Monumen Geger Cilegon

Monumen Geger Cilegon merupakan salah satu monumen bersejarah yang memiliki nilai penting dalam merepresentasikan ingatan kolektif masyarakat Banten terhadap peristiwa perlawanan rakyat Cilegon pada akhir abad ke-19. Monumen ini didirikan untuk mengenang peristiwa Geger Cilegon 1888, sebuah pemberontakan rakyat yang dipimpin oleh tokoh-tokoh ulama dan masyarakat terhadap pemerintahan kolonial Belanda. Secara historis, Geger Cilegon tidak dapat dilepaskan dari konteks penindasan kolonial, ketimpangan sosial, serta perlawanan berbasis agama yang berkembang kuat di wilayah Banten pada masa tersebut (Kartodirdjo, 1966).

Keberadaan Monumen Geger Cilegon bukan sekadar penanda ruang fisik, melainkan simbol ideologis yang merepresentasikan semangat perjuangan, keberanian, dan resistensi rakyat terhadap ketidakadilan. Dalam kajian sejarah sosial, monumen berfungsi sebagai media ingatan (site of memory) yang menghubungkan masa lalu dengan kesadaran kolektif masa kini (Nora, 1989). Dengan demikian, monumen ini memiliki peran strategis dalam membangun identitas historis masyarakat Cilegon dan Banten secara umum.

Latar Belakang Historis Geger Cilegon 1888
Peristiwa Geger Cilegon terjadi pada tahun 1888, ketika wilayah Banten berada di bawah kekuasaan kolonial Hindia Belanda. Pada masa tersebut, kebijakan kolonial yang represif, seperti sistem pajak yang memberatkan, kerja paksa, serta pengawasan ketat terhadap aktivitas keagamaan, menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat. Sartono Kartodirdjo (1966) menjelaskan bahwa Banten merupakan wilayah dengan tradisi keislaman yang kuat, sehingga perlawanan terhadap kolonialisme sering kali dimaknai sebagai jihad atau perjuangan suci.

Tokoh-tokoh ulama seperti Haji Wasid, Kiai Tubagus Ismail, dan beberapa pemimpin lokal lainnya memainkan peran sentral dalam mengorganisasi perlawanan rakyat. Gerakan ini melibatkan petani, santri, dan masyarakat pedesaan yang merasa terpinggirkan secara ekonomi dan politik. Geger Cilegon bukanlah pemberontakan spontan, melainkan hasil dari akumulasi ketegangan sosial yang berlangsung dalam jangka waktu panjang (Kartodirdjo, 1984).

Pemberontakan tersebut memang berhasil dipadamkan oleh pemerintah kolonial, namun dampaknya sangat signifikan dalam sejarah perlawanan rakyat Indonesia. Geger Cilegon menjadi salah satu contoh awal gerakan rakyat yang terorganisasi dan berbasis kesadaran kolektif terhadap ketidakadilan struktural kolonialisme.

Pendirian dan Makna Simbolik Monumen Geger Cilegon
Monumen Geger Cilegon didirikan sebagai bentuk penghormatan terhadap para pejuang yang gugur dan terlibat dalam peristiwa tersebut. Pendirian monumen ini mencerminkan upaya negara dan masyarakat lokal dalam merawat memori sejarah serta menegaskan pentingnya peristiwa Geger Cilegon dalam narasi sejarah nasional. Dalam perspektif kajian memorialisasi, monumen berfungsi sebagai sarana edukasi sejarah dan pembentukan identitas kolektif (Assmann, 2011).

Secara simbolik, monumen ini merepresentasikan semangat perlawanan rakyat kecil terhadap kekuasaan yang menindas. Bentuk monumen yang menjulang ke atas dapat dimaknai sebagai simbol keteguhan dan harapan, sementara lokasinya di wilayah Cilegon menegaskan keterikatan antara ruang geografis dan peristiwa historis. Monumen ini menjadi pengingat bahwa Cilegon bukan hanya kota industri modern, tetapi juga ruang historis yang sarat dengan perjuangan rakyat.

Fungsi Sosial dan Edukatif Monumen
Dalam konteks masyarakat modern, Monumen Geger Cilegon memiliki fungsi sosial dan edukatif yang penting. Monumen ini sering dijadikan lokasi peringatan hari-hari bersejarah, kegiatan ziarah sejarah, serta pembelajaran luar ruang bagi pelajar dan mahasiswa. Menurut Lubis (2014), pelestarian situs sejarah lokal berperan besar dalam menumbuhkan kesadaran sejarah dan nasionalisme di tingkat akar rumput.

Monumen ini juga menjadi ruang simbolik tempat masyarakat merefleksikan nilai-nilai perjuangan, keberanian, dan pengorbanan. Dalam kajian antropologi sejarah, ruang memorial seperti ini berfungsi sebagai arena reproduksi nilai-nilai budaya dan ideologis lintas generasi (Koentjaraningrat, 2009).

Monumen Geger Cilegon dalam Konteks Identitas Lokal Banten
Identitas masyarakat Banten sangat erat kaitannya dengan sejarah perlawanan terhadap kolonialisme. Monumen Geger Cilegon memperkuat narasi bahwa Banten memiliki tradisi panjang resistensi sosial dan religius. Hal ini sejalan dengan pandangan Guillot (2008) yang menyebutkan bahwa Banten sejak masa Kesultanan telah menjadi wilayah dengan dinamika politik dan keagamaan yang kuat.

