(Cerita Rakyat Nusa Tenggara Barat)
Tersebutlah sebuah cerita tentang seorang pemuda bernama Raga Dundang yang mempunyai kerbau sebanyak seratus tiga puluh ekor. Kerbau yang terbesar bernama si Pendok dan yang paling kecil diberi nama si Pendek Gendang. Kerbau-kerbau itu sering digembalakan oleh Raga Dundang di sebuah gunung yang terkenal dengan nama Gunung Tela. Akibat dari seringnya kerbau-kerbau itu mendatangi Gunung Tela, maka di salah satu bagian lereng gunung itu terbentuk sebuah alur yang dari kejauhan tampak bagaikan sebuah sungai yang membelah gunung.
Sedangkan apabila kerbau-kerbaunya ingin berkubang, maka Raga Dundang akan membawa mereka ke sebuah muara sungai yang berada di pantai yang bernama Selong. Di sanalah kerbau-kerbau itu minum dan berkubang sepuas-puasnya. Setelah puas berkubang, Raga Dundang kemudian akan menggembalakan mereka ke sebuah padang rumput yang bernama Panoq. Padang rumput yang berada di Desa Rembitan ini dipilih karena letaknya yang relatif dekat dengan muara jika dibandingkan dengan padang rumput yang ada di Gunung Tela.
Pada saat menggembalakan kerbau-kerbaunya di padang Panoq inilah ia selalu didatangi oleh seorang lelaki yang usianya baru sekitar 17 atau 18 tahun. Lama kelamaan, karena sering bertemu dan berbincang maka terjadilah suatu persahabatan di antara mereka. Dan, sejak saat itu Raga Dundang tidak lagi menggembalakan kerbau-kerbau miliknya di Gunung Tela, melainkan ke padang Panoq agar ia dapat berjumpa dan bertukar pikiran dengan lelaki muda itu.
Suatu hari saat mereka bertemu pada hari Jumat, lelaki muda itu mengajaknya untuk bersholat Jumat. Namun karena khawatir kalau kerbau-kerbaunya akan berkurang dan ia sebenarnya juga belum mengetahui secara pasti siapa lelaki muda yang menjadi sahabatnya itu, maka ia pun berkata, “Bukannya aku menolak ajakanmu itu sahabatku, tetapi apabila kerbau-kerbau ini aku tinggalkan kemungkinkan besar jumlahnya akan berkurang karena dicuri orang.”
“Mengapa hal itu engkau risaukan. Biarkanlah kerbau-kerbau itu ditempat ini. Semoga atas perlindungan Tuhan, tak seorang pun akan mengganggunya,” jawab sang lelaki muda.
“Kalau ucapanmu benar, baiklah. Aku akan turut bersamamu.”
Kedua pemuda itu pun kemudian berangkat bersama-sama menuju ke arah barat. Sang lelaki muda berjalan di depan, sedangkan Raga Dundang mengikutnya dari belakang. Sepanjang perjalanan mengikuti sahabat barunya itu Raga Dundang merasa dirinya berjalan sangat cepat di atas lautan yang luas. Dalam hatinya ia merasa heran, takjub dan sekaligus takut dengan apa yang sedang dialaminya. Namun ia tidak berani bertanya dan hanya mengikuti sahabatnya dari belakang sambil berdoa agar selamat sampai ke tujuan.
Beberapa saat kemudian sampailah mereka di sebuah masjid besar yang bertingkat dua. Sang lelaki muda lalu berkata pada Raga Dundang, “Engkau sholat di dekat pintu masuk masjid ini saja. Aku akan sholat di atas.”
“Masjid ini begitu besar dan jumlah jemaahnya pun sangat banyak. Aku khawatir kita tak dapat bertemu lagi. Dan, apabila kita tidak berjumpa kembali, bagaimana aku akan pulang?” tanya Raga Dundang.
“Jangan takut. Aku akan mencarimu. Nah, sekarang sholatlah di sini!” kata lelaki muda itu sambil berlalu meninggalkan Raga Dundang.
Singkat cerita, setelah sholat Jumat Raga Dundang hanya diam di tempatnya semula. Ia tidak berani keluar dari masjid karena takut kalau tidak dapat berjumpa lagi dengan pemuda sahabatnya. Dari tempatnya duduk ia selalu mengawasi dengan teliti setiap orang yang turun dari lantai atas masjid. Namun setelah sekian lama mengawasi, hatinya menjadi gundah karena tidak juga melihat sahabatnya.
