(Cerita Rakyat Daerah Jawa Timur)
Alkisah, ada seorang dua laki-laki tua. Istrinya telah lama meninggal dunia. Dia hidup berdua dengan anak semata wayangnya yang masih kecil. Mereka tinggal dalam sebuah gubuk reot yang terkesan akan runtuh. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, laki-laki itu hanya menngandalkan orang yang membutuhkan tenaganya. Apabila tidak ada yang datang, dia hanya berdiam diri di rumah tanpa berbuat apa-apa.
Suatu hari, mungkin telah mendapat firasat, dia memanggil anak semata wayangnya yang tengah bermain di depan rumah. Setelah sang anak datang, dia bercerita bahwa hidupnya tidak akan lama lagi. Alam telah memberikan tanda agar dia bersiap bila sewaktu-waktu harus menghadap Sang Pencipta.
Mendengar penjelasan tadi, Sang anak mulai menangis. Dia tidak tahu harus bagaimana bila Sang ayah pergi menyusul Sang ibu. Dia belum bisa bekerja layaknya orang lain sebab masih terlalu kecil. Nanti, apabila lapar bagaimana dia mendapatkan makanan. Apakah harus mengemis, meminta sanak saudara yang keberadaannya entah dimana karena tidak pernah diberitahukan, atau makan apa saja yang ditemui dan sekiranya dapat dimakan.
Melihat kegundahan anaknya, Sang Ayah lalu berkata bahwa tidak perlu sedih karena akan diberi ajian khusus berupa mantra sakti yang apabila diucapkan dapat mendatangkan rezeki serta kemuliaan. Tetapi, pengucapannya tidak boleh sembarangan dan hanya dalam keadaan sangat mendesak saja boleh dikeluarkan. Mantra itu berbunyi ‘hai…hai..aku tahu’.
Selang beberapa hari kemudian, laki-laki tua itu meninggal dunia. Sang anak menjadi sebatang kara. Dia tidak punya apa-apa lagi selain gubuk reot dan makanan persediaan yang cukup untuk satu atau dua minggu saja. Setelah persediaan makanan habis dia menjadi bingung. Tidak ada satu orang sanak saudara pun yang dikenalnya. Sementara para tetangga hanya datang memberi bantuan selama beberapa hari selama masa berkabung. Setelah itu mereka seakan melupakannya.
Pikir punya pikir, kenapa tidak pergi saja ke ibu kota kerajaan. Di sana mungkin akan banyak pekerjaan sehingga kanak-kanak pun dapat bekerja mencari uang. Apabila dia telah bekerja tentu hidup tidak akan sulit lagi. Dia dapat membeli apa saja yang dimaui dengan hasil jerih payah sendiri.
Namun, bayangan itu tidak sesuai dengan kenyataan. Setelah berada di ibu kota kerajaan ternyata tidak ada orang yang mau mempekerjakan. Dia terpaksa menggelandang serta makan dari sisa-sisa makanan sebab tidak ada yang mau memberi makan. Setiap hari kerjanya hanya duduk di emperan kedai sambil menanti “jatah” dari orang-orang yang tidak menghabiskan makanannya.
Suatu hari, entah mengapa, dia duduk di sebuah pohon rindang. Tidak jauh dari tempatnya duduk (di balik pohon) ada tukang cukur yang kebetulan tengah mencukur Baginda Raja. Ketika asyik merasakan hembusan angin sepoi-sepoi, dia teringat akan ajian sakti yang diberikan oleh Sang ayah. Dia pun lantas berkata “hai…hai…aku tahu” berulang kali dengan suara agak keras sambil membayangkan rezeki yang datang tiba-tiba.
Begitu mendengar kata-kata itu, si tukang cukur yang berada di balik pohon terperanjat. Dia sangat kaget karena disangka ada orang tahu tentang misi yang tengah diembannya yaitu membunuh Raja. Dengan muka pucat pasi dia membuang pisau cukurnya dan langsung bersimpun meminta ampun. Di hadapan Raja dia mengaku diberi perintah oleh salah seorang patih untuk membunuhnya ketika sedang bercukur.
Singkat cerita, Raja menjadi marah mendengar pengakuan si tukang cukur. Bersama patih yang telah memberikan perintah, Si tukang cukur dihukum mati dengan tuduhan makar. Sementara Si anak pembaca mantra dihadiahi emas dan permata atas jasanya menyelamatkan Raja. Dan, sejak saat itu dia hidup sejahtera.
