(Cerita Rakyat Sulawesi Selatan)
La Kuttu-kuttu Paddaga adalah nama seorang pemuda yang gagah dan tampan. Ia adalah seorang yang sangat ahli bermain sepak raga, sebab pekerjaannya setiap hari tiada lain hanyalah bermain sepak raga bersama teman-temannya. Pada suatu hari ia diajak oleh teman-temannya bertandang ke desa tetangga untuk bermain sepak raga melawan para pemuda di sana. Dan, secara kebetulan lapangan yang digunakan untuk bermain berada di dekat rumah seorang gadis penenun.
Setelah beberapa lama bermain, La Kuttu-kuttu Paddaga merasa haus. Oleh karena rumah yang terdekat dari lapangan bermain adalah rumah sang gadis penenun, maka ia segera menuju ke sana dengan maksud hendak meminta air minum. Setelah naik ke rumah dan bertemu dengan sang gadis yang sedang menenun di serambi, La Kuttu-kuttu Paddaga lalu berkata, “Bolehkah saya meminta air barang seteguk?”
Si gadis yang waktu itu kebetulan sedang sendiri, segera menjawab, “Maaf, langsung ambil sendiri saja di dapur. Saya belum boleh keluar dari alat tenun ini, sebab benangnya baru saja dikanji.”
Setelah mendapat izin dari sang gadis, La Kuttu-kuttu Paddaga segera ke dapur untuk minum. Waktu kembali dari dapur dan melewati sang gadis, ia secara basa-basi bertanya, “Sarung siapa yang engkau tenun?”
“Ya, sarung kita,” jawab gadis penenun singkat.
“Ow. Ya sudah, terima kasih sudah memberi saya minum,” kata La Kuttu-kuttu Paddaga berpamintan untuk melanjutkan bermain sepak raga lagi.
Sambil berlalu dari rumah itu sebenarnya ia selalu mengingat kata-kata terakhir sang gadis yang menyatakan bahwa sarung itu adalah “sarung kita”. Dalam pikirannya, apabila sarung itu adalah “sarung kita”, maka sarung itu adalah sarung milik mereka berdua. Dan, dari situlah timbul niatnya untuk mengawini sang gadis. Namun, ia tidak mempunyai uang untuk melamarnya, sebab ia tidak bekerja alias pengangguran.
Beberapa waktu kemudian, sebelum La Kuttu-kuttu Paddaga sempat mencari uang untuk meminang, tiba-tiba ada seorang pemuda kaya yang telah memiliki pekerjaan datang meminang pada orang tua si gadis. Mendapat pinangan dari seorang pemuda kaya, tentu saja orang tua gadis itu menerimanya dengan senang hati. Sementara si gadis yang akan dikawin sebenarnya merasa tidak suka melihat pemuda itu, sebab ia tidak gagah dan buruk rupa. Namun, karena orang tuanya memaksa, maka ia pun akhirnya mau menerimanya.
Singkat cerita, perkawinan antara si pemuda kaya dengan si gadis penenun pun dilaksanakan. Setelah kawin, karena adat istiadat waktu itu melarang pengantin baru berhubungan intim sebelum empat puluh hari perkawinan, maka mereka tidak boleh tidur sekamar hingga waktu yang ditentukan berakhir. Beberapa hari sebelum masa pantang itu berakhir, si perempuan menyuruh adik laki-lakinya untuk menyembelih seekor ayam. Setelah ayam disembelih, ia meminta bagian tembolok ayam tersebut untuk dibawa ke kamarnya. Tembolok itu kemudian digembungkan lalu dikeringkan dan disimpan di bawah tempat tidurnya.
Ketika adat pantangan berhubungan intim telah berakhir, pada malam hari sang suami mulai masuk ke dalam kamarnya. Saat sang suami mematikan lampu dan ingin melampiaskan nafsunya, cepat-cepat si gadis mengambil tembolok kering dari bawah tempat tidurnya. Tembolok itu kemudian diapitkan di pahanya, sehingga secara samar-samar terlihat seperti alat kelaminnya. Terkecoh melihat “alat kelamin” isterinya yang menjijikkan dan berbau sangat busuk, sang suami menjadi kaget setengah mati. Nafsu birahinya menjadi hilang seketika dan tengah malam itu juga ia pulang lagi ke rumah orang tuanya.
Sesampai di rumah, orang tuanya yang tengah tidur menjadi terkejut. Dan, dengan mata yang masih setengah terbuka, ayahnya bertanya, “Mengapa engkau pulang, nak?”
