(Cerita Rakyat Sulawesi Selatan)
Pada suatu ketika ada seekor buaya yang ingin berkubang di sebuah sungai. Namun, karena sinar matahari demikian teriknya dan jarak antara sarangnya dengan sungai tersebut agak jauh, maka buaya itu hanya menunggu saja kalau-kalau ada binatang lain yang bersedia menolongnya. Kebetulan waktu itu ada seekor kerbau yang hendak minum di sungai. Buaya itu pun merasa gembira, dan segera berseru pada kerbau, “Hei kerbau, maukah engkau menolongku?”
“Apa yang bisa kulakukan untukmu, hai buaya?” tanya kerbau.
“Maukah engkau membawaku hingga ke tepi sungai itu?” kata buaya.
“Ya, baiklah. Sekarang naiklah ke punggungku!” jawab kerbau.
Setelah berkata begitu, tanpa membuang waktu lagi, naiklah buaya itu ke punggung kerbau. Si kerbau pun lalu berjalan menuju sungai.
Saat berada di tepi sungai, si kerbau berkata, “Turunlah hei buaya, kita sudah sampai di tepi sungai!”
Menyahut si buaya: “Sebentar lagi. Turunkan saya dalam air.”
Kerbau pun menuruti perintah buaya. Pada waktu air sampai lutut ia berkata: “Turunlah dari punggungku hei buaya!”
Si buaya menjawab lagi, “Sebentar lagi. Agak maju sedikit lagi.”
Kerbau pun menuruti lagi perintah buaya. Pada waktu sampai di tempat yang paling dalam, buaya segera melompat dan berkata, “Sekarang aku akan memakanmu hei kerbau, sebab sudah sekian lama aku tidak makan.”
Menyahutlah si kerbau, “Nanti dulu! Adakah kebaikan dibalas dengan kejahatan?”
“Tidak usah berpanjang lebar ceritamu! Aku sudah sangat lapar dan akan memakan engkau sekarang,” kata si buaya.
Kerbau menjawab, “Tunggu dulu! Ada bakul bekas hanyut kemari. Biar kutanyai dahulu dia.”
Ditanyailah bakul itu oleh kerbau: “Eh bakul, adakah kebaikan dibalas dengan kejahatan?”
Dijawab oleh bakul, “Lihatlah diriku! Waktu masih dipergunakan orang, aku selalu dipelihara. Sekarang, setelah usang dan tidak berguna lagi, aku pun dibuang begitu saja.”
Berkatalah si buaya, “Dengarkanlah kata si bakul itu wahai kerbau!”
Si kerbau berkata, “Tunggulah dahulu! Masih ada nyiru bekas hanyut kemari.” Ditanyai lagi nyiru itu oleh si Kerbau: “Eh, nyiru, adakah kebaikan dibalas dengan kejahatan?”
Dijawab oleh nyiru itu, “Tidak usah dicari, begitulah keadaan di dunia. Kebaikan biasa dibalas dengan kejahatan. Lihatlah saya, waktu masih dipakai, orang selalu memeliharaku. Setelah aku usang, aku pun dibuangnya.”
Buaya berkata lagi, “Engkau sudah mendengar jawaban si bakul dan si nyiru itu, bukan? Nah, jadi sekarang aku mau memakan engkau!”
Kerbau menjawab, “Tunggu dulu. Aku melihat ada binatang di pinggir sungai, akan kutanyai dia.”
Binatang yang ada di pinggir sungai itu kebetulan adalah si pelanduk. “Hai pelanduk adakah kebaikan dibalas dengan kejahatan?” tanya kerbau.
Jawab pelanduk, “Apa yang kau katakan? Mendekatlah kemari, aku tidak mendengarnya!”
Kerbau pun maju sampai ke tempat yang agak dangkal airnya dan berkata lagi: “Adakah kebaikan dibalas dengan kejahatan?”
“Tidak jelas, aku agak tuli, naik ke darat!” jawab pelanduk.
Waktu kerbau naik ke darat, lalu sang Pelanduk berkata, “Larilah, tidak ada lagi kekuatan si buaya kalau di darat. Ia berkuasa hanya kalau berada di dalam air.”
Melihat kerbau berhasil melarikan diri, kemarahan buaya berpindah kepada si pelanduk. Berkatalah si buaya, “Awas engkau planduk! Di manapun engkau kujumpai, akan aku makan engkau!”
Keesokan harinya, si buaya sudah menunggu di tepi sungai tempat si pelanduk biasanya turun minum. Namun, hingga sore hari ternyata si pelanduk tidak juga datang. Akhirnya si buaya memutuskan untuk kembali ke tengah sungai dan esok paginya akan menunggu di tempat itu lagi. Ia merasa yakin si pelanduk akan datang, sebab pelanduk pasti membutuhkan air untuk minum.
Hari berikutnya, walaupun ditunggu hingga malam hari, ternyata si pelanduk tetap tidak datang. Begitu pula hari berikutnya, si pelanduk tetap tidak menunjukkan batang hidungnya.
