Watu Maladong

(Cerita Rakyat Daerah Nusa Tenggara Timur)

Alkisah, di Pulau Sumba hidup seorang petani yang mengusahakan lahan perkebunan sebagai pemenuhan hidup. Lahan yang berdekatan dengan hutan itu dirawatnya dengan sangat baik sehingga selalu panen melimpah ruah. Hasil panen selain untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari juga di jual ke pasar-pasar di luar Pulau Sumba.

Suatu hari, ketika akan menyiangi kebun dia terkejut bukan kepalang melihat tanaman yang sebentar lagi akan panen poran-poranda seperti disatroni kawanan babi hutan. Dia tidak habis pikir sebab kebunnya telah dikelilingi pagar tinggi dan sangat rapat sehingga sulit bagi binatang liar dapat menerobosnya.

Penasaran pada makhluk apa yang telah berhasil menerobos pagar dan merusak kebunnya Sang petani memusutkan untuk melakukan pengintaian. Sembari membawa tombak bernama Numbu Ranggata warisan leluhur dia menyelinap di antara tumbuhan ladangnya yang masih utuh. Sang petani tidak mengetahui kalau tombak warisan itu sangatlah sakti. Dia dapat memecah langit menjadi petir dan menyerang siapa saja yang dianggap sebagai lawan si pemegang tombak.

Ketika malam tiba, dari balik persembunyian dia melihat sekawanan babi hutan muncul di kebunnya. Kawanan babi hutan ini rupanya dapat melompati pagar tinggi dengan sangat mudah. Mereka lalu memakan segela jenis sayur yang ada di kebun dan menginjak-injak tanaman yang ada di sekitarnya.

Geram akan kelakuan kawanan babi hutan itu Sang petani tiba-tiba keluar dari tempat pengintaiannya dan menombak salah seekor di antaranya tepat di bagian perut. Sang babi yang terkena tombak langsung mengerang kesakitan. Bersama dengan teman-temannya dia segera melarikan diri masuk ke dalam hutan.

Ketika matahari beranjak naik Sang Petani mulai mencari jejak kawanan babi hutan itu. Dia hendak mengambil tombak warisan leluhurnya yang menancap di perut babi karena takut mendapat kutukan bila sampai hilang. Disusurinya jejak mereka melalui tetesan darah yang terjatuh di tanah.

Berkilometer menyusur tanpa terasa dia telah berada di tepi pantai. Di sana jejak pun hilang tanpa bekas. Pikirnya, kawanan babi hutan tentu telah menyeberang ke pulau lain, sebab tidak ada lagi ceceran darah di sekitar pantai. Ini artinya, dia kehilangan tombak Numbu Ranggata. Para leluhur pasti akan marah dan menghukumnya.

Di tengah kebingungan dan rasa penyesalan kehilangan tombak dari arah belakang tiba-tiba ada suara berat menanyakan maksud kedatangannya di pantai. Saat ditengok ternyata suara itu berasal dari sesosok siluman penyu raksasa seukuran tebing pantai. Sembari gemetar ketakutan dia menceritakan kejadian yang tadi malam dialami hingga sampai di tepi pantai.

Tanpa banyak bertanya lagi, Siluman Penyu meminta Sang Petani menaiki punggungnya. Dia akan menyeberangkannya menuju pulau lain yang diperkirakan merupakan tempat persembunyian kawanan babi hutan perusak kebunnya.

Sampai di pulau seberang Siluman Penyu menurunkannya di tepi pantai. Sebelum berenang kembali ke laut Siluman Penyu mengatakan bahwa apabila Sang Petani memerlukan bantuannya lagi hanya perlu naik ke puncak pohon kelapa dan berteriak memanggilnya. Niscaya dalam waktu tidak terlalu lama dia akan datang menemui Sang Petani.

Setelah berpisah dengan Siluman Penyu, Sang petani melanjutkan perjalanan hingga bertemu dengan seorang perempuan tua yang dinggal sendirian di salah satu sisi pantai. Rupanya Sang nenek mengetahui kemana kawanan babi hutan itu pergi. Dia memperingatkan agar Sang petani mengurungkan niat mencari tombak, sebab mereka bukanlah kawanan babi hutan biasa melainkan jelmaan dari orang-orang sakti.

