Nur Ali Akbar adalah salah seorang pendekar Betawi yang mahir dalam berbagai macam seni bela diri. Pendekar silat yang akrab disapa Babe Nunung ini lahir di Rawabelong, Kelurahan Sukabumi Utara, Jakarta Barat, pada tanggal 15 Agustus 1948. Dia adalah bungsu dari 7 bersaudara (4 laki-laki dan 2 perempuan) anak pasangan H. Asnawi dan Hj. Julaiha (mjundi, 2011). H. Asnawi bekerja sebagai kusir delman sementara Hj. Julaiha hanya sebagai ibu rumah tangga.
Ketertarikan Nur Ali Akbar pada seni beladiri bermula ketika Sang Ayah sering bercerita tentang silat Cingkrik/cingkrig yang dimainkan oleh kakeknya di halaman rumah (belajarcerita.com). Ketertarikan ini membawanya belajar silat Cingkrik saat masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama sekitar tahun 1963. Guru pertamanya adalah murid Ki Ali, yaitu Ki Legok. Ki Ali sendiri adalah guru dari Kong Sinan dan Kong Goning (forumsilat.blogspot.co.id).
Merasa kurang hanya belajar dari satu guru saja, Nur Ali belajar lagi pada beberapa pendekar Cingkrik lain di kawasan Rawabelong, seperti Ki Ayat, Ki Umang, Ki Ajid, Bang Entong, Bang Hamdan, Ki Wahab (belajarcerita.com), dan Bang Pi'i. Menurut Pandrianto (2011), Bang Pi'i merupakan guru yang meninggalkan kesan paling mendalam pada diri Nur Ali Akbar. Oleh karenanya, dia rela berlatih tiga kali dalam sehari di rumah Bang Pi'i, mulai dari siang, sore, dan malam selepas mengaji.
Keantusiasan Nur Ali menekuni silat Cingkrik bukan ingin menjadi jawara, melainkan membela diri dan orang tua dari para jagoan yang waktu itu sering berlaku sewenang-wenang di daerah Rawabelong. Cingkrik merupakan salah satu ilmu beladiri yang dia anggap mampu mengatasi para jagoan tersebut. Ilmu beladiri cingkrik menurut forumsilat.blogspot.co.id diciptakan oleh seorang petani bernama Ki Maing pada sekitar tahun 1817-an. Waktu itu secara tidak sengaja dia melihat dan memperhatikan gerakan monyet yang cingkrak-cingkrik milik tetangganya Nyi Nasare. Si monyet dapat menghindar dari pukulan tongkat kayu dan bahkan dapat perebutnya dari tangan si pemukul.
Gerakan-gerakan sederhana si monyet tadi diolah sedemikian rupa dan diperkaya Ki Maing menjadi jurus-jurus silat yang kemudian diberi nama Cingkrik. Jurus-jurus Cingkrik diajarkan pada tiga orang yang akhirnya menjadi muridnya, yaitu Ki Ali, Ki Yazid, dan Ki Saarie. Mereka tidak hanya menerima, tetapi juga mengembangkan dan memperkaya jurus yang diperoleh dari Ki Maing. Bahkan, ketiganya juga menularkan pada generasi berikutnya. Ki Saarie misalnya, menularkan Cingkrik pada Ki Wahab. Ki Yazid mengajarkan pada Ki Ayat dan Ki Uming. Sementara Ki Ali misalnya, menularkan Cingkrik pada Ki Sinan, Ki Goning, dan Ki Legok.