Monumen ini juga berfungsi sebagai penanda identitas lokal Kota Cilegon. Di tengah citra Cilegon sebagai kota industri dan baja, keberadaan monumen ini mengingatkan bahwa modernisasi tidak boleh menghapus memori sejarah dan nilai-nilai lokal yang membentuk karakter masyarakatnya.

Pelestarian dan Tantangan di Era Modern
Di era modern, tantangan utama dalam pelestarian Monumen Geger Cilegon adalah menjaga relevansinya di tengah perubahan sosial dan urbanisasi. Banyak monumen sejarah menghadapi risiko marginalisasi akibat minimnya literasi sejarah dan dominasi budaya populer. Oleh karena itu, diperlukan strategi pelestarian yang tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga kultural dan edukatif (Ashworth, Graham, & Tunbridge, 2007).

Integrasi monumen ini dalam kurikulum lokal, pengembangan wisata sejarah, serta pemanfaatan media digital dapat menjadi langkah strategis untuk memperluas jangkauan makna monumen bagi generasi muda. Dengan demikian, Monumen Geger Cilegon dapat terus berfungsi sebagai media transmisi nilai sejarah dan identitas budaya.

Foto: https://www.instagram.com/p/DN3Jwo65EtZ/?img_index=2
Sumber:
Assmann, J. 2011. Cultural memory and early civilization. Cambridge: Cambridge University Press.
Ashworth, G. J., Graham, B., & Tunbridge, J. E. 2007. Pluralising pasts: Heritage, identity and place in multicultural societies. London: Pluto Press.
Guillot, C. 2008. Banten: Sejarah dan peradaban abad X–XVII. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Kartodirdjo, S. 1966. The peasants’ revolt of Banten in 1888. The Hague: Martinus Nijhoff.
Kartodirdjo, S. 1984. Pemberontakan petani Banten 1888. Jakarta: Pustaka Jaya.
Koentjaraningrat. 2009. Pengantar ilmu antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Lubis, N. H. 2014. Banten dalam pergumulan sejarah. Serang: Dinas Kebudayaan Provinsi Banten.

Curug Bengkawah

Curug Bengkawah merupakan salah satu destinasi wisata alam unggulan yang berada di Desa Sikasur, Kecamatan Belik, Kabupaten Pemalang, Provinsi Jawa Tengah. Objek wisata ini dikenal luas sebagai air terjun alami yang masih terjaga keasriannya dan menawarkan pengalaman wisata berbasis alam pegunungan dengan nuansa sejuk, tenang, dan alami. Keberadaan Curug Bengkawah menjadi bagian penting dari lanskap wisata wilayah selatan Kabupaten Pemalang yang didominasi oleh kawasan perbukitan dan kaki Gunung Slamet.

Secara geografis, Curug Bengkawah terletak di wilayah dataran tinggi dengan ketinggian yang cukup signifikan, sehingga kawasan ini memiliki suhu udara yang relatif sejuk sepanjang tahun. Lingkungan di sekitar curug didominasi oleh hutan rakyat, kebun warga, serta vegetasi alami yang masih terpelihara dengan baik. Kondisi tersebut menjadikan Curug Bengkawah sebagai destinasi yang ideal bagi wisatawan yang mencari ketenangan, kesegaran udara, dan suasana alam yang jauh dari hiruk-pikuk perkotaan.

Daya tarik utama Curug Bengkawah terletak pada air terjunnya yang tinggi dan deras, dengan aliran air yang jatuh dari tebing batu alami membentuk panorama yang megah. Air yang mengalir berasal dari mata air pegunungan sehingga tampak jernih dan bersih, terutama pada musim kemarau. Percikan air yang jatuh menciptakan embun halus yang menyegarkan, menambah kesan alami dan eksotis bagi para pengunjung yang datang.

Nama “Bengkawah” sendiri diyakini berasal dari istilah lokal yang berkaitan dengan karakter aliran airnya yang deras dan berkelok di antara bebatuan. Dalam narasi masyarakat setempat, Curug Bengkawah telah lama dikenal sebagai bagian dari ruang hidup warga, baik sebagai sumber air maupun sebagai tempat yang memiliki nilai ekologis penting. Seiring berkembangnya sektor pariwisata daerah, keberadaan curug ini kemudian dikelola dan diperkenalkan secara lebih luas sebagai objek wisata alam.

Akses menuju Curug Bengkawah relatif mudah, terutama dari pusat Kecamatan Belik. Dari pusat Kota Pemalang, jarak tempuh menuju lokasi wisata ini sekitar 35–40 kilometer dengan waktu perjalanan kurang lebih 1,5 hingga 2 jam menggunakan kendaraan bermotor. Wisatawan akan melewati jalur perbukitan dengan pemandangan sawah, kebun, dan hutan yang menambah daya tarik perjalanan. Kondisi jalan menuju Desa Sikasur sebagian besar sudah beraspal, meskipun pada beberapa titik menjelang lokasi masih berupa jalan desa yang sempit namun dapat dilalui kendaraan roda dua maupun roda empat.

Setelah tiba di area parkir, pengunjung masih perlu berjalan kaki menyusuri jalur trekking sejauh beberapa ratus meter untuk mencapai lokasi air terjun. Jalur ini telah dilengkapi dengan jalan setapak, tangga sederhana, serta pegangan pada beberapa titik yang cukup terjal. Perjalanan menuju curug menjadi bagian dari pengalaman wisata itu sendiri, karena pengunjung disuguhi pemandangan alam hijau, suara aliran air, serta udara segar khas pegunungan.

