(Cerita Rakyat DKI Jakarta)
Alkisah, tersebutlah seorang laki-laki bernama Bener. Oleh karena tinggal di daerah pantai, pekerjaannya tiada lain adalah sebagai nelayan. Setiap hari dia pergi ke laut berbekal bekatul sebagai umpan dan sebuah kail berukuran sedang. Namun, setiap hari pula dia selalu bernasib sial. Tidak pernah seekor ikan pun dia dapat, sementara umpannya selalu habis. Hal ini membuat konsentrasi ikan di tempatnya biasa memancing menjadi bertambah banyak. Mereka berebut memakan umpan yang seakan diberikan secara cuma-cuma.
Raja Ikan yang mengetahui keadaan tersebut segera mengumpulkan rakyatnya. "Setiap hari kalian telah diberi makan oleh pengail itu. Apakah kalian tidak menyayanginya?" tanya Sang Raja Ikan ketika mereka telah berkumpul.
Seekor cucut yang bijaksana segera mengerti maksud pertanyaan Sang Raja Ikan. "Wahai Raja, umurku sudah uzur dan tidak berguna lagi. Aku ingin menyerahkan diriku pada Si Pengail karena dia telah memberiku makan setiap hari," katanya.
"Baiklah, Cucut. Sekarang engkau telan intan ini dan pergilah ke tempat dia biasa memancing," kata Raja Ikan.
Tanpa berkata lagi Cucut menelan intan sebesar kepala manusia yang diberikan oleh Raja Ikan. Selanjutnya, dia pergi menuju ke tempat Si Bener yang kebetulan sedang memancing. Cucut menghampiri mata kailnya dan kemudian memakannya sehingga menimbulkan sentakan kuat pada jorang Si Bener.
Terkejut karena baru pertama kali merasakan sentakan jorang, Si Bener langsung berdiri dan berusaha menarik kailnya. Tidak berapa lama setelahnya, dari kejauhan tampaklah seekor ikan cucut luar biasa besar dengan bagian bibir tersangkut mata kail. Ikan itu tidak memberikan perlawanan, walau sebenarnya dia dapat saja mematahkan jorang Si Bener dengan sangat mudah.
Pada saat cucut telah tertangkap, Si Bener melihat ada sebuah perahu nelayan melintas. Dia segera berteriak memanggil Sang nakhoda agar merapat ke dermaga. Setelah perahu merapat, entah mengapa, Si Bener meminta tolong pada Sang Nakhoda agar mengantarkan cucut hasil tangkapannya sebagai persembahan kepada Raja negeri seberang.
"Baiklah," kata Sang Nakhoda sambil memberikan isyarat pada juru mudi untuk melanjutkan perjalanan.
Sesampainya di negeri seberang, entah mengapa pula, Sang Nakhoda datang menghadap Raja Seberang sambil membawa persembahan yang diberikan oleh Si Bener. Padahal, Si Bener hanyalah golongan orang kebanyakan yang secara kebetulan dijumpainya ketika sedang berlayar. Jadi, dia dapat saja menjual Cucut itu dan diaku sebagai hasil tangkapannya di laut.
"Siapa yang telah berani memberiku seekor ikan bau ini, wahai Nakhoda?" tanya Sang Raja sambil menekan-tekan perut ikan itu.
"Kalau tidak salah namanya Bener, Baginda," jawab Nakhoda.
Namun, ketika Raja hendak murka karena merasa dilecehkan, tiba-tiba tongkatnya menyentuh sebuah benda keras dari dalam tubuh ikan. Benda itu sangat licin sehingga ketika terkena tongkat langsung melesat keluar dari mulut Cucut. "Astaga, ini adalah intan terbesar yang pernah aku lihat," kata Sang Raja setengah berteriak.
"Nakhoda, aku ingin menitipkan sebuah peti berisi emas untuk engkau berikan pada Si Bener sebagai imbalan atas persembahannya," sambung Sang Raja.
"Baik, Baginda," jawab Sang Nakhoda.
Keesokan harinya, setelah menjual hasil tangkapannya, Nakhoda yang sangat jujur ini kembali berlayar menemui Si Bener. Dia sama sekali tidak memiliki niat menyelewengkan peti berisi kepingan emas itu. Padahal, apabila tidak diberikan pada Si Bener nisacaya tidak ada yang tahu. Bahkan, Si Bener sendiri pun sebenarnya juga tidak mengetahui kalau di dalam perut ikan yang dikailnya terdapat intan sebesar kepala manusia.
