Kajali, Dalang Wayang Garing Banten Terakhir

Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan wayang sebagai boneka tiruan orang terbuat dari pahatan kulit atau kayu dan sebagainya yang dapat dimanfaatkan untuk memerankan tokoh dalam pertunjukan drama tradisional di Jawa, Bali, dan Sunda. Sementara orang yang memainkannya disebut sebagai dalang. Wayang sendiri apabila dilihat secara etimologis berasal dari bahasa Jawa kuno yakni “wod” yang berarti gerakan berulang dan tidak tetap. Kata ini memiliki dua makna. Pertama, wayang merupakan wujud bayangan samar-samar yang selalu bergerak dengan tempat yang tidak tetap. Makna lainnya, wayang adalah angan-angan yang memiliki bentuk sesuai dengan apa yang dibayangkan. Misalnya tokoh baik digambarkan berbadan kurus, mata tajam, dan lain sebagainya. Sebaliknya tokoh jahat bermulut lebar, muka sangar, warna tubuh membara.

Melansir dari detik.com, di wilayah Jawa terdapat beraneka ragam jenis wayang, di antaranya: (1) wayang kulit (terbuat dari kulit hewan atau tulang yang dimainkan oleh seorang pemain di panggung); (2) wayang golek (terbuat dari kayu yang dibentuk sedemikian rupa menjadi boneka yang dimainkan di atas panggung); (3) wayang orang (dimainkan secara langsung oleh manusia); (4) wayang beber (terbuat dari kertas berisikan lukisan yang digulung dan direntangkan atau dibeber saat pertunjukan); dan (5) wayang klitik yang terbuat dari kayu pipih berbentuk boneka dimainkan seorang pemain di panggung.

Seluruh jenis wayang tadi menurut Soetarno (2011) memiliki banyak fungsi, yaitu: sebagai media pendidikan atau edukasi terhadap penonton; sebagai refleksi nilai-nilai etis dan estetis; sebagai alat komunikasi atau media penerangan; sebagai media hiburan yang bersifat hedonistik; sebagai bentuk keberlanjutan kebudayaan; dan sebagai refleksi dari pola-pola ekonomi sarana mencari nafkah.

Apabila melihat fungsinya yang terakhir yaitu sebagai refleksi dari pola-pola ekonomi sarana mencari nafkah, di Kabupetan Serang, tepatnya di Desa Mandaya, Kecamatan Carenang, ada sebuah kesenian wayang kulit modifikasi yang disebut sebagai wayang garing. Majalahteras.com mendefinisikan wayang garing sebagai pagelaran dengan menggunakan wayang kulit tanpa iringan gamelan dan tembang dari sinden. Wayang garing dimainkan oleh dalang seorang diri dengan musik pengiring barasal dari mulut dan permainan tangan Sang dalang yang beradu dengan benda-benda di sekitarnya (kecrekan, cempala, layar, gedebok, dan lampu).

Sedikitnya ada dua versi mengenai asal usul wayang garing. Versi pertama berasal dari Anggita (2021) yang menyatakan bahwa Kajali adalah orang pertama yang memainkan wayang tanpa iringan gamelan dan tembang sinden. Waktu itu Kajali muda mulai mempraktekkan ilmu pedalangan dari Mandasih dengan mendalang dari kampung ke kampung. Melansir wikipedia.org, untuk sekali mendalang honorariumnya sekitar segantang atau tiga kilogram beras. Bersama kelompoknya dia mementaskan wayang kulit utuh (lengkap dengan pengrawit dan pesinden) dalam 125 kisah epos Ramayana dan Mahabarata.

Seiring waktu, kesenian wayang kulitnya memudar tergerus zaman sehingga mulai ditinggalkan para penontonnya. Begitu pula dengan anggota kelompoknya yang satu per satu mulai mengundurkan diri. Mereka lebih memilih beralih profesi dari seniman ke pekerjaan-pekerjaan lain yang dinilai lebih menjanjikan. Menurut Anggita (2021: 115), terhimpit keadaan ekonomi, sementara seni merupakan satu-satunya jalan hidup membuat Kajali merubah format penampilan wayangnya. Dia manggung hanya seorang diri berbekal seperangkat wayang dalam kotak kayu, kecrek, gedebog pisang. Di atas panggung dia memainkan wayang-wayang dengan diiringi suara kecrek yang ditempelkan pada kotak kayu dan ditendang-tendang dengan kakinya sambil bersila. Wayang model baru ini kemudian disebutnya sebagai wayang garing atau wayang “teu asak” (tidak matang) dalam bahasa Sunda karena tidak ada lantunan gamelan dan sinden.

