atau negara lain. Muayak, hahaddo, hahiwang, ringget dan beragam kesenian tradisional lain yang selalu mempertahankan "pakem" tanpa melakukan pembaruan tidak lagi dapat mengikuti arus perubahan zaman sehingga nyaris ditinggalkan dan hampir punah.
Keprihatinan akan punahnya kesenian tradisi mendorong Lakma Dewi untuk menularkan keahliannya pada generasi muda. Mula-mula dia mengajar pada anak-anak usia Sekolah Dasar hingga Menengah Pertama di sekitar tempat tinggalnya. Menurutnya anak-anak usia 6 hingga 16 tahun lebih "lebih cepat nyambung" ketimbang remaja atau orang tua. Anak-anak relatif mudah menerima pelajaran dan dapat "dipoles" sedemikian rupa agar sesui dengan pakem-pakem kesenian yang diajarkan.
Tetapi usaha awal Lakma Dewi banyak mengalami kendala. Salah satunya disebabkan oleh stratifikasi sosial dalam masyarakat yang tercermin dalam kelas-kelas sosial yang ditentukan berdasarkan asal usul serta hubungan kekerabatan patrilineal. Mereka membagi diri menjadi 16 marga. Masing-masing marga dipimpin oleh seorang Saibatin (Kepala Marga) dan memiliki tujuh tingkatan Gelar yaitu: Suntan, Raja, Batin, Radin, Minak, Kimas dan Mas.
Struktur sosial berdasarkan tingkatan gelar tersebut mempengaruhi ruang gerak individu, mulai dari level paling tinggi (Kepaksian) hingga ke level terendah yaitu keluarga. Atau dengan kata lain, terdapat rambu-rambu tertentu yang mengatur hubungan antarstatus dalam kehidupan sehari-hari. Seseorang tidak dapat sesuka hati berhubungan tanpa mengindahkan statusnya karena akan mendapat sanksi-sanksi tertentu (adat maupun sosial) apabila melanggarnya.
Lakma Dewi yang berada dalam keluarga berstatus atau bergelar Minak relatif mudah menggerakkan anak-anak dari keluarga yang berstatus di bawahnya (Kimas dan Mas) untuk belajar kesenian tradisional. Namun, dia sulit "memaksa" anak-anak dari keluarga berstatus Radin, Batin, Raja, apalagi Suntan tanpa persetujuan orang tua mereka. Apabila orang tua menyetujui, dalam menentukan jadwal latih pun dia tidak dapat begitu saja menyuruh anak-anak mereka datang. Lakma harus membujuk anak yang akan berlatih agar orang tuanya tidak tersinggung dan marah.
Aturan-aturan adat yang mengikat seseorang berdasarkan kelas dalam masyarakat tentu saja menyulitkan Lakma Dewi dalam mentransfer ilmunya. Agar seni tradisi yang digeluti tidak hilang di telah zaman, dia kemudian beralih ruang dengan mengajar di pekon-pekon (desa) dan sekolah-sekolah di sekitar Krui. Kedua tempat tersebut dipilih karena sudah ada orang-orang yang mengkoordinasi anak-anak untuk berkumpul dan berlatih. Jadi, dia dapat langsung mengajar tanpa perlu lagi bersusah payah membujuk anak-anak agar mau belajar seni tradisi.
Lambat laun jerih payah Lakma secara perlahan membuahkan hasil. Banyak di antara anak didiknya memenangi berbagai ajang perlombaan, mulai dari tarian, nyanyian, hingga tradisi lisan. Bahkan karena terlalu sering menang, terkadang pihak panitia perlombaan sengaja "menghambat" agar peserta lain mendapat giliran sebagai pemenang. Adapun caranya adalah dengan menjadikan anak-anak didik Lakma sebagai penampil dan bukan peserta lomba. Sementara Lakma sendiri didaulat juga menjadi penampil, panitia dan atau jurinya.
Foto: ali gufron
Konsekuensi dari keberhasilan memenangkan sejumlah perlombaan, jadwal manggung pun semakin bertambah. Dia tidak hanya diundang memeriahkan acara adat yang diselenggarakan oleh Pekon, Kecamatan, dan Pemerintah Kabupaten Lampung Barat saja, tetapi juga orang-orang tertentu yang berniat ingin menjadi petinggi di Lampung Barat hingga para pejabat di pemerintahan Provinsi Lampung.
Tidak berapa lama setelah mencapai ketenaran sebagai seorang seniwati tradisi, Lakma Dewi menikah dengan Hermanto, seorang staf Dinas Kesehatan Kabupaten Lampung Barat. Dari pernikahan ini mereka dikaruniai empat orang anak (seorang laki-laki dan tiga orang perempuan), yaitu: Wawan Putra (kelahiran tahun 1983), Heidi Diana (kelahiran tahun 1985), Tria Yunisa (kelahiran tahun 1987), dan Wira Opana (kelahiran tahun 1990).
