(Cerita Rakyat Daerah Nusa Tenggara Timur)
Alkisah, di Pulau Sumba hidup seorang petani yang mengusahakan lahan perkebunan sebagai pemenuhan hidup. Lahan yang berdekatan dengan hutan itu dirawatnya dengan sangat baik sehingga selalu panen melimpah ruah. Hasil panen selain untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari juga di jual ke pasar-pasar di luar Pulau Sumba.
Suatu hari, ketika akan menyiangi kebun dia terkejut bukan kepalang melihat tanaman yang sebentar lagi akan panen poran-poranda seperti disatroni kawanan babi hutan. Dia tidak habis pikir sebab kebunnya telah dikelilingi pagar tinggi dan sangat rapat sehingga sulit bagi binatang liar dapat menerobosnya.
Penasaran pada makhluk apa yang telah berhasil menerobos pagar dan merusak kebunnya Sang petani memusutkan untuk melakukan pengintaian. Sembari membawa tombak bernama Numbu Ranggata warisan leluhur dia menyelinap di antara tumbuhan ladangnya yang masih utuh. Sang petani tidak mengetahui kalau tombak warisan itu sangatlah sakti. Dia dapat memecah langit menjadi petir dan menyerang siapa saja yang dianggap sebagai lawan si pemegang tombak.
Ketika malam tiba, dari balik persembunyian dia melihat sekawanan babi hutan muncul di kebunnya. Kawanan babi hutan ini rupanya dapat melompati pagar tinggi dengan sangat mudah. Mereka lalu memakan segela jenis sayur yang ada di kebun dan menginjak-injak tanaman yang ada di sekitarnya.
Geram akan kelakuan kawanan babi hutan itu Sang petani tiba-tiba keluar dari tempat pengintaiannya dan menombak salah seekor di antaranya tepat di bagian perut. Sang babi yang terkena tombak langsung mengerang kesakitan. Bersama dengan teman-temannya dia segera melarikan diri masuk ke dalam hutan.
Ketika matahari beranjak naik Sang Petani mulai mencari jejak kawanan babi hutan itu. Dia hendak mengambil tombak warisan leluhurnya yang menancap di perut babi karena takut mendapat kutukan bila sampai hilang. Disusurinya jejak mereka melalui tetesan darah yang terjatuh di tanah.
Berkilometer menyusur tanpa terasa dia telah berada di tepi pantai. Di sana jejak pun hilang tanpa bekas. Pikirnya, kawanan babi hutan tentu telah menyeberang ke pulau lain, sebab tidak ada lagi ceceran darah di sekitar pantai. Ini artinya, dia kehilangan tombak Numbu Ranggata. Para leluhur pasti akan marah dan menghukumnya.
Di tengah kebingungan dan rasa penyesalan kehilangan tombak dari arah belakang tiba-tiba ada suara berat menanyakan maksud kedatangannya di pantai. Saat ditengok ternyata suara itu berasal dari sesosok siluman penyu raksasa seukuran tebing pantai. Sembari gemetar ketakutan dia menceritakan kejadian yang tadi malam dialami hingga sampai di tepi pantai.
Tanpa banyak bertanya lagi, Siluman Penyu meminta Sang Petani menaiki punggungnya. Dia akan menyeberangkannya menuju pulau lain yang diperkirakan merupakan tempat persembunyian kawanan babi hutan perusak kebunnya.
Sampai di pulau seberang Siluman Penyu menurunkannya di tepi pantai. Sebelum berenang kembali ke laut Siluman Penyu mengatakan bahwa apabila Sang Petani memerlukan bantuannya lagi hanya perlu naik ke puncak pohon kelapa dan berteriak memanggilnya. Niscaya dalam waktu tidak terlalu lama dia akan datang menemui Sang Petani.
Setelah berpisah dengan Siluman Penyu, Sang petani melanjutkan perjalanan hingga bertemu dengan seorang perempuan tua yang dinggal sendirian di salah satu sisi pantai. Rupanya Sang nenek mengetahui kemana kawanan babi hutan itu pergi. Dia memperingatkan agar Sang petani mengurungkan niat mencari tombak, sebab mereka bukanlah kawanan babi hutan biasa melainkan jelmaan dari orang-orang sakti.
Nasihat sekaligus peringatan perempuan tua itu tidak diindahkan oleh Sang Petani. Dia tetap ingin mencari tombaknya. Ancaman kutukan dari para leluhur lebih menakutkannya ketimbang harus berhadapan dengan kawanan babi hutan jelmaan orang-orang sakti.