“Wah, rugi saya kawin, ayah.” Jawab si pemuda.
“Kenapa? Ada apa dengan isterimu?” Tanya ayahnya.
“Maksud saya kawin adalah untuk memperoleh keturunan. Namun, yang saya peristeri hanyalah seorang perempuan yang telah keluar poros.” Jawab anaknya.
Mendengar jawaban itu, ayahnya segera berkata, “Ya, lebih baik kau ceraikan saja isterimu itu!”
“Baiklah. Tetapi saya sudah malu untuk kembali ke sana lagi. Bagaimana kalau ayah saja yang menceraikannya untukku?” tanya si anak.
“Ya, baiklah kalau begitu. Besok pagi aku akan ke sana.” Jawab ayahnya.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali ayah si pemuda sudah berangkat ke rumah besannya. Setelah sampai dan bertemu besannya, tanpa berbasa-basi lagi ia langsung mengutarakan maksudnya. Ayah si perempuan yang sebenarnya sama sekali tidak mengerti duduk persoalannya, namun ia juga tidak ingin berbasa-basi, segera saja menyetujui permintaan talak dari besannya. Dan, saat itu juga terjadi perceraian antara si pemuda kaya dengan si perempuan penenun. Jadi, walau telah menjadi janda, perempuan penenun itu tetap seorang gadis karena belum pernah sekalipun ditiduri oleh mantan suaminya.
Setelah mantan besannya pergi, ayah si perempuan segera memanggil dan memarahinya, “Kau apakan suamimu tadi malam sehingga mertuamu begitu panas hati?”
“Mana saya tahu, ayah. Andaikata ada perkataan saya yang menyakiti hatinya, tentu ayah juga akan mendengarnya sebab kita tinggal serumah. Mungkin memang beginilah nasib apabila seorang isteri sudah tidak disukai lagi oleh suaminya.” Jawab perempuan bersandiwara.
Beberapa waktu kemudian, La Kuttu-kuttu Paddaga mendengar kabar bahwa perempuan idamannya itu telah bercerai. Untuk memastikan kebenarannya, ia pun segera bertandang ke rumah si perempuan. Sesampai di sana, ia segera mendatangi si perempuan yang waktu itu sedang menenun seorang diri. Setelah saling berhadapan, ia langsung menanyakan perihal perceraian yang dialami si perempuan beberapa waktu yang lalu. pertanyaan itu dijawab sejujurnya oleh si perempuan dan akhirnya terjadilah percakapan yang cukup lama diantara mereka. Dalam percakapan itu, si perempuan menjelaskan hal-ihkwal perkawinannya dengan si pemuda kaya dari awal hingga akhir.
Setelah mendapat penjelasan yang sangat lengkap dari perempuan itu, akhirnya La Kuttu-kuttu Paddaga menyatakan ingin mengawininya. Si perempuan pun setuju, namun ia baru bersedia kawin setelah masa idahnya habis, sekitar 3 bulan lagi. Dan, selama masa idah itu La Kuttu-kuttu Paddaga diharapkan oleh sang perempuan untuk mencari uang guna membeli mas kawin. Namun, karena ia sudah berstatus janda, maka jumlah mahar atau mas kawin yang harus disediakan tidak perlu sebanyak apabila ia masih gadis.
Oleh karena jumlahnya tidak seberapa, dalam waktu singkat La Kuttu-kuttu Paddaga sudah berhasil mendapatkan uang untuk membeli mas kawin. Setelah masa idah si perempuan habis, La Kuttu-kuttu Paddaga datang pada orang tuanya dengan maksud untuk meminang anaknya. Dan karena anaknya sudah menjadi janda, orang tuanya pun segera menerima pinangan La Kuttu-kuttu Paddaga tanpa meminta syarat yang bermacam-macam. Singkat cerita, mereka pun kemudian menikah dan hidup bahagia. La Kuttu-kuttu Paddaga merasa bahagia karena telah berhasil mempersunting perempuan pujaannya, walau sudah menjadi janda. Sedangkan si perempuan juga merasa bahagia karena idamannya untuk memperoleh seorang pemuda yang gagah dan tampan telah terwujud, walaupun ia harus kawin dulu dengan seorang pemuda yang buruk rupa.
