Upacara Pelet Kandhung pada Masyarakat Madura (Provinsi Jawa Timur)

Pendahuluan
Sebagian besar masyarakat di Indonesia mempercayai bahwa kehidupan manusia selalu diiringi dengan masa-masa kritis, yaitu suatu masa yang penuh dengan ancaman dan bahaya (Koentjaraningrat, 1985; Keesing, 1992). Masa-masa itu adalah peralihan dari tingkat kehidupan yang satu ke tingkat kehidupan lainnya (dari manusia masih berupa janin sampai meninggal dunia). Oleh karena masa-masa tersebut dianggap sebagai masa yang penuh dengan ancaman dan bahaya, maka diperlukan adanya suatu usaha untuk menetralkannya, sehingga dapat dilalui dengan selamat. Usaha tersebut diwujudkan dalam bentuk upacara yang kemudian dikenal sebagai upacara lingkaran hidup individu yang meliputi: kehamilan, kelahiran, khitanan, perkawinan, dan kematian. Tulisan ini terfokus pada upacara masa kehamilan yang disebut sebagai pelet kandhung atau pelet betteng (pijat perut) pada masyarakat Madura, khususnya yang berada di daerah Bangkalan dan Sampang.

Waktu, Tempat, Pemimpin dan Pihak-pihak yang Terlibat dalam Upacara
Penyelenggaraan upacara pelet kandhung diadakan ketika usia kandungan seseorang telah mencapai tujuh bulan. Sebelum upacara diadakan, pada bulan pertama saat seorang perempuan mulai mengandung, diadakan upacara nandai. Pada saat upacara nandai selesai, akan ditaruh sebiji bigilan atau beton (biji nangka) di atas sebuah leper (tatakan cangkir) dan diletakkan di atas meja. Setiap bulannya, di leper itu ditambah satu biji bigilan sesuai dengan hitungan usia kandungan perempuan tersebut. Dan, pada saat di atas leper itu telah ada tujuh biji bigilan yang menandakan bahwa usia kandungan telah mencapai tujuh bulan, maka diadakanlah upacara pelet kandhung atau pelet betteng. Sebagai catatan, upacara masa kehamilan yang disebut sebagai pelet kandhung ini diadakan secara meriah hanya pada saat seorang perempuan mengalami masa kehamilan untuk yang pertama kalinya. Pada masa kehamilan yang kedua, ketiga, dan seterusnya, upacara pelet kandhung tetap diadakan, namun tidak semeriah upacara pada saat mengalami kehamilan untuk pertama kalinya.

Sebagaimana upacara pada umumnya, upacara pelet kandhung ini juga dilakukan secara bertahap. Tahap-tahap yang harus dilalui oleh seseorang dalam upacara ini adalah sebagai berikut: (1) tahap pelet kandhung (pijat perut); (2) tahap penyepakan ayam; (3) tahap penginjakan kelapa muda dan telur; (4) tahap pemandian; dan (5) tahap orasol (kenduri). Seluruh rentetan upacara ini biasanya dilakukan pada malam bulan purnama setelah sholat Isya, dengan pertimbangan bahwa malam bulan purnama adalah malam yang dirahmati Tuhan dan para peserta upacara telah terlepas dari rutinitas keseharian mereka.

Tempat pelaksanaan upacara pelet kandhung bergantung dari tahapan-tahapan yang harus dilalui. Untuk prosesi pelet kandhung, penyepakan ayam, penginjakan telur ayam dan kelapa muda, dilakukan di dalam kamar atau bilik orang yang sedang mengandung. Untuk prosesi pemandian dilakukan di kamar mandi atau di halaman belakang rumah. Upacara ini dipimpin oleh seorang dukun baji (dukun beranak) dan dibantu oleh agung bine atau emba nyae (nenek dari perempuan hamil yang sedang diupacarai). Sedangkan, acara kenduri dilaksanakan di ruang tamu dan dipimpin oleh seorang kyae atau ulama setempat. Adapun pihak-pihak yang terlibat dalam upacara pelet betteng adalah ayah, ibu serta sanak kerabat dari perempuan yang hamil itu maupun orang tua dan sanak kerabat dari pihak suaminya. Di samping sanak kerabat tersebut, hadir pula para tetangga yang sebagian besar adalah perempuan dewasa atau yang sudah kawin.

Peralatan Upacara
Peralatan dan perlengkapan yang perlu dipersiapkan dalam upacara pelet betteng atau pelet kandhung adalah: (1) kain putih sepanjang 1½ meter yang nantinya akan digunakan sebagai penutup badan perempuan yang akan diupacarai pada saat dimandikan; (2) air satu penay (belanga); (3) berbagai jenis bunga (biasanya 40 jenis bunga) untuk campuran air mandi. Air dalam penay dan berbagai jenis bunga (komkoman) mengandung makna kesucian dan keharuman; (4) gayung yang terbuat dari tempurung kelapa dan gagangnya dari ranting pohon beringin yang masih ada daunnya; (5) sebutir telur ayam yang masih mentah dan sebutir lagi yang sudah direbus; (6) satu leper ketan kuning yang sudah masak; (7) seekor ayam muda; (8) minyak kelapa; (9) kemenyan Arab; (10) setanggi; (11) uang logam; (12) sepasang cengker kelapa gading yang digambari Arjuna dan Sembodro serta dibubuhi tulisan Arab atau Jawa; dan (13) berbagai macam hidangan untuk arasol (kenduri) yang berupa: kuwe procut, ketan kuning yang dibalut daun berbentuk kerucut, jubada (juadah), lemeng (ketan yang dibakar dalam bambu), tettel (penganan yang terbuat dari ketan), minuman cendol, la’ang dan bunga siwalan (semacam legen).

Jalannya Upacara
Ketika masa kehamilannya telah mencapai tujuh bulan, maka keluarganya akan menghubungi dukun baji untuk memberitahukan dan sekaligus memintanya menjadi pemimpin upacara pelet kandhung. Selain itu, pihak keluarga juga menyampaikan undangan kepada para kerabat dan tetangga terdekat untuk ikut menghadiri upacara.

Pada hari yang telah ditentukan dan semua peserta upacara telah berkumpul di rumah perempuan yang diupacarakan, maka upacara pun dilaksanakan. Upacara diawali dengan pembacaan ayat-ayat Al Quran (Surat Yusuf dan Maryam) oleh para undangan laki-laki yang dipimpin oleh seorang Kyae. Sementara mereka membaca ayat-ayat Al Quran, di dalam bilik perempuan yang mengandung itu mulai dilaksanakan prosesi pelet kandhung. Dukun baji mulai memelet atau memijat bagian perut perempuan tersebut dengan menggunakan minyak kelapa. Maksud dari tindakan ini adalah untuk mengatur posisi bayi di dalam kandungan.

Saat si perempuan hamil sedang dipelet, para kerabatnya yang perempuan, mulai dari emba nyae (nenek), matowa bine (mertua perempuan), ebu majadi (adik perempuan ayah dan ibunya), dan eper bine (saudara ipar perempuan), secara bergantian mendatangi dan mengusap perutnya. Sambil mengusap perut, mereka memanjatkan doa dan harapan agar si perempuan beserta bayi yang dikandungnya selalu dalam lindungan Tuhan.

Usai dipelet, perempuan hamil tersebut dibimbing oleh sang dukun baji ke tempat seekor ayam yang sebelumnya telah diikat pada salah satu kaki tempat tidur. Saat berada di dekat ayam, si perempuan hamil diharuskan untuk menyepak hingga sang ayam kesakitan dan berbunyi “keok”. Selanjutnya ayam yang masih terikat itu dilepaskan dan dikurung di belakang rumah. Apabila upacara telah selesai, ayam itu akan diserahkan kepada dukun baji sebagai ucapan terima kasih.

Selesai menyepak ayam, perempuan hamil itu kemudian diselimuti dengan kain putih dan diminta untuk menginjak sebutir kelapa muda dengan kaki kanan. Selanjutnya, ia diminta lagi untuk menginjak telur mentah dengan kaki kiri. Apabila telur berhasil dipecahkan, maka bayi yang dikandung diramalkan akan berjenis kelamin laki-laki. Namun, apabila telur tidak berhasil dipecahkan, sang dukun akan mengambil dan menggelindingkannya dari perut perempuan hamil itu. Saat telur pecah, orang-orang yang hadir di ruangan itu seretak berucap “jebing, jebing”, yang mengandung makna bahwa kelak bayi yang dikandung diramalkan akan berjenis kelamin perempuan.

Selanjutnya, perempuan hamil tersebut dibimbing oleh dukun baji ke belakang rumah untuk menjalani prosesi pemandian. Ia kemudian didudukkan di sebuah bangku kayu yang rendah dan di dekatnya disediakan air komkoman pada sebuah periuk tanah. Setelah itu, sang dukun baji sambil memegang gayung yang terbuat dari tempurung kelapa dan ranting beringin, memasukkan uang logam ke dalam komkoman dan mulai memandikan perempuan hamil itu. Sesudah dukun selesai mengguyur, maka satu-persatu perempuan kaum kerabatnya mulai bergiliran mengguyur hingga air di dalam komkoman habis.

Selesai dimandikan, ia dibawa masuk lagi ke kamarnya untuk dirias dan dipakaikan busana yang paling bagus. Kemudian, ia dibawa menuju ke ruang tamu untuk diperlihatkan kepada para hadirin. Saat itu, para hadirin akan mengucapkan kata-kata “radin, radin”, yang artinya “cantik”. Ucapan itu dimaksudkan sebagai persetujuan hadirin bahwa pakaian yang dikenakannya sudah serasi dan sesuai.

Setelah itu, acara diteruskan dengan penyerahan dua buah cengker yang telah digambari Arjuna dan Sembodro kepada Kyae untuk didoakan. Setelah selesai pembacaan doa yang diamini oleh segenap yang hadir, Kyae lalu menyerakan kedua cengker tersebut kepada matowa bine untuk diletakkan di tempat tidur menantu perempuannya yang sedang hamil itu. Sebagai catatan, cengker itu tetap ditaruh di tempat tidur hingga si perempuan melahirkan bayinya. Dan, dengan adanya cengker di sisi tempat tidurnya, maka sejak saat itu suaminya tidak diperkenankan lagi menggauli hingga bayi yang dikandungnya lahir dan telah berumur 40 hari.

