Apabila ada hama yang kini malah dijadikan sebagai maskot daerah, hanyalah luwak yang dapat melakukannya. Berkat hewan sejenis musang itu nama Kota Liwa mendunia. Bahkan, Pemerintah setempat saat ini setiap hari Jumat mewajibkan para pegawainya mengenakan batik berwarna merah khas Lampung Barat yang dihiasi taburan gambar luwak (Harjono: 2010).
Padahal, dahulu penduduk Lampung Barat (terutama para petani) menganggap luwak sebagai hama yang harus dimusnahkan. Hewan omnivora ini sering memakan buhan-buahan yang ditanam petani, seperti: kopi, pisang, pepaya, dan kakao. Dan, apabila wilayah perburuannya memasuki perkampungan penduduk luwak dapat memangsa ayam atau itik yang berada di kandang. Oleh karena itu, luwak sering diburu dan dimusnahkan menggunakan Timex (sejenis racun babi hutan).
Pencitraan luwak sebagai hama mulai bergeser ketika ada sejumlah wartawan televisi Hongkong datang ke Liwa untuk mencari kopi "olahan" luwak hutan. Dari mereka itulah, para penduduk mengetahui bahwa biji kopi yang telah diolah dalam organ pencernaan luwak ternyata memiliki nilai jual jauh lebih tinggi daripada biji kopi yang diusahakan oleh petani selama ini. Walhasil, perburuan luwak pun lebih intesif tetapi bukan untuk dibunuh melainkan ditangkarkan. Luwak menjadi binatang populer di Lampung Barat yang apabila diperdagangkan harganya dapat mencapai Rp.500.000,00 untuk jenis biasa (luwak/musang bulan) hingga Rp.1 juta per ekor untuk jenis yang mulai langka, yaitu luwak binturung atau sering disebut sebagai musang pandang (Harjono: 2010).
Sejak itu pula menggeliatlah industri kopi di Lampung Barat. Banyak daerah di kabupaten ini yang warganya mulai beralih pekerjaan menjadi pebisnis kopi luwak seperti di Way Mengaku, Liwa. Industri kopi luwak di Way Mengaku tidak didominasi oleh perusahaan nasional atau pemilik modal kuat, melainkan (dari hulu ke hilir) dilakukan oleh warga setempat dalam skala rumah tangga dengan sedikitnya ada empat merek dagang yang cukup terkenal, yaitu Kupi Musong Liwa, Raja Luwak, Ratu Luwak, dan Duta Luwak.
Salah satu merek dagang tersebut, yaitu Raja Luwak, dimiliki oleh pengusaha Gunawan Supriadi. Dahulu, Gunawan berprofesi sebagai "koordinator" (kalau tidak boleh disebut "preman") yang menguasai sejumlah lahan perparkiran di Liwa. Sosoknya lumayan ditakuti dan disegani karena sempat dua kali masuk sel akibat perselisihan soal parkir. Namun kini, orang lebih banyak mengenalnya sebagai pengusaha kopi luwak yang cukup mapan dan sukses (Harjono: 2011).
Rintisan usaha kopi luwak Gunawan bermula dari hobinya memelihara hewan-hewan liar, termasuk luwak yang diberi nama Inul dan Adam (mengambil nama pasangan penyanyi dangdut beken dan suaminya) (Harjono: 2011). Suatu hari ada seorang kawannya yang meminta izin mengurus luwaknya. Oleh Sang kawan Inul dan Adam tidak diberi makan daging ayam, melainkan kopi lalu kotorannya dikumpulkan. Penasaran melihat hal itu, Gunawan menelusurinya melalui media elektronik (internet) dan akhirnya mengetahui bahwa biji kopi yang telah diolah secara alami di dalam pencernaan luwak harganya sangat mahal (www.tribunnews.com).
Melihat adanya peluang usaha baru yang lebih menjanjikan, Gunawan segera memerintahkan para tukang parkir anak buahnya yang berjumlah 16 orang untuk mencari binatang luwak sebanyaknya. Setelah terkumpul luwan-luwak itu kemudian dipelihara di halaman belakang rumahnya. Namun, ketika ingin menjual biji kopi hasil "olahan" luwak-luwaknya Gunawan sempat terganjal persoalan pemasaran, terutama masalah hak paten yang mencapai belasan juta rupiah dan isu fatwa haram meski akhirnya ditarik kembali (Harjono: 2010).
Untuk mengatasinya dia terpaksa menawarkan kopi luwak yang diberi merek dagang "Raja Luwak" secara gerilya dari kafe ke kafe dan dari hotel ke hotel di sekitar Liwa. Dan, agar lebih menarik minat pembeli, Gunawan kadang membawa luwak jinak yang masih anak supaya pembeli percaya bahwa kopi yang dijualnya benar-benar hasil olahan binatang luwak (www.pengusaha.us).