Dari segi fasilitas, Curug Bengkawah telah dilengkapi dengan sarana pendukung wisata yang cukup memadai. Di area pintu masuk tersedia loket tiket, area parkir kendaraan, serta warung-warung kecil yang menjual makanan dan minuman ringan. Fasilitas umum seperti toilet dan tempat istirahat juga tersedia meskipun masih bersifat sederhana. Pengelolaan fasilitas dilakukan oleh masyarakat setempat bersama pemerintah desa sebagai bagian dari upaya pengembangan wisata berbasis komunitas.

Harga tiket masuk Curug Bengkawah tergolong terjangkau dan ramah bagi semua kalangan. Umumnya, pengunjung hanya dikenakan biaya tiket masuk dalam kisaran beberapa ribu rupiah per orang, ditambah biaya parkir kendaraan. Kebijakan harga yang terjangkau ini bertujuan untuk mendorong kunjungan wisata sekaligus memberikan manfaat ekonomi langsung bagi masyarakat sekitar melalui sektor jasa dan perdagangan kecil.

Aktivitas wisata yang dapat dilakukan di Curug Bengkawah cukup beragam, meskipun tetap berfokus pada wisata alam. Pengunjung dapat menikmati panorama air terjun, berfoto dengan latar alam yang eksotis, bermain air di area sekitar aliran sungai, atau sekadar duduk bersantai menikmati suasana. Bagi pecinta fotografi alam, Curug Bengkawah menawarkan banyak sudut menarik dengan komposisi alami antara air, batu, dan vegetasi hijau.

Selain itu, kawasan sekitar Curug Bengkawah juga sering dimanfaatkan sebagai lokasi wisata keluarga dan wisata edukasi alam. Anak-anak dapat belajar mengenal lingkungan alam, siklus air, serta pentingnya menjaga kelestarian hutan dan sumber daya alam. Dalam konteks ini, Curug Bengkawah tidak hanya berfungsi sebagai objek rekreasi, tetapi juga sebagai sarana pembelajaran lingkungan yang bernilai.

Keberadaan Curug Bengkawah memberikan kontribusi positif terhadap perekonomian masyarakat Desa Sikasur dan sekitarnya. Munculnya aktivitas wisata mendorong berkembangnya usaha kecil seperti warung makan, jasa parkir, pemandu lokal, serta penjualan produk-produk lokal. Hal ini menunjukkan bahwa pengembangan wisata alam dapat menjadi salah satu strategi peningkatan kesejahteraan masyarakat desa apabila dikelola secara berkelanjutan.

Dari sisi pelestarian lingkungan, pengelolaan Curug Bengkawah diarahkan pada prinsip menjaga keseimbangan antara pemanfaatan dan konservasi. Pengunjung diimbau untuk tidak merusak lingkungan, tidak membuang sampah sembarangan, serta menjaga kebersihan kawasan wisata. Kesadaran kolektif antara pengelola dan pengunjung menjadi faktor penting dalam menjaga keberlanjutan destinasi ini agar tetap lestari untuk generasi mendatang.

Dalam konteks pengembangan pariwisata Kabupaten Pemalang, Curug Bengkawah memiliki potensi besar untuk terus dikembangkan sebagai destinasi unggulan wisata alam. Keindahan alam, aksesibilitas yang cukup baik, serta dukungan masyarakat lokal menjadi modal utama dalam pengembangan tersebut. Dengan peningkatan fasilitas, promosi yang berkelanjutan, dan pengelolaan yang profesional, Curug Bengkawah dapat menjadi salah satu ikon wisata alam yang memperkuat citra Pemalang sebagai daerah tujuan wisata berbasis alam dan ekowisata.

Secara keseluruhan, Curug Bengkawah merupakan representasi kekayaan alam Kabupaten Pemalang yang masih alami dan autentik. Destinasi ini menawarkan pengalaman wisata yang sederhana namun bermakna, mengajak pengunjung untuk lebih dekat dengan alam serta menghargai keindahan dan keseimbangan lingkungan. Sebagai bagian dari potensi wisata daerah, Curug Bengkawah layak untuk terus diperkenalkan dan dikembangkan secara berkelanjutan sebagai warisan alam yang bernilai tinggi.

Foto: https://atourin.com/destination/pemalang/curug-bengkawah

Jojorong

Jojorong merupakan salah satu makanan tradisional khas Provinsi Banten yang memiliki keterkaitan erat dengan sejarah, budaya, dan kehidupan sosial masyarakat setempat. Kue basah ini dikenal luas sebagai panganan tradisional berbahan dasar tepung beras, santan, dan gula aren yang disajikan dalam wadah daun pisang berbentuk silinder. Dalam konteks kebudayaan lokal, jojorong tidak hanya dipahami sebagai produk kuliner, tetapi juga sebagai bagian dari sistem simbolik yang merepresentasikan identitas budaya masyarakat Banten, khususnya pada komunitas agraris dan pesisir. Sejalan dengan pandangan Koentjaraningrat (2009), makanan tradisional merupakan salah satu unsur kebudayaan universal yang berfungsi sebagai media ekspresi nilai, norma, serta struktur sosial suatu masyarakat.

Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Banten, jojorong sering hadir dalam berbagai momen sosial dan religius, seperti pengajian, peringatan hari besar Islam, hajatan keluarga, dan tradisi selamatan. Kehadiran jojorong dalam konteks tersebut menunjukkan bahwa makanan tradisional memiliki fungsi sosial yang melampaui kebutuhan biologis semata. Lubis (2014) menegaskan bahwa kuliner tradisional Banten tidak dapat dilepaskan dari pengaruh sejarah Kesultanan Banten dan perkembangan masyarakat Islam pesisir, di mana makanan berperan sebagai simbol kebersamaan, rasa syukur, dan penghormatan terhadap tamu.