Selanjutnya, perempuan hamil itu dibawa masuk lagi ke dalam kamarnya dan diberi minum jamu dek cacing towa yang ditempatkan dalam sebuah cengkelongan (tempurung gading). Setelah jamu dek cacing towa diminum, maka cengkelongan itu segera dilemparkan ke tanean (halaman). Apabila cengkelongan jatuhnya tertelentang, maka bayi yang akan lahir diperkirakan berjenis kelamin laki-laki. Sedangkan, apabila tertelungkup, maka bayi yang akan lahir diperkirakan berjenis kelamin perempuan.

Setelah itu, si perempuan hamil disuapi dengan sedikit nasi ponar (nasi kuning), ketan yang diberi warna kuning dan telur rebus. Makanan itu tidak dimakan sampai habis. Dengan berakhirnya tahap pemberian nasi ponar ini, berakhirlah seluruh rentetan upacara pelet kandhung.

Sebagai catatan, sejak saat diadakan upacara nandai, pelet kandhung, hingga melahirkan, perempuan yang sedang hamil itu harus mematuhi berbagai macam pantangan, baik pantangan memakan makanan tertentu maupun pantangan melakukan perbuatan tertentu. Pantangan yang berupa makanan diantaranya adalah: pantang memakan juko lake (sejenis binatang yang bersengat), kepiting, bilang senyong, me eme parsong (sejenis cumi-cumi), daging kambing, ce cek (kerupuk rambak), petis, nenas muda, durian, tepu, mangga kweni lembayung, dan plotan lembur. Apabila pantangan ini dilanggar, maka akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti: keguguran, bayi yang dikandung terkena saban (sawan), proses melahirkan tidak lancar, dan banyak darah yang keluar pada saat melahirkan.

Sedangkan pantangan yang berupa tindakan atau perbuatan diantaranya adalah: tidak boleh kerja berat berat, bekerja secara tergesa-gesa dan mendadak, berjalan cepat, naik-turun tangga, menyiksa binatang, tidur melingkar, duduk di ambang pintu, etampe (makan sambil menyangga piring), san rasanan (bergunjing, mencela, menyumpah, dan bertengkar dengan orang lain), dan bersenggama pada hari-hari tertentu (Selasa, Rabu, Sabtu dan Minggu). Apabila pantangan-pantangan ini dilanggar, sebagian masyarakat Madura percaya bahwa kandungan yang nantinya akan dilahirkan akan mengalami cacat.

Nilai Budaya
Ada beberapa nilai yang terkandung dalam upacara pelet kandhung. Nilai-nilai itu antara lain adalah: kebersamaan, ketelitian, gotong royong, keselamatan, dan religius. Nilai kebersamaan tercermin dari berkumpulnya sebagian sanak kerabat untuk berdoa bersama demi keselamatan bersama pula. Ini adalah wujud kebersamaan dalam hidup bersama di dalam lingkungannya (dalam arti luas). Oleh karena itu, upacara ini mengandung pula nilai kebersamaan.

Nilai ketelitian tercermin dari proses upacara itu sendiri. Sebagai suatu proses, upacara memerlukan persiapan, baik sebelum upacara, pada saat prosesi, maupun sesudahnya. Persiapan-persiapan itu, tidak hanya menyangkut peralatan upacara, tetapi juga tempat, waktu, pemimpin, dan peserta. Semuanya itu harus dipersiapkan dengan baik dan seksama, sehingga upacara dapat berjalan dengan lancar. Untuk itu, dibutuhkan ketelitian.

Nilai kegotong-royongan tercermin dari keterlibatan berbagai pihak dalam penyelenggaraan upacara. Mereka saling bantu demi terlaksananya upacara. Dalam hal ini ada yang membantu menyiapkan makanan dan minuman, menjadi pemimpin upacara, membantu pemimpin upacara, dan lain sebagainya.

Nilai keselamatan tercermin dalam adanya kepercayaan bahwa peralihan kehidupan seorang individu dari satu masa ke masa yang lain penuh dengan ancaman (bahaya) dan tantangan. Untuk mengatasi krisis dalam daur kehidupan seorang manusia itu, maka perlu diadakan suatu upacara. Pelet kandhung merupakan salah satu upacara yang bertujuan untuk mencari keselamatan pada tahap peralihan dari masa di dalam kandungan menuju ke kehidupan di dunia.

Nilai religius tercermin dalam doa bersama yang dipimpin oleh kyae atau ulama setempat, pada acara orasol (kenduri) yang merupakan salah satu bagian dari serentetan tahapan dalam upacara pelet kandhung. Tujuannya adalah agar sang bayi mendapatkan perlindungan dari Tuhan. (gufron)

Sumber:
Keesing, Roger. 1992. Antropologi Budaya Edisi ke dua. Jakarta: Erlangga.

Koentjaraningrat. 1985. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat.

Mustopo, Habib. Dkk. 1984. Upacara Tradisional Daerah Jawa Timur. Surabaya: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Keris Siginjai

Keris yang sering juga disebut duwung, curiga atau tosan aji, adalah suatu artefak yang berupa senjata tusuk genggam yang bentuknya meruncing dengan tajaman di kedua sisi bilahnya. Sebagian arkeolog berpendapat bawah keris adalah kelanjutan dari jenis senjata yang telah digunakan sejak masa prasejarah. Keris banyak dipakai oleh masyarakat yang ada di kawasan Asia Tenggara, khusunya oleh suku-suku bangsa di Indonesia dan Malaysia.

Keris mempunyai kedudukan yang penting bagi seseorang, sehingga fungsinya tidak hanya sebagai senjata, melainkan juga sebagai benda keramat yang memiliki unsur magis, lambang ikatan keluarga, tanda jasa, dan tanda pangkat atau jabatan. Bahkan, saat ini keris telah dijadikan sebagai cinderamata dan barang koleksi.

Salah satu di antara sekian banyak keris yang tersebar di Nusantara ini adalah Keris Siginjai. Keris Siginjai merupakan benda pusaka yang dimiliki secara turun-temurun oleh Kesultanan Jambi. Selama lebih dari 400 tahun keris ini tidak hanya sekedar sebagai lambang mahkota Kesultanan Jambi, tetapi juga sebagai lambang pemersatu rakyat Jambi dan bahkan saat ini menjadi lambang provinsi Jambi. Sultan terakhir yang memegang benda kerajaan itu adalah Sultan Achmad Zainuddin.

Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, Keris Siginjai diambil oleh Belanda dan bersama dengan sebuah pusaka Kesultanan Jambi lainnya, yaitu Keris Singa Marjaya, dibawa ke Batavia. Dan, setelah Indonesia merdeka, kedua keris ini menjadi bagian dari koleksi Museum Nasional Jakarta, bersama dengan keris-keris pusaka dari berbagai daerah lain di Indonesia, guna dirawat, dipelihara dan dilestarikan agar generasi mendatang mengetahui bahwa nenek moyangnya mampu membuat hasil karya yang indah, walaupun hanya mempergunakan peralatan tradisional.

Struktur Keris Siginjai
1. Bilah Keris (Wilahan)
Bilah keris, yang dalam istilah perkerisan disebut wilahan, adalah bagian utama dari keris. Walaupun wilahan mempunyai bentuk yang beraneka ragam, namun dapat dikelompokkan menjadi dua tipe (dapur), yaitu tipe lurus (dapur leres) dan berkelok (dapur luk). Pada wilahan terdapat gambar atau lukisan yang disebut pamor yang merupakan lambang kesaktian atau kekeramatan keris. Sedangkan, pada pangkal wilahan terdapat ganja, yaitu sudut runcing yang mengarah ke arah mata keris.

Bilah Keris Siginjai panjangnya lebih kurang 39 sentimeter dan berlekuk (luk) 5. Permukaan bilah Keris Siginjai kemungkinan pada mulanya ditutupi lapisan emas murni karena pada saat ini masih terlihat adanya bekas lapisan emas yang terlepas. Lapisan emas itu berfungsi untuk memperindah keris dan yang lebih utama untuk menutupi pamor pada keris yang bermotif flora. Pamor keris ini semakin ke ujung semakin kabur. Pada lekuk pertama hingga keempat pamor itu tampak jelas, namun pada lekuk kelima sampai ke mata keris, pamornya sudah tidak jelas lagi.

Keris Siginjai memiliki dua buah buah ganja, yang salah satunya melengkung ke arah mata keris. Sedangkan, pada sisi terlebar pangkal bilah keris terdapat bentukan yang menjorok ke luar dan memiliki 6 buah tonjolan yang ujungnya runcing, mirip dengan senjata penjepit pada binatang kalajengking. Tonjolan yang terbesar disebut belalai gajah atau keluk kacang.

2. Hulu Keris
Hulu (gagang) Keris Siginjei terbuat dari kayu kemuning yang bagian kepalanya dibuat menjorok ke arah permukaan badan keris. Sedangkan, pada bagian yang dekat dengan wilahan terdapat mendak1 yang berbentuk kelopak bunga teratai. Di atas mendak terdapat 16 buah garis lengkung yang di setiap lengkungannya dipasang sebuah batu mulia, yang terdiri dari 8 buah intan berbentuk segi tiga dan 8 buah berlian berbentuk lonjong (oval). Di bawah setiap intan dan berlian terdapat bidang lengkung yang semakin menyempit ke arah bilah keris. Pada permukaan bidang lengkung tersebut dilapisi dengan emas murni dan diukir hiasan bunga-bunga kecil. Dan, di atas garis lengkung itu terdapat jalinan berbentuk benang-benang email warna hijau dan kuning.

3. Sarung Keris (Wrangka)
Wrangka keris Siginjai terbuat dari kayu kemuning. Sedangkan, pendok2 keris terbuat dari lempengan emas murni yang seluruh permukaannya dihiasi dengan ukiran bermotif flora. Pada wrangka Keris Siginjai ini juga terdapat gayaman berbentuk perahu agak kecil tetapi tebal. Di dekat gambar perahu terdapat lengkungan yang berbentuk sedikit bundar.

Nilai Budaya
Keris sebagai hasil budaya anak negeri, jika dicermati secara seksama, di dalamnya mengandung nilai-nilai yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai itu antara lain: keindahan (seni), ketekunan, ketelitian, dan kesabaran. Nilai keindahan tercermin dari bentuk keris yang dibuat sedemikian rupa, sehingga memancarkan keindahan. Sedangkan, nilai ketekunan, ketelitian, dan kesabaran tercermin dari proses pembuatannya yang memerlukan ketekunan, ketelitian, dan kesabaran. Tanpa nilai-nilai tersebut tidak mungkin akan terwujud sebuah keris yang indah dan sarat makna. (ali gufron)

Sumber:
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1992. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara III. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1992. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara II. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
http://www.balarpalembang.go.id
http://sarolangunjambi.wordpress.com

1 Mendak adalah hiasan yang melingkari bagian hulu keris yang dekat dengan bilah keris.
2 Pendok adalah hiasan yang menutupi gandar dari wrangka.