Nasihat sekaligus peringatan perempuan tua itu tidak diindahkan oleh Sang Petani. Dia tetap ingin mencari tombaknya. Ancaman kutukan dari para leluhur lebih menakutkannya ketimbang harus berhadapan dengan kawanan babi hutan jelmaan orang-orang sakti.

Oleh karena Sang Petani keukeuh ingin mencari tombaknya, Sang nenek lantas mengajarkannya beberapa jurus guna melawan mereka. Rupanya Sang nenek bukanlah orang sembarangan. Dia adalah seorang pendekar sakti yang sengaja mengundurkan diri dari dunia persilatan. Umur telah membuatnya beralih menjadi seorang bijaksana dengan membantu sesama.

Setelah berhasil menguasai beberapa jurus dan diberi ramuan ajaib, sebelum mencari tombak Sang nenek berpesan agar Sang petani mendapatkan benda keramat bernama Watu Maladong dari pemimpin jelmaan babi hutan. Menurut Sang nenek watu atau batu itu dapat memberi kesejahteraan bagi kehidupannya di masa mendatang.

Selanjutnya, dia pamit menuju desa yang ditunjuk Sang nenek. Di desa itulah tempat para babi hutan tinggal. Mereka berbaur dengan penduduk setempat di sebuah perkampungan tersembunyi di tengah hutan.

Sampai di sana dia mendengar dari percakapan warga setempat bahwa kepala desa mereka sedang terluka parah. Bagian perut Sang kepala desa mengalami luka yang tak kunjung menutup dan selalu mengalirkan darah, padahal sudah banyak dukun didatangkan guna mengobatinya.

Memperkirakan bahwa Kepala Desa adalah jelmaan babi hutan yang terkena tombak Sang petani langsung mendatanginya. Tanpa basa-basi dia langsung bertanya apakah luka di perut Sang kelapa desa berasal dari tikaman tombak.

Pertanyaan Sang petani membuat Kepala Desa dan segenap orang kepercayaannya terperanjat. Mereka mengira kalau Sang petani adalah seorang sakti, sebab tidak ada seorang pun kecuali komplotan jelmaan babi hutan yang mengetahui asal muasal luka di perut Kepala desa. Mereka lalu memintanya mengobati Kepala Desa yang kondisinya sudah semakin melemah.

Sang petani tidak langsung menyanggupinya. Ingat pesan dari Sang nenek, terlebih dahulu dia meminta syarat, yaitu apabila Kepala Desa ingin diobati maka dia harus menyerahkan tombak Numbu Ranggata yang telah melukainya serta Watu Maladong sebagai imbalan atas jasanya.

Awalnya Kepala Desa menolak dengan tegas. Tombak mungkin dapat diserahkan tetapi Watu Maladong merupakan pusaka keramat milik desa. Ia dapat digunakan sebagai sumber daya alam dan air di mana saja sesuai keinginan orang yang memilikinya. Tetapi karena sudah putus asa dengan kondisi tubuh yang semakin melemah, akhirnya kepala desa menyetujui sarat Sang petani dan perjanjian sakral pun diadakan.

Selanjutnya, Sang petani mengambil ramuan yang diberikan oleh Sang nenek. Ajaibnya, begitu ramuan dioleskan luka di perut Kepala Desa langsung mengering dan tertutup. Kepala Desa tentu senang bukan kepalang. Dia lalu memerintah beberapa orang kepercayaannya mengambil Tombak Numbu Ranggata dan Watu Maladong yang berada di gudang senjata.

Saat Tombak Numbu Ranggata diserahkan Kepala Desa iseng bertanya mengapa Sang Petani mengetahui bahwa luka yang dialaminya berasal dari tombak yang telah diserahkannya. Padahal, kejadian itu hanya diketahui oleh para pengikutnya yang kebetulan ikut merusak kebun.

Pertanyaan Kepala Desa dijawab Sang Petani terus terang dan apa adanya. Dia mengatakan Tombak Numbu Ranggata adalah miliknya yang digunakan untuk menombak babi hutan di kebun miliknya. Dia tidak mengetahui kalau babi hutan itu adalah jelmaan dari Kepala Desa.

