(Cerita Rakyat Daerah Sulawesi Utara)
Alkisah, di daerah Minahasa tepatnya di Desa Wanua Uner hidup sepasang suami istri bernama Pontohroring dan Mamalauna. Walau telah lama menikah mereka tidak juga dikaruniai momongan. Berbagai macam usaha telah mereka lakukan, namun tidak ada satu pun yang membuahkan hasil.
Suatu hari Sang suami mendengar kabar bahwa di Desa Wiamou ada sepasang suami istri bernama Mondoringin dan Laolan yang mahir membuat ramuan dan melakukan pijatan pengobatan. Konon, sudah banyak pasangan berhasil mendapatkan keturunan setelah dipijat Laolan dan diberi ramuan oleh Mondoringin.
Berbekal cerita masyarakat inilah Pontohroring dan Mamalauan pergi ke Desa Wiamou menemui Mondoringin dan Laolan. Setelah bertemu dan menceritakan maksud dan tujuan kedatangan, Mondoringin segera meramu obat-obatan. Selama masa pengobatan mereka mondok di rumah Mondoringin. Berhari-hari kemudian barulah keduanya kembali ke rumah.
Selang beberapa minggu di rumah keajaiban terjadi. Mamalauan mulai mengandung dan sembilan bulan setelahnya melahirkan seorang bayi perempuan cantik. Dia diberi nama Keke Panagian. Bayi ini lahir tanpa cacat sedikit pun dengan paras cantik jelita dan kulit selembut sutera.
Ketika tumbuh remaja Keke Panagian tidak hanya memiliki paras nan rupawan. Dia juga berbudi perkerti baik serta peduli dan penyayang kepada siapa saja, termasuk pada hewan-hewan yang ada di sekitarnya. Sifat kepedulian inilah yang membuat dia sering “mengorbankan diri” hanya untuk menolong hewan-hewan yang sedang mengalami kesusahan.
Oleh karena khawatir akan keselamatan anak semata wayangnya, Pontohroring dan Mamalauan menerapkan aturan ketat bagi Keke Panagian. Salah satunya adalah dilarang bepergian keluar rumah seorang diri. Akibatnya, Keke Panagian hanya dapat bermain di sekitar rumah, sementara teman-teman sebayanya bisa sesuka hati bermain di mana saja.
Begitu seterusnya hingga suatu hari Keke Panagian yang sudah beranjak dewasa mendengar ada pesta perayaan selepas panen raya. Menurut kabar yang beredar, pesta akan dilaksanakan secara besar-besaran oleh seluruh warga masyarakat sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas hasil panen melimpah. Di dalam perayaannya sendiri terdapat sebuah acara berupa pergelaran tari maengket yang dimanfaatkan sebagai ajang perkenalan sekaligus pencarian jodoh bagi para muda mudi.
Sebagai seorang gadis yang mulai beranjak dewasa, Keke Panagian tentu saja ingin ikut dalam pesta perayaan panen itu. Pikirnya, dengan ikut menari maengket dia dapat menambah banyak teman, khususnya laki-laki. Bahkan bila Tuhan mengizinkan, salah seorang diantaranya bisa saja menjadi jodohnya kelak.
Namun, kedua orang tua ternyata masih keukeuh pada pendirian. Mereka tidak mengizinkannya pergi karena khawatir akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Apalagi Keke sudah sekian lama tidak diperkenankan meninggalkan rumah sehingga kemungkinan besar akan mengalami kesulitan bila berinteraksi dengan orang lain.
Pelarangan ini rupanya tidak diindahkan oleh Keke Panagian. Malam hari tepat sebelum maengket digelar Keke menyelinap keluar rumah melalui jendela kamar. Sesampai di lokasi dia langsung berbaur dengan para pemuda dan pemudi yang secara bersamaan menari maengket.
Lewat tengah malam barulah dia sadar dan berlari pulang. Sampai di halaman rupanya kedua orang tua telah menunggunya di teras. Mereka tidak memperkenankannya masuk ke rumah. Keke Panagian dianggap melanggar aturan yang telah mereka buat. Oleh karena itu, dengan nada sangat marah Pontohroring membentak dan mengusirnya.
Bentakan Pontohroring tadi membuat Keke Panagian terkejut. Dia tidak menyangka kalau Sang ayah tidak mau memaafkan kekhilafannya. Padahal, selama ini dia selalu menuruti apa yang dilarang dan baru kali ini melanggarnya. Apakah hanya karena satu pelanggaran dapat merusak seluruh usahanya menaati orang tua? Apakah kepergiannya menari merupakan suatu kesalahan fatal yang tidak dapat dimaafkan? Mengapa Sang ibu hanya diam seribu bahasa ketika Sang ayah mengusirnya?
Pertanyaan-pertanyaan tadi memenuhi benak saat Keke pergi meninggalkan rumah. Adapun tempat yang dituju adalah kediaman Sang bibi yang letaknya relatif jauh. Sesampai di kediaman Sang bibi dia lalu menceritakan semua kejadian yang baru saja dialami dengan harapan agar dimediasi sehingga Pontohroring luluh hatinya.
Di luar dugaan Sang bibi malah menyuruhnya kembali ke rumah. Sembari menunggu fajar menyingsing dia disarankan beristirahat di kolong rumah yang sejatinya adalah tempat hewan ternak sembari menunggu kemarahan Pontohroring reda. Sang bibi enggan menjadi mediator. Dia tidak dapat berbuat banyak demi menjaga perasaan Pontohroring dan Mamalauna.
Nasihat tadi tidak diindahkan Keke Panagian. Dia pergi meninggalkan rumah Sang bibi menuju ke tanah lapang tempat menari maengket. Di tengah lapang dia bersimpuh dan menangis sesenggukan meratapi nasib.
Tidak lama berselang datanglah seberkas cahaya dari langit mendekatinya. Secara ajaib, Sang cahaya meminta Keke Panagian menaikinya menuju angkasa. Dia sedih melihat Keke seakan ditinggalkan oleh sanak kerabatnya.
Singkat cerita, rupanya perkataan cahaya yang lembut dapat menghipnotis Keke Panagian. Perlahan dia mendekat untuk menaikinya. Mereka lalu terbang ke angkasa menuju langit bertabur bintang. Dan, sejak saat itu penduduk setempat percaya bahwa setiap bulan purnama Keke Panagian akan menari di angkasa.
Diceritakan kembali oleh ali gufron