Dengan demikian, kajian mengenai jojorong perlu ditempatkan dalam kerangka interdisipliner yang mencakup sejarah, antropologi, dan studi kuliner. Pendekatan ini memungkinkan pemahaman yang lebih komprehensif mengenai asal-usul, bahan pembuat, peralatan tradisional, serta proses pembuatan jojorong sebagai bagian dari warisan budaya takbenda masyarakat Banten.

Asal Usul dan Latar Sejarah Jojorong
Secara historis, jojorong diyakini berasal dari tradisi kuliner masyarakat Banten yang berkembang sejak masa pra-kolonial hingga era Kesultanan Banten. Wilayah Banten yang didominasi oleh masyarakat agraris dan pesisir memiliki ketergantungan tinggi pada bahan pangan lokal seperti beras, kelapa, dan gula aren. Reid (2011) menyatakan bahwa masyarakat Asia Tenggara sejak lama mengembangkan sistem pangan berbasis padi dan kelapa yang kemudian melahirkan beragam makanan tradisional berbentuk kue basah.

Jojorong merupakan representasi dari sistem pangan tersebut. Penggunaan tepung beras menunjukkan pentingnya beras sebagai bahan pangan utama, sementara santan dan gula aren mencerminkan pemanfaatan sumber daya alam lokal yang melimpah. Dalam tradisi lisan masyarakat Banten, jojorong sering dikaitkan dengan kegiatan gotong royong, terutama dalam persiapan acara adat dan keagamaan. Proses pembuatannya yang relatif sederhana namun membutuhkan ketelatenan menjadikan jojorong sebagai makanan yang lazim dibuat secara kolektif oleh perempuan dalam komunitas.

Dari perspektif budaya, penggunaan daun pisang sebagai wadah jojorong memiliki makna simbolik. Daun pisang tidak hanya berfungsi sebagai pembungkus alami, tetapi juga merepresentasikan prinsip keselarasan dengan alam. Wessing (1997) menjelaskan bahwa dalam budaya Jawa dan Sunda, penggunaan bahan alami dalam makanan mencerminkan pandangan kosmologis yang menekankan keseimbangan antara manusia dan lingkungan. Dengan demikian, jojorong dapat dipahami sebagai produk budaya yang lahir dari interaksi antara manusia, alam, dan sistem kepercayaan lokal.

Bahan-Bahan Pembuatan Jojorong
Bahan utama dalam pembuatan jojorong terdiri atas tepung beras, santan kelapa, gula aren, dan garam. Tepung beras berfungsi sebagai bahan dasar yang memberikan tekstur lembut dan kenyal pada adonan. Santan kelapa digunakan untuk memberikan rasa gurih sekaligus memperkaya aroma khas jojorong. Gula aren berperan sebagai pemanis alami yang menghasilkan cita rasa manis-karamel yang khas, sementara garam digunakan dalam jumlah kecil untuk menyeimbangkan rasa.

Pemilihan bahan-bahan tersebut tidak bersifat kebetulan, melainkan mencerminkan pengetahuan lokal masyarakat Banten dalam memanfaatkan sumber daya alam sekitar. Menurut Winarno (2014), kuliner tradisional Indonesia umumnya menggunakan bahan lokal yang mudah diperoleh dan diolah dengan teknologi sederhana, namun mampu menghasilkan cita rasa yang kompleks. Dalam konteks jojorong, penggunaan gula aren juga menunjukkan preferensi masyarakat terhadap pemanis alami dibandingkan gula pasir yang baru dikenal luas pada masa kolonial.

Selain bahan utama, beberapa variasi jojorong modern menambahkan bahan pelengkap seperti daun pandan untuk memperkuat aroma atau sedikit tepung sagu untuk memodifikasi tekstur. Namun, dalam praktik tradisional, resep jojorong cenderung sederhana dan mempertahankan komposisi bahan yang telah diwariskan secara turun-temurun. Hal ini menunjukkan adanya upaya pelestarian tradisi kuliner sebagai bagian dari identitas budaya lokal.

Peralatan Tradisional dalam Pembuatan Jojorong
Peralatan yang digunakan dalam pembuatan jojorong relatif sederhana dan mencerminkan teknologi tradisional masyarakat Banten. Peralatan utama meliputi wadah pencampur adonan, sendok atau pengaduk dari kayu, panci untuk merebus santan dan gula aren, serta kukusan untuk proses pematangan. Selain itu, daun pisang digunakan sebagai wadah sekaligus pembungkus adonan jojorong.

Penggunaan peralatan tradisional tersebut menunjukkan bahwa proses produksi jojorong tidak memerlukan teknologi modern yang kompleks. Menurut Koentjaraningrat (2009), teknologi tradisional dalam masyarakat Indonesia berkembang berdasarkan prinsip efisiensi dan kesesuaian dengan lingkungan. Dalam hal ini, penggunaan kukusan memungkinkan proses pemasakan yang merata tanpa merusak tekstur adonan, sementara daun pisang berfungsi sebagai wadah yang ramah lingkungan dan memberikan aroma khas pada makanan.

Peralatan tradisional juga memiliki dimensi sosial-budaya. Proses pembuatan jojorong yang melibatkan peralatan sederhana memungkinkan partisipasi banyak orang, terutama dalam konteks kerja kolektif. Aktivitas ini menjadi sarana interaksi sosial dan transmisi pengetahuan antargenerasi, di mana keterampilan memasak diwariskan melalui praktik langsung bukan melalui dokumentasi tertulis.

