Tanah Melayu tidak hanya melahirkan pujangga sekaligus sejarawan setaraf Raja Ali Haji yang terkenal melalui Gurindam Dua Belas dan Tuhfat al Nafis-nya, melainkan juga para pejuang yang gigih berani melawan penjajah demi kemuliaan Islam dan bangsa Melayu. Salah seorang di antaranya, adalah kakek Raja Ali Haji sendiri yaitu Raja Haji Fisabilillah yang lahir di Kota Lama, Ulusungai, Riau, pada tahun 1725 (id.wikipedia.org).
Raja Haji Fisabilillah adalah "blasteran" Bugis-Melayu. Ayahnya (Opu Daeng Celak atau Engku Haji) mewarisi garis keturunan raja-raja Bugis di negeri Luwuk, sementara Sang ibu (Tengku Mandak) merupakan keturunan raja-raja Melayu (Abdullah, 2006). Menurut Isnaeni (2016), setelah bermigrasi ke tanah Melayu Opu Daeng Celak memperoleh gelar Yang Dipertuan Agung dari Kerajaan Riau-Johor.
Setelah Opu Daeng Celak wafat tahun 1744, Raja Haji yang waktu itu baru berusia 19 tahun diangkat menjadi Engku Kelana. Adapun tugasnya selain mengatur pemerintahan, juga menjaga keamanan seluruh wilayah kekuasaan Kerajaan Riau-Johor (Isnaeni, 2016). Pada masa kejayaannya, kerajaan ini memiliki cakupan wilayah cukup luas, meliputi: Johor, Pahan, Singapura, Kepulauan Riau dan beberapa daerah-daerah di Pulau Sumatera (Riau Daratan dan Jambi) (Dediarman, 2014).
Tiga dasawarsa kemudian, atau tepatnya tahun 1777 Raja Haji diangkat menjadi Yang Dipertuan Muda IV. Isnaeni (2016), mengutip buku Jejak Pahlawan dalam Aksara terbitan Ikatan Keluarga Pahlawan Nasional Indonesia dan Departemen Sosial Republik Indonesia, mengatakan bahwa sejak menjadi Yang Dipertuan Muda IV Kerajaan Riau-Johor mengalami kemajuan pesat dalam bidang ekonomi, pertahanan, sosial-budaya, dan spiritual.
Khusus dalam bidang pertahanan dan keamanan, perjuangan-perjuangan Raja Haji dilakukan hingga titik darah penghabisan. Adapun perjuangan setelah menjadi Yang Dipertuan Muda IV, antara lain adalah: (1) membantu Syarif Abdur Rahman al-Qadri memerangi Sanggau dari 24 Februari 1778 hingga 1 Maret 1778. Setelah berhasil, dia lalu melantik Syarif Abdur Rahman al-Qadri sebagai sultan pertama Kerajaan Pontianak (Abdullah, 2006); dan (2) mengadakan perjanjian-perjanjian dengan Belanda yang salah satu isinya berupa pembagian kapal asing hasil sitaan (Isnaeni. 2016).
Namun perjanjian-perjanjian tersebut tidak berjalan baik sehingga peperangan di antara keduanya tidak terhindarkan (Margana, 2016). Peperangan diawali 6 Januari 1784 ketika pasukan Belanda mendarat dan ingin menguasai Pulau Penyengat. Raja Haji berhasil menghalau sehingga Belanda terpaksa mundur ke Melaka tanggal 27 Januari 1784 (Isnaeni 2016). Tidak puas dengan kemenangan itu, pada 13 Februari 1784 Raja Haji bekerja sama dengan Sultan Selangor balik menggempur pasukan Belanda di Melaka.
Terdesak oleh pasukan gabungan tersebut pasukan Belanda segera meminta bantuan. Ada beberapa versi mengenai bala bantuan pasukan Belanda ketika diserang oleh Raja Haji dan Sultan Selangor. Versi pertama berasal dari Isnaeni (2016) dan Abdullah (2006), yang mengatakan bahwa pasukan Belanda di Malaka mendapat bantuan dari armana Jacob Pieter van Braam yang sedianya akan berlayar ke Maluku. Sedangkan versi lainnya dari Fathurrohman (2014) dan merdeka.com, mengatakan bahwa Belanda mendatangkan pasukan dari Pulau Jawa dalam jumlah besar.
