(Cerita Rakyat Daerah Kalimantan Timur)
Alkisah, dahulu di pesisir Pulau Kalimantan sedang marak aksi perompakan yang dilakukan oleh orang-orang Solok dari Pulau Mindanau (Filipina Selatan) dan orang-orang Bugis serta Makasssar dari Pulau Sulawesi. Para bajak laut tersebut dalam melakukan aksinya tidaklah pandang bulu terhadap setiap perahu yang sedang berlayar di laut. Apapun mereka jarah, mulai dari tembaga, barang ukiran, madu, lilin, kayu gaharu, sarang burung, hingga teripang. Bahkan, awak perahu juga mereka tawan untuk dijual sebagai budak belian.
Salah seorang di antara awak kapal yang dijadikan budak belian adalah Si Kamis. Selama menjadi budak di Kampung Gunung Tabur, Kamis sangat patuh terhadap tuannya. Rutinitas kesehariannya adalah membersihkan kandang ayam dan kamping, mengambil air guna keperluan keluarga tuannya, dan menanam padi di sawah tadah hujan serta jagung di ladang. Oleh karena rajin Si Kamis kemudian dibebaskan dan menjadi orang merdeka. Selain itu, dia juga dikawinkan dengan seorang merdeka lain yang juga berada di Gunung Tabur
Setelah menikah mereka mencoba membuka lahan dekat Sungai Sukkar, sekitar Teluk Bayur. Seiring berjalannya waktu, banyak pula yang ingin menetap di daerah itu sehingga akhirnya menjadi sebuah kampung. Si Kamis yang merupakan penduduk pertama oleh warga dianggap atau dijadikan sebagai tetua kampung. Sesuatu yang menyangkut masalah kampung umumnya harus berhubungan dengannya.
Suatu hari datang seorang tetangga meminta bantuan berupa beras karena persediaannya telah habis. Tanpa berpikir dua kali Kamis langsung menyuruh sang istri mengambil beras di dapur. Namun ternyata persediaan beras hanya cukup untuk satu hari saja sehingga sang istri keluar dari dapur dengan tangan hampa. Kamis yang mendengar kalau persediaan beras tinggal sekali masak tetap meminta sang istri memberikannya pada tetangga. Alasannya, Sang tetangga memiliki anak-anak kecil yang perlu diberi makan.
Sore hari menjelang magrib Kamis meminta sang istri menanak nasi. Sang istri yang mengetahui persediaan beras telah habis tentu saja geram mendengar permintaan suaminya. Dia lalu pergi ke dapur bermaksud hendak menunjukkan wadah beras yang telah kosong karena tadi pagi isinya diberikan pada tetangga sebelah rumah. Namun, ketika akan dibawa secara ajaib wadah telah penuh terisi beras.
Sifat suka menolong tidak hanya ditunjukkan Kamis dengan memberikan beras, melainkan hal-hal lain yang sebenarnya dia sendiri juga memerlukannya. Oleh karena itu, di kampungnya dia sangat disegani dan dihormati. Kamis dianggap sebagai “dewa penolong” yang rela berkorban apa saja bagi orang-orang yang sedang memerlukan, mulai dari beras, lauk-pauk, hingga perahu yang biasa digunakan untuk pergi ke ladang.
Begitu seterusnya hingga suatu saat dia mengalami sakit keras dan akhirnya meninggal dunia. Jenazahnya dimakamkan di dekat Sungai Sukkar. Anehnya, kubur tempat jasad Kamis bersemayam selalu berpindah menjauh ke bagian atas setiap kali sungai meluap. Masyarakat setempat kemudian menamai kubur itu sebagai Puan Si Panaik. Seiring berjalannya waktu, Puan Si Panaik kemudian dikeramatkan dan dijadikan sebagai tempat peziarahan.
Diceritakan kembali oleh Gufron