Setelah menunggu tiga hari berturut-turut namun tidak juga berhasil mendapatkan si pelanduk, akhirnya si buaya pun naik ke darat untuk mencari rumah si pelanduk. Setelah berada di dekat rumah si pelanduk, si buaya mendapati sebuah sumur yang baru selesai di buat. Buaya itu terus masuk ke dalam sumur. Ia merasa yakin, cepat atau lambat si pelanduk pasti akan minum di sumur itu. Dan, pada saat minum itulah si pelanduk akan langsung diterkam dan dimakannya.
Pagi harinya, sewaktu si pelanduk akan pergi ke sumur untuk minum, ia melihat ada jejak kaki buaya. Sang pelanduk pun segera berteriak, “Kebiasaanku sebelum minum air sumur, aku selalu memanggil. Apabila sumur ada isinya selain air, ia tidak akan menyahut. Namun, apabila isinya hanya air, si sumur pasti menyahut.” Pelanduk pun memanggil sumurnya, “Oh, sumurku!”
Oleh karena panggilan itu tidak dijawab oleh buaya, maka si pelanduk berkata lagi, “Ah, ada isinya sumurku, aku khawatir kalau isinya adalah si buaya, kenapa tidak menyahut.” Sang Pelanduk kembali memanggil, “Oh sumurku!”
Menyahutlah si Buaya di dalam sumur, katanya, “Ya.”
Mendengar jawaban itu, larilah si pelanduk sambil berkata, “Ternyata engkau ada di situ wahai buaya!”
Si buaya yang merasa dipermainkan, semakin bertambah marah lalu keluar dari dalam sumur dan mengejar si pelanduk. Saat dikejar oleh buaya itu, si pelanduk berlari memasuki hutan dan duduk di dekat sarang semut merah. Setelah buaya berhasil mendekati dan akan menerkamnya, si pelanduk berkata, “Tunggu dulu hei buaya. Aku mendapat perintah dari raja hutan untuk menjaga baje ini. Nanti apabila ia telah pulang, akan dimakannya baje ini karena berkhasiat sebagai penghilang lelah.”
Berkatalah si Buaya, “Tolong berikan aku sedikit baje itu. Aku sudah sangat lelah karena mengejarmu.”
“Boleh, tetapi nanti kalau aku sudah jauh dari tempat ini, sebab kalau nanti diketahui oleh yang empunya baje, dia akan marah padaku.”
“Baiklah,” kata si buaya.
Setelah si pelanduk lari, buaya kemudian memakan sarang semut merah itu. Semut merah yang sarangnya diganggu menjadi sangat marah. Mereka secara beramai-ramai menggigit mulut dan tenggorokan buaya hingga menggeleng-geleng karena kesakitan. Semua binatang yang melihatnya tertawa, terutama si kerbau. Begitu kerasnya kerbau itu tertawa hingga gigi atasnya berjatuhan.
Buaya yang merasa ditipu lagi menjadi makin marah dan mengejar si pelanduk hingga ke tepi hutan. Di tempat itu ia melihat pelanduk sedang duduk di samping seekor ular sanca sebesar pohon kelapa yang sedang tidur melintang di tengah jalan. Saat buaya mendekat dan akan menerkamnya, si pelanduk berkata, “Tunggu dulu hei buaya. Saat ini aku sedang mendapat tugas yang sangat penting dan tidak ada yang boleh menghalang-halangiku.”
“Tugas apa itu?” tanya buaya.
“Engkau tidak melihat yang melintang di tengah jalan ini yang panjang dan berlurik-lurik? Itulah ikat pinggang raja dan aku disuruh menjaganya. Ikat pinggang itu luar biasa sebab tidak perlu kita memasangnya kalau hendak dipakai karena akan menggulung sendiri dan mempunyai khasiat dapat menghilangkan pegal-pegal di badan,” kata si pelanduk.
Berkatalah si buaya, “Bisakah aku meminjam ikat pinggang itu? Aku sudah sangat lelah karena mengejar engkau. Badanku sudah mulai pegal-pegal.”
“Boleh, tetapi nanti setelah aku masuk hutan. Jangan sampai raja tahu dan menghukumku karena telah meminjamkannya padamu,” kata si pelanduk.
“Ya, pergilah!” kata si buaya.
Setelah si pelanduk lari, si buaya lalu membaringkan dirinya di tengah-tengah badan ular sanca itu. Si ular yang kaget karena tubuhnya ditimpa oleh buaya langsung membelitnya sehingga buaya pun menggelepar-gelepar. Namun semakin ia menggeliat hendak melepaskan diri, makin menguat pula ikatan sang ular sanca itu. Akhirnya, si buaya pun mati karena tulang-tulangnya remuk oleh belitan ular sanca itu.
Sumber:
Diadaptasi bebas dari Rasyid, Abdul dan Muhammad Abidin Nur. 1999. Cerita Rakyat Daerah Wajo di Sulawesi Selatan. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.