Serkap (Malaysia)

Serkap adalah alat yang digunakan untuk menangkap ikan di sawah, sungai, paya atau kolam. Selain itu, serkap juga bisa digunakan untuk mengurung induk ayam bersama anak-anaknya yang baru menetas, agar terlindung dari binatang lain seperti kucing, anjing, musang dan burung elang. Alat ini dibuat dari bambu yang sudah tua, rotan atau bemban. Cara membuatnya adalah dengan memotong dan menghaluskan bambu dalam ukuran kecil, kemudian disusun di atas sebuah kerangka yang berbentuk bulat. Dan, agar bambu menempel kuat, maka di sekelilingnya dililit dengan rotan. Setelah itu, serkap diberi warna dengan corak yang menarik agar lebih indah dan tahan lama.

Sumber: http://malaysiana.pnm.my

Sauk (Malaysia)

Sauk adalah alat tradisional yang digunakan untuk menangkap ikan, siput, remis, kerang dan binatang air lain yang ada di sungai. Bentuk sauk menyerupai timba bujur dengan ukuran sekitar 36x15x15 sentimeter. Sauk ini mempunyai pegangan yang terbuat dari kayu yang ukurannya tergantung dari selera pembuatnya. Bagian bawah dari sauk ini berbentuk jaring yang belubang kecil, agar air dapat keluar ketika sauk diangkat dari permukaan air.

Sumber: http://malaysiana.pnm.my

Sundari Bungkah

(Cerita Rakyat Nusa Tenggara Barat)

Pada zaman dahulu kala ada sebuah keluarga yang mempunyai seorang anak bernama Dedara Nunggal. Ketika Dedara Nunggal menjelang dewasa, kedua orang tuanya bercerai. Sejak itu Dedara Nunggal tinggal bersama ayahnya. Namun, setelah ayahnya kawin lagi, ia mulai mengecap kehidupan pahit dan penuh dengan penderitaan. Ibu tirinya menganggap semua pekerjaan yang dilakukannya selalu salah. Dedara Nunggal pun sering bercekcok dengan ibu tirinya.

Melihat anaknya selalu bertengkar dengan ibu tirinya, sang ayah pun menjadi kesal. Ia kemudian memarahi anaknya, “Anakku Dedara Nunggal, mengapa engkau selalu bercekcok dengan ibu tirimu. Kau memang anak yang nakal dan tebal telinga. Mulai saat ini, enyahlah dari rumah ini. Tinggallah bersama ibu kandungmu!”

“Mengapa ayah sampai hati mengusirku. Bukankah aku darah daging ayah satu-satunya?” jawab Dedara Nunggal.

“Pergi kataku. Jangan kau bicara lagi!” hardik ayahnya.

“Baiklah ayah, aku akan tinggal bersama ibu,” kata Dedara Nunggal sambil berjalan meninggalkan rumah.

Satu jam kemudian, tibalah Dedara Nunggal di rumah ibunya. Di sana ia hanya bertemu dengan ayah tirinya, karena ibunya sedang mencuci pakaian di perigi. Kepada ayah tirinya itu ia berkata, “Ayah, aku telah diusir dari rumah ayah kandungku. Bolehkah aku menetap di sini? Aku akan siap membantu segala pekerjaanmu, ayah.”

“Ah, Dedara Nunggal. Mustahil anak perempuan semacam engkau dapat melakukan pekerjaanku. Kukira kau akan selalu menyantap ocehanku dan bukan nasi yang kau peroleh. Oleh karena itu, sebaiknya kembalilah kepada ayahmu. Aku tak sanggup mengurusmu di sini.”

“Baiklah ayah. Bila ayah tak sanggup menolong, aku akan kembali kepada ayah kandungku.”

“Ya, kembalilah!” jawab ayah tirinya.

Dengan perasaan sedih, Dedara Nunggal akhirnya kembali pulang ke rumah ayah kandungnya. Namun, ketika sampai di depan rumah, dari serambi sang ayah sudah menghadang sambil berkata, “Mengapa kau kembali lagi?”

“Maafkan aku ayah. Ayah tiriku tidak mengizinkan aku tinggal di rumahnya,” Jawab Dedara Nunggal.

“Jadi kau mau kembali tinggal di rumah ini? Tunggulah, akan kumintakan persetujuan ibumu.”

“Mengapa ayah harus meminta persetujuan ibu tiriku?”

“Ayah tak mungkin memutuskan sendiri. Bukankah dia adalah isteriku?” Kata ayahnya sambil berjalan masuk ke rumah. Sampai di dalam, ia bertanya kepada isterinya, “Anakmu Dedara Nunggal ingin kembali tinggal bersama kita. Bagaimana pendapatmu?”

“Ah, aku tak sanggup hidup serumah dengannya. Lebih baik kau usir lagi dia dari rumah ini. Mataku sudah sangat jemu melihatnya,” jawab isterinya.

Sesudah itu suaminya keluar lagi dan berkata kepada anaknya, “Anakku Dedara Nunggal, ibumu tidak mau lagi menerimamu. Ayah sudah tak dapat berpikir lagi. Sekarang, pergilah kau dari rumah ini.”

“Baiklah, kalau ayah sudah memutuskan seperti itu,” kata Dedara Nunggal sambil berjalan perlahan meninggalkan rumah ayahnya.

Ia berjalan tanpa tujuan ke arah utara menyusuri Sungai Jangkok. Beberapa jam kemudian, sampailah ia di sebuah batu besar yang ada di tepi sungai itu. Di atas batu itulah ia akhirnya duduk melepaskan lelah sambil meratapi nasibnya, “Ah, mengapa demikian buruk suratan takdir atas hidupku. Ibu dan ayah membenciku. Mereka bahkan mengusirku. Sudah tak berarti lagi rasanya hidupku ini. Lebih baik aku menerjunkan diri ke sungai ini, agar tamatlah riwayatku dan tidak lagi mengotori dunia.” Lalu ia menceburkan diri ke dalam sungai.

Saat seluruh tubuh Dedara Nunggal telah tenggelam di air, secara tiba-tiba ia berubah menjadi sebatang pohon dan kemudian hanyut di dibawa air sungai. Pohon itu hanyut ke arah hilir dan mengenai oleh seorang pemuda yang sedang mandi. Terkejut merasakan ada sebatang pohon aneh yang masih lengkap akar dan daunya mengenai tubuhnya, si pemuda berteriak, “Ah, siapakah yang menghanyutkan pohon ini? Tak punya perasaan, tak menghiraukan orang yang sedang mandi di hilir. Mengganggu saja!”

Tiba-tiba ia mendengar suara, “Hai pemuda, tolonglah aku”

“Eh, suara siapakah itu?” tanya pemuda itu agak terkejut karena tidak ada orang lain yang ada di dekatnya.

“Akulah yang bersuara. Aku adalah pohon yang mengenai tubuhmu. Bila kau berkenan menolongku kelak aku akan membalas budi baikmu.”

“Baiklah, tetapi siapa namamu?”

“Namaku Dedara Nunggal.”

Tanpa banyak berkata lagi, pohon itu segera dinaikkan ke darat kemudian ditanam di tepi sungai. Sesudah ditanam pemuda itu bertanya, “Siapakah kau sebenarnya, Dedara Nunggal?”

“Engkaulah satu-satunya orang bersedia menolongku. Aku adalah makhluk malang yang tak dapat menguasai diri. Aku buang tubuhku ke Sungai Jangkok ini. Namun, atas kehendak Tuhan, tubuhku berubah bentuk menjadi sebatang pohon. Nah, sekarang aku harus berbuat kebaikan kepada umat manusia, sebab kukira sekaranglah tubuhku ini punya arti. Ketika aku masih berwajah manusia aku sama sekali tak berarti. Demikianlah riwayatku. Semua telah kuceritakan kepadamu.”

“Lalu, bagaimana caramu berbuat kebaikan kepada umat manusia?” tanya pemuda yang bernama Teruna Nunggal itu.

“Nanti apabila bungaku telah muncul, di saat itulah aku akan akan membalas budi baikmu yang telah rela menolongku. Dan, di saat itu pulalah aku akan berbuat kebaikan pada umat manusia”

“Apa yang harus aku lakukan bila bungamu telah muncul?” tanya Teruna Nunggal.

“Kalau aku sudah berbunga, sering-seringlah datang kemari. Panjatlah batangku dan ayunkanlah bungaku itu. Selanjutnya, pukullah batang bungaku dengan pelepah batang kelapa serta bacalah mantra ini:

O, meme, o, bapa
Anta gini anta gina
Lilir ambika
Beang pianake mayusu
Ane madan Mas Sundari Muncar1

Bila kau telah selesai melakukan hal itu, selipkanlah pemukul itu di antara batang bungaku dengan badanku. Itulah syarat yang harus kau lakukan agar bungaku dapat memberikan air lebih banyak. Nah, bila bungaku mekar, potonglah dengan didahului mantra:

Nah, janji pacangbukak tiang danggul nyaine
Ane kaja, ane Kelod, Kangin, Kauh
Apang meresidayang maan pianak nyaine manyonyo
Ane madan mas Sundari Muncar2

Apabila bungaku sudah mulai mengalirkan air, setiap kau hendak memanjat batangku sebutlah namaku dengan sebutan Sundari Bungkah. Sebab setelah bungaku dipotong, aku berganti nama menjadi Sundari Bungkah. Dan, apabila engkau sudah memanjat, jangan lupa untuk menyuntingkan lip (lidi ijuk) agar aku tidak terkejut. Nah, agar pemberitahuanku lengkap, apabila ada orang hendak merusak kelancaran jalan airku dengan ilmu hitam, pergunakanlah mantra ini untuk menolaknya:

Segara penulak
Keneh anake ngusak yeh Mas Sundari Bungkah
Upet-upet
Segara kelod segara kangin
Palik pinulak Batara Wisnu3

Air yang engkau tampung itu kegunaan utamanya adalah untuk dijadikan gula. Cara membuatnya, mula-mula masaklah seperti engkau memasak air. Setelah airku berbentuk seperti bubur, tuangkanlah pada tabung bambu atau tempurung kelapa. Bila telah kering ia akan menjadi gula yang dapat dipergunakan untuk berbagai kebutuhan.