Merasa dikadali, Kelapa Desa menjadi murka. Namun, karena telah melakukan perjanjian sakral maka dia tidak dapat mengambil tindakan tegas kepada Sang petani. Dan, untuk menutupi malu dia menantangnya bertarung. Apabila menang, maka Watu Maladong bakal menjadi milik Sang Petani. Sebaliknya, jika kalah akan tetap menjadi milik Kepala Desa.

Tantangan Kepala Desa tidak langsung disanggupi Sang Petani. Dia meminta waktu selama satu bulan untuk mempersiapkan diri. Apabila dalam waktu satu bulan tidak menampakkan diri, Watu Maladong akan tetap menjadi milik Kepala Desa.

Setelah disepakati, Sang Petani kembali menuju pondok Sang nenek. Di sana dia belajar lagi jurus-jurus beladiri milik Sang Nenek. Selain itu, dia juga melakukan tapa brata guna meminta petuah dari para leluhur agar dapat menguasai Tombak Numbu Ranggata. Hasilnya, belum genap satu bulan Numbu Ranggata telah menyatu dengan dirinya.

Satu bulan kemudian, pada waktu yang telah ditentukan Sang Petani mendatangi kediaman Kepala Desa. Mereka lalu menuju arena yang telah disiapkan warga desa. Setelah saling berhadapan keduanya langsung bertarung mengeluarkan jurus-jurus andalan. Terakhir, karena sudah kewalahan Sang Petani mengeluarkan Numbu Ranggata guna memanggil petir yang seketika menyambar tubuh Kepala Desa.

Sang Kepala Desa langsung lemas tak berdaya dan mengakui kekalahan. Sembari menyerahkan Watu Maladong Kepala Desa menjelaskan bahwa ada tiga butir watu, dua butir berjenis laki-laki dan satu butir lainnya perempuan. Watu atau batu laki-laki dapat memberikan padi dan jagung, sedangkan watu perempuan memberi jewawut. Selain itu, ketiganya dapat memberikan sumber air yang tidak akan pernah habis.

Usai menerima Watu Maladong Sang Petani pamit undur diri. Dia kembali ke pondok Sang nenek untuk membawanya pulang ke Pulau Sumba menumpang Siluman Penyu. Sampai di sumba ketiga bantu diperintahkan membuat sumber mata air. Mereka kemudian membuat empat mata air, yaitu Nyura Lele di daerah Tambolaka, Weetebula di Desa Weetebula, Wee Muu di perbatasan Wewewa Barat dan Wewewa Timur, serta Weekello Sawah di daerah Wewewa Timur.

Selanjutnya mereka diperintah lagi menanam padi, jewawut, dan jagung di beberapa kasawan Pulau Sumba. Selesai tugas menanam mereka diharuskan berpecar dan bersembunyi selamanya agar tidak disalahgunakan oleh orang lain. Konon, dari ketiga batu itu hanya satu yang berada di daratan yaitu, sementara lainnya berada di dasar Samudera Hindia.

Diceritakan kembali oleh ali gufron

Keke Panagian

(Cerita Rakyat Daerah Sulawesi Utara)

Alkisah, di daerah Minahasa tepatnya di Desa Wanua Uner hidup sepasang suami istri bernama Pontohroring dan Mamalauna. Walau telah lama menikah mereka tidak juga dikaruniai momongan. Berbagai macam usaha telah mereka lakukan, namun tidak ada satu pun yang membuahkan hasil.

Suatu hari Sang suami mendengar kabar bahwa di Desa Wiamou ada sepasang suami istri bernama Mondoringin dan Laolan yang mahir membuat ramuan dan melakukan pijatan pengobatan. Konon, sudah banyak pasangan berhasil mendapatkan keturunan setelah dipijat Laolan dan diberi ramuan oleh Mondoringin.

Berbekal cerita masyarakat inilah Pontohroring dan Mamalauan pergi ke Desa Wiamou menemui Mondoringin dan Laolan. Setelah bertemu dan menceritakan maksud dan tujuan kedatangan, Mondoringin segera meramu obat-obatan. Selama masa pengobatan mereka mondok di rumah Mondoringin. Berhari-hari kemudian barulah keduanya kembali ke rumah.

