Sekawan Limo

Di lereng sebuah hutan tua yang diselimuti kabut nyaris sepanjang tahun, berdirilah Desa Giritengah, desa kecil yang tampak tenang dari luar, namun menyimpan sebuah pantangan kuno yang diwariskan turun-temurun: larangan menyebut angka lima pada malam “Larung Wengi”, malam ketika batas antara dunia manusia dan dunia roh diyakini menipis. Larangan ini bukan sekadar tabu tanpa makna; masyarakat desa percaya bahwa menyebut angka itu dapat membangkitkan kembali lima roh pemuda yang hilang secara misterius ratusan tahun lalu. Namun bagi generasi muda, larangan itu dianggap sebagai cerita menakut-nakuti, mitos yang sudah tidak lagi relevan di era modern.

Kisah dimulai ketika lima sahabat masa kecil (Raga, Tani, Jalu, Prita, dan Wening) kembali ke desa setelah beberapa tahun berpisah untuk merayakan upacara adat tahunan. Mereka adalah teman sepermainan yang dulunya tidak terpisahkan, tetapi kini masing-masing telah membawa dunia dan problemnya sendiri. Raga, yang kini bekerja sebagai jurnalis lepas, kembali untuk mencari inspirasi setelah kariernya mandek. Tani baru pulang dari kota setelah usahanya bangkrut dan hubungan keluarganya bermasalah. Jalu adalah satu-satunya yang masih tinggal di desa, menjadi semacam penghubung antara tradisi lama dan modernitas yang ia pelajari dari sahabat-sahabatnya. Prita sedang menyelesaikan kuliah antropologi dan melihat upacara adat sebagai kesempatan untuk penelitian. Sementara Wening, yang sejak kecil sensitif terhadap hal-hal gaib, kembali dengan perasaan tak nyaman yang ia sendiri sulit jelaskan.

Pertemuan mereka berlangsung hangat pada awalnya penuh gelak tawa, nostalgia, dan cerita lama yang menghidupkan kembali kenangan masa kecil. Di sebuah rumah panggung peninggalan kakek Raga, mereka berkumpul membicarakan masa lalu sambil bercanda mengenai mitos-mitos yang dulu menakutkan mereka. Ketika pembicaraan sampai pada larangan “angka lima”, mereka menertawakannya. Tidak ada dari mereka yang benar-benar percaya lagi pada kutukan yang selama ini diwariskan oleh orang tua dan tetua desa. Dalam suasana santai dan dengan rasa percaya diri anak muda yang merasa kebal terhadap hal mistis, mereka menyebut angka itu berulang kali sambil bersenda gurau, tanpa menyadari bahwa malam itu adalah malam Larung Wengi, malam yang paling dilarang untuk menyebut angka tersebut.

Tak lama setelah candaan itu, keanehan pertama muncul: lampu rumah Raga berkedip-kedip seolah ada sesuatu yang bergerak di dalam arus listrik; angin berhenti berhembus secara tiba-tiba, seakan seluruh desa sedang menahan napas; dan dari kejauhan terdengar suara langkah yang berulang ritmis lima ketukan, berhenti, lima ketukan lagi. Raga mengira itu hanya suara dari hutan, namun Wening merasakan ada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang membuat bulu kuduknya meremang seperti masa kecil dulu ketika ia pernah melihat sosok misterius di tepi hutan.

Upacara adat yang mereka hadiri keesokan harinya justru memperkuat ketegangan. Para tetua desa terlihat gelisah, dan beberapa ibu-ibu berbisik bahwa malam sebelumnya ada cahaya aneh di arah hutan. Ketika rombongan sekawan itu lewat, beberapa orang menatap mereka dengan curiga seolah mereka tahu bahwa ada sesuatu yang telah dilakukan kelima sahabat itu yang tidak seharusnya dilakukan pada malam terlarang. Namun belum ada yang berani berbicara blak-blakan.

Gejolak semakin memuncak ketika Prita, yang tengah melakukan penelitian lapangan, menemukan catatan lama di perpustakaan desa. Catatan itu menyebutkan bahwa ratusan tahun lalu, lima pemuda desa pernah melanggar larangan serupa dan menghilang tanpa jejak setelah terdengar jeritan dari arah hutan. Cerita rakyat menyebutkan bahwa roh kelima pemuda itu kini gentayangan, mencari pengganti agar mereka bisa “melanjutkan perjalanan” dan melepaskan diri dari kutukan. Prita bingung harus percaya atau tidak, tetapi catatan itu terlalu detail untuk diabaikan begitu saja.

Di sisi lain, Jalu menyaksikan fenomena mengerikan saat pulang malam dari balai desa: bayangan lima sosok berjalan beriringan di antara pepohonan, bergerak tanpa suara, namun selalu mempertahankan jarak dan formasi seperti kelompok manusia yang hilang dalam legenda. Tubuh Jalu gemetar; ia tahu hutan itu, namun ia belum pernah melihat sesuatu yang sedemikian asing dan menantang batas logika. Ketika ia kembali ke rumah dan menceritakannya kepada yang lain, reaksi mereka bercampur antara cemas dan tidak percaya kecuali Wening, yang sejak awal sudah merasakan bahwa apa yang mereka bangkitkan bukan hal kecil.