Di samping untuk gula, airku dapat pula kau minum seketika karena rasanya manis. Dan, bila kau ingin membuat airku menjadi tuak, rendamlah akar kayu bajur di dalamnya. Tetapi, air itu tak lagi terasa manis, dan berubah warna menjadi kemerah-merahan. Dapat juga kau minum, tetapi hendaklah hati-hati jangan melampaui batas. Bila melewati batas dapat menyebabkan mabuk dan lupa kepada kebenaran.”

Demikianlah, sejak saat itu Dedara Nunggal yang telah menjelma menjadi pohon, dapat dimanfaatkan oleh manusia menjadi gula ataupun tuak. Ia saat ini juga dikenal sebagai Sundari Bungkah atau yang lazim dikenal dengan nama pohon enau.

Sumber:
Diadaptasi bebas dari Proyek Penerbitan dan Pencatatan Kebudayaan Daerah. 1981. Cerita Rakyat Nusa Tenggara Barat. Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

1 Mantra ini dinyanyikan bila seorang penarep sedang memukul batang bunga enau. Penarep adalah orang yang pekerjaannya mengusahakan air nira (enau).
Mantra ini terjemahan bebasnya:
O, ibu, O, ayah,
Anta Gini, Anta Gina,
Lilir Abika,
Berilah anakmu menyusu,
Yang bernama Mas Sundari Muncar.

2 Terjemahan bebasnya:
Nah, sekarang batang bungamu akan kupotong,
Yang menghadap ke utara, selatan, timur maupun barat,
Agar anakmu yang bernama Mas Sundari Muncar,
Dapat mengisap air susu.

3 Terjemahan bebasnya:
Lautan penolak, niat orang yang merusak airmu,
Tutuplah tutup,
Lautan selatan, maupun timur,
Inilah penonok dari Batara Wisnu.

Ungkapan Tradisional Masyarakat Melayu-Natuna (2)

Mali1 duduk melekang lawang
Nandek tulak lih andu

Mali duduk membelakangi pintu
Nanti ditolak oleh hantu

Pintu adalah jalan untuk keluar-masuk orang. Duduk membelakangi pintu, selain dapat terjatuh (jika ada yang membukanya dari dalam), yang tidak kalah pentingnya adalah menghalangi orang yang akan keluar-masuk. Oleh karena itu, duduk membelakangi pintu tidak diperbolehkan. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini keterbukaan.


Mali makan jeuh deghi duleng
Nandek landuk susu bini

Mali makan jauh dari dulang (talam)
Nanti panjang ke bawah susu bini

Makan jauh dari talam dapat menyebabkan nasi dan atau lauk-pauknya tercecer, sehingga terkesan berantakan. Makan dengan cara seperti dianggap tidak sopan. Oleh karena itu, makan jauh dari talam tidak diperbolehkan. Nilai yang terdapat dalam ungkapan ini, dengan demikian, adalah kesopansantunan dan atau kerapihan.


Mali mesok tangan delem pinggen
Nandek benyek utang

Mali membasuk tangan dalam pinggan
Nanti banyak hutang

Pinggan adalah tempat untuk menaruh sayur dan bukan untuk mencuci tangan. Oleh karena itu, mencuci tangan dalam pinggan tidak diperbolehkan. Nilai yang terkandung di dalam ungkapan ini adalah ketertiban (menempatkan sesuatu sesuai dengan tempatnya).


Mali besiol delem ghumah
Nandek naek ula

Mali bersiul dalam rumah
Nanti naik ular

Rumah identik dengan kedamaian dan ketenteraman. Sementara siulan dapat mengusiknya. Oleh karena itu, bersiul di dalam rumah tidak diperbolehkan. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah tempat ketenteraman.


Mali mecot ughang dengan sapu
Nandek sia

Mali melecut orang dengan sapu
Nanti sial

Sapu fungsinya adalah untuk membersihkan rumah dan atau halaman. Jadi, bukan untuk melecut orang. Oleh karena itu, melecut orang dengan sapu tidak diperbolehkan. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah ketertiban (menempatkan atau menggunakan sesuatu sesuai dengan tempat atau fungsinya).


Mali kemeh tengah jelen
Nandek benggak butoh

Mali kemih (kencing) tengah jalan
Nanti bengkak butuh (zakar)

Kencing berarti mengeluarkan kotoran (najis). Najis ini tidak semestinya dibuang ke sembarang tempat, tetapi di tempat-tempat yang ditentukan, sehingga tidak merusak atau menganggu lingkungan (menimbulkan polusi). Oleh karena itu, tidak semestinya kencing di tengah jalan. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah kebersihan lingkungan.


Mali ngelen ughang
Nandek jedi beghuk

Mali mencibir orang
Nanti jadi beruk

Di mata Tuhan manusia adalah sama. Lagi pula, setiap manusia mempunyai kelebihan dan karenanya belum tentu yang dicibir itu lebih rendah. Oleh karena itu, tidak semestinya mencibir orang. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini, dengan demikian, adalah penghormatan sesama manusia.


Mali meghenong kuceng bejubo
Nandek kenak segheng-e

Mali merenung (melihat) kucing bersetubuh
Nanti nafsu kebinatangannya

Bersetubuh adalah kebutuhan biologis hewan dan manusia. Bedanya, jika hewan tidak diselimuti oleh kebudayaan, maka manusia diselimuti oleh kebudayaan. Dengan perkataan lain, hewan melakukannya secara sembarangan, manusia menggunakan tata cara dan adat-istiadat tertentu; jadi tidak secara sembarangan. Oleh karena itu, tidak diperbolehkan melihat kucing yang bersetubuh. Sebab dikhawatirkan apa yang dilakukan oleh binatang akan ditiru sepenuhnya. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini, dengan demikian, adalah kemanusiaan yang beradab dan berbudaya.


Mali makan bedighi lutot
Nandek kenak saket talak

Mali makan berdiri lutut
Nanti kena sakit talak (semacam sepilis)

Makan mestinya dilakukan secara benar (bukan berdiri). Sebab makan sambil berdiri disamping kurang patut, dapat menyebabkan sesuatu yang tidak diinginkan (peralatan makan terjatuh). Oleh karena itu, janganlah makan sambil berdiri. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah ketertiban.


Mali beghing kaki naek cok dinding
Nandek pemalas

Mali baring kaki naik pucuk (atas) dinding
Nanti pemalas

Berbaring sambil menaikkan kaki ke dinding dapat membuat dinding menjadi kotor. Lagi pula, tidak pantas walaupun perbuatan itu mungkin saja mengasikkan. Akan tetapi, justeru keasyikan itulah yang kemudian dapat menjadikan seseorang lupa. Oleh karena itu, janganlah berbaring sambil menaikkan kaki ke dinding. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini, dengan demikian, disamping kebersihan adalah kerja keras.


Mali ngindep ughang
Nandek butak mateu

Mali ngintip orang
Nanti buta mata

Fungsi mata memang untuk melihat, tetapi bukan untuk mengintip, karena perbuatan mengintip sama dengan mencuri. Artinya, ada pihak lain yang tidak menghendaki. Oleh karena itu janganlah mengintip. Nilai yang terkandung di dalam ungkapan ini adalah kebaikan.


Mali endik nyecah mendeu makan
Nandek punan

Mali tidak menyecah (mencicipi) benda makan
Nanti punan (ditimpa musibah)

Makanan yang akan dihidangkan haruslah dicicipi dahulu untuk menentukan apakah sudah sesuai dengan yang diinginkan atau belum, sehingga tidak mubazir atau kerja dua kali. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini, dengan demikian, adalah keefektivan dan keefisienan.


Mali ngughong bughung
Nandek lah mati dikughek lih dieu mate

Mali mengurung burung
Nanti sudah mati dikoreknya mata

Burung, sebagaimana manusia, menginginkan kebebasan. Mengurung burung berarti mengekang kebebasannya. Oleh karena itu, mengurung burung tidak semestinya dilakukan. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah kebebasan.


Mali tetawak ngilai
Nandek jedi andu kiwi

Mali tertawa mengilai
Nanti menjadi hantu kiwi (hantu berwajah perempuan jelek)

Tertawa memang sehat. Akan tetapi, tertawa terkekeh-kekeh tanpa memperhatikan situasi dan kondisi adalah tidak patut (sopan). Oleh karena itu, tertawa terkekeh-kekeh yang tidak pada tempatnya jangan dilakukan. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini, adalah kesopan santunan.


Mali nyenyi tengah bighok
Nandek tumbuh tumbe cok mate

Mali bernyanyi tengah berak
Nanti tumbuh tumbi (bisul kecil) di atas mata

Membuang hajat memerlukan konsentrasi. Membuang hajat sambil menyanyi dapat memecah konsentrasi, sehingga kototan tidak terbuang secara total. Oleh karena itu, tidak diperbolehkan membuang hajat sambil bernyanyi. Nilai terkandung di dalam ungkapan ini adalah keseriusan.


Mali beghing melaos
Nandek mati mak

Mali baring menelungkup
Nanti mati mak

Berbaring menelungkup dapat menyebabkan dada terasa sakit dan tidak dapat bernafas secara bebas. Ini dapat merusak kesehatan. Oleh karena itu, berbaring menelungkup tidak diperbolehkan. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah kesehatan.


Mali meen sunggok ughang
Nandek tulah

Mali memainkan kopiah orang
Nanti tulah (kualat)

Kepala adalah maruah. Mengingat kopiah sangat erat kaitannya dengan kepala, maka memainkan kopiah orang sama halnya dengan menghina pemiliknya. Oleh karena itu, memainkan kopiah orang lain tidak diperbolehkan. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah penghormatan terhadap sesamanya.


Mali nyembel muke lawang
Nandek payah bini nak beghenek

Mali menyembal (masuk sedikit) muka pintu
Nanti payah bini nak beranak

Masuk sedikit (berada) dimuka pintu dapat menganggu orang yang akan lalu-lalang. Oleh karena itu, berada di muka pintu tidak diperbolehkan. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah kelancaran.


Mali begendeng pinggen
Nandek mahal rezeki

Mali bergendang pinggan
Nanti mahal rezeki

Bergendang pinggan berarti tidak berbuat sesuatu. Oleh karena itu, tidak diperbolehkan. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah kerja keras.