Proses Pembuatan Jojorong
Proses pembuatan jojorong diawali dengan menyiapkan bahan-bahan utama. Gula aren disisir atau dipotong kecil-kecil, kemudian direbus bersama santan hingga larut dan menghasilkan cairan manis yang homogen. Proses ini memerlukan pengadukan terus-menerus agar santan tidak pecah. Setelah itu, cairan santan dan gula aren disaring untuk memastikan tidak ada kotoran atau serat kasar yang tersisa.

Tahap berikutnya adalah pencampuran cairan santan dengan tepung beras dan sedikit garam. Adonan diaduk hingga tercampur rata dan memiliki konsistensi cair-kental. Konsistensi ini sangat penting karena akan memengaruhi tekstur akhir jojorong. Winarno (2014) menjelaskan bahwa keseimbangan antara cairan dan tepung merupakan faktor kunci dalam pembuatan kue basah tradisional agar menghasilkan tekstur yang lembut namun tidak terlalu lembek.

Setelah adonan siap, daun pisang dibentuk menyerupai tabung atau mangkuk kecil dan disematkan dengan lidi atau tusuk bambu. Adonan kemudian dituangkan ke dalam wadah daun pisang tersebut. Selanjutnya, jojorong dikukus selama kurang lebih 20–30 menit hingga matang. Proses pengukusan memungkinkan adonan mengeras secara perlahan dan menghasilkan tekstur yang halus serta rasa yang menyatu.

Setelah matang, jojorong didinginkan sebelum disajikan. Dalam tradisi masyarakat Banten, jojorong umumnya disajikan pada suhu ruang dan dinikmati bersama keluarga atau tamu. Proses pembuatan yang relatif sederhana namun membutuhkan ketelitian ini mencerminkan nilai kesabaran dan ketekunan dalam tradisi kuliner lokal.

Jojorong sebagai Warisan Budaya Takbenda
Dalam konteks masyarakat modern, jojorong menghadapi tantangan berupa perubahan pola konsumsi dan dominasi makanan modern. Namun demikian, keberadaan jojorong masih dapat ditemukan di pasar tradisional, acara adat, dan kegiatan keagamaan. Lubis (2014) menegaskan bahwa pelestarian kuliner tradisional merupakan bagian penting dari upaya menjaga identitas budaya lokal di tengah arus globalisasi.

Sebagai warisan budaya takbenda, jojorong tidak hanya perlu dilestarikan sebagai produk makanan, tetapi juga sebagai praktik budaya yang mencakup pengetahuan, keterampilan, dan nilai sosial. Upaya dokumentasi, edukasi, dan promosi kuliner tradisional menjadi langkah strategis untuk memastikan keberlanjutan jojorong sebagai bagian dari identitas budaya masyarakat Banten.

Foto: https://www.tribunnews.com/ramadan/2025/03/23/jojorong-makanan-khas-banten-naik-kelas-andra-soni-dorong-pariwisata-kuliner-di-banten
Sumber:
Koentjaraningrat. 2009. Pengantar ilmu antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.

Lubis, N. H. 2014. Banten dalam pergumulan sejarah. Serang: Dinas Kebudayaan Provinsi Banten.

Reid, A. 2011. Asia Tenggara dalam kurun niaga 1450–1680. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Wessing, R. 1997. Cosmology and social behavior in Sundanese culture. Journal of Southeast Asian Studies, 28(2), 234–256. Winarno, F. G. (2014). Kuliner tradisional Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Ubi Cilembu

Ubi jalar (Ipomoea batatas L.) merupakan salah satu komoditas pangan penting di Indonesia yang memiliki keragaman varietas dan nilai guna tinggi, baik sebagai sumber pangan, bahan industri, maupun objek kajian budaya. Di antara berbagai varietas ubi jalar yang berkembang di Nusantara, ubi cilembu menempati posisi istimewa karena karakteristik rasa, tekstur, dan nilai ekonominya yang khas. Ubi cilembu dikenal luas sebagai ubi jalar manis yang menghasilkan cairan seperti madu ketika dipanggang, sehingga sering disebut sebagai honey sweet potato dalam konteks pasar internasional.

Secara geografis, ubi cilembu berasal dari Desa Cilembu, Kecamatan Pamulihan, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Keunikan ubi cilembu tidak hanya terletak pada sifat genetik tanamannya, tetapi juga pada kondisi lingkungan dan praktik budidaya lokal yang membentuk kualitas produk akhir. Oleh karena itu, ubi cilembu dapat dipahami sebagai produk pangan lokal yang lahir dari interaksi kompleks antara faktor alam, pengetahuan tradisional petani, serta dinamika sosial dan ekonomi masyarakat setempat (Rukmana, 2013).

Dalam kajian kebudayaan, pangan lokal tidak sekadar dipandang sebagai komoditas konsumsi, melainkan juga sebagai simbol identitas dan warisan budaya. Koentjaraningrat (2009) menegaskan bahwa sistem pangan tradisional merupakan bagian integral dari kebudayaan, karena mencerminkan pola adaptasi manusia terhadap lingkungan serta nilai-nilai sosial yang berkembang dalam masyarakat. Dengan demikian, ubi cilembu tidak hanya penting dari sisi agronomi dan ekonomi, tetapi juga memiliki makna kultural yang patut dikaji secara akademik.