Adapun jurus-jurus awal ciptaan Ki Maing, menurut Siddiq (2011) konon hanya berjumlah lima buah dengan urutan langkah satu hingga langkah lima. Pada perkembangan selanjutnya bertambah menjadi delapan dan akhirnya dua belas jurus. Jurus-jurus tersebut adalah: Langkah Beset, Cingkrik, Buka Satu, Satu Kurung, Saup, Langkah Tiga, Langkah Empat, Langkah Lima, Lok Be, Singa, Macan, dan Longok. Namun, untuk dapat mempelajari seluruh jurus tersebut, terlebih dahulu harus menguasai gerak dasar guna melatih kuda-kuda, kelincahan tangan, kaki serta kelenturan tubuh. Gerakan dasar itu diantaranya adalah: Beset Tarik, Beset Gedor, Pasang Pukul, Cingkrik, Sangkol, Rambet, Bacok Rimpes, Saup, Kodek, Seser, Kosrek/Gobrek, Tiktuk, Bendrong, Lokbe, Sikut Atas, Cakar Macan, dan Longok.
Sebagai catatan, selain mendalami silat Cingkrik, Nur Ali juga belajar seni beladiri lain, diantaranya: (1) Silat Sinding dari Kalimantan dengan guru Nurdin dan Abdul Rahman (murid dan anak Kong Niming); (2) Gerak Per dengan guru Rais Barais; (3) Beksi Betawi dengan guru Bang Kibok; (4) Kungfu dengan guru Ko Ahim dari Palmerah; (5) Silat Sabeni dengan guru Bang Juned; (6) Gerak Rasa Kari Madi aliran Cialong dengan guru Bang Usman bin Entang, Bang Marga, Bang Sain, Wijaya, dan Bang Mahmud; dan (7) Gerak Saka dengan guru Bang Pi'i dan Raden Widarma (forumsilat.blogspot.co.id).
Selama menimba ilmu pada para jawara beladiri, laki-laki lulusan SPG dan menjadi pengajar di Sekolah Dasar ini kerap dipertemukan dengan pesilat dari perguruan lain untuk adu kebolehan. Tujuannya bukanlah mencari siapa yang lebih hebat, melainkan agar mengetahui dan mempelajari jurus-jurus dari perguruan lain. Selain itu, juga untuk menjalin tali silaturrahim antarpesilat dan antarpeguruan.
Dalam pertandingan-pertandingan tersebut Nur Ali Akbar selalu dapat mengalahkan lawannya. Oleh karena itu, namanya pun menjadi tersohor di seantero Jakarta. Menurut Pandrianto (2011), karena kepiawaian Nur Ali dalam memperagakan jurus-jurus silat hingga membuat lawan bertekuk lutut, dia kemudian dijuluki sebagai Si Tangan Setan. Sebuah julukan yang dapat membuat orang gemetar bila mendengarnya.
Mendapat julukan sebagai Si Tangan Setan tidak lantas membuatnya besar kepala. Dia tetap bersahaja kepada siapa pun karena yakin bahwa ilmunya belumlah apa-apa dan di luar sana masih banyak yang lebih hebat darinya. Yang ada dalam benak ayah dari tujuh orang anak ini hanyalah bagaimana dia dapat mengembangkan silat Cingkrik. Hasilnya, dari gerakan dasar Cingkrik dia dapat menciptakan gerakan baru yang disebut sebagai Gerak Rasa Sanalisa.
Gerak rasa sanalika yang dikembangkan oleh Nur Ali Akbar merupakan "lanjutan" gerak saka dan gerak rasa Cikalong yang diajarkan oleh Bang Pi,i. Sementara Bang Pi,i sendiri belajar dari Om Wid (Raden Widarma) yang menguasai gerak gulung budi daya, sebuah gerak yang dahulu hanya diturunkan melalui garis keluarga bangsawan Sunda di daerah Bogor. Oleh Bang Pi,i gerak gulung budi daya dimodifikasi dengan gerak per menjadi gerak saka atau akronim dari sakadaekna (Sunda: semau-maunya) (archive.kaskus.co.id).