Sedangkan versi lainnya dari Herlinawati (2008: 201) yang mengatakan bahwa sejarah wayang garing bermula dari wayang kulit yang ada di Kabupaten Serang. Konon, keberadaan wayang kulit sudah dikenal luas sejak Kesultanan Banten Berdiri. Dari catatan sejarah disebutkan bahwa wayang kulit termasuk salah satu alat komunikasi dalam penyebaran agama Islam di daerah Banten, khususnya Kabupaten Serang yang saat itu penduduknya masih memeluk Hindu/Budha. Melalui cerita-cerita Mahabarata dan Ramayana Sunan Gunung Jati dan Sultan Maulana Hasanuddin menyesuaikannya sedemikian rupa demi kepentingan penyiaran Islam seperti menyisipkan cerita tentang Jimat Kalimasodo dan Wahyu Hidayat.

Oleh karena berasal dari Cirebon, bentuk wayang kulit di Kabupaten Serang tak beda dengan yang ada di daerah Cirebon. Misalnya, benda wayangnya terbuat dari bahan kulit kerbau dan sapi yang diukir sedemikian rupa dan diberi warna-warni cat (disungging). Kulit kerbau untuk menciptakan kearakter wayang besar, seperti Bima, Rahwana, Baladewa, dan Kumbakarna. Sedangkan kulit sapi untuk karakter wayang berukuran sedang dan kecil, seperti Arjuna, Nakula, Sadewa, dan tokoh-tokoh perempuan.

Saat pemerintahan Banten dipegang oleh Sultan Ageng Tirtayasa, wayang kulit diharuskan tampil dalam formasi lengkap dengan alur cerita perjalanan Sultan atau cerita tentang Babad Banten. Awalnya ia dipentaskan sebagai hiburan sehabis panen, tetapi dalam perkembangkan selanjutnya juga ditampilkan pada peringatan hari-hari besar, penyambutan tamu, dan acara pernikahan. Begitu besar perhatian Sultan pada kesenian ini hingga berkenan memberi subsidi pada kehidupan ekonomi bagi para dalang dengan harapan mereka mampu menciptakan seni wayang khas Banten.

Tetapi ketika timbul konflik dengan Kompeni sejak tahun 1652 subsidi para dalang menjadi terganggu karena Kesultanan memerlukan biaya besar untuk perang. Bahkan, sejak Kesultanan Banten dihancurkan Gubernur Jenderal Herman Deandels pada 21 November 1808 subsidi benar-benar terputus. Kehidupan para dalang pun terpuruk. Untuk dapat bertahan, sebagian mereka ngamen berkeliling dari satu kampung ke kampung lain.

Begitu seterusnya hingga pertunjukan wayang kulit mulai memudar sekitar tahun 1957 tergantikan oleh kesenian lain. Para dalang yang tidak memiliki modal terpaksa harus mengerjakan sendiri peran-peran penabuh gamelan dan pesindennya hingga muncul istilah wayang garing. Wayang garing sendiri termasuk dalam sastra lisan Banten dengan ciri-ciri tuturan disampaikan menggunakan bahasa Banten (Jawa-Serang). Dari segi cerita, wayang garing termasuk dalam wayang purwa karena bersumber pada kisah-kisah Mahabarata, Ramayana, dan Lokapala. Ia acap kali dipentaskan selama kurang lebih dua hingga lima jam pada acara-acara di seputar lingkaran seseorang (perkawinan dan khitanan).

Saat ini di daerah Banten apabila berbicara tentang wayang garing hanya satu nama yang akan muncul, yaitu Kajali. Pria berusia 71 tahun ini merupakan satu-satunya dalang wayang garing yang masih eksis di Banten. Kajali memulai kariernya sekitar tahun 1958 sebagai penabuh gambang pada sebuah kelompok wayang kulit. Baru sekitar tahun 1965 Kajali beralih menjadi dalang dengan belajar pada Mandasih seorang dalang wayang kulit terkenal di Banten (news.detik.com).

Berbekal wayang yang diwarisi Mandasih, Kajali mulai berkeliling dari satu kampung ke kampung lain menghibur masyarakat kelas bawah dengan pertunjukan wayang garing. Oleh karena kebiasaan ngamen sendirian inilah pria beristri Adiyah dan memiliki lima orang putra ini dikenal dengan sebutan Dalang Putra Tunggal dan Dalang Garing. Sebagai catatan, keberanian Kajali ngamen seorang diri bukan hanya sekadar mencari penghidupan tetapi juga didasarkan pada wangsit dari Mandasih untuk mendalang tapa nayaga dan pesinden.