Selang beberapa minggu di rumah keajaiban terjadi. Mamalauan mulai mengandung dan sembilan bulan setelahnya melahirkan seorang bayi perempuan cantik. Dia diberi nama Keke Panagian. Bayi ini lahir tanpa cacat sedikit pun dengan paras cantik jelita dan kulit selembut sutera.

Ketika tumbuh remaja Keke Panagian tidak hanya memiliki paras nan rupawan. Dia juga berbudi perkerti baik serta peduli dan penyayang kepada siapa saja, termasuk pada hewan-hewan yang ada di sekitarnya. Sifat kepedulian inilah yang membuat dia sering “mengorbankan diri” hanya untuk menolong hewan-hewan yang sedang mengalami kesusahan.

Oleh karena khawatir akan keselamatan anak semata wayangnya, Pontohroring dan Mamalauan menerapkan aturan ketat bagi Keke Panagian. Salah satunya adalah dilarang bepergian keluar rumah seorang diri. Akibatnya, Keke Panagian hanya dapat bermain di sekitar rumah, sementara teman-teman sebayanya bisa sesuka hati bermain di mana saja.

Begitu seterusnya hingga suatu hari Keke Panagian yang sudah beranjak dewasa mendengar ada pesta perayaan selepas panen raya. Menurut kabar yang beredar, pesta akan dilaksanakan secara besar-besaran oleh seluruh warga masyarakat sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas hasil panen melimpah. Di dalam perayaannya sendiri terdapat sebuah acara berupa pergelaran tari maengket yang dimanfaatkan sebagai ajang perkenalan sekaligus pencarian jodoh bagi para muda mudi.

Sebagai seorang gadis yang mulai beranjak dewasa, Keke Panagian tentu saja ingin ikut dalam pesta perayaan panen itu. Pikirnya, dengan ikut menari maengket dia dapat menambah banyak teman, khususnya laki-laki. Bahkan bila Tuhan mengizinkan, salah seorang diantaranya bisa saja menjadi jodohnya kelak.

Namun, kedua orang tua ternyata masih keukeuh pada pendirian. Mereka tidak mengizinkannya pergi karena khawatir akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Apalagi Keke sudah sekian lama tidak diperkenankan meninggalkan rumah sehingga kemungkinan besar akan mengalami kesulitan bila berinteraksi dengan orang lain.

Pelarangan ini rupanya tidak diindahkan oleh Keke Panagian. Malam hari tepat sebelum maengket digelar Keke menyelinap keluar rumah melalui jendela kamar. Sesampai di lokasi dia langsung berbaur dengan para pemuda dan pemudi yang secara bersamaan menari maengket.

Lewat tengah malam barulah dia sadar dan berlari pulang. Sampai di halaman rupanya kedua orang tua telah menunggunya di teras. Mereka tidak memperkenankannya masuk ke rumah. Keke Panagian dianggap melanggar aturan yang telah mereka buat. Oleh karena itu, dengan nada sangat marah Pontohroring membentak dan mengusirnya.

Bentakan Pontohroring tadi membuat Keke Panagian terkejut. Dia tidak menyangka kalau Sang ayah tidak mau memaafkan kekhilafannya. Padahal, selama ini dia selalu menuruti apa yang dilarang dan baru kali ini melanggarnya. Apakah hanya karena satu pelanggaran dapat merusak seluruh usahanya menaati orang tua? Apakah kepergiannya menari merupakan suatu kesalahan fatal yang tidak dapat dimaafkan? Mengapa Sang ibu hanya diam seribu bahasa ketika Sang ayah mengusirnya?

Pertanyaan-pertanyaan tadi memenuhi benak saat Keke pergi meninggalkan rumah. Adapun tempat yang dituju adalah kediaman Sang bibi yang letaknya relatif jauh. Sesampai di kediaman Sang bibi dia lalu menceritakan semua kejadian yang baru saja dialami dengan harapan agar dimediasi sehingga Pontohroring luluh hatinya.

Di luar dugaan Sang bibi malah menyuruhnya kembali ke rumah. Sembari menunggu fajar menyingsing dia disarankan beristirahat di kolong rumah yang sejatinya adalah tempat hewan ternak sembari menunggu kemarahan Pontohroring reda. Sang bibi enggan menjadi mediator. Dia tidak dapat berbuat banyak demi menjaga perasaan Pontohroring dan Mamalauna.

