(Cerita Rakyat Daerah Jawa Barat)
Alkisah, di Kerajaan Galuh ada dua orang istri raja bernama Dewi Pangrenyep dan Dewi Naganingrum yang hamil secara bersamaan. Selang beberapa bulan kemudian Dewi Pangrenyep melahirkan bayi laki-laki. Dia diberi nama Hariang Banga. Tidak lama setelahnya Dewi Naganingrum juga akan melahirkan bayi laki-laki.
Oleh karena diperkirakan bayi Dewi Naganingrum berjenis kelamin laki-laki, Dewi Pangrenyep takut kalau bayinya kelak akan kalah bersaing. Dia lalu berusaha menghasut Prabu Barma Wijaya agar mau menyingkirkan Sang bayi dari istana. Alasannya, kelak anak Dewi Naganingrum akan selalu merongrong kekuasaannya.
Hasutan Dewi Pangrenyep rupanya termakan oleh Prabu Barma Wijaya. Mereka kemudian menyusun permufakatan jahat guna menyingkirkan bayi Dewi Naganingrum. Bagitu Sang Dewi melahirkan, tanpa sepengetahuannya sang jabang bayi dihanyutkan di Sungai Citanduy dan ditukar dengan seekor anjing.
Tidak lama setelahnya, giliran Dewi Naganingrum yang ingin disingkirkan pula dari istana. Adapun caranya adalah dengan menitah Uwa Batara Lengser membunuhnya. Namun, karena Uwa Batara Lengser mengetahui bahwa Dewi Naganingrum tidak bersalah, maka eksekusi tidak jadi dilaksanakan. Dia hanya membawa dan meninggalkannya di tengah hutan belantara.
Sementara Sang bayi yang dihanyutkan dalam keranjang berhasil diselamatkan oleh warga dari Desa Geger Sunten yang letaknya berada di sekitar bantaran Sungai Citanduy. Dia dirawat oleh salah seorang warga di sana hingga tumbuh menjadi pemuda gagah dan kuat. Warga setempat memberinya nama Ciung Wanara.
Setelah beranjak dewasa, entah dari siapa, dia mengetahui bahwa dirinya bukanlah berasal dari Desa Geger Sunten melainkan Kerajaan Galuh. Untuk mengetahui asal usul yang sebenarnya dia mencoba pergi ke Kerajaan Galuh. Ditemani ayam jantan kesayangannya Ciung Wanara datang ke Kerajaan Galuh sebagai pesabung ayam. Ayam jantan ini bukanlah sembarangan. Masyarakat menyebutnya sebagai nagawiru karena ketika masih berupa telur dierami oleh unggas.
Sampai di tempat sabung ayam kerajaan, dia menantang ayam jago milik Prabu Barma Wijaya. Ayam Sang Prabu (bernama Si Jeling) terkenal sangat hebat dan tidak pernah terkalahkan. Oleh karena itu, Sang Prabu sering sesumbar bahwa apabila ada yang mampu mengalahkan Si Jeling maka apa pun yang diminta akan diberikan. Ciung Wanara mencoba menantang Prabu BarmaWijaya dengan meminta imbalan berupa setengah wilayah kerajaan apabila ayamnya dapat mengalahkan Si Jeling.
Melihat ayam milik Ciung Wanara berukuran kecil, sambil tertawa mengejek Sang Prabu menyetujui permintaan itu. Namun saat pertarungan dilaksanakan, tanpa di sangka ayam jantan milik Ciung Wanara keluar sebagai pemenangnya. Walau tubuhnya lebih kecil, dia dapat dengan mudah mengalahkan Si Jeling. Walhasil, Sang Prabu terpaksa harus memberikan apa yang diminta oleh Ciung Wanara, yaitu setengah dari wilayah kerajaannya. Ciung Wanara menjadi raja baru di bekas wilayah kerajaan milik Prabu Barma Wijaya.
Tidak lama memerintah, entah mengapa, Upa Batara Lengser datang dan menceritakan kepada Ciung Wanara tentang asal usulnya serta keberadaan Sang ibu. Merasa sakit hati atas cerita itu, dia lalu memerintah para pengawalnya menculik dan memenjarakan Dewi Pangrenyep.
Sebaliknya, tidak terima ibunya dipenjarakan, Sang anak yang bernama Hariang Bangga lalu menyusun rencana guna menyerang dan membebaskan Dewi Pangrenyep dari penjara Ciung Wanara. Setelah rencana tersusun, bersama para pengawal dia pergi menuju kerajaan Ciung Wanara.
Sampai di kerajaan, Hariang Bangga langsung berhadapan dengan Ciung Wanara. Tanpa basa-basi dia menyerang sambil menghunuskan keris saktinya. Namun, karena ilmu kanuragan keduanya sama-sama mumpuni, pertarungan berlangsung seimbang selama puluhan menit hingga akhirnya Prabu Permana Di Kusumah muncul melerai.
Sang prabu yang merupakan penguasa sejati kerajaan, sebelum mendelegasikan sementara kekuasaannya pada Prabu Barma Wijaya, kemudian menceritakan asal usul keduanya dan memutuskan adik-beradik itu (walau lain ibu) memiliki daerah kekuasan masing-masing. Hariang Bangga (dikenal juga dengan nama Jaka Susuruh) memerintah di sebelah timur Sungai Brebes atau Sungai Pamali, sementara Ciung Wanara tetap di Kerajaan Galuh.
Saat ini jejak Kerajaan Galuh telah menjadi sebuah situs cagar budaya bernama Karang Kamulyan yang terletak di Desa Karang Kamulyan, Kecamatan Cieungjing, Kabupaten Ciamis. Di dalam situs terdapat beberapa peninggalannya, antara lain: Batu Pangcakilan, penyambungan alam, sanghyang bedil, lambang peribadatan, sumber air citeguh dan cirahayu, makam Adipati Panekan, Pamangkonan, dan lain sebagainya.
Diceritakan kembali oleh ali gufron