Kepercayaan akan adanya wangsit dan dunia mistis dalam kesenian wayang garing membuat Kajali selalu mengawali dan mengakhiri pagelarannya dengan prosesi ruwatan. Salah satunya adalah dengan membaca kitab kuno tentang perjalanan hidup Syekh Abdul Qadir Jaelani. Selain itu ada pula sesajen yang dihidangkan berupa pisang ambon, rokok, kopi pahit, kopi manis, kue tujuh macam, dan air teh. Kelengkapan ini bergantung pada wangsit yang diterima Kajali. Dalam artian menurut wangsit cukup, maka dia akan mengatakan cukup. Namun, apabila kurang dan tidak disediakan, maka dia akan terkena dampaknya berupa sakit perut yang datang secara tiba-tiba.

Selesai ruwatan Kajali akan naik pentas yang dapat berbentuk panggung berukuran 2x2 meter atau bukan panggung (teras rumah penghajat). Untuk urusan dekorasi bergantung pada empunya hajat, sebab dalam pementasan wayang garing hanya membutuhkan layar dan lampu penerangan (jika dilakukan pada malam hari). Di pentas berukuran 2x2 meter itu dipasang perlengkapan berupa: kecrek (digantung pada dinding kotak wayang), cempala, layar, gedebog, lampu, dan 85 tokoh wayang garing (Arjuna, Semar, Panji Narada, Dulga Mandala, Bratasena, Indrajit (anak Prabu Rahwana), Gatutgaca, Gatutgaca palsu (tokoh yang suka meniru, mukanya merah), Hanoman, Antareja, Sanghyang Darmajaka, Sanghyang Wenang, Sanghyang Abiwasa, Batara Kresna, Prabu Darmakesumah, Bangbang Jaka Terwelu, Pandu Dewanata, Satria Jayakesuma, Batarasakti, Dewi Arimbi, Nala sembada, Siti Ragen, Dewi Sinta, Catrik, Anggarita, Jabangbayi, Angkawijaya, Kamajaya, pembantu (emban), dan lain sebagainya).

Berbekal kostum batik dengan tutup kepala bendo Kajali mulai memainkan wayangnya. Ada sekitar 125 macam kisah yang dapat dia pilih untuk ditampilkan. Kisah-kisah itu bersumber pada epos Mahabarata, Ramayana, Lokapala, Babad Banten, dan kisah tentang si pengangkat hajat itu sendiri. Biasanya nama-nama tokoh dalam lakon yang dibawakan Kajali digantikan dengan nama-nama penonton yang hadir, sehingga mereka merasa ada dalam lakon tersebut. Sedangkan bahasa yang digunakan dapat berupa bahasa Jawa Serang, Sunda, Indonesia, atau campuran kegitanya, bergantung pada daerah pentas. Misalnya, bila mendalang di sekitar Kecamatan Kresek, dia akan menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa pengantarnya karena mayoritas penonton berkomunikasi dalam bahasa Sunda. Lain halnya bila mendalang di daerah Balaraja dan Pasar Kemis, Kajali akan berbahasa Indonesia karena di kedua daerah tersebut masyarakatnya sudah heterogen dari berbagai suku bangsa. Sedangkan bila mendalang di daerahnya sendiri, Kajali menggunakan bahasa Jawa Serang karena warga masyarakatnya dalam keseharian berkomunikasi dalam bahasa tersebut.

Adapun teknik pementasan pada dasarnya sama dengan pergelaran wayang kulit, hanya tanpa iringan gamelan (pangrawit) dan tembang pesinden. Jadi, Kajali sebagai juru barata melakukan semua peran sendirian, selain menyampaikan cerita wayang, narasi maupun dialog tokoh wayang, juga mengiringi sendiri dengan “gamelan” yang dibunyikan lewat mulutnya dengan struktur pertunjukan meliputi beberapa tahap: persiapan, tatalu, bubuka carita, ngalalakon, dan bubaran.

Tahap persiapan seperti telah disebutkan di atas diawali dengan mempersiapkan sesajen dan setting peralatan wayang. Lazimnya pertunjukan wayang, set kanan diisi kumpulan tokoh pembela kebenaran dan kebajikan, sedangkan set kiri mewakili tokoh-tokoh angkara murka. Tahap tatalu diisi “karawitan gending” Kajali sebagai pembukaan. Tahap bubuka carita masih diisi “karawitan gending” dengan awalan cempala dan dipadu suara kecrek mengiringi kekawen serta mengungkapkan judul lakon yang akan dibawakan. Tahap ngalalakon berupa penyajian pertunjukan utama dengan diakhiri tampilnya tokoh Semar sebagai penutup (nutup lawang sigotaka).

