Pengantar
Nusa Tenggara Timur adalah salah satu provinsi di Indonesia. Wilayahnya terdiri atas pulau-pulau, baik besar maupun kecil. Seluruhnya berjumlah kurang lebih 550 pulau (www.wikipedia.org). Sabu adalah salah satu sukubangsa yang ada di sana. Mereka hidup di Pulau Sabu1)
Masyarakat Sabu mengembangkan desain rumah yang diwariskan dari nenek moyang mereka. Rumah bagi masyarakat Sabu, tidak hanya berfungsi sebagai tempat berlindung dari dinginnya udara malam, teriknya sinar matahari, dan derasnya air hujan, tetapi juga memiliki fungsi lain yang sangat erat kaitannya dengan kondisi sosial-budaya mereka. Oleh karena itu, selaras dengan fungsinya, mereka mengenal dan mengembangkan berbagai jenis rumah. Satu di antaranya adalah rumah adat yang oleh mereka disebut “Temukung”. Arsitektur rumah ini berbeda dengan jenis rumah lainnya (rumah biasa dan rumah ibadat). Oleh karena arsitekturnya berbeda, maka makna simbolis dan filosofis yang ada di balik bagian-bagiannya juga berbeda.
Tulisan ini mengetengahkan bentuk, bagian-bagian, makna simbolik dan filosofis yang ada dalam sebuah rumah temukung.
Jenis, Bentuk dan Bagian-bagian Rumah Temukung Beserta Makna Simboliknya
Rumah temukung termasuk dalam kategori rumah panggung. Rumah yang bentuknya empat persegi panjang ini bagian-bagiannya ada yang bermakna filosofis dan ada yang non-filosofis (fungsional belaka). Bagian-bagian itu adalah: atap, bangngu (balok lok bubungan), tiang-tiang gela yang berfungsi sebagai penopang bangngu, dinding, pintu, tangga, dan kelaga (balai-balai). Untuk lebih jelasnya, berikut ini bagian-bagian itu akan diuraikan satu-persatu.
Atap
Atap rumah temukung menyerupai perahu yang terbalik. Oleh karena itu, Orang Sabu menyebut atap rumah temukung sebagai “atap perahu terbalik”. Bentuk atap yang menyerupai perahu terbalik ini sangat erat kaitannya dengan kehidupan mereka yang selalu berhubungan dengan laut (tidak dapat dipisahkan dari laut). Dalam kehidupan sehari-hari, perahu tidak hanya sekedar sebagai alat transportasi ke dan dari pulau-pulau yang ada di sekitarnya, tetapi juga sebagai alat untuk mencari ikan dan sekaligus sebagai tempat berlindung di lautan. Mengingat bahwa perahu demikian berartinya bagi Orang Sabu, maka ketika mereka membuat rumah, atapnya dibuat menyerupai perahu (perahu yang terbalik). Ini adalah simbol bahwa kehidupan mereka tidak lepas dari laut. Malahan, bukan atap rumah saja, menyebut suatu kampung atau kumpulan kampung pun dengan istilah ree kowa (kampung perahu).
Balok Lok Bubungan
Istilah lain yang sering digunakan oleh Orang Sabu untuk menyebut balok lok bubungan adalah “bangngu”. Bangngu sangat erat kaitannya dengan atap karena ukuran atap ditentukan oleh bagian ini. Bentuk bangngu pada tipe rumah temukung dan rumah biasa dapat dibagi menjadi dua, yaitu: ammu ae roukoko (bangngu yang sama ukurannya dengan badan rumah) dan ammu iki (bangngu yang ukurannya 3/5 dari panjang badan rumah)2). Bangngu ini dipasangi kayu-kayu yang posisinya menurun ke arah samping kiri dan kanan sampai ke tepi tiris, sehingga bentuknya menyerupai segi tiga. Kayu-kayu tersebut oleh mereka disebut worena (usuk besar). Dalam sebuah rumah, baik temukung maupun rumah biasa, jumlahnya selalu ganjil. Sebutan untuk jumlah worena dalam sebuah rumah sesuai dengan bahasa deret hitung mereka. Jadi, jika jumlah worenanya ada tiga buah, maka disebut “wo tallu”; jika ada lima buah disebut “wo pidu”; jika ada tujuh buah disebut “wo heo”; dan seterusnya.