Diceritakan kembali oleh Gufron
Alkisah, ada seorang dua laki-laki tua. Istrinya telah lama meninggal dunia. Dia hidup berdua dengan anak semata wayangnya yang masih kecil. Mereka tinggal dalam sebuah gubuk reot yang terkesan akan runtuh. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, laki-laki itu hanya menngandalkan orang yang membutuhkan tenaganya. Apabila tidak ada yang datang, dia hanya berdiam diri di rumah tanpa berbuat apa-apa.
Suatu hari, mungkin telah mendapat firasat, dia memanggil anak semata wayangnya yang tengah bermain di depan rumah. Setelah sang anak datang, dia bercerita bahwa hidupnya tidak akan lama lagi. Alam telah memberikan tanda agar dia bersiap bila sewaktu-waktu harus menghadap Sang Pencipta.
Mendengar penjelasan tadi, Sang anak mulai menangis. Dia tidak tahu harus bagaimana bila Sang ayah pergi menyusul Sang ibu. Dia belum bisa bekerja layaknya orang lain sebab masih terlalu kecil. Nanti, apabila lapar bagaimana dia mendapatkan makanan. Apakah harus mengemis, meminta sanak saudara yang keberadaannya entah dimana karena tidak pernah diberitahukan, atau makan apa saja yang ditemui dan sekiranya dapat dimakan.
Melihat kegundahan anaknya, Sang Ayah lalu berkata bahwa tidak perlu sedih karena akan diberi ajian khusus berupa mantra sakti yang apabila diucapkan dapat mendatangkan rezeki serta kemuliaan. Tetapi, pengucapannya tidak boleh sembarangan dan hanya dalam keadaan sangat mendesak saja boleh dikeluarkan. Mantra itu berbunyi ‘hai…hai..aku tahu’.
Selang beberapa hari kemudian, laki-laki tua itu meninggal dunia. Sang anak menjadi sebatang kara. Dia tidak punya apa-apa lagi selain gubuk reot dan makanan persediaan yang cukup untuk satu atau dua minggu saja. Setelah persediaan makanan habis dia menjadi bingung. Tidak ada satu orang sanak saudara pun yang dikenalnya. Sementara para tetangga hanya datang memberi bantuan selama beberapa hari selama masa berkabung. Setelah itu mereka seakan melupakannya.
Pikir punya pikir, kenapa tidak pergi saja ke ibu kota kerajaan. Di sana mungkin akan banyak pekerjaan sehingga kanak-kanak pun dapat bekerja mencari uang. Apabila dia telah bekerja tentu hidup tidak akan sulit lagi. Dia dapat membeli apa saja yang dimaui dengan hasil jerih payah sendiri.
Namun, bayangan itu tidak sesuai dengan kenyataan. Setelah berada di ibu kota kerajaan ternyata tidak ada orang yang mau mempekerjakan. Dia terpaksa menggelandang serta makan dari sisa-sisa makanan sebab tidak ada yang mau memberi makan. Setiap hari kerjanya hanya duduk di emperan kedai sambil menanti “jatah” dari orang-orang yang tidak menghabiskan makanannya.
Suatu hari, entah mengapa, dia duduk di sebuah pohon rindang. Tidak jauh dari tempatnya duduk (di balik pohon) ada tukang cukur yang kebetulan tengah mencukur Baginda Raja. Ketika asyik merasakan hembusan angin sepoi-sepoi, dia teringat akan ajian sakti yang diberikan oleh Sang ayah. Dia pun lantas berkata “hai…hai…aku tahu” berulang kali dengan suara agak keras sambil membayangkan rezeki yang datang tiba-tiba.
Begitu mendengar kata-kata itu, si tukang cukur yang berada di balik pohon terperanjat. Dia sangat kaget karena disangka ada orang tahu tentang misi yang tengah diembannya yaitu membunuh Raja. Dengan muka pucat pasi dia membuang pisau cukurnya dan langsung bersimpun meminta ampun. Di hadapan Raja dia mengaku diberi perintah oleh salah seorang patih untuk membunuhnya ketika sedang bercukur.
Singkat cerita, Raja menjadi marah mendengar pengakuan si tukang cukur. Bersama patih yang telah memberikan perintah, Si tukang cukur dihukum mati dengan tuduhan makar. Sementara Si anak pembaca mantra dihadiahi emas dan permata atas jasanya menyelamatkan Raja. Dan, sejak saat itu dia hidup sejahtera.
Diceritakan kembali oleh Gufron