Lambat laun usaha Gunawan mulai berkembang dengan jumlah luwak dapat mencapai 60 ekor bila sedang musim Kopi dengan omzet antara 20 kilogram hingga 2 kuintal per bulan dalam bentuk brenjelan. Sedangkan pada hari-hari biasa jumlah luwak yang dipelihara hanya sekitar 26 ekor. Sisanya ada yang diserahkan pada para pengusaha binaannya dan ada pula yang dilepasliarkan kembali. Gunawan bertransformasi dari seorang preman menjadi jutawan "Raja Luwak". Usaha kopi luwaknya kini telah mampu menembus pasar kopi kelas atas di Indonesia dan mancanegara, antara lain Jepang, Korea, Hongkong, dan Kanada (banyakbaca.com). Hal ini karena kopi luwak, khususnya dari Liwa, memiliki reputasi teramat baik, dan bahkan disebut-sebut sebagai salah satu kopi termahal dan terlangka di dunia.
Sukses menjadi pengusaha kopi Luwak tidak membuat Gunawan "lupa daratan" dan ingin memonopoli peredaran kopi luwak di Liwa. Hal ini dia buktikan dengan cara membantu para pengusaha kopi luwak lain yang tinggal di sekitarnya agar tidak terjebak dengan keterbatasan modal dan kendala lainnya sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan mereka. Keterbatasan modal merupakan masalah utama yang dihadapi pengusaha kopi luwak sehingga banyak yang gulung tikar. Mereka kurang mampu memutar modal usaha karena permintaan pasar belum rutin sementara biaya operasional (pemeliharaan luwak) relatif tinggi (sekitar Rp 1,6 juta per bulan per ekor). Kendala lainnya adalah maraknya peredaraan kopi luwak palsu di berbagai kota di Indonesia sehingga pengusaha kopi luwak asli kalah bersaing karena produknya lebih mahal.
Untuk mengatasi segala persoalan pengusaha kopi luwak tersebut Gunawan mencoba mengkoordinir para pengusaha kopi luwak di sekitar rumahnya, Gang Pekonan, Way Mengaku. Sebagian besar di antara mereka adalah para pemula yang tidak memiliki pasar ataupun merek dagang sendiri. Adapun caranya adalah dengan menampung sebagian kopi mereka lalu menjualnya dengan mereka dagang "Raja Luwak". Setiap pengusaha binaan Gunawan diwajibnya menyetor sejumlah 5 kilogram kopi dalam bentuk brenjelan (masih berupa kotoran). Selain itu, mereka juga diharuskan membayar iuran yang nantinya akan difungsikan sebagai bantuan permodalan khususnya untuk membeli kandang dan luwak bagi pengusaha kopi luwak yang masih belum mapan. Bagi Gunawan, keberadaan budidaya kopi luwak tidak hanya dapat memberikan nilai tambah yang mensejahterakan dirinya dan orang lain di sekitarnya tetapi juga menyelamatkan binatang luwak itu sendiri yang populasinya dahulu sempat terancam karena dianggap sebagai hama. (Gufron)
Foto: https://indonesiaproud.wordpress.com/2011/01/19/gunawan-supriadi-raja-kopi-luwak-dari-liwa/
Sumber:
Harjono, Yulvianus. 2010. "Dulu Dianggap Hama, Kini Jadi Maskot", diakses dari http://handsbusiness. blogspot.co.id/2010/12/dulu-dianggap-hama-kini-jadi-maskot.html, tanggal 10 Juni 2016.
----------------. 2011. "Raja Kopi Luwak", diakses dari http://sains.kompas.com/read/2011/01/ 19/10333359/.Raja.Kopi.Luwak, tanggal 10 Juni 2016.
"Mantan Preman Jadi Raja Kopi Luwak", diakses dari http://www.tribunnews.com/regional /2011/01/19/mantan-preman-jadi-raja-kopi-luwak?page=4, tanggal 12 Juni 2016.
"Dahsyat, Mantan Preman Sukses Jadi Milyuner Berkat Usaha Kopi Luwak", diakses dari http://www.banyakbaca.com/dahsyat-mantan-preman-sukses-jadi-milyuner-berkat-usaha-kopi-luwak, tanggal 12 Juni 2016.
"Gunawan Mantan Preman Sekarang Jadi Raja Kopi", diakses dari http://www.pengusaha.us/ 2015/01/gunawan-mantan-preman-sekarang-jadi.html, tanggal 13 Juni 2016.