Di atas worena dipasangi kayu-kayu yang arahnya melintang. Kayu-kayu ini oleh Orang Sabu disebut “reng” atau “badu”. Jumlah badu yang ada di bagian depan rumah selalu ganjil (9, 11, dan 21), sedangkan yang ada di bagian belakang rumah selalu genap (10,12, dan 22). Ganjil dan genapnya jumlah badu mengandung makna tersendiri. Ganjil merupakan simbol: kiri, belakang, adik, dan perempuan. Sedangkan, genap merupakan simbol: kanan, depan, kakak, dan laki-laki. Artinya, dalam struktur sosial masyarakat Sabu seorang kakak laki-laki mempunyai kedudukan dan peranan yang penting, baik dalam keluarganya maupun masyarakatnya.
Tiang-tiang Rumah Temukung/Gela (Tiang Penopang Bangngu)
Jumlah gela ada dua buah. Satu ada di ujung kiri dan satunya lagi ada di ujung kanan bangngu. Di antara kedua gela itu ada ruang terbuka (kosong). Orang Sabu menyebut ruang itu “roa ammu”. Gela biasanya terbuat dari kayu kola, kayu merah, kayu jati, kayu pohon lontar, kayu pohon kelapa, ajumaddi (kayu hitam) dan aju bahhi (kayu besi). Kayu lainnya dianggap kurang baik.
Selain gela yang berfungsi sebagai penopang bangngu ada tiang-tiang yang fungsinya untuk menopang atap secara keseluruhan. Jumlahnya sekitar 8--10 buah. Tiang-tiang yang jenis kayunya sama dengan gela dibentuk bulat dengan panjang kurang lebih 3 sampai 4 meter. Ujungnya dibentuk runcing, sedangkan pangkalnya dipotong rata. Ujungnya yang runcing itu dimasukkan pada lubang yang dibuat pada kebie (balok penindas), sedangkan pangkalnya ditanamkan dalam tanah. Tiang-tiang tersebut ada yang ditanamkan dalam tanah (geri) dan ada yang ditumpukan di atas balok (tiang-tiang yang terdapat di gela). Di antara tiang-tiang itu ada dua tiang yang oleh Orang Sabu dianggap sebagai “tarru” (tiang utama), yaitu “tarru duru” (tiang laki-laki/tiang haluan) dan “tarru wui” (tiang perempuan/tiang buritan). Agar kedua tiang utama itu, satu dengan lainnya tidak kelihatan, maka dibuatkan dinding pemisah. Ini penting karena menurut mereka tarru duru tidak boleh “terlihat“ oleh taru wui.
Sementara itu, tiang-tiang lainnya, seperti tiang-tiang penyangga loteng dan tiang penyangga balok-balok lainnya diberi nama menurut pembagian utama dalam rumah temukung, yaitu duru dan wui. Sedangkan, tiang penyangga yang melebar ke tiris, dinamakan hubu (moncong). Tiang moncong itu sendiri ada yang disebut “moncong duru” dan “moncong wui”. Ujung duru maupun wui dibuat agak melengkung. Bentuk seperti ini oleh mereka disebut “tebakka”. Fungsinya sebagai “jalan nafas” rumah.
Lepas dari masalah pemasangan dan penamaan dari berbagai tiang yang terdapat pada rumah temukung, yang jelas bahwa pembulatan dan peruncingan tiang tidak hanya sekedar bagian dari teknologi tradisional yang mereka terapkan dalam pembuatan sebuah rumah temungkus. Akan tetapi, ada makna simbolik yang mengacu pada pandangan tentang alam semesta yang bersifat dikotomis. Dalam konteks ini tiang yang berbentuk bulat dengan ujung yang runcing sebagai simbol laki-laki, sedangkan kebie (balok penindas) sebagai simbol perempuan.
Kelaga (Balai-balai)
Orang Sabu menyebut lantai rumah temukung sebagai kelaga (balai-balai). Kelaga terbagi dalam tiga bagian, yaitu: kelaga rai (balai-balai tanah), kelaga ae (balai-balai besar) dan kelaga dammu (balai-balai loteng). Bagian-bagian tersebut sangat erat kaitannya dengan kepercayaan mereka tentang dunia. Menurut mereka “dunia” terbagi dalam tiga bagian, yaitu: rai dida-liru bala (dunia para dewa), rai wawa (dunia manusia), dan rai menata (dunia para arwah).