Nasihat tadi tidak diindahkan Keke Panagian. Dia pergi meninggalkan rumah Sang bibi menuju ke tanah lapang tempat menari maengket. Di tengah lapang dia bersimpuh dan menangis sesenggukan meratapi nasib.

Tidak lama berselang datanglah seberkas cahaya dari langit mendekatinya. Secara ajaib, Sang cahaya meminta Keke Panagian menaikinya menuju angkasa. Dia sedih melihat Keke seakan ditinggalkan oleh sanak kerabatnya.

Singkat cerita, rupanya perkataan cahaya yang lembut dapat menghipnotis Keke Panagian. Perlahan dia mendekat untuk menaikinya. Mereka lalu terbang ke angkasa menuju langit bertabur bintang. Dan, sejak saat itu penduduk setempat percaya bahwa setiap bulan purnama Keke Panagian akan menari di angkasa.

Diceritakan kembali oleh ali gufron

Asal Mula Gunung Santri

(Cerita Rakyat Daerah Banten)

Alkisah, ada seorang ulama murid Sunan Ampel bernama Syekh Muhammad Sholeh. Usai berguru ilmu pada Sunan Ampel, beliau bermaksud melanjutkannya ke Syarif Hidayatullah atau lebih dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati di Cirebon.

Belum begitu lama berguru, Sunan Gunung Jati memerintahkannya pergi ke daerah Banten guna mencari putranya (Maulana Hasanuddin) yang belum juga kembali ke Cirebon. Maulana Hasanuddin sendiri berada di Banten untuk mensyiarkan ajaran Islam di wilayah Kerajaan Pajajaran yang kala itu dipimpin oleh Prabu Pucuk Umun.

Saat bertemu, Maulana Hasanuddin menolak kembali ke Cirebon dengan alasan masih terpanggil untuk mengislamkan tanah Banten. Sebaliknya, beliau malah meminta Syekh Muhammad Sholeh membantunya. Adapun jabatannya adalah sebagai pengawal sekaligus penasihat dengan nama julukan baru, Cili Kored.

Namun, perjuangan mereka ternyata tidak berjalan mulus. Ada tantangan yang harus dihadapi, terutama dari penguasa setempat, yaitu Prabu Pucuk Umun yang mulai kehilangan pengaruh akibat penduduk dari wilayah Gunung Pulosari hingga ke Ujung Kulon mulai beralih ke ajaran Islam.

Untuk mengembalikan pengaruhnya, Sang Prabu lantas menantang Maulana Hasanuddin adu kekuatan. Oleh karena Sang Prabu memiliki seekor ayam jago juara yang tidak pernah sekali pun kalah, maka dia menantang bersabung ayam. Barang siapa yang kalah akan dipotong lehernya.

Tantangan tadi rupanya diterima dengan senang hati. Beliau lantas menitah Syekh Muhammad Sholeh merubah diri menjadi seekor ayam jago aduan. Walhasil, pertarungan dimenangkan dengan sangat mudah oleh “ayam jago” milik Maulana Hasanuddin. Hanya dalam beberapa kali serangan ayam milik Prabu Pucuk Ulun langsung terkulai tidak bernyawa.

Hal ini membuat Sang Prabu naik pitam. Tidak terima dikalahkan dia lantas menantang berperang senjata. Namun, atas izin Allah, Sang Prabu dan pasukannya dapat dikalahkan hingga mundur dan bersembunyi di daerah pedalaman Rangkas. Mereka membentuk sebuah komunitas sendiri yang sekarang dikenal sebagai Orang Baduy.

Singkat cerita, selesai peperangan Syekh Muhammad Sholeh melanjutkan sisa hidupnya sebagai penyiar agama Islam dengan mengajar para santrinya disebuah bukit di daerah yang sekarang terletak di Kampung Merapit, Desa Ukir Sari, Kecamatan Bojonegara, Serang. Beliau menetap disana hingga meninggal pada usia 76 tahun dan dimakamkan tidak jauh dari tempatnya mengajar. Seiring waktu, sebagian santri pun juga dimakamkan di sekitar makam Syekh Muhammad Sholeh. Dan, oleh karena bukit tadi banyak makam santri, maka masyarakat setempat kemudian menamainya sebagai Gunung Santri.