Pernikahan dengan Hermanto ternyata membawa berkah tersendiri bagi Lakma Dewi. Jadwal pentasnya menjadi kian banyak hingga rata-rata mencapai 20 kali dalam satu bulan. Oleh karena itu, tidak jarang Hermanto turut menemani ketika Lakma pentas keluar wilayah Lampung Barat, seperti: Bandarlampung, Metro, Jakarta, hingga Yogyakarta. Khusus di Bandarlampung dan Yogyakarta Lakma pernah diminta masuk dapur rekaman untuk membawakan sastra lisan muayak dan hahaddo. Namun, hasil rekamannya saat ini hanya ada di Kantor Dinas Pemuda, Pariwisata, dan Olahraga Kabupaten Lampung Barat.
Menurut Lakma tidak lakunya penjualan rekaman muayak dan hahaddo karena masyarakat (terutama generasi muda) menganggap bahwa kedua kesenian tersebut sudah ketinggalan zaman. Kemajuan dalam bidang teknologi dan informasi membuat orang lebih menghargai kesenian populer yang datang dari daerah atau negara lain. Muayak, hahaddo, hahiwang, ringget dan beragam kesenian tradisional lain yang selalu mempertahankan "pakem" tanpa melakukan pembaruan tidak lagi dapat mengikuti arus perubahan zaman sehingga nyaris ditinggalkan dan hampir punah.
Keprihatinan akan punahnya kesenian tradisi mendorong Lakma Dewi untuk menularkan keahliannya pada generasi muda. Mula-mula dia mengajar pada anak-anak usia Sekolah Dasar hingga Menengah Pertama di sekitar tempat tinggalnya. Menurutnya anak-anak usia 6 hingga 16 tahun lebih "lebih cepat nyambung" ketimbang remaja atau orang tua. Anak-anak relatif mudah menerima pelajaran dan dapat "dipoles" sedemikian rupa agar sesui dengan pakem-pakem kesenian yang diajarkan.
Tetapi usaha awal Lakma Dewi banyak mengalami kendala. Salah satunya disebabkan oleh stratifikasi sosial dalam masyarakat yang tercermin dalam kelas-kelas sosial yang ditentukan berdasarkan asal usul serta hubungan kekerabatan patrilineal. Mereka membagi diri menjadi 16 marga. Masing-masing marga dipimpin oleh seorang Saibatin (Kepala Marga) dan memiliki tujuh tingkatan Gelar yaitu: Suntan, Raja, Batin, Radin, Minak, Kimas dan Mas.
Struktur sosial berdasarkan tingkatan gelar tersebut mempengaruhi ruang gerak individu, mulai dari level paling tinggi (Kepaksian) hingga ke level terendah yaitu keluarga. Atau dengan kata lain, terdapat rambu-rambu tertentu yang mengatur hubungan antarstatus dalam kehidupan sehari-hari. Seseorang tidak dapat sesuka hati berhubungan tanpa mengindahkan statusnya karena akan mendapat sanksi-sanksi tertentu (adat maupun sosial) apabila melanggarnya.
Lakma Dewi yang berada dalam keluarga berstatus atau bergelar Minak relatif mudah menggerakkan anak-anak dari keluarga yang berstatus di bawahnya (Kimas dan Mas) untuk belajar kesenian tradisional. Namun, dia sulit "memaksa" anak-anak dari keluarga berstatus Radin, Batin, Raja, apalagi Suntan tanpa persetujuan orang tua mereka. Apabila orang tua menyetujui, dalam menentukan jadwal latih pun dia tidak dapat begitu saja menyuruh anak-anak mereka datang. Lakma harus membujuk anak yang akan berlatih agar orang tuanya tidak tersinggung dan marah.
Aturan-aturan adat yang mengikat seseorang berdasarkan kelas dalam masyarakat tentu saja menyulitkan Lakma Dewi dalam mentransfer ilmunya. Agar seni tradisi yang digeluti tidak hilang di telah zaman, dia kemudian beralih ruang dengan mengajar di pekon-pekon (desa) dan sekolah-sekolah di sekitar Krui. Kedua tempat tersebut dipilih karena sudah ada orang-orang yang mengkoordinasi anak-anak untuk berkumpul dan berlatih. Jadi, dia dapat langsung mengajar tanpa perlu lagi bersusah payah membujuk anak-anak agar mau belajar seni tradisi.
Lambat laun jerih payah Lakma secara perlahan membuahkan hasil. Banyak di antara anak didiknya memenangi berbagai ajang perlombaan, mulai dari tarian, nyanyian, hingga tradisi lisan. Bahkan karena terlalu sering menang, terkadang pihak panitia perlombaan sengaja "menghambat" agar peserta lain mendapat giliran sebagai pemenang. Adapun caranya adalah dengan menjadikan anak-anak didik Lakma sebagai penampil dan bukan peserta lomba. Sementara Lakma sendiri didaulat juga menjadi penampil, panitia dan atau jurinya.
Foto: ali gufron