Mali beghejung kaen
Nandek mati ayah

Mali berejung (sampan) kain
Nanti mati ayah

Bersampan dengan kain dapat menimbulkan sesuatu yang tidak diinginkan. Oleh karena itu, tidak diperbolehkan. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah keselamatan.


Mali duduk melengkang luan
Nandek temu aghal

Mali duduk membelakang haluan
Nanti temu aral

Duduk membelakangi haluan berarti mengabaikan apa yang akan dan atau terjadi di hadapan. Oleh karena itu, duduk dengan cara demikian tidak diperbolehkan. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah kewaspadaan.


Mali ngendin anak pakai buluh
Nandek sial

Mali memukul anak pakai buluh
Nanti sial

Buluh, disamping cukup keras, apalagi yang sudah kering, juga ruas-ruasnya kasar. Oleh karena itu, tidak sepatutnya dipergunakan sebagai alat untuk memukul anak. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah kasih sayang terhadap anak.


Mali beghing ngukek
Nandek pemalas

Mali baring dengan kaki ke atas
Nanti pemalas

Berbaring dengan kaki ke atas tidak pantas dilihat orang. Oleh karena itu, tidak semestinya dilakukan. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah kesopan-santunan.


Mali nubeu ikan delam aek aghong
Nandek sulah paleu

Mali menuba ikan dalam sungai kecil
Nanti sulah kepala

Sungai yang kecil tentunya debit airnya terbatas. Menuba ikan di sungai kecil tentunya akan mencemarinya. Oleh karena itu, tidak sepatutnya dilakukan. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah kelestarian lingkungan.


Mali jelen malam anak kecik mbek belakang
Nandek beleu lih andu

Mali jalan malam anak kecil gendong belakang
Nanti diganggu oleh hantu

Anak kecil memang masih memerlukan perhatian dan pengawasan yang ketat. Menggendong anak kecil di bagian belakang, apalagi malam, berarti sama saja dengan mengabaikannya. Oleh karena itu, tidak patut dilakukukan. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah kepedulian.


Mali mengejut anak kecik
Nandek ngigau tido malam

Mali mengejutkan anak kecil
Nanti mengigau tidur malam

Jantung anak kecil masih dalam pertumbuhan. Mengejutkannya berarti sama dengan mengganggu detak jantungnya. Oleh karena itu, tidak semestinya dilakukan. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah kasih sayang.


Mali begendeng kupek
Nandek biseu peghot

Mali bergendang bantal
Nanti bisa perut

Bergendang bantal, disamping tidak lazim, dapat membuat sarungnya sobek, sehingga isinya berhamburan. Oleh karena itu, tidak semestinya dilakukan. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah kehematan.


Mali begendeng landai
Nandek bejugit andu bewih ghumah

Mali bergendang lantai
Nanti berjoget hantu bawah rumah

Lantai, walaupun dapat mengeluarkan bunyi, namun ia bukanlah gendang. Menjadikan lantai sebagai gendang berarti sama saja merusak lantai itu sendiri. Oleh karena itu, tidak semestinya dilakukan. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah menempatkan sesuatu sesuai dengan fungsinya.


Mali betanjuk siang aghi
Nandek tawak andu

Mali bertanjuk (berjalan pakai lampu) siang hari
Nanti tertawa hantu

Siang berarti ada matahari yang menyinarinya, sehingga keadaan menjadi terang benderang. Oleh karena itu, tidak perlu di siang hari menggunakan lampu. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah kemubaziran.


Mali anak kecik begugheu cok tempat tido
Nandek pengemeh

Mali anak kecil bergurau di atas tempat tidur
Nanti pengemih

Tempat tidur, sesuai dengan namanya, adalah untuk tidur. Jadi bukan untuk bergurau. Oleh karena itu, tidak sepatutnya untuk bergurau, karena bukan hal yang mustahil dapat merusaknya. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah menempatkan atau mengerjakan sesuatu sesuai dengan tempatnya (ketertiban).


Mali ughang laki ambut panjang
Nandek jedi andu

Mali orang lelaki rambut panjang
Nanti jadi hantu

Jenis-jenis pekerjaan yang dilakukan oleh laki-laki relatif penuh tantangan ketimbang perempuan. Dan, rambut yang panjang dapat mengganggunya dalam melaksanakan pekerjaannya. Oleh karena itu, tidak sepatutnya laki-laki berambut panjang. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah kepraktisan.


Mali begeghuh pakai isok
Nandek kughap

Mali bergaruk pakai pisau
Nanti kurap

Pisau, sebagaimana kita tahu, adalah benda yang keras dan tajam. Menggaruk dengan pisau, dengan demikian, dapat membuat yang digaruk tergores kulitnya sehingga mengeluarkan darah. Oleh karena itu, tidak semestinya dilakukan. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah menggunakan sesuatu sesuai dengan fungsinya (ketertiban).


Mali makan ikan bughuk
Nandek busok kendot

Mali makan ikan buruk
Nanti busuk kentut

Ikan yang telah membusuk tentunya mengandung bakteri yang dapat mengganggu kesehatan. Oleh karena itu, tidak semestinya dimakan. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah kesehatan.


Mali duduk besugang tangan ke belakang
Nandek setukoh duduk ughang delem neghakeu

Mali duduk bersugang tangan ke belakang
Nanti setokoh orang duduk dalam neraka

Duduk bersugang tangan ke belakang berarti tidak melakukan sesuatu (tangan tidak digunakan untuk mengerjakan sesuatu). Oleh karena itu, tidak semestinya dilakukan. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah kerja keras.


Mali mueng ghambut delem pelimbih
Nandek biseu kepaleu

Mali membuang rambut dalam pelimbah
Nanti bisul kepala

Rambut bagi masyarakat Bunguran-Natuna dipercayai mempunyai kekuatan tertentu. Oleh karena itu, tidak semestinya dibuang sembarangan. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah kehati-hatian.


Mali ughang muan ngeghat ghambut
Nandek lah mati ditundot lih dieu

Mali orang perempuan mengerat rambut
Nanti lah mati dituntut olehnya

Laki-laki, karena jenis pekerjaan yang dilakukan relatif menantang, maka mereka berambut pendek. Sebaliknya, perempuan berambut panjang. Dan, ini telah menjadi adat. Oleh karena itu, tidak semestinya perempuan memangkas rambutnya. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini kehaketan terhadap sesuatu.


Mali becuko malam aghi
Nandek pandek umo

Mali bercukur malam hari
Nanti pendek umur

Bercukur tentunya menggunakan benda yang tajam (pisau cukur). Dan, untuk mencukur seseorang dibutuhkan sinar yang terang. Mencukur pada waktu malam, karena sinarnya relatif gelap, bukan hal yang mustahil dapat menyebabkan terjadinya sesuatu yang tidak diinginkan; misalnya tergores atau malah tidak rata. Oleh karena itu, bercukur pada malam hari tidak dibenarkan. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah keselamatan.


Mali anak muan meghenong butoh ughang besunat
Nandek lambet sembuh

Mali anak perempuan melihat butuh orang bersunat
Nanti lambat sembuh

Anak perempuan, apalagi sudah akhil baliq (dewasa), tidak dibenarkan melihat kemaluan laki-laki, karena bisa menimbulkan khayalan yang bukan-bukan atau sesuatu yang tidak diinginkan. Nilai yang terdapat dalam ungkapan ini, dengan demikian, adalah keprevetifan.


Mali bini bunding ngeli paghet
Nandek sumbing anak

Mali bini bunting menggali parit
Nanti sumbing anak

Seseorang yang hamil membutuhkan istirahat yang cukup dan tidak perlu mengerjakan pekerjaan berat. Oleh itu, tidak dibenarkan isteri yang sedang hamil menggali parit. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah kehati-hatian.


Mali muet patong
Nandek lah mati sughoh lih Tuhan muet nyaweu

Mali membuat patung
Nanti lah mati disuruh Tuhan membuat nyawa

Membuat patung diibaratkan sama dengan membuat manusia. Padahal, hanya Tuhan lah dapat menciptakan manusia. Membuat patung, dengan demikian, diibaratkan menyaingi kekuasaan Tuhan. Oleh karena itu, tidak boleh dilakukan. Nilai yang terkandung di dalam ungkapan ini adalah ketuhanan.


Mali makan bejundai kaki
Nandek mati bini

Mali makan berjuntai kaki
Nanti mati bini

Makan berjuntai kaki, disamping tidak sopan juga dapat mengganggu proses pencernakan. Oleh karena itu, makan dengan cara seperti itu tidak patut dilakukan. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah kesopan-santunan.


Mali makan cok kuko
Nandek pemalas

Mali makan atas kukur
Nanti pemalas

Makan di atas kukur juga tidak sopan. Oleh karena itu, tidak pantas untuk dilakukan. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah kesopan-santunan.


Mali nguko nyok belubeng tengah
Nandek jumul teme’e

Mali mengukur nyiur berlobang tengah
Nanti sangat tamak

Melakukan suatu pekerjaan mestinya dengan sungguh-sungguh, termasuk mengukur kelapa. Oleh karena itu, mengkukurnya dengan tidak sempurna mesti dihindarkan. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah ketelitian dan kesungguhan.


Mali nyameu ikan laot dengen ikan deghet
Nandek ghebes ambut

Mali menyamai ikan laut dengan ikan darat
Nanti rebas (gugur, rontok) rambut

Sesuatu yang berbeda tentunya harus dibedakan. Oleh karena itu, menyamakan ikan laut dengan ikan darat mesti dihindari. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah menempatkan sesuatu sebagaimana mestinya. Dengan perkataan lain, ketelitian dan jangan melakukan kesiasiaan.


Mali kayu api ndik beghuah deghi tunjeng
Nandek kebebeng bini beghenek

Mali kayu api tak diruah (dikeluarkan) dari tunjang
Nanti kebebang (anak tak mau keluar) bini beranak

Kayu api sebagai bahan bakar harus dibuat sepraktis-praktis atau serapi-rapinya hingga memudahkan dalam pembakarannya. Oleh karena itu, kayu api jangan dibiarkan tak diruah (dikeluarkan) dari dalam tunjang (keranjang). Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah kesungguhan dan menyelesaikan dalam mengerjalan sesuatu.