Sesampainya di dusun Si Bener, Sang Nakhoda langsung menyerahkan peti emas pemberian Raja Seberang kepada Si Bener yang kebetulan sedang mengail ikan di dekat dermaga. Setelah membuka petinya bukan main senang hati Si Bener. Dia lalu menyerahkan sebagian keping emas itu kepada Sang Nakhoda sebagai imbalan atas jasanya, sementara sisanya dibawa pulang. Dan, sebagaimana layaknya orang kaya baru, dalam waktu singkat Si Bener telah memiliki sebuah rumah besar, ratusan hewan ternak, serta puluhan hektar sawah dan ladang.
Berita tentang Si Bener yang mendadak menjadi kaya raya karena diberi hadiah dari Raja seberang lautan tentu saja cepat tersebar ke seluruh pelosok negeri. Mereka ada yang turut senang karena menilai bahwa Si Bener orang jujur dan ada pula yang iri sekaligus dengki. Salah seorang di antara mereka adalah Raja yang memerintah di negeri tempat Si Bener tinggal. Dia merasa tersaingi karena Si Bener hampir menyamai kekayaan dirinya. Oleh karena itu, dia berusaha mengatur siasat agar dapat menguasai seluruh harta kekayaan Si Bener. Adapun caranya adalah dengan memaksa Si Bener mengumpulkan selaksa jarum yang dahulu jatuh ke laut sewaktu berada dalam perahu dagang milik Raja. Apabila tidak dapat mengumpulkan seluruhnya, maka hukum pancunglah yang akan menantinya.
Si Bener yang mendapat perintah demikian langsung kecut hatinya. Manalah mungkin dia dapat menemukan jarum-jarum kecil yang telah lama berada di dasar samudera. Tetapi dia terpaksa mematuhi perintah Sang Raja karena bila tidak, maka nyawanyalah yang akan melayang. Dengan langkah guntai dia berjalan menuju tempatnya biasa memancing. Di tempat itu dia duduk termenung putus asa sambil memikirkan nasibnya yang malang.
Keputusasaan yang tercermin dari raut muka Si Bener ternyata dilihat oleh Raja ikan. Dia lalu mendatangi Si Bener dan berkata, "Wahai Pengail, mengapa engkau tampak murung? Apakah engkau sudah tidak memiliki bekatul lagi untuk dijadikan umpan?"
"Bukan," jawab Si Bener singkat. Dia tidak sadar kalau ikan itu dapat berbicara.
"Apa kailmu patah?" tanya Raja ikan menyelidik.
"Bukan juga. Aku diperintahkan oleh Raja untuk mencari selaksa jarum yang dulu pernah tenggelam," jawab Si Bener.
"Hahaha..hanya itu? Engkau tunggu saja di sini wahai Pengail. Aku akan mencarinya untukmu. Jangan kemana-mana!" jawab Raja Ikan.
Setelah berkata demikian, Raja Ikan segera mengumpulkan seluruh rakyatnya untuk mencari dan mengumpulkan selaksa jarum milik Raja darat. Tidak berapa lama kemudian, seluruh jarum telah terkumpul dan diserahkan kepada Si Bener. Oleh Si Bener, jarum dibawa menggunakan sebuah peti untuk diserahkan kepada Raja. Raja yang terkejut melihat perintahnya dapat dilaksanakan dengan mudah, Raja lalu menitah lagi mengambil pedang wulung yang ikut tenggelam bersama jarum. Tanpa membantah Si Bener kembali ke pantai dan meminta pertolongan kepada Raja Ikan.
"Pedang wulung adalah milik Raja Buaya. Engkau bilang saja kalau pedang itu sudah ada di muara. Rajamu tinggal mengambilnya saja. Biarlah nanti dia yang berhadapan dengan Raja Buaya," kata Raja Ikan panjang lebar.
Singkat cerita, Si Bener menghadap Raja lagi dan mengatakan bahwa pedang wulung telah berada di muara. Raja dipersilahkan untuk mengambilnya karena Raja Buaya sendirilah yang akan memberikannya. Raja pun menuruti perkataan Si Bener. Bersama para pengawalnya dia pergi menuju muara. Di sana dia duduk bersila sambil menanti kedatangan Raja Buaya. Tidak berapa lama kemudian Raja Buaya muncul dari permukaan air dan mulai mendekat. Dan, ketika telah berhadapan, tanpa berkata-kata Sang Raja Buaya langsung dan menyeretnya ke dalam air. Raja pun akhirnya mati mengenaskan.
Diceritakan kembali oleh Gufron