Kelaga rai terdapat di sepanjang sisi bagian depan atau bagian kanan rumah3). Kelaga yang ketinggiannya dari permukaan tanah sekitar 0,50--0,75 meter ini terbagi dalam dua bagian, yaitu: kelaga rai duru dan kelaga rai wui. Kelaga rai duru adalah kelaga yang berada di bagian kiri rumah yang disimbolkan sebagai “laki-laki”. Oleh karena itu, kelaga ini hanya untuk menerima tamu laki-laki. Sedangkan, kelaga rai wui adalah bagian kelaga yang disimbolkan sebagai “perempuan”. Kelaga ini disamping untuk menerima tamu perempuan, juga digunakan untuk bekerja (menganyam atau menenun).
Kelaga ae yang merupakan balai-balai besar terletak di atas balok-balok utama. Kelaga yang ketinggiannya sekitar 1,00--1,50 meter dari permukaan tanah ini juga terbagi atas dua bagian: duru (laki-laki) dan wui (perempuan). Di dalam kelaga ae ini ada empat balok utama (ae) yang menopang kelaga dammu (balai-balai loteng). Kelaga ini biasanya digunakan sebagai tempat makan bagi para anggota rumah maupun tamu. Dan, sama seperti kelaga rai, kaum laki-laki akan makan di bagian duru, sedangkan kaum perempuan akan makan di bagian wui.
Kelaga dammu (balai-balai loteng) terletak di bagian wui rumah. Kelaga ini tertutup dengan tabir yang terbuat dari ketangan rohe (daun kelapa), sehingga terlindung dari pengelihatan orang-orang yang duduk di bagian “lelaki”. Kelaga ini digunakan untuk menaruh barang yang berkaitan dengan “urusan” perempuan (benang, alat ikat, tenun dan lain sebagainya). Hanya kaum perempuan, termasuk Inna Ammu (isteri kepala rumah), yang boleh memasukinya. Kekhususan inilah yang kemudian membuahkan ungkapan bahwa kelaga dammu adalah wewenang kaum perempuan.
Selain ketiga kelaga tersebut di atas, ada sebuah kelaga lagi yang dinamakan kelaga ruuhu (balai-balai rusuk). Kelaga ini letaknya sejajar dengan bagian tengah rumah temukung. Diantara kelaga dan ruang tengah diberi dinding (sekat), sehingga tidak terlihat dari bagian wui maupun duru rumah. Kelaga ruuhu ini pada bagian wui-nya digunakan untuk melakukan kegiatan memasak serta menyimpan alat-alat dapur. Tempat tersebut, oleh orang Sabu, disebut “koppo”.
Pintu
Orang Sabu menyebut pintu rumah temukung sebagai kelai. Bentuknya segi empat. Secara keseluruhan, jumlah pintu rumah temukung ada empat, yaitu: kelai duru (pintu anjungan), kelai wui (pintu buritan), kelai koppo (pintu kamar), dan kelai dammu (pintu loteng). Ukuran setiap pintu bergantung dari ukuran rumah itu sendiri. Meskipun demikian, pada umumnya berukuran: panjang sekitar 1,30-1,75 meter dan lebar 0,70-0,90 meter. Di masa lalu pintu terbuat dari anyaman daun lontar. Namun, dewasa ini jarang ditemukan karena sebagian besar sudah menggunakan kayu.
Berdasarkan cara membuka dan atau menutupnya, pintu rumah temukung dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu: kelai ketode (pintu tolak gantung), kelai nyaka (pintu tolak) dan kelai moda (pintu putar). Kelai ketode adalah pintu yang dibuka dengan cara ditolak ke atas dan hanya terdapat di bagian loteng rumah (kelaga dammu). Kemudian, kelai moda adalah pintu yang cara buku-tutupnya dengan memutarnya. Sedangkan, kelai nyaka dibuka dengan cara mendorong ke sisi kiri maupun kanan. Pintu ini terdapat pada anjungan dan wui (buritan) rumah.