Seluruh tahap tadi disajikan mengikuti pedoman pakem pertunjukan wayang kulit. Meskipun demikian, Kajali dapat berimprovisasi di luar inti cerita guna lebih menghidupkan wawasan dan membuat pertunjukan lebih menarik, santai, dan juga bersifat interaktif. Tetapi Kajali tetap menampilkannya dalam 12 tetekon pedalangan, yaitu: Antawacana: teknik penguasa an suara wayang (dialog); Renggep: menyajikan tontonan yang menyenangkan (memukau penonton); Enges: membangkitkan rasa keterlibatan penonton (larut); Tutug: menyajikan lakon harus utuh selengkapnya; Banyol: menyajikan lelucon yang menarik (menghibur); Sabet: keterampilan memainkan wayang (tarian perang, jaranan, dan lain-lain); Kawiradya: menguasai seluk beluk nama tokoh, tempat, kesaktian, dan lain-lain; Paramakawi: menguasai bahasa Kawi dan penerapannya; Amardibasa: menguasai hakikat dan tata bahasa yang dipergunakan; Paramasastra: menguasai bahasa ibu (Sunda atau Jawa); Awicarita: menguasai cerita dan hapal terhadap lakon yang dibawakan; dan Amar dawalangu: menguasai dan pandai menyajikan lagu-lagu kekawen.

Selesai pergelaran Kajali akan melakukan ruwatan lagi dengan menyediakan empat buah kupat dan empat butir telur ayam. Bilangan empat diambil untuk menunjukkan arah angin, yaitu magrib (kulon), masrib (wetan), hanifah (kidul), dan hamilah (kaler). Sebagai catatan, kepercayaan mistis juga dilakukan Kajali pada seperangkat wayangnya. Setiap malam Jumat Kliwon atau sehabis pertunjukan, wayang selalu “dibersihkan” dengan cara digosok menggunakan kemenyan. Adapun sesajen yang disuguhkan berupa air putih, kain putih, tumpeng dengan telur ayam, kaca suri, kopi pahit, kopi manis, dan rokok sejumlah dua batang.

Begitu seterusnya rutinitas Kajali sebagai seorang seniman wayang garing. Dalam usia yang sudah tidak muda lagi dia memilih untuk tetap konsisten hidup berkesenian dan bertahan dengan wayang garingnya. Kesetiaan pada profesi ini dibuktikan dengan hampir 45 tahun bertatih-tatih, ngamen dari kampung ke kampung tanpa mempedulikan seni tradisionalnya harus bersaing dengan seni modern dan dapat hidup mandiri di dalam masyarakat modern.

Kajali mencoba menghibur masyarakat bawah yang masih peduli tanpa berpikir tentang nasib wayang garingnya. Yang dia tahu, ketika tampil di tempat hajat, maka harus menyiapkan sebuah cerita dan melakukan monolog semampunya. Dia juga tidak peduli apakah penonton memperhatikan atau menikmati suguhan lakonnya karena tidak mempunyai target apa pun kecuali mendapatkan uang untuk kehidupan sehari-hari keluarganya.

Walau kondisi kehidupannya tak beranjak membaik, tetapi Kajali tetap setia mengekspresikan seni mendalangnya. Dia tetap disukai penggemarnya karena memiliki beberapa faktor pendukung. Faktor pertama, Kajali tidak merepotkan tuan rumah yang menanggap karena tidak banyak peralatan yang dibutuhkan dalam pertunjukan wayang garing. Tuan rumah hanya menyediakan gedebog, layar dan lampu jika pagelarannya malam hari. Faktor kedua, penanggap tidak perlu mengeluarkan biaya untuk menjamu atau mengupah pemain selain Kajali sendiri. Untuk masalah tarif pun bergantung pada jarak tempat pertunjukan dan dianggap masih terjangkau oleh masyarakat bawah. Faktor terakhir, Kajali dapat mengadakan pertunjukan secara santai, rileks, dan interaktif sehingga penonton merasa terlibat di dalamnya. Dedikasinya dalam berkesenian wayang garing inilah yang kemudian pernah mendapat beberapa pernghargaan dari berbagai pihak. Kajali pernah mendapatkan perhargaan atas dedikasi dan perstasinya memajukan kesenian budaya Banten dari Gubernur Atut Chosiyah pada tahun 2008. Selain itu, dia juga mendapatkan Penghargaan Kebudayaan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia pada dies natalies ke-72 tahun 2012. (ali gufron)
Cara Pasang Tali Layangan agar Manteng di Udara
Topeng Monyet
Pijat Susu

Archive