Sumber:
Diadaptasi bebas dari
Rasyid, Abdul dan Muhammad Abidin Nur. 1999. Cerita Rakyat Daerah Wajo di Sulawesi Selatan. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
La Kuttu-kuttu Paddaga adalah nama seorang pemuda yang gagah dan tampan. Ia adalah seorang yang sangat ahli bermain sepak raga, sebab pekerjaannya setiap hari tiada lain hanyalah bermain sepak raga bersama teman-temannya. Pada suatu hari ia diajak oleh teman-temannya bertandang ke desa tetangga untuk bermain sepak raga melawan para pemuda di sana. Dan, secara kebetulan lapangan yang digunakan untuk bermain berada di dekat rumah seorang gadis penenun.
Setelah beberapa lama bermain, La Kuttu-kuttu Paddaga merasa haus. Oleh karena rumah yang terdekat dari lapangan bermain adalah rumah sang gadis penenun, maka ia segera menuju ke sana dengan maksud hendak meminta air minum. Setelah naik ke rumah dan bertemu dengan sang gadis yang sedang menenun di serambi, La Kuttu-kuttu Paddaga lalu berkata, “Bolehkah saya meminta air barang seteguk?”
Si gadis yang waktu itu kebetulan sedang sendiri, segera menjawab, “Maaf, langsung ambil sendiri saja di dapur. Saya belum boleh keluar dari alat tenun ini, sebab benangnya baru saja dikanji.”
Setelah mendapat izin dari sang gadis, La Kuttu-kuttu Paddaga segera ke dapur untuk minum. Waktu kembali dari dapur dan melewati sang gadis, ia secara basa-basi bertanya, “Sarung siapa yang engkau tenun?”
“Ya, sarung kita,” jawab gadis penenun singkat.
“Ow. Ya sudah, terima kasih sudah memberi saya minum,” kata La Kuttu-kuttu Paddaga berpamintan untuk melanjutkan bermain sepak raga lagi.
Sambil berlalu dari rumah itu sebenarnya ia selalu mengingat kata-kata terakhir sang gadis yang menyatakan bahwa sarung itu adalah “sarung kita”. Dalam pikirannya, apabila sarung itu adalah “sarung kita”, maka sarung itu adalah sarung milik mereka berdua. Dan, dari situlah timbul niatnya untuk mengawini sang gadis. Namun, ia tidak mempunyai uang untuk melamarnya, sebab ia tidak bekerja alias pengangguran.
Beberapa waktu kemudian, sebelum La Kuttu-kuttu Paddaga sempat mencari uang untuk meminang, tiba-tiba ada seorang pemuda kaya yang telah memiliki pekerjaan datang meminang pada orang tua si gadis. Mendapat pinangan dari seorang pemuda kaya, tentu saja orang tua gadis itu menerimanya dengan senang hati. Sementara si gadis yang akan dikawin sebenarnya merasa tidak suka melihat pemuda itu, sebab ia tidak gagah dan buruk rupa. Namun, karena orang tuanya memaksa, maka ia pun akhirnya mau menerimanya.
Singkat cerita, perkawinan antara si pemuda kaya dengan si gadis penenun pun dilaksanakan. Setelah kawin, karena adat istiadat waktu itu melarang pengantin baru berhubungan intim sebelum empat puluh hari perkawinan, maka mereka tidak boleh tidur sekamar hingga waktu yang ditentukan berakhir. Beberapa hari sebelum masa pantang itu berakhir, si perempuan menyuruh adik laki-lakinya untuk menyembelih seekor ayam. Setelah ayam disembelih, ia meminta bagian tembolok ayam tersebut untuk dibawa ke kamarnya. Tembolok itu kemudian digembungkan lalu dikeringkan dan disimpan di bawah tempat tidurnya.
Ketika adat pantangan berhubungan intim telah berakhir, pada malam hari sang suami mulai masuk ke dalam kamarnya. Saat sang suami mematikan lampu dan ingin melampiaskan nafsunya, cepat-cepat si gadis mengambil tembolok kering dari bawah tempat tidurnya. Tembolok itu kemudian diapitkan di pahanya, sehingga secara samar-samar terlihat seperti alat kelaminnya. Terkecoh melihat “alat kelamin” isterinya yang menjijikkan dan berbau sangat busuk, sang suami menjadi kaget setengah mati. Nafsu birahinya menjadi hilang seketika dan tengah malam itu juga ia pulang lagi ke rumah orang tuanya.
Sesampai di rumah, orang tuanya yang tengah tidur menjadi terkejut. Dan, dengan mata yang masih setengah terbuka, ayahnya bertanya, “Mengapa engkau pulang, nak?”