Di saat hatinya semakin bertambah gundah, tiba-tiba ada seseorang yang menepuk pundaknya sambil berkata, “Raga Dundang marilah kita pulang.”
Mengetahui yang menepuk pundaknya adalah sahabatnya, Raga Dundang menjadi gembira. Mereka pun segera pulang kembali menuju padang Panoq. Dalam perjalan pulang itu mereka melewati lagi lautan luas hanya dengan berjalan kaki. Dan, walau langkah kakinya dirasa sangat cepat, namun ia tidak merasakan lelah sedikit pun.
Sesampainya kembali di padang Panoq Raga Dundang melihat kerbau-kerbaunya masih lengkap seperti semula. Mereka lalu berbincang sejenak di bawah sebuah pohon yang rindang hingga hari menjelang sore. Setelah itu mereka berpisah. Raga Dundang kembali ke rumah sambil menggiring kerbau-kerbaunya. Sedangkan si pemuda misterius pulang ke arah barat.
Keesokan harinya mereka bertemu kembali di padang Panoq. Saat mereka sedang asyik berbincang datanglah seorang perempuan yang diutus oleh ibu Raga Dundang untuk membawakan makan siang bagi anaknya. Setelah makanan siap dihidangkan Raga Dundang mempersilahkan lelaki itu untuk makan bersama. Lelaki muda itu hanya memakan hidangan yang berupa nasi dan sayur-mayur, sebab ia berpantang memakan lauk-pauk yang berasal dari makhluk bernyawa.
Selesai makan mereka lalu berbincang-bincang kembali sambil mengawasi kerbau-kerbau yang digembalakan. Dalam perbincangan itu Raga Dundang mengeluh pada si pemuda bahwa saat ini sedang banyak terjadi pencurian binatang ternak. Para pencuri ternak biasanya melakukan aksinya secara berkelompok, sehingga dalam sekali pencurian dapat membawa tiga atau empat ekor ternak sekaligus. Hal ini membuat dirinya menjadi khawatir, sebab agak sulit baginya apabila harus menjaga seluruh ternaknya terus-menerus sepanjang hari.
Mendengar keluh kesah Raga Dundang, sang pemuda menjadi kasihan dan kemudian mengeluarkan sebuah tongkat dari balik punggungnya untuk diberikan kepadanya. Menurutnya tongkat yang diberi nama Lego Bereng ini sangat berguna untuk menghalau orang-orang yang akan mencuri ternaknya. Namun sang pemuda mengharapkan agar tongkat yang diberikannya digunakan dengan sangat hati-hati, sebab apabila tongkat itu dipukulkan pada makhluk hidup maka yang dipukul akan berubah menjadi batu untuk selama-lamanya.
Singkat cerita, sejak diberi tongkat Logo Bereng hidup Raga Dundang menjadi lebih tenang dan tidak merasa takut lagi kalau kerbau-kerbau miliknya akan diambil orang. Namun hal itu hanya berlangsung selama beberapa minggu saja sebelum terjadi suatu malapetaka yang menimpa dirinya sendiri. Malapetaka yang menimpa Raga Dundang berawal tatkala ia sedang berada di muara sungai dekat pantai Selong untuk memandikan kerbau-kerbau miliknya. Waktu itu setelah sekian lama berkubang, si Pendok (kerbau yang terbesar) tetap tidak mau keluar dari air. Kelakuan si Pendok yang merupakan pemimpin kelompok tentu saja diikuti pula oleh teman-temannya, sehingga seluruh kerbau tetap berada di dalam air.
Melihat kejadian itu Raga Dudang menjadi heran. Biasanya apabila si Pendok sudah merasa puas berkubang ia akan mengajak kawan-kawannya ke darat untuk langsung menuju ke padang Panoq. Namun karena hari itu terlalu panas, maka mungkin si Pendok enggan untuk keluar dari kubangannya. Dan, agar si Pendok tidak berlama-lama di kubangan, maka Raga Dundang pun segera turun menghampirinya. Tetapi si Pendok tidak memperdulikan kedatangan Raga Dundang. Ia terus saja berkubang dengan enaknya.