Oleh karena Sang Petani keukeuh ingin mencari tombaknya, Sang nenek lantas mengajarkannya beberapa jurus guna melawan mereka. Rupanya Sang nenek bukanlah orang sembarangan. Dia adalah seorang pendekar sakti yang sengaja mengundurkan diri dari dunia persilatan. Umur telah membuatnya beralih menjadi seorang bijaksana dengan membantu sesama.
Setelah berhasil menguasai beberapa jurus dan diberi ramuan ajaib, sebelum mencari tombak Sang nenek berpesan agar Sang petani mendapatkan benda keramat bernama Watu Maladong dari pemimpin jelmaan babi hutan. Menurut Sang nenek watu atau batu itu dapat memberi kesejahteraan bagi kehidupannya di masa mendatang.
Selanjutnya, dia pamit menuju desa yang ditunjuk Sang nenek. Di desa itulah tempat para babi hutan tinggal. Mereka berbaur dengan penduduk setempat di sebuah perkampungan tersembunyi di tengah hutan.
Sampai di sana dia mendengar dari percakapan warga setempat bahwa kepala desa mereka sedang terluka parah. Bagian perut Sang kepala desa mengalami luka yang tak kunjung menutup dan selalu mengalirkan darah, padahal sudah banyak dukun didatangkan guna mengobatinya.
Memperkirakan bahwa Kepala Desa adalah jelmaan babi hutan yang terkena tombak Sang petani langsung mendatanginya. Tanpa basa-basi dia langsung bertanya apakah luka di perut Sang kelapa desa berasal dari tikaman tombak.
Pertanyaan Sang petani membuat Kepala Desa dan segenap orang kepercayaannya terperanjat. Mereka mengira kalau Sang petani adalah seorang sakti, sebab tidak ada seorang pun kecuali komplotan jelmaan babi hutan yang mengetahui asal muasal luka di perut Kepala desa. Mereka lalu memintanya mengobati Kepala Desa yang kondisinya sudah semakin melemah.
Sang petani tidak langsung menyanggupinya. Ingat pesan dari Sang nenek, terlebih dahulu dia meminta syarat, yaitu apabila Kepala Desa ingin diobati maka dia harus menyerahkan tombak Numbu Ranggata yang telah melukainya serta Watu Maladong sebagai imbalan atas jasanya.
Awalnya Kepala Desa menolak dengan tegas. Tombak mungkin dapat diserahkan tetapi Watu Maladong merupakan pusaka keramat milik desa. Ia dapat digunakan sebagai sumber daya alam dan air di mana saja sesuai keinginan orang yang memilikinya. Tetapi karena sudah putus asa dengan kondisi tubuh yang semakin melemah, akhirnya kepala desa menyetujui sarat Sang petani dan perjanjian sakral pun diadakan.
Selanjutnya, Sang petani mengambil ramuan yang diberikan oleh Sang nenek. Ajaibnya, begitu ramuan dioleskan luka di perut Kepala Desa langsung mengering dan tertutup. Kepala Desa tentu senang bukan kepalang. Dia lalu memerintah beberapa orang kepercayaannya mengambil Tombak Numbu Ranggata dan Watu Maladong yang berada di gudang senjata.
Saat Tombak Numbu Ranggata diserahkan Kepala Desa iseng bertanya mengapa Sang Petani mengetahui bahwa luka yang dialaminya berasal dari tombak yang telah diserahkannya. Padahal, kejadian itu hanya diketahui oleh para pengikutnya yang kebetulan ikut merusak kebun.
Pertanyaan Kepala Desa dijawab Sang Petani terus terang dan apa adanya. Dia mengatakan Tombak Numbu Ranggata adalah miliknya yang digunakan untuk menombak babi hutan di kebun miliknya. Dia tidak mengetahui kalau babi hutan itu adalah jelmaan dari Kepala Desa.
Merasa dikadali, Kelapa Desa menjadi murka. Namun, karena telah melakukan perjanjian sakral maka dia tidak dapat mengambil tindakan tegas kepada Sang petani. Dan, untuk menutupi malu dia menantangnya bertarung. Apabila menang, maka Watu Maladong bakal menjadi milik Sang Petani. Sebaliknya, jika kalah akan tetap menjadi milik Kepala Desa.
Tantangan Kepala Desa tidak langsung disanggupi Sang Petani. Dia meminta waktu selama satu bulan untuk mempersiapkan diri. Apabila dalam waktu satu bulan tidak menampakkan diri, Watu Maladong akan tetap menjadi milik Kepala Desa.
