Jenis-jenis Rumah Tradisional Orang Sasak di Lombok
Jenis-jenis rumah tradisional orang Sasak yang ada di Pulau Lombok, di antaranya adalah: rumah tempat tinggal, bangunan tempat menyimpan, dan rumah ibadah. Berikut ini akan diuraikan ketiga jenis rumah tradisional tersebut.
a. Rumah Tempat Tinggal
Rumah tradisional orang Sasak pada umumnya berbentuk rumah panggung (bale-bale) atau menggunakan bataran3 rumah yang tinggi dengan atap dan bubungan yang terbuat dari alang-alang (jerami). Bentuk atapnya menyerupai bentuk rumah limasan, namun ditambah emper sebagai atap serambi. Sedangkan, dinding rumah terbuat dari anyaman bambu (gedek) dan tanpa jendela.
Bagian depan rumah (serambi/sesangkok) dibuat terbuka atau tanpa dinding dan dibagi menjadi dua bagian, yaitu bataran lantar (panjang) dan bataran kontek (pendek). Bagian serambi rumah ini kadang juga digunakan untuk menerima tamu. Sebagai catatan, sebagian rumah tradisional masyarakat Sasak juga memiliki ruang tamu khusus yang letaknya di depan serambi rumah. Ruang tamu khusus ini dapat dibagi menjadi tiga bentuk, yaitu: (1) sekepat (ruang tamu yang bertiang empat dan beratap piramid). Di ruangan ini dipasang lasah atau tempat duduk yang terbuat dari bambu yang tingginga sekitar 75 cm; (2) beruga atau sekenam (ruang tamu yang bertiang enam buah dan atapnya berbentuk limasan); dan (3) bale jajar yang bentuknya menyerupai beruga namun dibawahnya memiliki bataran tanah.
Pada bagian dalam rumah terdapat ruang tidur yang dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu: dalem bale (ruang tidur biasa) dan kudok bale yang dibagi lagi menjadi amben pengalu (kamar pengantin atau sering juga dipakai sebagai kamar gadis) dan amben pengak (tempat melahirkan). Di ruang tidur ini terkadang juga terdapat para-para (sempara) yang digunakan sebagai tempat menyimpan barang-barang.
b. Rumah Tempat Penyimpanan
Di daerah Lombok, rumah tempat menyimpan tidak hanya dipergunakan sebagai lumbung padi saja, tetapi juga dapat dipakai sebagai tempat untuk menerima tamu. Rumah tempat penyimpanan ini dapat berada di muka atau belakang rumah tinggal dan dapat pula berada pada tempat khusus di luar kampung, bersama dengan lumbung-lumbung padi milik warga kampung lainnya.
Bentuk rumah tempat penyimpanan padi di daerah Lombok dapat dibagi menjadi tiga tipe, yaitu: (1) lumbung padi yang atapnya terbuat dari alang-alang yang dibuat sedemikian rupa hingga melengkung ke atas dan tiangnya berbentuk silinder dengan ujung yang dibuat mirip seperti cakram yang berfungsi sebagai penghalang tikus. Lumbung padi seperti ini banyak terdapat di Lombok bagian selatan; (2) lumbung padi yang atapnya terbuat dari alang-alang atau daun kelapa yang dibuat sedemikian rupa sehingga membentuk seperti rumah kodong, sementara tiangnya sama seperti tiang lumbung tipe pertama namun bagian tengahnya agak besar. Lumbung padi seperti ini banyak terdapat di daerah Lombok bagian timur dan biasa disebut sambi atau pantek; dan (3) dan lumbung padi yang atapnya terbuat dari alang-alang atau daun kepala dan tiangnya berbentuk silinder yang panjangnya hanya sekitar 1 meter. Lumbung padi seperti ini banyak terdapat di bagian utara Pulau Lombok dan biasa disebut sambi.
d. Rumah Ibadah
Jenis rumah ibadah orang Sasak di Pulau Lombok adalah masjid dan santren (langgar) (Hilman, 2008). Bangunan masjid tradisional, terutama yang berada di wilayah Lombok utara dan selatan, sebagian masih mendapat pengaruh dari Hindu (Meru) yang memiliki ciri-ciri: (1) atap bertopang tua atau tiga; (2) pintu masjid hanya satu yang terdapat di bagian depan; dan (3) berdinding gedek (anyaman bambu) dan tanpa jendela. Sedangkan, tiang penyangga masjid atau sake guru berada di tengah-tengah bangunan, sebanyak satu hingga empat buah. (ali gufron)
Sumber:
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1992. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara III. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
"Suku Sasak", diakses dari http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Sasak, tanggal 25 November 2014.
Hilman, Agus, "Kearifan Religi Masyarakat Lombok", diakses dari https://agushilman.wordpress.com/2008/03/17/kearifan-religi-masyarakat-lombok/, tanggal 25 November 2014.
____________________________________________________________
1. Menurut para arkeolog, sukubangsa Sasak ini telah ada di Pulau Lombok pada masa akhir zaman perunggu. Dahulu mereka hanyalah sebuah kelompok kecil yang kebudayaannya mirip dengan penduduk yang ada di wilayah Vietnam Selatan, Philipina Tengah (Pulau Pallawan), Bali (wilayah Gilimanuk), dan Sumba (wilayah Malolo). Waktu itu, kelompok tersebut hidup dan bermukim di daerah yang sekarang bernama Gunung Piring, Desa Trowai, Kecamatan Lombok Tengah.
2. Sampai akhir abad ke-19, Lombok lebih dikenal dengan nama Selaparang, menurut nama sebuah kerajaan yang terletak di Lombok Timur. Kerajaan ini semula bernama Watu Parang, kemudian berubah menjadi Selaparang yang berasal dari kata “sela” yang berarti “batu” dan “parang” yang berarti “parang”.
3. Bataran adalah alas rumah yang terbuat dari batu yang kemudian ditutup dengan tanah. Kemudian permukaannya diratakan dengan campuran tanah, sekam sebagai plester, dan setelah itu dilumuri dengan kotoran sapi atau kerbau (Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan, 1992).
1. Menurut para arkeolog, sukubangsa Sasak ini telah ada di Pulau Lombok pada masa akhir zaman perunggu. Dahulu mereka hanyalah sebuah kelompok kecil yang kebudayaannya mirip dengan penduduk yang ada di wilayah Vietnam Selatan, Philipina Tengah (Pulau Pallawan), Bali (wilayah Gilimanuk), dan Sumba (wilayah Malolo). Waktu itu, kelompok tersebut hidup dan bermukim di daerah yang sekarang bernama Gunung Piring, Desa Trowai, Kecamatan Lombok Tengah.
2. Sampai akhir abad ke-19, Lombok lebih dikenal dengan nama Selaparang, menurut nama sebuah kerajaan yang terletak di Lombok Timur. Kerajaan ini semula bernama Watu Parang, kemudian berubah menjadi Selaparang yang berasal dari kata “sela” yang berarti “batu” dan “parang” yang berarti “parang”.
3. Bataran adalah alas rumah yang terbuat dari batu yang kemudian ditutup dengan tanah. Kemudian permukaannya diratakan dengan campuran tanah, sekam sebagai plester, dan setelah itu dilumuri dengan kotoran sapi atau kerbau (Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan, 1992).