Asal Usul dan Sejarah Ubi Cilembu
Sejarah ubi cilembu berkaitan erat dengan perkembangan pertanian rakyat di wilayah Sumedang sejak masa kolonial. Berdasarkan catatan pertanian lokal, varietas ubi ini telah dibudidayakan secara turun-temurun oleh masyarakat Desa Cilembu dan sekitarnya sejak awal abad ke-20. Meskipun tidak terdapat dokumentasi tertulis yang sangat rinci mengenai awal mula varietas ini, tradisi lisan petani setempat menunjukkan bahwa ubi cilembu merupakan hasil seleksi alam dan seleksi budidaya yang dilakukan secara berkelanjutan oleh masyarakat (Sutoro & Minantyorini, 2016).

Proses seleksi tersebut dilakukan dengan memilih umbi yang memiliki rasa paling manis, tekstur paling lembut, dan daya simpan yang baik. Seiring waktu, praktik ini menghasilkan varietas lokal dengan karakteristik yang berbeda dari ubi jalar pada umumnya. Keunggulan tersebut kemudian dikenal luas dan menarik perhatian pasar regional hingga nasional.

Pada dekade 1990-an, ubi cilembu mulai mendapatkan pengakuan lebih luas melalui promosi pemerintah daerah dan penelitian akademik yang menyoroti keunggulan kualitasnya. Sejak saat itu, ubi cilembu berkembang menjadi komoditas unggulan daerah dan menjadi bagian dari identitas agraris Kabupaten Sumedang (Balitbang Pertanian, 2018).

Karakteristik Agronomis dan Kandungan Gizi
Secara agronomis, ubi cilembu termasuk dalam kelompok ubi jalar berdaging kuning hingga oranye. Warna tersebut menunjukkan kandungan beta-karoten yang relatif tinggi yang berfungsi sebagai provitamin A dan memiliki peran penting dalam kesehatan manusia. Menurut Woolfe (1992), ubi jalar berwarna oranye merupakan salah satu sumber beta-karoten terbaik di antara tanaman pangan umbi-umbian.

Keunikan utama ubi cilembu terletak pada kandungan gula alaminya, khususnya maltosa yang meningkat secara signifikan ketika ubi dipanaskan melalui proses pemanggangan. Proses pemanasan memicu aktivitas enzim amilase yang mengubah pati menjadi gula sederhana, sehingga menghasilkan rasa manis alami dan cairan menyerupai madu. Fenomena ini menjadikan Ubi Cilembu berbeda secara sensori dibandingkan varietas ubi jalar lainnya (Rukmana, 2013).

Dari sisi nilai gizi, ubi cilembu mengandung karbohidrat kompleks, serat pangan, vitamin C, vitamin B kompleks, serta mineral seperti kalium dan magnesium. Kandungan seratnya berperan dalam menjaga kesehatan sistem pencernaan, sementara kandungan kalium berkontribusi terhadap keseimbangan elektrolit dan fungsi kardiovaskular (FAO, 2017). Dengan demikian, ubi cilembu dapat dikategorikan sebagai pangan lokal yang tidak hanya lezat, tetapi juga bergizi.

Lingkungan Tumbuh dan Praktik Budidaya
Kualitas ubi cilembu sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan tempat tumbuhnya. Tanah di wilayah Cilembu didominasi oleh tanah lempung berpasir dengan drainase baik dan kandungan mineral tertentu yang mendukung pembentukan rasa manis. Selain itu, perbedaan suhu siang dan malam di wilayah perbukitan Sumedang turut memengaruhi proses metabolisme tanaman (Sutoro & Minantyorini, 2016).

Praktik budidaya ubi cilembu masih banyak mempertahankan cara-cara tradisional. Petani umumnya menggunakan bibit hasil stek batang dari tanaman sebelumnya dan mengandalkan pupuk organik untuk menjaga kesuburan tanah. Sistem ini mencerminkan prinsip pertanian berkelanjutan yang diwariskan secara turun-temurun.

Panen ubi cilembu biasanya dilakukan setelah masa tanam sekitar empat hingga lima bulan. Umbi yang telah dipanen kemudian disimpan selama beberapa minggu sebelum dikonsumsi atau dipasarkan. Proses penyimpanan ini berfungsi untuk meningkatkan kadar gula dan memperbaiki kualitas rasa, suatu praktik pascapanen yang menjadi bagian penting dari kearifan lokal petani Cilembu (Balitbang Pertanian, 2018).

Ubi Cilembu dalam Perspektif Sosial dan Budaya
Dalam kehidupan masyarakat Sumedang, ubi cilembu tidak hanya berperan sebagai komoditas pertanian, tetapi juga sebagai simbol identitas lokal. Ubi ini sering disajikan dalam berbagai acara keluarga, kegiatan sosial, serta dijadikan oleh-oleh khas daerah. Kehadirannya dalam konteks tersebut menunjukkan bahwa ubi cilembu memiliki fungsi sosial yang melampaui nilai ekonominya.

Koentjaraningrat (2009) menyatakan bahwa makanan tradisional berfungsi sebagai media pembentuk solidaritas sosial dan sarana pewarisan nilai budaya. Dalam konteks ini, ubi cilembu menjadi simbol keterikatan masyarakat terhadap tanah, tradisi bertani, dan identitas lokal mereka. Pengetahuan mengenai cara menanam, memanen, dan mengolah Ubi Cilembu diwariskan secara informal antar generasi melalui praktik sehari-hari.

Peran Ekonomi dan Tantangan Pelestarian
Secara ekonomi, ubi cilembu memberikan kontribusi signifikan bagi pendapatan petani lokal. Permintaan pasar yang tinggi, baik di dalam negeri maupun luar negeri, menjadikan ubi ini sebagai sumber ekonomi penting. Namun demikian, meningkatnya permintaan juga membawa tantangan, seperti risiko penurunan kualitas akibat perluasan budidaya ke luar wilayah asal yang memiliki kondisi lingkungan berbeda.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ubi cilembu yang ditanam di luar wilayah Cilembu sering kali tidak menghasilkan karakter rasa yang sama. Hal ini menegaskan pentingnya konsep terroir dalam produk pertanian lokal, di mana kualitas produk sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan budaya setempat (FAO, 2017).