Setelah disepakati, Sang Petani kembali menuju pondok Sang nenek. Di sana dia belajar lagi jurus-jurus beladiri milik Sang Nenek. Selain itu, dia juga melakukan tapa brata guna meminta petuah dari para leluhur agar dapat menguasai Tombak Numbu Ranggata. Hasilnya, belum genap satu bulan Numbu Ranggata telah menyatu dengan dirinya.
Satu bulan kemudian, pada waktu yang telah ditentukan Sang Petani mendatangi kediaman Kepala Desa. Mereka lalu menuju arena yang telah disiapkan warga desa. Setelah saling berhadapan keduanya langsung bertarung mengeluarkan jurus-jurus andalan. Terakhir, karena sudah kewalahan Sang Petani mengeluarkan Numbu Ranggata guna memanggil petir yang seketika menyambar tubuh Kepala Desa.
Sang Kepala Desa langsung lemas tak berdaya dan mengakui kekalahan. Sembari menyerahkan Watu Maladong Kepala Desa menjelaskan bahwa ada tiga butir watu, dua butir berjenis laki-laki dan satu butir lainnya perempuan. Watu atau batu laki-laki dapat memberikan padi dan jagung, sedangkan watu perempuan memberi jewawut. Selain itu, ketiganya dapat memberikan sumber air yang tidak akan pernah habis.
Usai menerima Watu Maladong Sang Petani pamit undur diri. Dia kembali ke pondok Sang nenek untuk membawanya pulang ke Pulau Sumba menumpang Siluman Penyu. Sampai di sumba ketiga bantu diperintahkan membuat sumber mata air. Mereka kemudian membuat empat mata air, yaitu Nyura Lele di daerah Tambolaka, Weetebula di Desa Weetebula, Wee Muu di perbatasan Wewewa Barat dan Wewewa Timur, serta Weekello Sawah di daerah Wewewa Timur.
Selanjutnya mereka diperintah lagi menanam padi, jewawut, dan jagung di beberapa kasawan Pulau Sumba. Selesai tugas menanam mereka diharuskan berpecar dan bersembunyi selamanya agar tidak disalahgunakan oleh orang lain. Konon, dari ketiga batu itu hanya satu yang berada di daratan yaitu, sementara lainnya berada di dasar Samudera Hindia.
Diceritakan kembali oleh ali gufron
Alkisah, di Pulau Sumba hidup seorang petani yang mengusahakan lahan perkebunan sebagai pemenuhan hidup. Lahan yang berdekatan dengan hutan itu dirawatnya dengan sangat baik sehingga selalu panen melimpah ruah. Hasil panen selain untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari juga di jual ke pasar-pasar di luar Pulau Sumba.
Suatu hari, ketika akan menyiangi kebun dia terkejut bukan kepalang melihat tanaman yang sebentar lagi akan panen poran-poranda seperti disatroni kawanan babi hutan. Dia tidak habis pikir sebab kebunnya telah dikelilingi pagar tinggi dan sangat rapat sehingga sulit bagi binatang liar dapat menerobosnya.
Penasaran pada makhluk apa yang telah berhasil menerobos pagar dan merusak kebunnya Sang petani memusutkan untuk melakukan pengintaian. Sembari membawa tombak bernama Numbu Ranggata warisan leluhur dia menyelinap di antara tumbuhan ladangnya yang masih utuh. Sang petani tidak mengetahui kalau tombak warisan itu sangatlah sakti. Dia dapat memecah langit menjadi petir dan menyerang siapa saja yang dianggap sebagai lawan si pemegang tombak.
Ketika malam tiba, dari balik persembunyian dia melihat sekawanan babi hutan muncul di kebunnya. Kawanan babi hutan ini rupanya dapat melompati pagar tinggi dengan sangat mudah. Mereka lalu memakan segela jenis sayur yang ada di kebun dan menginjak-injak tanaman yang ada di sekitarnya.
Geram akan kelakuan kawanan babi hutan itu Sang petani tiba-tiba keluar dari tempat pengintaiannya dan menombak salah seekor di antaranya tepat di bagian perut. Sang babi yang terkena tombak langsung mengerang kesakitan. Bersama dengan teman-temannya dia segera melarikan diri masuk ke dalam hutan.
Ketika matahari beranjak naik Sang Petani mulai mencari jejak kawanan babi hutan itu. Dia hendak mengambil tombak warisan leluhurnya yang menancap di perut babi karena takut mendapat kutukan bila sampai hilang. Disusurinya jejak mereka melalui tetesan darah yang terjatuh di tanah.