Keberadaan mereka (lima orang sahabat) mulai terasa seperti cermin dari lima pemuda masa lalu. Suara langkah lima ketukan terus muncul setiap malam, terlepas dari di mana mereka berada. Benda-benda jatuh tanpa sebab, pintu bergetar, dan bayangan dengan jumlah lima selalu terlihat di ujung pandangan. Bahkan lebih mengerikan lagi, Raga menemukan simbol kuno terukir di dinding rumah kakeknya, sebuah simbol yang ia yakin tidak pernah ada sebelumnya. Simbol itu berisi pola lima lingkaran yang saling terhubung, bentuk magis yang diyakini sebagai penanda perjanjian roh di masa lampau.

Rasa takut membuat mereka berusaha mencari penjelasan rasional, tetapi kejadian-kejadian selanjutnya mengikis keyakinan itu. Pada suatu malam, Wening mendengar suara tangisan laki-laki muda di luar rumah panggung. Ketika ia mengintip, ia melihat lima sosok dengan tubuh pucat dan wajah tanpa mata berdiri menghadap rumah, seolah menunggu seseorang keluar. Wening memekik, membuat teman-temannya terbangun panik. Saat mereka melihat ke luar, sosok-sosok itu sudah menghilang, namun tanah di sekitar rumah tampak seperti baru saja diinjak oleh banyak telapak kaki yang ukurannya sama dan sejajar.

Kepanikan mencapai puncaknya ketika salah satu dari mereka, Tani, hampir ditarik oleh bayangan tak berwujud yang muncul dari bawah lantai rumah. Tani selamat, tetapi kejadian itu membuat mereka sadar bahwa waktu mereka semakin sedikit. Mereka bukan hanya menyaksikan kutukan itu, mereka sedang menjadi bagian dari ritual pengganti yang telah menunggu selama ratusan tahun. Jika legenda itu benar, kutukan hanya dapat ditebus oleh kelompok yang tetap bersatu sampai akhir, namun entitas di luar sana akan berusaha memecah belah mereka, membuat mereka saling curiga atau terpisah secara fisik, karena kutukan hanya dapat mengambil mereka satu per satu.

Dalam usaha terakhir untuk memahami apa yang harus dilakukan, mereka menemui seorang tetua desa yang paling dihormati. Tetua itu mengungkapkan rahasia yang selama ini disembunyikan: kutukan itu bukan sekadar akibat melanggar pantangan. Di masa lalu, lima pemuda yang hilang sebenarnya melakukan pengkhianatan terhadap desa. Mereka berniat melarikan diri dari kewajiban adat dan mencuri sesuatu yang sakral. Ketika mereka hilang, desa menutup rapat cerita itu demi menjaga kehormatan keluarga mereka, tetapi roh para pemuda itu tidak pernah tenang. Kini, setelah sekawan tersebut membangkitkan nama dan pola angka terlarang, roh-roh itu kembali mencari wadah, lima manusia baru yang juga datang sebagai kelompok lima.

Konflik batin mulai muncul di antara mereka. Raga merasa bertanggung jawab karena mengajak mereka kembali ke desa. Prita terpecah antara rasa takut dan naluri akademiknya untuk mencari kebenaran. Jalu merasa harus melindungi desanya, meskipun itu berarti harus berpisah dari teman-temannya. Tani terjebak dalam trauma dan rasa bersalah dari kegagalan masa lalunya, membuatnya rentan terhadap bisikan roh. Wening berjuang memahami penglihatannya sambil mencoba tetap waras. Mereka tidak hanya berhadapan dengan entitas supranatural, tetapi juga dengan kelemahan pribadi masing-masing.

Dalam ketegangan yang semakin menyesakkan, mereka memutuskan untuk bertahan bersama, meski hubungan mereka retak oleh rasa takut, amarah, dan rahasia lama yang terbongkar. Malam terakhir, malam penentu, mereka harus melewati hutan dan menghadapi roh-roh tersebut dalam sebuah ritual pelepasan. Namun hutan bukanlah sekadar tempat fisik, melainkan labirin antara dunia nyata dan dunia roh, tempat di mana waktu berjalan berbeda dan realitas terdistorsi. Mereka dipaksa menghadapi versi terburuk dari diri mereka sendiri, mencerminkan dosa dan luka masa lalu yang selama ini mereka sembunyikan. Pada akhirnya, perjalanan ini bukan hanya tentang melawan kutukan, tetapi tentang persahabatan yang diuji oleh ketakutan paling mendalam, tentang warisan leluhur yang menuntut penghormatan, dan tentang generasi muda yang sering kali tidak memahami betapa rapuhnya batas antara mitos dan kenyataan. Sekawan Limo menjadi kisah bahwa beberapa legenda tidak lahir dari imajinasi, melainkan dari tragedi yang benar-benar terjadi, tragedi yang terus mencari ruang untuk diselesaikan.

Foto: https://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/8/8f/Poster_Sekawan_Limo.jpg
Cara Pasang Tali Layangan agar Manteng di Udara
Topeng Monyet
Museum Situs Kepurbakalaan Banten Lama

Archive