Namping adalah istilah petani di Jawa Tengah bagi sebuah ahap dalam proses pengolahan lahan pertanian tanah basah (sawah). Namping dilakukan setelah sawah dibalik tanahnya dengan menggunakan luku (ngluku) dengan diperbaiki dan atau diluruskan dengan cangkul sepanjang tepian sawah (pematang). Kegiatan yang biasanya dilakukan 4 hari setelah ngluku ini dalam satu bau (kurang lebih 0,5 hektar) tenaga yang diperlukan sejumlah 4 orang. Mereka bekerja mulai dari pukul 07.00-01.00 WIB. Menjelang tengah hari biasanya mereka dikirimi makanan dan minuman yang oleh masyarakat setempat disebut kojong. Tujuan namping di samping pematang sawah kelihatan lurus dan rapih, lubang yuyu (sejenis kepiting) dan atau tikus dapat tertutup. Selain itu, yang tidak kalah pentingnya adalah agar mudah dilalui.
Mbanyoni
Mbanyoni adalah istilah petani Jawa bagian tengah bagi tahap pertama dalam pengelolaan tanah pertanian (sawah). Tahap lainnya adalah: ngluku, namping, macul, nggaru, nandur, mbentuli, nyiangi, dan maneni. Istilah “mbanyoni” berasal dari kata “banyu” (bahasa Jawa) yang berarti “air”. Dengan demikian, mbanyoni berarti “mengairi” (memberi air), yaitu mengairi sawah yang akan digarap (dikerjakan). Tujuannya adalah agar tanah menjadi gembur sehingga mempermudah pencangkulan. Adapun waktunya bergantung dari pembagian yang telah diatur oleh perangkat desa bagian pengairan (ulu-ulu). Jadi, ada sejumlah petani yang diberi kesempatan mbanyoni pagi hari; ada sejumlah petani yang diberi kesempatan pada sore hari; dan ada sejumlah petani yang diberi kesempatan pada malam hari. Dengan cara demikian, setiap petani tidak perlu berebut untuk memperoleh air.
Mbanyoni dilakukan sampai permukaan sawah tertutup dengan air. Kemudian, sawah dibiarkan begitu saja selama dua hari dengan maksud agar air yang menggenangi sawah susut (terserap ke dalam tanah).
Mbanyoni dilakukan sampai permukaan sawah tertutup dengan air. Kemudian, sawah dibiarkan begitu saja selama dua hari dengan maksud agar air yang menggenangi sawah susut (terserap ke dalam tanah).
Bonang
Bonang adalah sebuah instrumen pukul berupa kumpulan 10 buah gong "pecon" terbuat dari perunggu atau kuningan yang disusun dua baris dalam sebuah rak kayu. Dalam sebuah pagelaran alat ini dimainkan paling awal dengan tempo lambat. Adapun cara memainkannya dipukul dengan dua buah pemukul berkepala lembut terbuat dari kayu yang bagian ujungnya dibalut dengan benang wol. Bonang terbuat dari tembaga, kuningan atau perunggu. Bentuk berbilah-bilah antara 6-7 bilah berderet memanjang di atas ruang suara atau resonator yang terbagi dalam dua buah ancak. Permukaan bilah bagian tengahnya berbentuk bulat menonjol yang merupakan tempat jatuhnya pemukul. Panjang bilah berbeda-beda, demikian pula ruang suara yang berbentuk kotak panjang satu ujungnya mengecil dan penempatan bilah-bilah mengikuti ukuran suaranya.
Nggaru
Dalam proses pengolahan lahan pertanian padi (sawah) pada masyarakat Pemalang, Jawa Tengah, ada istilah yang dinamakan sebagai nggaru. Nggaru sendiri adalah proses merata-haluskan tanah setelah dicangkul. Hasil Cangkulan biasanya hanya untuk membalikkan dan meratakan tanah, tetapi tidak betul-betul rata dan halus. Tanah perlu dirata-haluskan atau dinggaru dengan alat yang disebut garu, sebuah alat berbentuk menyerupai sisir. Penggaruan dilaksanakan secara bertahap. Tahap pertama (nggaru sepisan) hasilnya tidak betul-betul rata dan halus. Baru setelah tahap kedua (nggaru pindo) tanah menjadi halus dan rata setelah posisi garu digeser sedikit, sehingga “gigi-gigi”-nya tidak berada pada bekas garu-an yang pertama. Nggaru pindo ini biasanya dilakukan pada hari kedua sampai ke empat setelah nggaru sepisan. Dan, apabila proses penggaruan selesai, tahap berikutnya adalah nandur atau menanam bibit padi.
Mlanggar
Mlanggar adalah istilah orang Pemalang, Jawa Tengah, bagi petani yang tetap menanam padi pada saat persediaan air tidak terlalu melimpah (saat musim kemarau). Petani di Pemalang dalam satu tahun umumnya bercocok tanam padi-padi-palawija. Jadi, dalam satu tahun mereka menanam tanaman palawija seperti mentimun dan kacang-kacangan. Menurut pandangan mereka apabila lahan selalu ditanami padi, maka hasilnya tidak dapat maksimal karena tingkat kesuburan tanah menurun. Untuk itu, perlu diselinggi dengan tanaman palawija agar kesuburan tanah tetap terjaga.
Seseorang yang mlanggar dengan tetap menanam padi saat musim kemarau tidak akan dikenakan sanksi apapun karena segala sesuatu yang diperbuat menjadi urusannya (resiko) sendiri. Dalam hal ini jika berhasil berarti bernasib baik (mujur). Sebaliknya, jika tidak berhasil maka segala sesuatunya ditanggung sendiri.
Seseorang yang mlanggar dengan tetap menanam padi saat musim kemarau tidak akan dikenakan sanksi apapun karena segala sesuatu yang diperbuat menjadi urusannya (resiko) sendiri. Dalam hal ini jika berhasil berarti bernasib baik (mujur). Sebaliknya, jika tidak berhasil maka segala sesuatunya ditanggung sendiri.