Berkilometer menyusur tanpa terasa dia telah berada di tepi pantai. Di sana jejak pun hilang tanpa bekas. Pikirnya, kawanan babi hutan tentu telah menyeberang ke pulau lain, sebab tidak ada lagi ceceran darah di sekitar pantai. Ini artinya, dia kehilangan tombak Numbu Ranggata. Para leluhur pasti akan marah dan menghukumnya.
Di tengah kebingungan dan rasa penyesalan kehilangan tombak dari arah belakang tiba-tiba ada suara berat menanyakan maksud kedatangannya di pantai. Saat ditengok ternyata suara itu berasal dari sesosok siluman penyu raksasa seukuran tebing pantai. Sembari gemetar ketakutan dia menceritakan kejadian yang tadi malam dialami hingga sampai di tepi pantai.
Tanpa banyak bertanya lagi, Siluman Penyu meminta Sang Petani menaiki punggungnya. Dia akan menyeberangkannya menuju pulau lain yang diperkirakan merupakan tempat persembunyian kawanan babi hutan perusak kebunnya.
Sampai di pulau seberang Siluman Penyu menurunkannya di tepi pantai. Sebelum berenang kembali ke laut Siluman Penyu mengatakan bahwa apabila Sang Petani memerlukan bantuannya lagi hanya perlu naik ke puncak pohon kelapa dan berteriak memanggilnya. Niscaya dalam waktu tidak terlalu lama dia akan datang menemui Sang Petani.
Setelah berpisah dengan Siluman Penyu, Sang petani melanjutkan perjalanan hingga bertemu dengan seorang perempuan tua yang dinggal sendirian di salah satu sisi pantai. Rupanya Sang nenek mengetahui kemana kawanan babi hutan itu pergi. Dia memperingatkan agar Sang petani mengurungkan niat mencari tombak, sebab mereka bukanlah kawanan babi hutan biasa melainkan jelmaan dari orang-orang sakti.
Nasihat sekaligus peringatan perempuan tua itu tidak diindahkan oleh Sang Petani. Dia tetap ingin mencari tombaknya. Ancaman kutukan dari para leluhur lebih menakutkannya ketimbang harus berhadapan dengan kawanan babi hutan jelmaan orang-orang sakti.
Oleh karena Sang Petani keukeuh ingin mencari tombaknya, Sang nenek lantas mengajarkannya beberapa jurus guna melawan mereka. Rupanya Sang nenek bukanlah orang sembarangan. Dia adalah seorang pendekar sakti yang sengaja mengundurkan diri dari dunia persilatan. Umur telah membuatnya beralih menjadi seorang bijaksana dengan membantu sesama.
Setelah berhasil menguasai beberapa jurus dan diberi ramuan ajaib, sebelum mencari tombak Sang nenek berpesan agar Sang petani mendapatkan benda keramat bernama Watu Maladong dari pemimpin jelmaan babi hutan. Menurut Sang nenek watu atau batu itu dapat memberi kesejahteraan bagi kehidupannya di masa mendatang.
Selanjutnya, dia pamit menuju desa yang ditunjuk Sang nenek. Di desa itulah tempat para babi hutan tinggal. Mereka berbaur dengan penduduk setempat di sebuah perkampungan tersembunyi di tengah hutan.
Sampai di sana dia mendengar dari percakapan warga setempat bahwa kepala desa mereka sedang terluka parah. Bagian perut Sang kepala desa mengalami luka yang tak kunjung menutup dan selalu mengalirkan darah, padahal sudah banyak dukun didatangkan guna mengobatinya.
Memperkirakan bahwa Kepala Desa adalah jelmaan babi hutan yang terkena tombak Sang petani langsung mendatanginya. Tanpa basa-basi dia langsung bertanya apakah luka di perut Sang kelapa desa berasal dari tikaman tombak.
Pertanyaan Sang petani membuat Kepala Desa dan segenap orang kepercayaannya terperanjat. Mereka mengira kalau Sang petani adalah seorang sakti, sebab tidak ada seorang pun kecuali komplotan jelmaan babi hutan yang mengetahui asal muasal luka di perut Kepala desa. Mereka lalu memintanya mengobati Kepala Desa yang kondisinya sudah semakin melemah.
Sang petani tidak langsung menyanggupinya. Ingat pesan dari Sang nenek, terlebih dahulu dia meminta syarat, yaitu apabila Kepala Desa ingin diobati maka dia harus menyerahkan tombak Numbu Ranggata yang telah melukainya serta Watu Maladong sebagai imbalan atas jasanya.