Oleh karena itu, upaya pelestarian ubi cilembu tidak hanya berkaitan dengan aspek produksi, tetapi juga perlindungan terhadap pengetahuan lokal dan ekosistem pendukungnya. Pengembangan indikasi geografis menjadi salah satu strategi yang dapat digunakan untuk menjaga keaslian dan keberlanjutan Ubi Cilembu sebagai warisan pangan lokal.

Ubi cilembu merupakan contoh nyata bagaimana pangan lokal dapat merepresentasikan keterkaitan erat antara alam, budaya, dan identitas masyarakat. Keunggulan rasa dan kandungan gizi ubi cilembu tidak dapat dilepaskan dari sejarah, lingkungan tumbuh, serta praktik budidaya tradisional yang dijalankan oleh masyarakat Desa Cilembu. Dalam perspektif akademik, ubi cilembu bukan sekadar komoditas pertanian, melainkan warisan budaya yang mengandung nilai historis, sosial, dan ekologis.

Pelestarian dan pengembangan ubi cilembu memerlukan pendekatan multidisipliner yang mencakup aspek agronomi, ekonomi, dan kebudayaan. Dengan demikian, Ubi Cilembu dapat terus bertahan sebagai simbol identitas lokal sekaligus berkontribusi terhadap ketahanan pangan dan kesejahteraan masyarakat.

Foto: https://www.astronauts.id/p/ubi-cilembu-astro-farm-550gram?srsltid=AfmBOop-e8-u6bOLkWrg80NpeuSocKIZv7tEgYBqeMSH5skeLzi6Qaq_
Sumber
Balitbang Pertanian. 2018. Pengembangan ubi jalar unggulan lokal. Jakarta: Kementerian Pertanian Republik Indonesia.
FAO. 2017. Roots, tubers, plantains and bananas in human nutrition. Rome: Food and Agriculture Organization.
Koentjaraningrat. 2009. Pengantar ilmu antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Rukmana, R. 2013. Ubi jalar: Budidaya dan pascapanen. Yogyakarta: Kanisius.
Sutoro, & Minantyorini. 2016. Keragaman genetik dan potensi ubi jalar lokal Indonesia. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan, 35(2), 95–104. Woolfe, J. A. (1992). Sweet potato: An untapped food resource. Cambridge: Cambridge University Press.

Angeun Lada Khas Banten, Kuliner Tradisional dalam Perspektif Sejarah, Budaya, dan Identitas Lokal

Angeun lada merupakan salah satu kuliner tradisional khas Provinsi Banten yang memiliki kedudukan penting dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakat setempat. Hidangan ini dikenal sebagai masakan berkuah pedas dengan bahan utama daging (umumnya daging sapi atau kambing) yang dimasak bersama beragam rempah-rempah lokal. Dalam konteks antropologi makanan, angeun lada tidak hanya dipahami sebagai pemenuh kebutuhan biologis, melainkan juga sebagai ekspresi identitas budaya dan simbol relasi sosial masyarakat Banten. Makanan tradisional sering kali berfungsi sebagai medium untuk merepresentasikan nilai, norma, serta struktur sosial suatu komunitas (Koentjaraningrat, 2009).

Secara linguistik, istilah angeun dalam bahasa Sunda-Banten merujuk pada masakan berkuah atau sayur, sedangkan lada bermakna pedas. Penamaan ini mencerminkan karakter utama hidangan tersebut, yakni kuah yang kaya rasa dengan dominasi sensasi pedas. Rasa pedas dalam angeun lada bukan sekadar preferensi kuliner, tetapi juga berkaitan dengan kondisi geografis dan iklim wilayah Banten. Dalam masyarakat agraris dan pesisir, makanan pedas dipercaya mampu menghangatkan tubuh dan meningkatkan stamina, terutama bagi masyarakat yang melakukan aktivitas fisik berat (Winarno, 2014).

Sejarah angeun lada tidak dapat dilepaskan dari posisi strategis Banten sebagai wilayah pesisir yang sejak abad ke-16 berkembang menjadi pusat perdagangan internasional dan penyebaran Islam di Nusantara. Guillot (2008) mencatat bahwa Kesultanan Banten memiliki jaringan perdagangan yang luas dengan wilayah Arab, India, Persia, dan Asia Tenggara lainnya. Intensitas interaksi lintas budaya tersebut memengaruhi berbagai aspek kehidupan masyarakat Banten, termasuk sistem kepercayaan, bahasa, kesenian, dan kuliner. Dalam konteks ini, angeun lada dapat dipahami sebagai produk akulturasi budaya antara tradisi kuliner lokal dengan pengaruh masakan berempah dari luar Nusantara.

Dalam tradisi lisan masyarakat Banten, angeun lada sering dikaitkan dengan hidangan yang disajikan pada acara-acara penting, seperti perayaan hari besar Islam, selamatan kampung, hajatan keluarga, serta kegiatan keagamaan. Kehadiran angeun lada dalam konteks ritual dan komunal menunjukkan bahwa makanan memiliki fungsi simbolik yang melampaui aspek konsumsi. Lubis (2014) menjelaskan bahwa dalam kebudayaan Banten, penyajian makanan tertentu pada peristiwa sakral berfungsi sebagai simbol penghormatan, solidaritas sosial, dan rasa syukur kepada Tuhan.

