Legenda Pulau Kapal

(Cerita Rakyat Daerah Bangka Belitung)

Alkisah, di tepi Sungai Cerucuk, Bangka Belitung, dahulu ada sebuah keluarga miskin terdiri atas suami, istri dan seorang anak laki-laki mereka bernama Kulup. Untuk mencukupi kebutuhan hidup Sang suami bekerja mencari kayu bakar, sementara istrinya di ladang menanam tanaman lahan kering. Sedangkan Kulup sendiri tanpa mengenal lelah membantu keduanya.

Suatu hari saat sedang mencari kayu bakar Sang Ayah menemukan tunas-tunas bambu mulai tumbuh. Tertarik menjadikannya sayur rebung, tunas-tunas bambu itu dipotongnya. Tanpa disangka diantara tunas menyembul sebuah tongkat yang setelah dibersihkan bagian kepalanya berhias intan permata.

Tongkat lalu dibawa pulang untuk ditunjukkan pada Sang istri dan Kulup. Sang istri mengusulkan agar tongkat dikembalikan kepada pemiliknya. Sementara Kulup mengusulkan untuk menjualnya di kota. Hasil penjualan dapat mereka gunakan memperbaiki gubuk yang sudah reot dan hampir roboh.

Esok harinya, seusai berpamitan Kulup berangkat menuju kota dengan harapan dapat bertemu saudagar kaya yang mau membeli tongkat temuan Sang ayah. Sebelum berpamitan Kulup berjanji bahwa akan segera pulang apabila tongkat telah laku terjual. Dia akan mencari rute seaman mungkin agar dapat kembali dengan selamat.

Sampai di kota dalam waktu tidak terlalu lama dia berhasil menjual tongkat dengan harga fantastis. Berkarung-karung uang diterima dari Sang Saudagar yang melihat bahwa tongkat itu sebagai benda langka tiada duanya. Sang saudagar berniat menjualnya ke negeri jiran yang orang-orangnya dikenal sangat royal menggelontorkan uang.

Setelah mendapat uang Kulup rupanya lupa akan janjinya. Dia malah memutuskan tinggal di kota dan membeli sebuah rumah mewah. Selanjutnya, dia juga menikahi anak salah seorang saudagar terkaya di kota sehingga harta kekayaannya pun semakin melimpah.

Bertahun-tahun kemudian, Sang mertua memerintah Kulup dan anaknya berlayar menyusur Sungai Cerucuk. Adapun tujuannya adalah ke kampung halaman Kulup untuk mengambil hasil bumi penduduk setempat. Hasil bumi nantinya akan mereka jual lagi dengan harapan dapat menghasilkan keuntungan berlipat ganda.

Mendapat perintah langsung dari Sang mertua tentu saja Kulup terperanjat. Di dalam hati dia sebenarnya menolak karena takut identias aslinya terbongkar. Sebab, selama ini dia mengaku sebagai anak saudagar kaya raya yang bergelimang harta. Namun, karena tidak ada jalan lain, dia terpaksa menyanggupi. Harapan naifnya, tentu kedua orang tua telah tiada dimakan usia.

Beberapa hari setelahnya barulah Kulup, istri, beserta para pengawalnya berlayar menyusur Sungai Cerucuk menggunakan sebuah perahu super mewah. Di sepanjang perjalanan perahu itu menjadi perhatian. Mereka umumnya berdecak kagum melihat ukuran, jenis kayu perahu, bentuk perahu, hingga orang-orang yang menaikinya. Bahkan, ketika mau merapat pun di pelabuhan sudah padat dengan kerumunan manusia yang sepanjang hidup baru pertama kali melihat perahu mewah.

Orang-orang semakin bertambah terkesima ketika pemilik perahu menampakkan diri dan akan menuruni tangga perahu. Sebagian besar penonton mengagumi pakaian yang dikenakan sang pemilik perahu beserta istrinya. Namun, ada juga yang menyidik hingga ke paras dan bentuk perawakan mereka. Orang-orang ini kemudian bergunjing dan menarik kesimpulan bahwa pemilik perahu tidak lain adalah Kulup yang telah lama merantau. Dan, kesimpulan tadi menuntun mereka menemui orang tua Kulup untuk melaporkan kedatangan anaknya.

Kedua orang tua yang dilapori tentu saja gembira bukan kepalang. Anak semata wayang yang hilang entah kemana tiba-tiba pulang dalam keadaan sehat dan kaya raya. Mereka bergegas menuju pelabuhan untuk menyambut. Sebagai tanda kasih sayang, tak lupa Sang ibu membawa kue kesukaan Kulup.

Sayangnya, kegembiraan mereka hanya sampai di depan perahu saja. Niat untuk menyambut dengan sukacita berubah ketika Kulup menghardik dan mengusir. Dia malu pada Sang istri, sebab selama ini mengaku sebagai anak saudagar kaya raya. Sementara dua orang di hadapannya berpenampilan lusuh layaknya seorang pengemis.

Namun, karena mereka tidak juga beranjak dan tetap menyeru Kulup sebagai anak, maka dia menjadi kalap. Di dorongnya kedua orang tua renta itu hingga terjerembab ke tanah. Selanjutnya, dia memerintah anak buahnya ke kapal untuk segera kembali berlayar. Pikirnya, semakin lama berada di darat, akan semakin terbongkarlah rahasia yang selama ini dipendamnya.

Sementara sang ibu yang tersimpuh di tanah, sambil berurai air mata mengucapkan kalimat-kalimat tertentu yang intinya meminta Tuhan menghukum Kulup atas perlakuan buruk terhadap dirinya. Kalimat-kalimat Sang ibu rupanya dikabulkan. Hanya dalam hitungan menit tiba-tiba langit menggelap disertai petir dan angin kencang penanda badai. Kapal milik mertua Kulup terombang-ambing akibat kencanganya angin dan akhirnya terbalik dan karam di tengah sungai. Seluruh penumpang (termasuk Kulup dan istrinya) ikut tenggelam bersama kapal.

Setelah badai berlalu, dari lokasi karamnya kapal muncullah sebuah pulau kecil. Oleh karena bentuk pulau menyerupai kapal terbalik, masyarakat setempat mempercayai bahwa pulau itu adalah jelmaan kapal Kulup yang karam dihantam badai. Mereka kemudian menamainya sebagai Pulau Kapal.

Diceritakan kembali oleh gufron
Cara Pasang Tali Layangan agar Manteng di Udara
Topeng Monyet
Pocong Gemoy

Archive