Mali meka taek
Nandek bughuk jubo

Mali membakar tahi
Nanti buruk jubur

Tahi yang dibakar dapat mengeluarkan aroma tidak sedap. Oleh karena itu, tahi mestinya ditempatkan pada tempat tertentu dan bukan dibakar. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah kebersihan lingkungan.


Mali makan delem tapes
Nandek kenak sakit naon

Mali makan dalam tapis
Nanti kena penyakit menahun

Makan sesuatu disesuaikan dengan tempatnya. Tapis adalah bukan tempat untuk makan, tetapi untuk menyaring santan dan sebagainya. Oleh karena itu, tidak layak untuk dilakukan. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini dalah menempatkan sesuatu sesuai dengan fungsinya (ketertiban).


Mali begewei aghi ughang mati
Nandek ndik selamat

Mali bergawai (pesta perkawinan) hari orang mati
Nanti tak selamat

Mati berarti meninggal dunia untuk selama-lamanya. Oleh karena itu, pada saat ada orang meninggal mestinya meluangkan waktu untuk menjenguknya dan menguburnya. Hari itu, ada orang tengah berduka-cita, maka tidak sepatutnya melakukan gawai (pesta perkawinan) yang bersuka ria. Jadi, bersuka-ria atau bekerja pada saat ada orang mati tidak patut dilakukan. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah penghormatan terhadap orang yang meninggal dan sekaligus menjalankan perintah agama.


Mali ikat beghekas kayu ndik bukak
Nandek bini mati bebunggos

Mali ikat berkas kayu tak dibuka
Nanti bini mati berbungkus

Kayu yang akan diperlukan untuk sesuatu mesti dibuka talinya untuk memudahkan pengambilannya. Dengan demikian, pekerjaan yang akan dilakukan dapat diselesaikan dengan mudah. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah ketuntasan dan keselamatan.


Mali tido tamak aghi
Nandek namak setan

Mali tidur menjelang senja
Nanti namak (menyerupai) setan

Senja hari adalah saat untuk membersihkan diri guna mempersiapkan sholat magrib dna sekaligus istirahat di malam hari. Oleh karena itu, tidak patut tidur di senja hari. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah ketepatan dalam pemanfaatan waktu.


Mali jelan delem ujen panas
Nandek cacok lih andu

Mali jalan dalam hujan-panas
Nanti ditegur oleh hantu

Hujan disertai panas membuat suhu udara menjadi tak karuan. Oleh karena itu, jalan pada saat-saat yang demikian tidak diperbolehkan. Apalagi, yang namanya tentunya akan membuat badan menjadi basah. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah kesehatan.


Mali makai beju besah
Nandek payah dapat rezeki

Mali memakai baju basah
Nanti payah dapat rezeki

Baju yang basah dapat membuat badan menjadi sakit (masuk angin). Oleh karena itu, tidak semestinya dipakai. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini kesehatan.


Mali makai beju/seluwa salah balik
Nandek ndik isek keghejeu nak sudih

Mali memakai baju/celana terbalik
Nanti tak ada kerja yang sudah

Baju dan celana memang dibuat sedemikian rupa sehingga nyaman (selesa) dipakai. Memakai baju dan atau celana terbalik berarti mengurangi kenyamanan. Lagipula, tidak lazim. Oleh karena itu, mesti dhindari. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah ketertiban.


Mali bepayong delem ghumah
Nandek panah lih linda

Mali berpayung dalam rumah
Nanti panah (sambar) oleh halilintar

Di dalam rumah berarti terlindung dari teriknya sinar matahari atau tetesan air hujan. Oleh karena itu, di dalam rumah tidak perlu menggunakan payung. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah kemubaziran.


Mali ngasah belekang isok
Nandek bebel

Mali mengasah belakang pisau
Nanti bebal

Pisau sebagai alat untuk memotong atau membelah sesuatu tentunya matanya harus tajam. Ini artinya, jika ingin mengasahnya, maka mata pisaunyalah yang diasah, bukan punggungnya (bagian belakang pisau). Oleh karena itu, punggung pisau tidak perlu diasah. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah kemubaziran dan kesia-siaan.


Mali anak mudik duduk cok lesong
Nandek beghet tunggeng

Mali anak gadis duduk atas lesung
Nanti berat tungking

Lesung adalah tempat untuk menumbuk (menghaluskan sesuatu). Oleh karena itu, tidak sepatutnya diduduki. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah menggunakan sesuatu sesuai dengan fungsinya (ketertiban).


Mali ngendak kayu nyusang
Nandek bini beghenek nyusang

Mali memancang kayu sungsang
Nanti bini beranak sungsang

Memancang kayu hendaknya tepat (tegak lurus); sebab jika tidak akan membahayakan. Oleh karena itu, memasang kayu dalam posisi sungsang, tidak diperbolehkan. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah keselamatan ketepatan.


Mali tido tangan cok keneng
Nandek ndik tecapai cita-cita

Mali tidur tangan atas kening
Nanti tak tercapai cita-cita

Tidur dengan posisi tangan di atas kening berarti menambah beban kepala. Oleh karena itu, tidak semestinya dilakukan. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah kebebasan.


Mali nyiom tangan anak kecik
Nandek lah beso sukeu mindak

Mali mencium tangan anak kecil
Nanti setelah besar suka minta

Sebagai penghormatan terhadap yang lebih senior adalah dengan mencium tangannya. Dengan demikian, mencium tangan anak kecil dapat diartikan sebagai perbuatan yang tidak perlu dilakukan. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah penghormatan terhadap senior.


Mali duduk nganggang
Nandek luto lih andu

Mali duduk mengangkang
Nanti dilontar oleh hantu

Duduk mengangkang adalah tidak pada tempatnya. Apalagi, jika itu dilakukan oleh perempuan. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah kesopan-santunan.


Mali bejeung-jeung delem ghutan tueu
Nandek saot lih andu

Mali berjaung-jaung dalam hutan belantara
Nanti disahut oleh hantu

Hutan disamping berfungsi sebagai persediaan air yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan, juga merupakan habitat dari berbagai hewan. Oleh karena itu, tidak diperbolehkan mengusiknya dengan membuat kegaduhan atau keributan yang dapat merusak hutan tersebut. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini, dengan demikian, adalah kelestarian lingkungan.


Mali begendeng aek
Nandek tanggap lih beyik

Mali bergendang air
Nanti ditangkap oleh buaya

Bergendang air dapat membuat air menjadi keruh. Disamping itu, tidak bermanfaat. Oleh karena itu, tidak patut untuk dilakukan. Nilai yang terkandung di dalam ungkapan ini, dengan demikian, adalah kemanfaatan.


Mali duduk betunggad jeguk
Nandek sipak lih setan

Mali duduk bertongkat dagu
Nanti disepak oleh setan

Duduk bertongkat dagu berarti tidak mengerjakan sesuatu (bermalas-malasan). Oleh karena itu, tidak patut dilakukan. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah kerja keras.


Mali sambai ngikis aek tepayan
Nandek tido lih andu

Mali sampai mengikis air tempayan
Nanti ditidur oleh hantu

Air, sebagaimana kita tahu, adalah sumber kehidupan. Setiap rumah tangga harus menyimpannya. Oleh karena itu, membiarkan tempayan tak berisi air setetes pun tidak diperbolehkan. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah kerajinan.


Mali ngambin isok delem tunjeng
Nandek ghebes ghambut

Mali mengambin pisau dalam tunjang
Nanti rebas (gugur, rontok) rambut

Mengambin (membawa) pisau dalam tunjang (seperti keranjang teranyam dari rotan) dapat membahayakan diri sendiri. Oleh karena itu, perbuatan tersebut tidak diperbolehkan. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah kehati-hatian.


Mali nyetek tamak aghi
Nandek kenak mateu andu

Mali menyetik (menembak dengan ketapel) senja hari
Nanti kena mata hantu

Senja hari adalah saat-saat pergantian antara siang dan malam. Pada saat-saat yang demikian, tentunya penglihatan seseorang tidak begitu tajam (jelas). Menggunakan katapel pada saat-saat yang demikian dapat mencelakai seseorang. Lagi pula, saat-saat yang demikian adalah saat-saat untuk membersihkan diri guna melakukan sholat Magrib. Oleh karena itu, menggunakan katapel di senja hari tidak diperbolehkan. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah keselamatan.


Mali jelen mighek tumet kawan
Nandek mati mak

Mali berjalan memirik (memijak, menginjak) tumit kawan
Nanti mati mak

Jalan bersama teman dan atau orag lain hendaknya diatur jaraknya, sehingga tidak membuat tumit teman dan atau orang lain itu terinjak. Menginjak kaki orang tentunya dapat membuat yang bersangkutan terjatuh. Oleh karena itu, tidak patut dilakukan. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah perhormatan terhadap orang lain.


Mali bighok cok pase tepi laot
Nandek penyok ndik maok naek betelo

Mali berak di atas pasir tepi laut
Nanti penyu tak mau naik bertelur

Membuang hajat besar (kotoran) hendaknya dilakukan pada tempat yang telah disediakan. Membuang kotoran di atas pasir tepi laut, disamping menganggu orang lain juga keindahan pantai itu sendiri. Oleh karena itu, tidak patut dilakukan. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah ketertiban, kebersihan dan keindahan.


Mali meka kulet pisang
Nandek kenak penyaket miang

Mali membakar kulit pisang
Nanti kena penyakit miang

Kulit pisang relatif tebal dibanding dedaunan. Lagi pula, ia tidak cepat kering sehingga sulit terbakar. Disamping itu, hal itu tidak lazim. Oleh karena itu, tidak patut dilakukan. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah kemubaziran.


Mali meka kulet telo
Nandek kenak penyaket beghuh delem

Mali membakar kulit telur
Nanti kena penyakit barah dalam

Sebagaimana dengan kulit pisang, kulit telut juga relatif lebih tebal dan keras dibanding dedaunan, sehingga sulit terbakar. Disamping itu, tidak lazim untuk dibakar. Oleh karena itu, juga tidak patut dilakukan. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah juga kemubaziran dan kesia-siaan.


Mali makan delem lesong betu
Nandek kenak penyaket beghuh

Mali makan dalam lesung batu
Nanti kena penyakit barah

Lesung batu bukan tempat untuk makan. Oleh karena itu, tidak patut dilakukan. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah menggunakan sesuatu sesuai dengan fungsinya (ketertiban).