Lepas dari berbagai versi di atas, dalam pertempuran yang meletus pada 18 Juni 1784, Raja Haji gugur bersama kurang lebih 500 orang pasukanya saat melakukan peperangan maritim di Teluk Ketapang (merdeka.com). Jenazahnya dimakamkan di Melaka. Beberapa dekade setelahnya, saat Raja Ja'afar (putera mahkota) diangkat sebagai Yang Dipertuan Muda, jenazah Raja Haji dipindahkan dari Melaka untuk selanjutnya dikebumikan di Pulau Penyengat Indrasakti (Sudrajat, 2016).
Sebagai catatan, semasa hidupnya Raja Haji banyak mendapat julukan atau gelaran, seperti: Engku Kelana (1747M-1777M), Pangeran Sutawijaya, Yang Dipertuan Muda Riau-Johor IV (177M-1784M), Raja Api1, Marhum Teluk Ketapang, Marhum Asy-Syahid Fisabilillah, dan yang terakhir sebagai Pahlawan Nasional Indonesia (memperoleh Bintang Mahaputera Adipradana tanggal 11 Agustus 1997) berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 72/TK/1997.
Untuk mengenang jasa, pihak pemerintah setempat (Provinsi Kepulauan Riau) mengabadikan namanya sebagai bandar udara di Tanjungpinang (Bandar Udara Internasional Raja Haji Fisabilillah), serta membuatkan monumen setinggi sekitar 28 meter di daerah Tepi Laut yang berhadapan langsung dengan Pulau Penyengat. Selain itu, kemenangan Raja Haji Fisabililah atas Belanda di Pulau Penyengat (6 Januari 1784) ditetapkan pula menjadi hari jadi Kota Tanjungpinang. (ali gufron)
Foto: https://pahlawancenter.com/raja-haji-fisabilillah/
Sumber:
"Raja Haji Fisabilillah", diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Raja_Haji_Fisabilillah, tanggal 19 Desember 2017.
Abdullah, Wan Mohd. Shaghir. 2006. "Raja Haji Pahlawan Teragung Nusantara", diakses dari http://ww1.utusan.com.my/utusan/info.asp?y=2006&dt=0612&pub=Utusan_Malaysia&sec=Bicara_Agama&pg=ba_01.htm, tanggal 19 Desember 2017.
Isnaini, Hendri. 2016. "Cerita Kumis Pahlawan Nasional Raja Haji Fisabilillah", diakses dari http://historia.id/persona/cerita-kumis-pahlawan-nasional-raja-haji-fisabilillah, tanggal 20 Desember 2017.
Dediarman. 2014. "Sejarah Kerajaan Riau-Lingga Kepulauan Riau", diakses dari https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbkepri/2014/06/08/sejarah-kerajaan-riau-lingga-kepulauan-riau/, tanggal 20 Desember 2017.
Margana, Panjaitan. 2016. "Raja Haji Fisabilillah - Raja Kerajaan Melayu Riau", diakses dari http://sosok-tokoh.blogspot.co.id/2016/05/biografi-singkat-raja-haji-fisabilillah.html, tanggal 20 Desember 2017.
Fathurrohman, Muhamad Nurdin. 2014. "Biografi Raja Haji Fisabilillah - Pahlawan Nasional Indonesia", diakses dari https://biografi-tokoh-ternama.blogspot.co.id/2014/02/Biografi-Raja-Haji-Fisabilillah-Pahlawan-Nasional-Indonesia.html, tanggal 20 Desember 2017.
"Raja Haji Fisabilillah", diakses dari https://www.merdeka.com/raja-haji-fisabilillah/profil/, tanggal 20 Desember 2017.
Sudrajat, Ajat. 2016. "Raja Haji Fisabilillah", diakses dari http://biografi-pahlawan-nasional-indonesia.blogspot.co.id/2016/01/raja-haji-fisabilillah.html, tanggal 20 Desember 2017.
1. Abdullah (2006), mengutip Tuhfat an-Nafis (Naskah Terengganu, hlm. 151) karangan Raja Ali Haji, menyatakan bahwa riwayat gelaran Raja Api diberikan oleh Belanda atas dasar kejadian aneh pada peti jenazah Raja Haji yang semula akan dibawa ke Betawi. Malam sebelum keberangkatan peti jenazah memancarkan cahaya menyerupai api yang membuat gaduh banyak orang. Di tengah kegaduhan, perahu yang sedianya akan membawa peti jenazah terbakar. Niat untuk membawa jenazah Raja Haji pun terpaksa diurungkan.