(Cerita Rakyat DKI Jakarta)
Alkisah, pada zaman dahulu kala hidup seorang gadis cantik jelita bernama Jenab. Dia tinggal hanya dengan ibunya di sebuah rumah besar dan indah warisan Sang Ayah. Sebagai anak semata wayang Jenab selalu dimanja oleh orang tuanya. Segala kehendaknya dikabulkan. Oleh karena itu dia pun tumbuh menjadi seorang yang angkuh, sombong dan memandang rendah orang lain. Sifat inilah yang membuat Jenab sulit mendapatkan jodoh. Padahal, banyak sekali pemuda yang tergila-gila akan kecantikannya. Tetapi ketika mencoba mendekati selalu ditolak mentah-mentah tanpa alasan jelas.
Sang Ibu mulai cemas melihat Jenab yang sudah seharusnya memasuki usia perkawinan, menyarankan agar dia memilih salah seorang laki-laki yang pernah datang mendekati. Tujuannya adalah agar dia tidak menjadi perawan tua dan Sang Ibu dapat segera menimang cucu.
"Siapa aje yang pernah kemari?" tanya Jenab ketika Sang Ibu menyarankannya memilih salah seorang pemuda yang pernah mendekati.
"Si Ayub," jawab Sang Ibu singkat.
"Si Ayub orangnya Jelek. Pendek. Idup lagi!" jawab Jenab ketus
"Kalo Mat Bongkar gimane? Die tinggi gede," tanya Sang Ibu.
"Mat Bongkar idungnye pesek. Item lagi. Banyakan maen layangan kali tuh orang," jawab Jenab lebih ketus.
"Ya, udah. Terserah lu aja dah!" kata Sang Ibu jengkel sambil beranjak menuju dapur.
Lain hari, ketika Jenab sedang asyik menyapu teras rumah lewatlah seorang pemuda bernama Roing. Tanpa sengaja, tiba-tiba gulungan kertas yang disapu Jenab terlontar jauh hingga jatuh tepat di kaki Roing. Dia lalu menoleh dan ingin marah kepada orang yang melempar kertas ke arahnya. Namun ketika melihat paras cantik Jenab, amarah Roing segera reda. Dia pun menghampiri.
"Maap, ada yang bisa aye bantu?" tanya Roing lembut setelah mereka berhadapan.
"Lu siapa? Kenal juga kagak. Kurang ajar bener," jawab Jenab seenaknya.
Mendengar jawaban Jenab yang seperti itu membuat Roing menjadi sakit hati. Dia langsung berlalu begitu saja tanpa pamit atau mengucapkan sepatah kata pun. Di sepanjang jalan menuju rumah hatinya terus bergejolak karena sakit mendengar ucapan Jenab yang tidak disangka-sangka. Sesampai di rumah dia lalu berwudlu dan sholat untuk meredakan sakit hatinya. Setelah itu dia tidur. Dalam tidurnya dia bermimpi didatangi oleh seorang lelaki tua bersorban dan berjanggut putih. Sang lelaki tua berkata bahwa dia tidak perlu sakit hati dengan Jenab karena suatu saat nanti pasti akan mendapat balasan yang setimpal atas kesombongannya.
Beralih dari Jenab dan kisah kesombongannya, di lain tempat ada seseorang yang ingin menjadi pencuri kawakan dan disegani. Untuk itu, dia lalu mempelajari ilmu hitam di sebuah gunung angker dengan cara bertapa. Setelah melalui berbagai macam gangguan dan godaan akhirnya sukses menjalankan tapa bratanya. Sebagai imbalannya, pada malam terakhir dia didatangi oleh Sang Penguasa Gunung bernama Jin Afrit. Jin Afrit kemudian memberinya ilmu hitam dengan syarat seumur hidup tidak boleh menikah. Apabila dilanggar, maka akan dikutuk menjadi seekor buaya.
Setelah ilmu hitam diterima dia turun gunung dan kembali ke kampung. Tidak lama berselang dia mulai menjalankan aksi dengan mencuri ke berbagai kampung di seluruh negeri. Hasilnya, tanpa pernah sekali pun tertangkap, dia juga menjadi orang kaya dan terpandang di kampungnya. Banyak para orang tua yang datang dan menginginkannya menjadi menantu. Tetapi karena telah terikat perjanjian dengan Jin Afrit, dengan serta merta ditolaknya seluruh keinginan para orang tua tersebut. Padahal, di dalam hati sebenarnya begejolak keinginan untuk berumah tangga dan memiliki keturunan.