Mali betudung tapes
Nandek sulah paleu

Mali bertudung tapis
Nanti sulah (botak, gundul) kepala

Tapis bukan benda atau sesuatu yang pantas untuk dijadikan tudung kepala, tetapi untuk menyaring santan kelapa. Oleh karena itu, tidak patut dilakukan. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah menggunakan sesuatu dengan fungsinya (ketertiban).


Mali makan betekan lutot
Nandek jedi ughang pemalas

Mali makan bertekan lutut
Nanti jadi orang pemalas

Makan adalah salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan biologis guna memperoleh energi (tenaga). Akan tetapi, harus dilakukan sesuai dengan adat. Makan dengan cara bertekan lutut, disamping tidak lazim (sesuai dengan adat), juga dapat mengganggu proses pencernaan. Oleh karena itu, tidak patut dilakukan. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah kesantunan.


Mali canggol tinggel delem lubeng
Nandek mindak nyaweu

Mali cangkul tinggal dalam lobang
Nanti minta nyawa

Mengerjakan sesuatu tidak boleh setengah-setengah dan harus rapih. Oleh karena itu, meninggalkan cangkul dalam lobang tidak patut dilakukan. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah ketuntasan.


Mali bersiol dekat kubo
Nandek ughang delem kubo nyanggeu lah kiamat

Mali bersiul dekat kubur
Nanti orang dalam kubur menyangka sudah kiamat

Kubur atau makam adalah suatu tempat yang mestinya penuh kekhidmatan. Oleh karena itu, bersiul dekat kubur mesti dihindari, sebaliknya mengucapkan salam atau doa-doa. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah penghormatan terhadap orang yang telah meninggal.


Mali duduk betunggat jeguk
Nandek sial

Mali duduk bertongkat dagu
Nanti sial

Duduk bertongkat dagu berarti membiarkan dirinya tidak berbuat sesuatu. Oleh karena itu, mesti dihindari. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah tidak pemalas atau kerja keras.


Mali duduk pelok lutot
Nandek namak ughang kalah judi

Mali duduk berpeluk lutut
Nanti namak (menyerupai, seperti) orang kalah judi

Duduk hendaknya dilakukan secara benar (sesuai dengan kesantunan). Oleh karena itu, duduk berpeluk lutut tidak patut dilakukan. Juga, berpeluk lutut mengisyaratkan pemalas. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah kesopan-santunan dan kerajinan.


Mali tido delem gulung tika
Nandek langgah lih andu

Mali tidur dalam gulung tikar
Nanti dilangkah oleh hantu

Tikar disamping dipergunakan untuk berbagai keperluan, juga sebagai alas tidur. Namun demikian, bukan berarti seseorang dapat tidur dengan seenaknya; misalnya dalam gulung tikar. Oleh karena itu, tidak semestinya dilakukan. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah menggunakan atau menempatkan sesuatu dengan fungsinya. Dengan perkataan lain nilai yang terkandung adalah ketertiban.


Mali anak maseh kecik jelen cok tanah
Nandek pandek umo

Mali anak masih kecil jalan atas tanah
Nanti pendek umur

Tanah sering dilambangkan sebagai kesuburan. Namun, tanah juga menyimpan berbagai baksil (bakteri) yang pada gilirannya menimbulkan penyakit. Sementara, anak kecil memerlukan perawatan yang khusus, karena pisiknya belum kebal terhadap berbagai macam penyakit. Oleh karena itu, tidak semestinya anak kecil jalan di atas tanah. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah kesehatan.


Mali nguap sambai ngeloh
Nandek suap lih andu dengan taek

Mali menguap sampai mengeluh
Nanti suap olah hantu dengan tahi

Setiap orang pasti akan menguap. Akan tetapi, hal itu mesti dilakukan secara sopan. Menguap sampai mengeluh, dengan demikian, tidak pantas untuk dilakukan karena akan mengurangi kepribadian yang bersangkutan. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah kesopan-santunan.


Mali beceghemen aek
Nandek bughuk ghupeu

Mali bercermin air
Nanti buruk rupa

Air, walaupun dapat digunakan untuk bercermin, tetapi alangkah baiknya jika menggunakan cermin. Oleh karena itu, bercermin melalui air tidak diperbolehkan. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah menggunakan sesuatu sesuai dengan fungsinya (ketertiban).


Mali nimbek aek dengen peghiok itam
Nandek ghibut haghi

Mali menimba air dengan periuk hitam
Nanti ribut hari

Periuk yang berwarna hitam dapat menyebabkan air menjadi keruh jika digunakan untuk menimba. Lagi pula, periuk lazimnya digunakan untuk memasak. Oleh karena itu, menimba dengan periuk tidak diperbolehkan. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah menggunakan sesuatu sesuai dengan fungsinya (ketertiban).


Mali numbuk sambil duduk
Nandek kenak bughut

Mali menumbuk sambik duduk
Nanti kena burut (bengkak buah pelir)

Apabila menumbuk sambil duduk, tenaga yang dikeluarkan tidak optimal dibandingkan dengan berdiri. Oleh karena itu, menumbuk sambil duduk tidak diperbolehkan. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah keekfektif dan keefisienan.


Mali ngisa padi pakai kaki
Nandek kenak bughut

Mali mengisa padi pakai kaki
Nanti kena burut (bengkak buah pelir)

Padi adalah makanan pokok sehari-hari yang harus diperlakukan sedemikian rupa. Oleh karena itu, mengais padi dengan kaki tidak diperbolehkan, karena mencerminkan bekerja tidak serius, pemalas. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah menggunakan sesuatu dengan fungsinya.


Mali duduk temenong
Nandek dilalek lih andu

Mali duduk termenung
Nanti dilalik (dilalaikan) oleh hantu

Duduk termenung (melamun) berarti tidak memanfaatkan waktu sebaik-baiknya. Dan, ini berarti pula tidak mengerjakan sesuatu. Lagi pula, melamun berarti membiarkan pikiran kosong yang dapat menyebabkan sesuatu yang tidak diinginkan dapat terjadi. Oleh karena itu, duduk melamun tidak diperbolehkan. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah kerja keras.


Mali duduk berjuntai cok tanggik
Nandek taghek lih andu

Mali duduk berjuntai atas tangga
Nanti ditarik oleh hantu

Duduk berjuntai di atas tangga dapat tergelincir dan jatuh. Lagi pula, tangga bukan tempat untuk duduk melainkan untuk memanjat sesuatu yang tidak terjangkau oleh tangan. Oleh karena itu, duduk di atas tangga hendaknya dihindarkan. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah menempatkan atau menggunakan sesuatu sesuai dengan fungsinya (ketertiban).


Mali nakek tunggul delem kebun
Nandek genes musoh

Mali menakik tunggul dalam kebun
Nanti ganas musuh

Kebun adalah sebidang tanah yang harus ditanami oleh tanaman yang menghasilkan dan karenanya harus dijaga dengan baik. Menakik tunggul dalam kebun dapat merusak kebun itu sendiri. Oleh karena itu, perbuatan yang demikian tidak diperbolehkan. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini, dengan demikian, adalah kelestarian (alam).


Mali tido naek aghi
Nandek pelumes

Mali tidur naik hari
Nanti pelumis (selalu sakit-sakitan)

Menjelang tengah hari adalah waktunya orang untuk bekerja. Jadi, bukan untuk tidur. Oleh karena itu, tidur menjelang tengah hari tidak diperbolehkan. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah bekerja keras.


Mali ngamang-ngamang isok
Nandek lalu lih belis

Mali mengamang-ngamang (mengacung-acung, mengarah-arahkan) pisau
Nanti lalu (masuk) oleh iblis

Pisau adalah benda tajam yang dapat membayakan diri sendiri atau orang lain. Oleh karena itu, alat tersebut tidak diperbolehkan untuk mainan. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah kehati-hatian.


Mali lesong betu endik pakai besok
Nandek taes tundun

Mali lesung batu tidak pakai basuh
Nanti tais (selalu basah, berair terus) tundun (vagina)

Lesung batu, adalah tempat menumbuk bumbu lauk-pauk, seperti cabe dan sebagainya. Apabila selesai menumbuk bahan-bahan lauk-lauk tersebut tidak dibersihkan, maka akan kotor dan berpotensi menyimpan penyakit. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah kebersihan.


Mali numbuk lesong batu kusong
Nandek endik depat laki

Mali menumbuk lesung batu kosong
Nanti tidak dapat suami

Lesung batu yang kosong tentunya jika ditumbuk akan merusak lubang lesung itu sendiri. Oleh karena itu, menumbuk lesung dalam keadaan kosong tidak diperbolehkan. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah ketidak sia-siaan atau kehematan.


Mali pegi keghejeu bulen potos
Nandek naas

Mali pergi bekerja bulan putus
Nanti naas

Melakukan pekerjaan hendaknya penuh dengan perhitungan dan jangan setengah-setengah. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini, dengan demikian, adalah ketelitian.


Mali pegi kaghang aghi jemeet
Nandek jedi keghak

Mali pergi karang (menuba ikan di pantai) hari Jumat
Nanti jadi kera

Melayu sering diidentikkan sebagai Islam, dan hari Jumat adalah hari yang diagungkan oleh orang Islam. Pada hari itulah orang Islam melakukan sholat Jumat secara berjamaah. Oleh karena itu, menuba ikan pada hari tersebut tidak diperbolehkan. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah ketaqwaan.


Mali ngasah isok pakai aek ludih
Nandek kenak penyaket panas

Mali mengasah pisau pakai air ludah
Nanti kena penyakit panas

Air ludah, sebagaimana kita tahu, adalah sesuatu yang menjijikkan. Oleh karena itu, tidak sepatutnya mengasah pisau dengan air tersebut. Nilai yang terkandung dalam ungkapan itu, dengan demikian, adalah kebersihan atau ketertiban.


Mali tido lom tapok kaki ayam
Nandek beghulat mateu

Mali tidur sebelum bertapuk (berkumpul) kaki ayam
Nanti berulat mata

Tidur di malam hari hendaklah jangan terlalu awal (ayam masih belum tidur), tetapi tidurlah sebagaimana waktu yang tepat, semestinya. Sehingga, tidak menyia-nyiakan waktu. Nilai ungkapan ini adalah tanggungjawab atau disiplin.


Mali nyebut nangoi
Nandek juleng lih dieu ghumah

Mali menyebut nangui
Nanti rumah dijulang olehnya

Nangui adalah binatang sejenis babi, tetapi agak kecil dari babi dan ada pula yang menyebutkan jauh lebih besar dari babi. Sebagai manusia, hendaklah mengeluarkan perkataan atau menyebutkan sesuatu yang bermanfaat. Jangan berbicara tanpa tujuan dan makna. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah keseriusan dan kecermatan.