Saat ini Gunung Santri telah menjadi objek wisata religi. Ia banyak dikunjungi para peziarah, baik dari daerah Banten sendiri maupun provinsi lain di Indonesia.

Diceritakan kembali oleh ali gufron

Radin Jambat

(Cerita Rakyat Daerah Lampung)

Alkisah, ada sebuah kerajaan bernama Pasar Turi. Kerajaan ini berada di daerah Batang Akhi Suri yang dikelilingi oleh banyak gunung. Adapun rajanya bernama Tanjung yang konon merupakan keturunan dewa mahasakti dan peri. Sang Raja memiliki tujuh orang istri berperawakan bak dewi-dewi kahyangan.

Istri pertama menjadi permaisuri kerajaan bernama Bupan Purnama Permata Bermata Biru. Sesuai dengan namanya, Sang permaisuri bermata biru dengan kulit putih dan perawakan tinggi semampai. Sementara istri kedua bernama Mutiara Latan, istri ketiga Ratu Kedamaian, keempat dan kelima Kembar Berpipi Merah, keenam Ratu Alam, dan ketujuh bernama Delima.

Sayangnya, walau memiliki tujuh orang istri cantik jelita, Sang raja belum juga dikaruniai keturunan. Oleh karena itu, kesehariannya selalu diliputi kegundah gulanaan. Dia khawatir apabila wafat kerajaan akan runtuh karena tidak ada keturunan yang menggantikannya.

Suatu hari di tengah ikhtiarnya, Sang Raja mencoba bertapa di Gunung Pesagi. Selama menjalankan tapa brata, setiap malam selalu saja datang cobaan, mulai dari suara keras memekakkan telinga, api besar membara, hingga perasaan seperti terhimpit batu besar.

Setelah semua cobaan dilalui, barulah dia didatangi dan dililit oleh seekor naga bermahkota. Sang naga kemudian berubah wujud menjadi sebuah cahaya merah yang menyilaukan. Setelah padam, di hadapan Raja tiba-tiba ada buah berwarna merah menyerupai tomat.

Ketika diambil, entah dari masa asalnya, terdengar suara lembut memberitahu Sang Raja agar memberikan buah merah itu pada permaisuri. Apabila permaisuri mau memakannya hingga habis, maka kelak akan dikaruniai seorang bayi laki-laki. Kelak bayi itu akan membawa berkah dan rahmat bagi seluruh negeri.

Sekembalinya dari Gunung Pesagi Raja langsung memberikan buah merah itu kepada Permaisuri. Selang beberapa waktu Permaisuri dinyatakan hamil oleh tabib istana. Sembilan bulan setelahnya dia melahirkan seorang bayi laki-laki. Anehnya, saat dilahirkan tangan kanan Sang bayi menggenggam sebutir telur emas, sementara tangan kirinya sebuah batu permata.

Keanehan lain juga terjadi di lingkungan sekitarnya, yaitu saat siang hari dedaunan seakan bergerak riang dengan burung-burung asyik berkicau dan beterbangan di sekitarnya. Sedangkan malam harinya bulan purnama bersinar penuh sehingga seluruh komplek istana seakan bermandikan cahaya.

Oleh karena lahir disertai dengan berbagai keanehan tersebut, terutama adanya telur emas dan intan permata, maka dia diberi nama Anak Emas Radin Jambat. Kedua barang berharga itu selalu disimpan tidak berjauhan darinya karena dipercaya sebagai pelindung dari segala macam mara bahaya.

Bertepatan dengan pemberian nama Radin Jambat, Raja Tanjung mengadakan sebuah jamuan besar dengan mengundang para raja negeri tetangga serta rakyat Negeri Pasar Turi. Sebelum jamuan terlebih dahulu diadakan upacara penyucian sekaligus pemberkatan kepada Anak Emas Radin Jambat sebagai putra mahkota Negeri Pasar Turi menggunakan tujuh sumber air, yaitu Telaga Putri, Sumur Delima, Way Laga, Way Lima, Pancuran Naga, Danau Tua, dan Telaga Dewa.

