Kesenian Berokan

Berokan adalah sebuah kesenian khas masyarakat Sunda, khususnya yang berada di daerah Karawang. Kesenian ini mulai dikembangkan serta dikenal oleh masyarakat sekitar tahun 1925. Penciptanya adalah seorang seniman bernama Kesol. Waktu itu kesenian berokan tidak hanya digunakan sebagai sarana hiburan saja, melainkan juga sebagai media penangkal gangguan makhluk gaib.

Kesenian ini konon diadopsi dari kisah cucu Raden Arjuna, yaitu Raden Parikesit sewaktu memerintah Kerajaan Astinapura. Adapun kisahnya sebagai berikut.

Ketika Raden Parikesit memerintah, kerajaannya diserang oleh Gedeng Permoni dari Setra Gandamayit. Penyerangan didasari oleh rasa dendam Gedeng Permoni karena cintanya tidak dibalas Raden Arjuna, kakek Raden Parikesit. Penduduk Kerajaan Astinapura menjadi geger, termasuk ketiga anak Raden Parikesit (Kusa Sengsaya, Kuda Jaka, dan Kuda Wisesa).

Kuda Wisesa yang ketakutan memilih pergi menuju ke suatu tempat terpencil jauh dari Kerajaan Astinapura. Dalam perjalanannya dia tiba di sebuah perkebunan yang dijaga oleh sepasang suami-isteri tua renta. Singkat cerita, karena merasa cocok akhirnya Kuda Wisesa memilih tinggal bersama si kakek dan nenek penjaga kebun.

Untuk mengisi waktu, selama tinggal bersama kakek dan nenek penjaga kebun, Kuda Wisesa menyalurkan bakat dengan melukis. Ternyata, hasil-hasil lukisannya dapat dikatakan nyaris sempurna seperti bentuk aslinya sehingga mengundang perhatian warga disekitar perkebunan.

Keindahan lukisan Kuda Wisesa rupanya terdengar pula oleh raja yang berkuasa di daerah tersebut. Sang raja kemudian mengirimkan utusan menemui Kuda Wisesa untuk memintanya melukis kerajaan beserta seluruh isinya. Kuda Wisesa dapat memenuhi permintaan sang raja dengan hasil lukisan yang sangat detil.

Masih penasaran dengan hasil karya Kuda Wisesa yang tidak mungkin dapat dibuat oleh orang biasa, Sang raja lalu menyuruh melukis laut beserta seluruh isinya. Lukisan laut berhasil dibuat oleh Kuda Wisesa. Hanya saja, ada satu binatang laut yang hanya terlukis kepalanya saja, sedangkan anggota badannya sama sekali tidak dapat diterawang. Binatang itu sebenarnya adalah binatang sakti yang disebut sebagai Hyang Baruna. Hanya orang-orang tertentu saja dapat menyaksikan wujud utuh dari Hyang Baruna.

Untuk mengatasi kebingungan Kuda Wisesa, sang Kakek penjaga kebun menyarankan agar menempelkan kulit kambing dan waring sebagai badan Hyang Baruna serta sebatang tongkat sebagai ekornya. Akhirnya lukisan pun jadi. Dan setelah diserahkan kepada Raja, Sang pelukis kemudian diberi julukan Sungging Perbangkara, sedangkan binatang Hyang Baruna dinamakan Berokan yang berasal dari kata Berok (bahasa Jawa).

Dalam pementasan berokan, binatang berok digambarkan memiliki wujud sangat mengerikan namun suaranya kecil “empet”. Sedangkan orang yang memainkannya haruslah mempunyai keahlian khusus serta mampu mengobati orang sakit atau mengusir dan menangkal serangan makhluk halus.

Nilai Budaya
Kesenian Berokan perlu dilestarikan karena di dalamnya tidak hanya mengandung nilai estetika sebagai ekspresi jiwa semata, melainkan juga nilai-nilai lain yang apabila dicermati dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai itu antara lain adalah kerja sama, kekompakan, ketertiban, dam ketekunan. Nilai kerja sama terlihat dari adanya kebersamaan dalam melestarikan warisan budaya para pendahulunya. Nilai kekompakan dan ketertiban tercermin dalam suatu pementasan yang dapat berjalan secara lancar. Nilai kerja keras dan ketekunan tercermin dari penguasaan dalam mementaskan binatang berok.
Cara Pasang Tali Layangan agar Manteng di Udara
Topeng Monyet
Pocong Gemoy

Archive