Tangga
Tangga rumah temukung berbentuk segi empat. Jumlah anak tangganya bergantung tinggi-rendahnya tangga (pada umumnya berketinggian sekitar 0,50–0,60 meter). Tangga ini kebanyakan digunakan untuk naik ke loteng (kelaga dammu) atau untuk naik ke balai-balai besar, khususnya jika panjang balai-balai tanah tidak mencapai daerah pintu. Meskipun demikian, ada juga yang tidak menggunakan tangga untuk naik ke balai-balai besar (kelaga ae) karena di bawah pintu anjungan sudah ada balai-balai tanah sebagai tempat berpijak.
Dinding
Posisi dinding tegak lurus (menempel pada ujung kelaga ae). Ujung dinding bagian bawah lebih rendah sedikit dari kelaga ae, sedangkan ujung dinding bagian atas berakhir di bawah kabie. Dinding tersebut didirikan mengelilingi bagian tengah rumah (mengelilingi kelaga ae dan kelaga ruuhu). Untuk bagian atas (dammu) hanya disekat dengan ketangga robe (tutup gesek) yang dibuat dari daun kelapa. Letaknya yang ada di tengah-tengah atap sekaligus berfungsi sebagai tabir (pembatas antara loteng dan ruang atap duru (anjungan). Tabir ini juga berfungsi sebagai pemisah antara atap duru dan wui. Motif hiasan yang terdapat dalam tabir biasanya berupa meander atau tanaman menjalar.
Nilai Budaya
Rumah dalam sebuah masyarakat tidak hanya berfungsi sebagai tempat berlindung dari teriknya sinar matahari, derasnya air hujan, dan dinginnya udara malam semata, tetapi juga memiliki fungsi yang lain (fungsi sosial-budaya masyarakat yang bersangkutan). Oleh karena itu, rumah dibuat tidak hanya sekedar kokoh dan kuat, tetapi juga diselimuti dengan makna simbolik yang mengacu pada nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Rumah temukung yang merupakan rumah khas orang Sabu misalnya, jika dicermati secara teliti, juga mengandung nilai-nilai yang ditumbuh-kembangkan dalam budaya mereka. Nilai-nilai itu, antara lain adalah: kebaharian, kesehatan, keseimbangan, dan kepercayaan (kehidupan setelah mati).
Nilai kebaharian tercermin dari atap rumah mereka yang dibentuk menyerupai perahu yang terbalik. Ini artinya bahwa orientasi mereka adalah laut, sehingga laut tidak dapat dipisahkan dari kehidupan mereka. Untuk dapat “bercanda”, “bergumul”, dan sekaligus mengais kehidupan di laut, perahu merupakan alat yang sangat penting dalam kehidupan mereka. Untuk menunjukkan betapa berartinya perahu dalam kehidupan mereka, maka ketika mereka membuat rumah temukung, atapnya dibuat menyerupai perahu yang terbalik. Ini sekaligus menunjukkan bahwa mereka adalah masyarakat bahari.
Nilai kesehatan tercermin dalam pembuatan tebakka (ujung duru dan wui yang agak melengkung) yang berfungsi sebagai “jalan nafas” rumah. Ini artinya, Orang Sabu dalam membuat sebuah rumah memperhatikan sirkulasi udara, sehingga rumah yang mereka buat tidak pengap. Dengan perkataan lain, mereka mempedulikan kesehatan.
Nilai keseimbangan tercermin dalam makna simbolik dari tiang yang berbentuk bulat dengan ujung yang runcing (sebagai simbol laki-laki) dan kebie (balok penindas) sebagai simbol perempuan. Simbol-simbol tersebut sangat erat kaitannya dengan pandangan Orang Sabu tentang alam semesta yang bersifat dikotomis, yaitu segala sesuatu bersifat berlawanan tetapi harus berjalan sebagaimana mestinya (seimbang).
Nilai kepercayaan (kehidupan setelah mati) tercermin dalam makna simbolik dari kelaga yang terdiri atas tiga bagian (kelaga rai, kelaga ae dan kelaga dammu). Bagian-bagian tersebut sangat erat kaitannya dengan kepercayaan mereka tentang “dunia” rai dida-liru bala (dunia para dewa), dunia rai wawa (dunia manusia), dan dunia rai menata (dunia para arwah). Ini artinya Orang Sabu percaya bahwa ada kehidupan lain setelah kematian. (Pepeng)
Sumber:
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1998. Khasanah Budaya Nusantara IX. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
www.wikipedia.org
www.students.ukdw.ac.id