Belasan tahun kemudian Radin Jambat tumbuh menjadi seorang pemuda tampan, cerdas, dan pemberani. Dan, karena sudah cukup umur, dia meminta izin pada kedua orang tua untuk mengembara mencari pendamping hidup. Raja Tanjung mengizinkan dengan syarat Radin Jambat harus dikawal oleh dua orang punakawan kerajaan. Dia juga dibekali sebuah perahu mewah lengkap dengan berbagai macam kebutuhan hidup seperti: makanan, minuman, buah-buahan, dan juga emas-perak sebagai alat tukar. Sedangkan dari segi spiritual Radin Jambat dibekali doa-doa pengiring keselamatan dari para ahli istana serta kesaktian dan kekebalan tubuh dari para gurunya.

Setelah semua perbekalan berada di dalam perahu Radin Jambat bersama pengawalnya berlayar menuju pulau-pulau yang diperkirakan memiliki banyak gadis cantik. Namun pencarian gadis yang cocok untuk dinikahi tidaklah mudah. Dari sekian banyak pulau yang disinggahi tidak ada seorang gadis pun yang cocok dengan kriteria Radin Jambat. Begitu seterusnya hingga tanpa terasa dia telah jauh dari kerajaan.

Suatu hari dalam perjalanan menyusur sebuah muara sungai perahu Radin Jambat dihadang oleh seekor ular raksasa. Tanpa takut sedikit pun dia langsung menghunus pedang dan siap menebas kepala sang ular raksasa. Namun, ketika pedang terayun tiba-tiba sang ular berubah wujud menjadi sesosok jin. Dia lalu bersujud meminta ampun pada Radin Jambat sebelum pergi menuju hutan di tepi sungai.

Tidak lama berselang datang lagi jin yang juga berusaha mengganggu perjalanan Radin Jambat dengan menjelma menjadi seorang gadis cantik jelita. Oleh karena telah dibekali ilmu kesaktian dari para gurunya, Radin Jambat dapat mengenali perubahan wujud Sang jin sehingga dengan mudah ditaklukkan.

Dua rintangan jin tadi rupanya mengantarkan Radin Jambat ke sebuah perkampungan yang sangat ramai. Di tempat itu kebetulan sedang ada sayembara berupa pertandingan kanuragan yang diselenggarakan oleh kerajaan setempat. Bagi peserta yang dapat memenangkan sayembara dapat mempersunting putri Raja.

Sayembara berhadiah putri raja tentu saja membuat banyak laki-laki tertarik mengikutinya. Tidak terkecuali Radin Jambat yang memang sedang mencari pasangan hidup. Dia lalu mendaftar dan mulai berkompetisi dengan para peserta lain. Satu per satu mereka dapat dikalahkan dengan mudah.

Hanya ada seorang saja yang lumayan sulit ditaklukkan. Dia adalah Pangeran Minak yang memiliki keahlian dalam seni memainkan senjata tajam. Sang pageran mempunyai sebuah tombak sakti bernama Beringin. Berkat senjata ini dia selalu berhasil mengalahkan para pesaingnya dalam memperebutkan putri raja.

Sayangnya, kesaktian Tombak Beringin tidak dapat menandingi pedang milik Radin Jambat yang berhasil memotong gagangnya menjadi dua bagian. Pangeran Minak takluk hanya dalam beberapa jurus. Sang putri raja yang kebetulan menyaksikan pertarungan final itu tersenyum bahagia. Sejak hari pertama sayembara dia memang menaruh hati pada Radin Jambat karena kegagahan dan ketampanannya. Dia berharap Radin Jambat akan segera mengawininya selepas memenangkan sayembara.

Namun, harapan Sang Putri ternyata meleset. Setelah menang Radin Jambat menolak untuk menikahinya. Alasannya, dia hanya ingin menyelamatkan Sang Putri dari Pangeran Minak yang dikenal mata keranjang dan memiliki banyak istri. Apabila menikah kemungkinan besar Sang Putri hanya dijadikan sebagai pelampiasan nafsu saja hingga Sang Pangeran menemukan gadis lain yang lebih segar.