Mali nyebut babi tengah laot
Nandek ghibut aghi

Mali menyebut babi tengah laut
Nanti ribut hari

Laut, apalagi di sekitar Bunguran-Natuna, sangat seram karena bergelombang besar. Oleh karena itu, ketika di tengah laut tidak sepatutnya mengucapkan kata-kata yang tidak “senonoh”. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah kearifan.


Mali nyusok bewih panda
Nandek biseu paleu

Mali menyusuk (melintas, melewati) bawah panta (tali peranginan, jemuran)
Nanti bisa sakit kepala

Peranginan fungsinya adalah mengeringkan pakaian yang basah (habis dicuci). Melintasi peranginan, dengan demikian, dapat membuat pakaian yang dijemur tadi menjadi kotor atau malah terjatuh. Oleh karena itu, melintasi peranginan tidak sepatutnya dilakukan. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah ketertiban.


Mali nyeit pakai cok beden
Nandek pandek umo

Mali menjahit pakaian atas badan
Nanti pendek umur

Menjahit sesuatu (pakaian) berarti berurusan dengan benda yang sangat runcing dan kerana harus dilakukan secara benar. Oleh karena itu, menjahit di badan tidak dibenarkan. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah ketertiban.


Mali ngayon ayon kusong
Nandek mati anak

Mali mengayun ayunan kosong
Nanti mati anak

Mengayun ayunan yang kosong sama saja dengan mengerjakan sesuatu yang tidak ada gunanya (sia-sia). Oleh kerena itu, tidak patut dilakukan. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah kemanfaatan.


Mali makan ngok-ngam
Nandek kujud

Mali makan tidak sekaligus
Nanti kujud (tidak pernah cukup)

Makan sesuatu harus dihabiskan untuk menghindari kemubaziran. Oleh karena itu, makan tidak sekaligus tidak diperbolehkan. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah ketidakmubaziran.


Mali makan endik abis kuah
Nandek mati anak ayam

Mali makan tidak habis kuah
Nanti mati anak ayam

Kuah sangat penting bagi kesehatan. Di samping itu, kuah yang tidak dihabiskan akan menjadi mubazir. Oleh karena itu, kuah harus dihabiskan. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini, dengan demikian, adalah ketidakmubaziran.


Mali meka geghem
Nandek kenak penyaket cambak

Mali membakar garam
Nanti kena penyakit campak

Garam yang dibakar tidak dapat dimanfaatkan lagi. Oleh karena itu, membakar garam tidak diperbolehkan. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah memperlakukan atau menggunakan sesuatu sesuai dengan kegunaannya.


Mali betudung beju
Nandek bughuk kepaleu

Mali bertudung baju
Nanti buruk kepala

Fungsi baju adalah untuk menutupi badan dan bukan untuk menutupi kepala. Oleh karena itu, bertudung baju tidak diperbolehkan. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah menempatkan sesuatu sesuai dengan tempatnya.


Mali mendeu makan telengek
Nandek bighok lih andu

Mali makan benda tidak tertutup
Nanti diberak oleh hantu

Perangkat makan mesti ditutup untuk menghindari berbagai kemungkinan yang menyebabkan peralatan tersebut menjadi kotor. Oleh karena itu, mesti ditutup. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah kebersihan.


Mali makan delem gelep
Nandek tegigit butoh andu

Mali makan dalam gelap
Nanti tergigit butuh (zakar) hantu

Makan di dalam gelap dapat menyebabkan sesuatu yang tidak diinginkan. Misalnya, salah mengambil atau menumpahkan makanan itu sendiri. Oleh karena itu, makan dalam gelap tidak diperbolehkan. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah keselamatan.


Mali beghing cok tanah
Nandek langgah lih andu

Mali berbaring di atas tanah
Nanti dilangkah oleh hantu

Berbaring di atas tanah dapat menyebabkan, tidak hanya pakaian tetapi juga badan menjadi kotor. Oleh karena itu, tidak diperbolehkan. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah kebersihan.


Mali bighok tengah jelen
Nandek bughuk jubo

Mali berak tengah jalan
Nanti buruk dubur

Berak di tengah jalan dapat menganggu dan malahan mengotori orang yang melintasinya (terinjak). Oleh karena itu, berak mestinya di tempat yang telah disediakan dan bukan di jalan. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah ketertiban.


Mali makan delem peghiok
Nandek itam jedi nganden

Mali makan dalam periuk
Nanti hitam jadi pengantin

Periuk adalah tempat untuk menanak nasi. Sebagai tempat, tentunya diselimuti oleh jeledu yang berwarna hitam. Makan dalam periuk, dengan demikian, disamping tidak selesa, namun yang tidak kalah pentingnya adalah tangan dapat menjadi kotor (berwarna hitam). Oleh karena itu, makan dengan cara yang demikian tidak diperbolehkan. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah menggunakan sesuatu sesuai dengan fungsinya.


Mali nanges lite
Nandek detang lanon

Mali menangis lete (tak henti-henti)
Nanti datang lanun

Menangis dapat membuat perasaan lega. Namun demikian, menangis terus-menerus dapat membuat orang lain resah. Oleh karena itu, menangis secara terus-menerus tidak diperbolehkan. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah tenggang rasa.


Mali makan telo melik
Nandek endik kenak pinang

Mali memakan telor melik (telur yang tidak jadi menetas tetapi masih bisa dimakan)
Nanti tidak kena pinang

Telur yang tidak jadi menetas, walaupun masih bisa dimakan, namun sudah tidak bagus lagi (mengalami perubahan, baik warna dan aromanya), sehingga jika dimakan dapat menyebabkan suatu penyakit. Oleh karena itu, makan telur yang tidak jadi menetas tidak diperbolehkan. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah kesehatan.


Mali nambek beghes ngacong tengah ghumah
Nandek nyumbah tuan

Mali menampi beras mengacung tengah rumah
Nanti menyumpah tuan

Beras yang ditampi tentunya mengeluarkan debu (kotoran). Jika beras ditampi di tengah rumah, tentunya tengah rumah itu akan menjadi kotor. Oleh karena itu, menampi beras ditengah rumah tidak diperbolehkan. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah ketertiban dan kebersihan.


Mali meghukok peghot sabut
Nandek bughuk idung

Mali merokok perut sabut
Nanti buruk hidung

Merokok perut sabut dapat menyebabkan sesak nafas. Oleh karena itu, tidak diperbolehkan. Nilai yang terkandung di dalamnya adalah kesehatan.


Mali lukek
Nandek lah mati sepet lih tanah

Mali lokek
Nanti lah mati dijepit tanah

Lokek berarti mementingkan diri sendiri dan merugikan orang lain. Padahal, manusia saling membutuhkan. Oleh karena itu, lokek tidak dibenarkan. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah timbal balik.


Mali ngasah isok endik pakai aek
Nandek gileu sughang

Mali mengasah pisau tidak pakai air
Nanti gila seorang (bertepuk sebelah tangan)

Mengasah pisau dengan tidak menggunakan air, disamping dapat menimbulkan penyakit, debu dari batu asah atau besi pisau itu sendiri menjadi beterbangan. Oleh karena itu, mengasah pisau tanpa air tidak diperbolehkan. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah kesehatan.


Mali meen api
Nandek kughos beden

Mali main api
Nanti kurus badan

Kecil menjadi teman, besar menjadi lawan. Itulah peribahasa yang berkenaan dengan api. Namun demikian, api tidak semestinya untuk mainan karena dapat merugikan diri sendiri (anggota badannya terbakar) dan masyarakat (kebakaran). Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah keselamatan.


Mali ngungon tidu
Nandek kenak saket naon

Mali ngungun (terlambat bangun pagi dari) tidur
Nanti kena sakit menahun

Tidur memang baik untuk kesehatan. Akan tetapi, tidur yang berlebihan sehingga terlambat bangun adalah tidak baik, karena dapat merugikan orang lain dan terutama diri sendiri. Oleh karena itu, terlambat bangun tidak diperbolehkan. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah ketertiban dan kerja keras.


Mali berseleng tangan
Nandek masok neghakeu

Mali berseling tangan
Nanti masuk neraka

Berseling tangan berarti tidak bekerja. Oleh karena itu, tidak diperbolehkan. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini, dengan demikian, adalah kerja keras.


Mali pagi berselibung kaen
Nandek kenak kughap

Mali pagi berselibung (berselimut) kain,
Nanti kena kurap

Kain adalah sebagai kelengkapan dalam berpakaian. Dijadikan selimut kalau mau tidur. Di pagi hari, tak masanya lagi berselimut kain, tetapi bekerja atau memulai aktivitas. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah menggunakan sesuatu sesuai dengan fungsinya (ketertiban).


Mali meghaot buluh malam aghi
Nandek sial

Mali meraut buluh malam hari
Nanti sial

Meraut buluh pada malam hari dapat membuat sesuatu yang tidak diinginkan terjadi (tergores pisau); dan lagi malam hari, pergunakanlah untuk istirahat. Oleh karena itu, meraut buluh pada malam hari tidak diperbolehkan. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah pencegahan (kepreventifan).

Sumber:
Galba, Sindu dan Sudiono. 2004. Ungkapan Tradisional Masyarakat Melayu-Natuna. Kepulauan Riau: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata RI, Deputi Bidang Pelestarian dan Pengembangan Kebudayaan, Asdep Tradisi.

1 Mali seringkali diartikan sebagai “pantang”, “susah”, “jangan” atau “tidak boleh”. Namun demikian, kata-kata tersebut rasanya tidak pas betul, karena kata mali di dalamnya mengandung kekuatan magis. Sebagai contoh, jika seseorang dilarang dengan menggunakan kata “jangan”, “tidak boleh”, dan lain sebagainya, maka yang bersangkutan akan biasa-biasa saja. Bahkan, mungkin akan melakukan juga. Namun, jika yang didengarnya adalah kata mali, maka yang bersangkutan akan mentaatinya, karena di balik kata itu ada kekuatan magis, yang apabila dilanggarnya, diyakini dapat menyebabkan sesuatu yang tidak diinginkan.

Cara Pasang Tali Layangan agar Manteng di Udara
Topeng Monyet
Keraton Surosowan

Archive