Buaya Buntung

(Cerita Rakyat DKI Jakarta)

Alkisah, ada seorang gadis cantik jelita sedang menyapu halaman rumahnya. Dia bernama Jenab, anak gadis semata wayang seorang janda tua di sebuah kampung tepi sungai. Usai menyapu Jenab bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Rencananya, sehabis mandi dia dan Sang Ibu akan pergi berziarah ke makam ayahnya yang lokasinya agak jauh dari rumah.

Selepas mandi Jenab menuju dapur untuk menyantap hidangan nasi uduk sayur jengkol dan teh hangat buatan Sang Ibu. Selanjutnya, masih di area dapur, dia mengambil sekantung bunga dan sebotol air penyiram tanah kuburan Sang Ayah yang telah disediakan oleh Sang ibu pada malam sebelumnya.

Sejurus kemudian keduanya pun berjalan keluar rumah menuju pemakaman. Mereka berjalan menyusuri lorong-lorong sempit di antara perumahan warga kampung. Di saat menyusuri lorong-lorong itu banyak pria yang menyapa. Mereka takjub melihat kemolekan tubuh Jenab yang berjalan bak bidadari dari kahyangan.

Tetapi seluruh sapaan para pria tadi tidak ada yang dihiraukan Jenab. Dia tetap angkuh berlalu seakan tidak ada orang lain di sepanjang perjalanannya. Bahkan, ketika Sang Ibu mencoba menasihati agar mau menyapa balik atau setidaknya tersenyum, Jenab malah mengatakan bahwa mereka telah berlaku kurang ajar dengan memanggil-manggil namanya.

Hal ini tentu membuat Sang Ibu hanya dapat menggelengkan kepala melihat kelakuan anak gadisnya. Dia tidak berkata apa-apa lagi pada Jenab walau tahu bahwa para lelaki yang menyapa menunjukkan ekspresi kekecewaan atas tindakan Jenab. Begitu seterusnya hingga mereka tiba di area pemakaman.

Memasuki pemakaman mereka menuju ke sebuah pohon asam besar nan rindang. Tidak jauh dari pohon itulah ayah Jenab dimakamkan. Keduanya duduk di sisi pusara sembari memanjatkan doa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Selesai berdoa air dan kembang yang dibawa dari rumah ditaburkan di atas pusara. Adapun fungsi dari tradisi ini adalah: (1) meringankan beban mayat; (2) mendinginkan tempat peristirahatan terakhir; (3) menjaga tanah kuburan agar tidak hilang terkena terpaan angin; dan (4) meringankan siksa kubur penghuni makam.

Usai tabur bunga anak beranak itu pulang ke rumah. Sampai di rumah ternyata ada seorang pemuda bersama kedua orang tuanya yang telah menunggu di teras berlantai ubin. Jenab yang tidak kenal dengan mereka langsung menuju dapur. Sementara Sang Ibu menemui untuk menanyakan maksud kedatangan mereka.

Setelah berbasa basi sebentar salah seorang dari mereka (kepala keluarga) mengatakan bahwa anaknya yang bernama Somad menaruh hati pada Jenab dan bermaksud ingin melamarnya. Walau belum pernah berkomunikasi, tetapi sang putra tampaknya telah jatuh hati setiap kali melihat Jenab. Oleh karena itu, dia bersama sang istri berniat untuk menjodohkan Somad dengan Jenab.

Kaget mendengar ada orang yang ingin melamar, Jenab langsung belari dari arah dapur menuju Sang Ibu yang tengah menerima tamu. Setengah berbisik dia meminta ibunya masuk ke rumah. Tanpa tedeng aling-aling dia langsung menyatakan ketidakmauannya menikah dengan Somad. Dalam pandangannya yang hanya sepintas dia melihat Somad sebagai pemuda pendek dengan hidung pesek.

Sang ibu berusaha menenangkan jenab. Dia mengatakan bahwa walau bertubuh pendek dan berhidung pesek Somad berasal dari keluarga berada. Hal ini terlihat dari penampilan serta cara bicara keluarga itu. Apabila Jenab mau menjadi istrinya, maka kehidupannya kelak tidak akan berkesusahan. Dia yakin Somad akan bertanggung jawab memenuhi segala kebutuhannya.

Bujukan Sang ibu ternyata tidak membuat Jenab berubah pikiran. Dia tetap tidak mau menikah dengan Somad. Sang ibu akhirnya kembali lagi menemui Somad dan orang tuanya. Secara halus dia menolak lamaran Somad dengan alasan Jenab belum ingin berumah tangga. Mungkin suatu hari nanti, setelah Jenab siap, Somad boleh melamarnya lagi.

Kecewa akan penolakan tadi Somad keluar dari pekarangan rumah Jenab dengan tertunduk lesu. Sang ibu yang melihat anaknya bersedih hati segera mengelus-elus punggungnya mencoba menenangkan kegundahan hati Somad.

Semenjak itu tidak ada lagi yang datang melamar Jenab. Para pemuda menganggap Jenab sebagai seorang angkuh dan sulit didekati. Mereka tidak tahu tipe laki-laki apa yang menjadi idaman Jenab. Begitu seterusnya, hingga berbulan-bulan kemudian datanglah seorang pemuda gagah perkasa bersama Jin Iprit.