Pada suatu hari ketika sedang melakukan penyelidikan pada rumah-rumah yang akan menjadi target operasinya, dia melihat Jenab yang kebetulan sedang menyapu. Mata mereka beradu pandang. Tetapi hanya sesaat karena Jenab langsung memalingkan muka dan masuk ke dalam rumah. Tertarik melihat kecantikan dan kemolekan Jenab, Si Pencuri singgah di sebuah warung dan bertanya pada pemiliknya tentang Jenab.
"Dia Jenab. Cantik, tapi belagu orangnya. Kalo ada laki yang ngedeketin pasti ditolak," jawab pemilik warung.
Jawaban pemilik warung membuat Si Pencuri merasa tertantang. Dia jadi lupa kalau masih terikat "kontrak" dengan Jin Afrit. Dalam pikirannya yang ada adalah bagaimana caranya agar dapat menaklukkan gadis cantik jelita dan berbadan sintal itu. Agar niatnya cepat terlaksana, tanpa membuang waktu lagi dia bergegas menuju rumah Jenab. Sesampai di sana tanpa basa basi Si Pencuri mengutarakan maksudnya kepada ibu Jenab. Sang Ibu tidak dapat memutuskan menolak atau menerima lamaran Si Pencuri. Disuruhnya Si Pencuri menunggu sejenak, sementara dia masuk ke rumah untuk memberitahu Jenab. Dan, secara tidak disangka-sangka Jenab yang dari tadi mendengarkan percakapan mereka segera saja menerima lamaran Si Pencuri. Rupanya, ketika mata mereka beradu pandang Jenab juga jatuh hati pada Si Pencuri.
Beberapa minggu setelah lamaran diterima diadakanlah sebuah pesta perkawinan besar selama tiga hari tiga malam. Jenab dan Si Pencuri resmi menjadi pasangan suami-isteri. Tidak lama kemudian Jenab hamil dan melahirkan seorang bayi laki-laki. Mereka memberinya nama Mi'ing. Mi'ing tumbuh menjadi seorang anak yang tampan, namun sama seperti orang tuanya, memiliki tabit buruk. Dia hanya mau bermain dengan anak orang kaya saja dan suka mengambil atau bahkan merampas barang milik orang lain. Tabiat buruk ini akhirnya membuat dia cilaka dan cacat seumur hidup akibat terkena bacokan saat kepergok mencuri buah di rumah tetangga.
Selepas kejadian itu, datang lagi musibah lebih besar. Sesuai janji, Jin Afrit datang untuk menghukum Si Pencuri yang telah mengingkari "kontrak" untuk tidak menikah seumur hidup. Dia tidak hanya menghukum Si Pencuri saja, tetapi juga Si Mi'ing dan mengembalikan seluruh harta benda yang telah di curi ke tempat asalnya. Si Pencuri dihukum menjadi buaya besar dan Si Mi'ing menjadi buaya muda yang butung ekornya (karena cacat).
Melihat hal ini Jenab menangis sejadi-jadinya. Dia tidak menyangka kalau suami dan anaknya dapat berubah menjadi buaya. Selain itu, harta benda pun ludes tanpa menyisakan apa-apa. Namun apalah daya, nasi telah menjadi bubur (tanpa suwiran ayam, kecap, dan kerupuk ^_^). Jenab hanya bisa pasrah saat melihat orang-orang yang disayangi merayap keluar dari rumah menuju sungai.
Singkat cerita, sejak itu Jenab menjadi pemurung sehingga wajahnya cepat sekali berkeriput dan menyerupai nenek-nenek. Untuk menghibur diri, pada saat-saat tertentu dia pergi ke tepi sungai menemui suami dan anaknya. Tetapi hanya beberapa bulan saja mereka dapat berkumpul. Selebihnya yang datang hanyalah Si buaya buntung, sementara buaya tua yang lebih besar telah tewas di tangan warga ketika hendak memangsa seseorang yang sedang buang hajat di sungai.
Diceritakan kembali oleh Gufron