Karena setelah dihampiri si Pendok seakan tidak peduli, maka tanpa disadari Raga Dundang memukul punggung si Pendok dengan tongkat Lego Bereng. Seketika itu juga si Pendok berubah menjadi batu. Kemudian Raga Dundang menghampiri kerbau yang ada di samping si Pendok. Namun karena kerbau itu tidak mau bangun, maka Raga Dundang memukulkan tongkatnya lagi sehingga kerbau itupun juga menjadi batu. Begitu seterusnya, satu per satu kerbaunya dipukul dengan tongkat Lego Bereng hingga seluruhnya berubah menjadi batu.
Setelah semuanya menjadi batu barulah Raga Dundang sadar akan kekhilafannya. Ia menjadi sangat menyesal dan tidak tahu harus berbuat apa. Apabila kejadian ini ia laporkan pada orang tuanya, tentu saja mereka tidak akan percaya dan menilai bahwa itu hanyalah akal-akalannya saja karena tidak dapat mempertanggung-jawabkan perbuatannya.
Oleh karena sudah sangat bingung, maka akhirnya ia memutuskan untuk memukul dirinya sendiri dengan tongkat Lego Bereng. Namun sebelum perbuatan itu dilakukan, ia mengeluarkan kata-kata wasiat yang berbunyi: “Semoga pada masa yang akan datang tempat ini berguna bagi orang banyak. Sapi, kerbau, kuda ataupun kambing yang kurus karena tak nafsu makan, akan menjadi sehat dan gemuk bila diberi minum dengan air yang dimbil dari tempat ini. Dan, apabila ada orang yang menderita encok dan sakit kepala mau meminum air dari tempat ini maka penyakitnya akan sembuh.” Selesai mengucapkan kata-kata wasiatnya, lalu tongkat Lego Bereng dipukulkan ke tubuhnya sendiri. Seketika itu juga Raga Dundang berubah menjadi batu.
Beberapa hari kemudian ketika Raga Dundang tidak kunjung pulang ke rumah, orang tuanya menjadi sangat khawatir. Oleh karena itu ibu Raga Dundang menyuruh suaminya untuk mencari ke tempat-tempat yang biasa didatangi Raga Dundang ketika sedang menggembalakan kerbau-kerbaunya. Ibunya merasa khawatir kalau Raga Dundang telah diganggu atau dicelakakan oleh kawanan pencuri ternak yang sedang marak di desanya.
Sang ayah pun segera berangkat mencari Raga Dundang. Tujuan pertamanya adalah ke Gunung Tela, namun di tempat itu ia tidak menjumpai Raga Dundang. Kemudian ia pergi lagi menuju ke padang Panoq. Di tempat itu ia berjumpa dengan pemuda misterius sahabat Raga Dundang. Ayah Raga Dundang lalu mendekati si pemuda dan bertanya, “Hai anak muda, adakah engkau melihat seorang pemuda yang biasa menggembalakan kerbaunya yang berjumlah sekitar 130 ekor di sini?”
“Dia sedang berada di muara laut Selong,” kata si pemuda singkat.
Mendengar keterangan lelaki muda itu, Ayah Raga Dundang langsung pamit untuk menuju ke laut Selong. Tetapi alangkah kecewanya ia tatkala tiba di muara laut Selong yang dijumpainya hanyalah batu-batu besar yang sebagian besar bentuknya mirip kerbau. Di antara sekian banyak batu tersebut ada sebuah batu yang mirip seperti orang yang sedang berdiri yang merupakan penjelmaan dari Raga Dundang.
Mula-mula ayah Raga Dundang merasa kesal karena tidak menemukan anaknya. Ia pun kemudian duduk di sebuah batu besar sambil memandang ke arah batu-batu yang berbentuk seperti kerbau itu. Namun setelah agak lama memperhatikan seluruh batu di tempat itu, terutama batu yang berbentuk seperti manusia sedang berdiri, maka akhirnya ia sadar bahwa batu-batu tersebut merupakan penjelmaan dari anak dan kerbau-kerbaunya. Ayah Raga Dundang menjadi terkejut setengah mati dan hampir pingsan, namun ia berhasil menguasai diri dan langsung berlari pulang untuk menceritakan kejadian itu kepada isterinya.
Sumber:
Diadaptasi bebas dari
Proyek Penerbitan dan Pencatatan Kebudayaan Daerah. 1981. Cerita Rakyat Nusa Tenggara Barat. Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.