Gerak Rasa Sanalika mengandung filosofi "Akan dan Sudah", dengan pengertian begitu lawan "akan" melakukan serangan, pesilat "sudah" melakukan gerakan terlebih dahulu untuk melumpuhkannya. Sedikit berbeda dengan Cingkrik, Gerak Rasa Sanalika lebih menekankan pada gerakan-gerakan yang lembut tetapi tetap berdaya melumpuhkan (Pandrianto, 2011). Oleh karena tidak memerlukan energi yang terlalu banyak untuk melancarkan serangan, gerak rasa sanalika dapat dimainkan oleh siapa saja, tua maupun muda. Serangan mengguanakan gerak rasa sanalika muncul melalui rasa dan reflek sehingga dapat dilakukan tanpa melihat lawan. Pesilat tidak perlu menangkis serangan, tetapi bergerak mendekat lawan dan melakukan serangan balik sehingga tidak perlu terlalu banyak mengeluarkan energi.
Masih mengikuti Bang Pi,i, Nur Ali Akbar lalu membuka perguruan sendiri yang diberi nama sesuai dengan jurus yang diciptakannya, yaitu Perguruan Silat Gerak Rasa Sanalika. Sayangnya, seni beladiri tradisional semakin hari kian sepi peminat. Bahkan Nur Ali pun tidak dapat mengarahkan seluruh anaknya untuk menggeluti silat. Hanya satu dari tujuh orang anaknya yang mau mengikuti jejak Nur Ali menekuni dan menjadi guru silat gerak rasa sanalika.
Agar seni beladiri tradisional Betawi tetap bertahan, sebagai salah seorang sesepuh silat Betawi Nur Ali Akbar mencetuskan "pertemuan" aliran silat dengan menghimpun, mengundang, dan mengadakan pagelaran antarperguruan. Adapun tujuannya agar terjalin tali silaturakhim antarpesilat dan sebagai ajang saling belajar antarperguruan. "Pertemuan" biasanya diadakan bersamaan dengan momen-momen tertentu yang diselenggarakan oleh pemerintah, seperti peringatan Maulid Nabi ataupun Ulang Tahun Kota Jakarta.
Harapan Nur Ali kegiatan temu pesilat ini dapat menjadi event rutin layaknya sejumlah festival di Jakarta, seperti Festival Kemang atau Festival Togoe. Selain itu, dia juga mengangankan pemerintah memperhatikan pegiat seni beladiri, terutama yang sudah lama berkecimpung untuk diberi status sebagai pelestari kebudayaan agar kesejahteraan mereka sedikit terangkat.
Foto: Ali Gufron
Sumber:
Pandrianto, Nigar. 2011. "Babe Nunung, Si Tangan Setan dari Rawabelong", diakses dari http://www.kompasiana.com/nigarpandrianto/babe-nunung-si-tangan-setan-dari-rawabelong_5500b89aa33311351950fa63, tanggal 25 Agustus 2017.
Mjundi. 2011. "Bang Nunung, Pendekar Silat Betawi Rawa Belong", diakses dari http://pkskebonjeruk.blogspot.co.id/2011/11/bang-nunung-pendekar-silat-betawi-rawa.html, tanggal 26 Agustus 2017.
Siddiq, Zain Ibnu. 2011. "Cingkrig Gerak Cipta - Maenpukulan Khas Betawi Rawa Belong", diakses dari http://www.silatindonesia.com/2011/05/cingkrig-gerak-cipta-maenpukulan-khas-betawi-rawa-belong/, tanggal 22 Agustus 2017.
"Gerak Rasa Sanalika", diakses dari https://archive.kaskus.co.id/thread/7090373/1, tanggal 22 Agustus 2017.
"H. Nunung Pendekar Betawi Rawa Belong", diakses dari http://forumsilat.blogspot.co.id/2012/08/tokoh-pencak-silat-betawi.html, tanggal 7 Juli 2017.
"Sang Guru Besar Silat Betawi dari Rawa Belong", diakses dari https://belajarcerita.com/2017/05/19/sang-guru-besar-silat-betawi-dari-rawa-belong/, tanggal 15 Mei 2017.