Nilai budaya angeun lada juga tercermin dari cara pembuatannya yang sering dilakukan secara kolektif. Dalam berbagai peristiwa sosial, proses memasak angeun lada melibatkan banyak orang dan berlangsung dalam suasana gotong royong. Aktivitas ini tidak hanya bertujuan menghasilkan makanan, tetapi juga menjadi ruang interaksi sosial yang memperkuat ikatan antaranggota komunitas. Melalui praktik tersebut, pengetahuan tentang resep, teknik memasak, dan makna budaya angeun lada diwariskan secara lisan dari generasi ke generasi (Suryani, 2016).

Dari sudut pandang antropologi simbolik, angeun lada dapat dibaca sebagai representasi nilai kesederhanaan dan ketekunan masyarakat Banten. Meskipun bahan-bahannya relatif mudah diperoleh dari lingkungan sekitar, proses memasaknya memerlukan waktu dan kesabaran. Daging harus dimasak dalam waktu lama agar empuk dan bumbu meresap sempurna. Proses ini mencerminkan pandangan hidup yang menghargai proses dan ketelatenan, nilai yang juga tercermin dalam kehidupan sosial masyarakat tradisional (Koentjaraningrat, 2009).

Bahan utama dalam pembuatan angeun lada adalah daging sapi atau kambing. Daging kambing cukup dominan digunakan karena ketersediaannya serta karakter rasanya yang kuat dan sesuai dengan rempah pedas. Selain daging, jeroan seperti babat, paru, atau hati sering ditambahkan untuk memperkaya rasa dan tekstur hidangan. Penggunaan jeroan mencerminkan prinsip pemanfaatan bahan pangan secara menyeluruh, yang merupakan bagian dari kearifan lokal masyarakat tradisional dalam mengelola sumber daya (Suryani, 2016).

Rempah-rempah yang digunakan dalam angeun lada meliputi cabai merah dan cabai rawit sebagai pemberi rasa pedas utama, serta bawang merah, bawang putih, jahe, lengkuas, kunyit, ketumbar, daun salam, dan serai. Kombinasi rempah tersebut menciptakan rasa yang kompleks sekaligus mencerminkan kekayaan hayati Nusantara. Reid (2011) menegaskan bahwa rempah-rempah tidak hanya berperan sebagai bahan masakan, tetapi juga sebagai komoditas penting yang membentuk sejarah ekonomi dan budaya Asia Tenggara.

Proses pembuatan angeun lada diawali dengan membersihkan dan memotong daging, kemudian merebusnya untuk menghasilkan kaldu dasar dan mengurangi aroma khas daging kambing. Air rebusan pertama umumnya dibuang agar rasa kuah menjadi lebih bersih. Teknik ini merupakan praktik umum dalam pengolahan daging tradisional di Indonesia (Winarno, 2014). Selanjutnya, bumbu halus ditumis hingga harum untuk mengeluarkan aroma dan rasa rempah secara optimal.

Bumbu yang telah ditumis kemudian dimasukkan ke dalam rebusan daging bersama rempah aromatik seperti daun salam dan serai. Masakan dimasak dengan api kecil dalam waktu yang cukup lama hingga daging empuk dan kuah mengental. Teknik memasak perlahan ini memungkinkan terjadinya proses penyerapan bumbu secara maksimal, sehingga menghasilkan rasa yang kaya dan berlapis. Dalam tradisi kuliner Nusantara, teknik memasak seperti ini dipandang sebagai bentuk penghargaan terhadap bahan makanan dan tamu yang akan menyantap hidangan tersebut (Winarno, 2014).

Dalam konteks masyarakat modern, angeun lada khas Banten masih dipertahankan sebagai bagian dari identitas kuliner daerah. Hidangan ini tidak hanya hadir dalam rumah tangga, tetapi juga mulai diangkat dalam festival kuliner, rumah makan tradisional, dan promosi pariwisata budaya. Upaya pelestarian kuliner tradisional seperti angeun lada menjadi penting di tengah arus globalisasi, yang cenderung menyeragamkan selera dan pola konsumsi masyarakat (Lubis, 2014).

Dengan demikian, angeun lada tidak dapat dipahami semata-mata sebagai makanan berkuah pedas. Hidangan ini merupakan representasi sejarah, budaya, dan identitas masyarakat Banten yang terbentuk melalui interaksi panjang antara manusia, alam, dan tradisi. Keberlanjutan angeun lada sebagai kuliner tradisional menunjukkan bahwa makanan memiliki peran strategis dalam menjaga ingatan kolektif dan jati diri budaya suatu masyarakat.

Foto: https://food.detik.com/info-kuliner/d-7395040/angeun-lada-kuliner-warisan-budaya-dari-banten-yang-gurih-pedas
Sumber:
Guillot, C. 2008. Banten: Sejarah dan peradaban abad X–XVII. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Koentjaraningrat. 2009. Pengantar ilmu antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Lubis, N. H. 2014. Banten dalam pergumulan sejarah. Serang: Dinas Kebudayaan Provinsi Banten.
Reid, A. 2011. Asia Tenggara dalam kurun niaga 1450–1680. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Suryani. 2016. Kuliner tradisional sebagai identitas budaya Banten. Jurnal Sejarah dan Budaya, 10(2), 130–145.
Winarno, F. G. 2014. Kuliner tradisional Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Cara Pasang Tali Layangan agar Manteng di Udara
Topeng Monyet
Museum Situs Kepurbakalaan Banten Lama

Archive