Awalnya Kepala Desa menolak dengan tegas. Tombak mungkin dapat diserahkan tetapi Watu Maladong merupakan pusaka keramat milik desa. Ia dapat digunakan sebagai sumber daya alam dan air di mana saja sesuai keinginan orang yang memilikinya. Tetapi karena sudah putus asa dengan kondisi tubuh yang semakin melemah, akhirnya kepala desa menyetujui sarat Sang petani dan perjanjian sakral pun diadakan.
Selanjutnya, Sang petani mengambil ramuan yang diberikan oleh Sang nenek. Ajaibnya, begitu ramuan dioleskan luka di perut Kepala Desa langsung mengering dan tertutup. Kepala Desa tentu senang bukan kepalang. Dia lalu memerintah beberapa orang kepercayaannya mengambil Tombak Numbu Ranggata dan Watu Maladong yang berada di gudang senjata.
Saat Tombak Numbu Ranggata diserahkan Kepala Desa iseng bertanya mengapa Sang Petani mengetahui bahwa luka yang dialaminya berasal dari tombak yang telah diserahkannya. Padahal, kejadian itu hanya diketahui oleh para pengikutnya yang kebetulan ikut merusak kebun.
Pertanyaan Kepala Desa dijawab Sang Petani terus terang dan apa adanya. Dia mengatakan Tombak Numbu Ranggata adalah miliknya yang digunakan untuk menombak babi hutan di kebun miliknya. Dia tidak mengetahui kalau babi hutan itu adalah jelmaan dari Kepala Desa.
Merasa dikadali, Kelapa Desa menjadi murka. Namun, karena telah melakukan perjanjian sakral maka dia tidak dapat mengambil tindakan tegas kepada Sang petani. Dan, untuk menutupi malu dia menantangnya bertarung. Apabila menang, maka Watu Maladong bakal menjadi milik Sang Petani. Sebaliknya, jika kalah akan tetap menjadi milik Kepala Desa.
Tantangan Kepala Desa tidak langsung disanggupi Sang Petani. Dia meminta waktu selama satu bulan untuk mempersiapkan diri. Apabila dalam waktu satu bulan tidak menampakkan diri, Watu Maladong akan tetap menjadi milik Kepala Desa.
Setelah disepakati, Sang Petani kembali menuju pondok Sang nenek. Di sana dia belajar lagi jurus-jurus beladiri milik Sang Nenek. Selain itu, dia juga melakukan tapa brata guna meminta petuah dari para leluhur agar dapat menguasai Tombak Numbu Ranggata. Hasilnya, belum genap satu bulan Numbu Ranggata telah menyatu dengan dirinya.
Satu bulan kemudian, pada waktu yang telah ditentukan Sang Petani mendatangi kediaman Kepala Desa. Mereka lalu menuju arena yang telah disiapkan warga desa. Setelah saling berhadapan keduanya langsung bertarung mengeluarkan jurus-jurus andalan. Terakhir, karena sudah kewalahan Sang Petani mengeluarkan Numbu Ranggata guna memanggil petir yang seketika menyambar tubuh Kepala Desa.
Sang Kepala Desa langsung lemas tak berdaya dan mengakui kekalahan. Sembari menyerahkan Watu Maladong Kepala Desa menjelaskan bahwa ada tiga butir watu, dua butir berjenis laki-laki dan satu butir lainnya perempuan. Watu atau batu laki-laki dapat memberikan padi dan jagung, sedangkan watu perempuan memberi jewawut. Selain itu, ketiganya dapat memberikan sumber air yang tidak akan pernah habis.
Usai menerima Watu Maladong Sang Petani pamit undur diri. Dia kembali ke pondok Sang nenek untuk membawanya pulang ke Pulau Sumba menumpang Siluman Penyu. Sampai di sumba ketiga bantu diperintahkan membuat sumber mata air. Mereka kemudian membuat empat mata air, yaitu Nyura Lele di daerah Tambolaka, Weetebula di Desa Weetebula, Wee Muu di perbatasan Wewewa Barat dan Wewewa Timur, serta Weekello Sawah di daerah Wewewa Timur.
Selanjutnya mereka diperintah lagi menanam padi, jewawut, dan jagung di beberapa kasawan Pulau Sumba. Selesai tugas menanam mereka diharuskan berpecar dan bersembunyi selamanya agar tidak disalahgunakan oleh orang lain. Konon, dari ketiga batu itu hanya satu yang berada di daratan yaitu, sementara lainnya berada di dasar Samudera Hindia.
Diceritakan kembali oleh ali gufron