Oleh karena Radin Jambat menolak, maka dia diharuskan membayar denda adat. Adapun bentuknya berupa beberapa ekor kerbau serta sejumlah uang dan perhiasan untuk pemasukan pajak kerajaan. Dan, setelah melakukan pembayaran denda barulah Radin Jambat diperkenankan meninggalkan kerajaan.

Beberapa minggu kemudian sampailah di sebuah kerajaan yang lokasinya berada di daerah Tanggamus. Di sini dia mendapat informasi bahwa ada seorang putri kerajaan bernama Betik Hati. Konon, Sang putri merupakan keturunan peri yang turun dari kahyangan sehingga kecantikannya tiada terkira. Setiap laki-laki yang kebetulan melihatnya pasti akan mabuk kepayang, tidak terkecuali Radin Jambat.

Informasi yang didapat dari penduduk setempat tadi bahkan dibawanya sampai ke alam mimpi. Ketika terbangun dia langsung memerintahkan pengawalnya mempersiapkan hantaran berupa setalam sirih pinang dan sekotak perhiasan sebagai penyambung kata serta bentuk tanda hormat bila diizinkan bertemu.

Tanpa disangka Putri Betik Hati menerima hantaran Radin Jambat. Mereka bertemu di balai adat dengan disaksikan segenap warga. Di antara mereka ada yang bertugas mempersiapkan segala peralatan dan perlengkapan guna kelancaran pertemuan. Mereka menyambut dengan baik karena selama ini Putri Betik Hati selalu menolak apabila ada laki-laki yang ingin menjalin silaturahim dengannya.

Sementara Putri Betik Hati sendiri mempersiapkan dengan mengenakan busana khas putri kerajaan berupa kain tapis lautan alif terbuat dari serat jung dan sutra berhias intan. Dia tidak ingin terlihat seperti orang kebanyakan di mata Radin Jambat. Pikirnya, penampilan akan menentukan sikap dan tindak tanduk lawan bicara ketika menghadapinya.

Setelah seluruhnya siap, pada waktu yang telah ditentukan Radin Jambat datang ke balai adat. Dia mengenakan busana bergelar silang sakti sersulam ombak naga dan raja burung dalam kemasan benang emas. Bersama pengawalnya dia menaiki tangga balai adat menemui Putri Betik Hati.

Namun, baru beberapa saat membuka percakapan tiba-tiba muncul seorang pria bernama Sindang Belawan Bumi yang ternyata menaruh hati pada Putri Betik Hati. Sang Sindang yang bermuka merah padam lantaran amara murka langsung saja menantang Radin Jambat beradu kesaktian.

Agar tidak terjadi pertumpahan darah di antara keduanya Putri Betik Hati segera mengambil keputusan. Dia menyatakan bahwa akan mengadakan beberapa sayembara bagi mereka. Siapa yang dapat memenangkannya, maka dia berhak menikahinya.

Sayembara pertama adalah sepak besi yang dimulai saat mata hari tepat di atas kepala. Oleh karena keduanya memiliki kesaktian luar biasa, maka baru menjelang magrib salah seorang di antaranya mulai kewalahan. Sindang Belawan Bumi mendadak jatuh tersungkur lucu yang membuat penonton tertawa.

Esok harinya Sundang Belawan Bumi membawa seekor ayam jantan berukuran besar dengan taji tersambung besi. Sementara Radin Jambat membawa seekor ayam jantan berukuran lebih kecil dengan hanya satu taji pada salah satu kakinya. Walau terlihat lebih kecil, namun bukanlah ayam sembarangan. Dia telah sering memenangkan pertarungan dalam berbagai helatan sabung ayam.

Hasilnya tentu mudah ditebak. Hanya dalam beberapa serangan ayam milik Radin Jambat dapat membuat lawannya terkapar bersimbah darah. Sindang Belawan Bumi pun akhirnya mengaku kalah. Sebelum pergi dia menyatakan tidak akan menggangu lagi hubungan mereka.

Singkat cerita, setelah memenangkan sayembara Radin Jambat langsung menikahi Putri Betik Hati. Mereka pun hidup bahagia hingga akhir hayat.

Diceritakan kembali oleh ali gufron
Cara Pasang Tali Layangan agar Manteng di Udara
Topeng Monyet
Pijat Susu

Archive