“Wah, rugi saya kawin, ayah.” Jawab si pemuda.
“Kenapa? Ada apa dengan isterimu?” Tanya ayahnya.
“Maksud saya kawin adalah untuk memperoleh keturunan. Namun, yang saya peristeri hanyalah seorang perempuan yang telah keluar poros.” Jawab anaknya.
Mendengar jawaban itu, ayahnya segera berkata, “Ya, lebih baik kau ceraikan saja isterimu itu!”
“Baiklah. Tetapi saya sudah malu untuk kembali ke sana lagi. Bagaimana kalau ayah saja yang menceraikannya untukku?” tanya si anak.
“Ya, baiklah kalau begitu. Besok pagi aku akan ke sana.” Jawab ayahnya.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali ayah si pemuda sudah berangkat ke rumah besannya. Setelah sampai dan bertemu besannya, tanpa berbasa-basi lagi ia langsung mengutarakan maksudnya. Ayah si perempuan yang sebenarnya sama sekali tidak mengerti duduk persoalannya, namun ia juga tidak ingin berbasa-basi, segera saja menyetujui permintaan talak dari besannya. Dan, saat itu juga terjadi perceraian antara si pemuda kaya dengan si perempuan penenun. Jadi, walau telah menjadi janda, perempuan penenun itu tetap seorang gadis karena belum pernah sekalipun ditiduri oleh mantan suaminya.
Setelah mantan besannya pergi, ayah si perempuan segera memanggil dan memarahinya, “Kau apakan suamimu tadi malam sehingga mertuamu begitu panas hati?”
“Mana saya tahu, ayah. Andaikata ada perkataan saya yang menyakiti hatinya, tentu ayah juga akan mendengarnya sebab kita tinggal serumah. Mungkin memang beginilah nasib apabila seorang isteri sudah tidak disukai lagi oleh suaminya.” Jawab perempuan bersandiwara.
Beberapa waktu kemudian, La Kuttu-kuttu Paddaga mendengar kabar bahwa perempuan idamannya itu telah bercerai. Untuk memastikan kebenarannya, ia pun segera bertandang ke rumah si perempuan. Sesampai di sana, ia segera mendatangi si perempuan yang waktu itu sedang menenun seorang diri. Setelah saling berhadapan, ia langsung menanyakan perihal perceraian yang dialami si perempuan beberapa waktu yang lalu. pertanyaan itu dijawab sejujurnya oleh si perempuan dan akhirnya terjadilah percakapan yang cukup lama diantara mereka. Dalam percakapan itu, si perempuan menjelaskan hal-ihkwal perkawinannya dengan si pemuda kaya dari awal hingga akhir.
Setelah mendapat penjelasan yang sangat lengkap dari perempuan itu, akhirnya La Kuttu-kuttu Paddaga menyatakan ingin mengawininya. Si perempuan pun setuju, namun ia baru bersedia kawin setelah masa idahnya habis, sekitar 3 bulan lagi. Dan, selama masa idah itu La Kuttu-kuttu Paddaga diharapkan oleh sang perempuan untuk mencari uang guna membeli mas kawin. Namun, karena ia sudah berstatus janda, maka jumlah mahar atau mas kawin yang harus disediakan tidak perlu sebanyak apabila ia masih gadis.
Oleh karena jumlahnya tidak seberapa, dalam waktu singkat La Kuttu-kuttu Paddaga sudah berhasil mendapatkan uang untuk membeli mas kawin. Setelah masa idah si perempuan habis, La Kuttu-kuttu Paddaga datang pada orang tuanya dengan maksud untuk meminang anaknya. Dan karena anaknya sudah menjadi janda, orang tuanya pun segera menerima pinangan La Kuttu-kuttu Paddaga tanpa meminta syarat yang bermacam-macam. Singkat cerita, mereka pun kemudian menikah dan hidup bahagia. La Kuttu-kuttu Paddaga merasa bahagia karena telah berhasil mempersunting perempuan pujaannya, walau sudah menjadi janda. Sedangkan si perempuan juga merasa bahagia karena idamannya untuk memperoleh seorang pemuda yang gagah dan tampan telah terwujud, walaupun ia harus kawin dulu dengan seorang pemuda yang buruk rupa.
Sumber:
Diadaptasi bebas dari
Rasyid, Abdul dan Muhammad Abidin Nur. 1999. Cerita Rakyat Daerah Wajo di Sulawesi Selatan. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.