Konon, Iprit adalah raja gaib yang memiliki ribuan bala tentara. Dia dapat bergonta-ganti wujud sesuai keinginannya. Jadi, apabila ingin menjadi binatang dia beralih wujud menjadi binatang tertentu. Sedangkan bila ingin berwujud manusia, maka dia akan mengubah bentuk menjadi manusia.

Sang pemuda dan Iprit datang dari arah goa yang ada di tepi sungai. Namun, Iprit hanya sampai di mulut goa. Selanjutnya, Sang pemudalah yang keluar dari goa untuk berkeliling kampung. Dia melihat-lihat kondisi kampung yang ada di sekitar tepian sungai. Dan, setelah menemukan lokasi yang cocok dia kemudian membangun sebuah gubug sebagai tempat tinggal.

Ajaibnya, hanya dalam waktu beberapa bulan gubugnya menjadi menjadi sebuah istana nan besar dan megah. Padahal kerjanya dari pagi hingga petang hanya berbincang-bincang santai dengan para tetangga. Dia dikenal supel, ramah, dan baik sehingga dalam waktu singkat sudah dikenal luas oleh warga kampung.

Mereka tidak mengetahui kalau keramahan itu hanyalah kedok semata. Pada tengah malam Sang Pemuda kerap pergi mencuri ke kampung-kampung lain di sekitarnya. Dia melancarkan aksinya tanpa diketahui oleh siapa pun. Bahkan, penghuni rumah yang disatroninya selalu dibuat tertidur pulas saat barang-barangnya disikat habis.

Suatu hari saat dia tengah berbincang asyik dengan salah seorang tetangga tiba-tiba perhatiannya tertuju pada satu titik. Matanya melihat sosok perempuan rupawan berperawakan tinggi semampai sedang berjalan seorang diri. Dia adalah Jenab yang oleh warga sekitar dikenal angkuh dan tidak suka didekati laki-laki.

Berdasarkan penuturan warga tentang Jenab, Sang Pemuda menjadi tertantang untuk mendekati dan menaklukkannya. Tanpa berpikir lama dia pergi mendatangi rumah Jenab. Sampai di sana dia memperkenalkan diri pada ibu Jenab dan langsung mengutarakan niat untuk melamar anaknya.

Sang ibu tidak kaget dengan ucapan Sang pemuda. Dia yakin pasti Jaenab akan menolaknya. Sebab, selain Somad sudah ada beberapa pemuda lagi yang ditolaknya. Oleh karena itu, agar tidak terlalu mengecewakan dia memberi Sang pemuda teh hangat dan beberapa cemilan sembari menunggu jawaban Jenab.

Dugaan Sang ibu ternyata meleset. Jenab yang sedari tadi mengintip dari dalam rumah ternyata menerima lamaran Sang pemuda. Wajahnya terlihat berbinar ketika menyatakan mau menerima lamaran. Padahal dia belum mengetahui latar belakang pemuda itu. Apakah mungkin dia tertarik karena latar belakang ekonominya? Ataukah ketampanan dan kesempurnaan fisiknya? Hanya Jenab yang bisa menjawabnya.

Singkat cerita mereka pun menikah dalam suasana yang sangat meriah. Hasil pernikahan keduanya membuahkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Mi’ing. Mi’ing tumbuh sebagai anak yang sehat. Menginjak usia remaja walau hidup berkecukupan dia memiliki tabiat seperti ayahandanya, yaitu rakus dan suka mengambil milik orang lain.

Suatu hari Mi’ing melancarkan aksinya dengan mencuri buah di kampung sebelah. Namun, karena masih amatir dia kepergok oleh empunya pohon hingga terkena bacokan di bagian tangan. Akibat pembacokan itu Mi’ing menjadi cacat.

Di tengah kesibukan Jenab dan suami mencari pengobatan guna menyembuhkan cacat Mi’ing tiba-tiba datanglah “kawan lama” sang suami. Dari goa di pinggir sungai Iprit datang mencari suami Jenab. Iprit merasa dikhianati karena suami Jenab telah melanggar perjanjian dengannya. Padahal, harta kekayaan yang selama ini dimiliki sebenarnya bukan hasil dari mencuri saja tetapi sebagian dari perjanjian di antara mereka.

Sayangnya, niat menanggih janji tadi tidak ditanggapi oleh suami Jenab. Akibatnya, Iprit murka dan menghukum suami Jenab beserta anak laki-lakinya. Sang suami diubah menjadi seekor buaya raksasa, sementara Sang anak juga menjadi buaya tetapi dengan kondisi salah satu kakinya buntung karena telah cacat akibat bacokan pemilik pohon mangga.

Hal ini tentu membuat Jenab kaget bukan kepalang. Dia tidak menyangka kalau kedua orang yang dicintai beralih wujud menjadi buaya. Namun dia tidak dapat berbuat apa-apa. Hanya tangisan menyanyat hati yang keluar dari mulutnya ketika kedua buaya itu berjalan keluar rumah menuju sungai. Dan, sejak saat itu apabila Jenab rindu, maka dia akan ke sungai untuk menemui suami dan anak tercintanya yang telah beralih wujud menjadi buaya buntung.

Diceritakan kembali oleh ali gufron
Cara Pasang Tali Layangan agar Manteng di Udara
Topeng Monyet
Museum Situs Kepurbakalaan Banten Lama

Archive