Si Tingaang

(Cerita Rakyat Daerah Kalimantan Timur)

Alkisah, di daerah daerah Batu Mekam di hulu Kampung Memahak Tebo ada sepasang suami-istri kaya raya bernama Kakek Ibau dan Nenek Mujaan Paran. Kekayaan mereka terkenal di sepanjang Kampung Mahakam hingga ke daerah hulu Riam. Seluruh harta kekayaan Sang kakek dan nenek adalah hasil dari kerja keras yang dilakukan sepanjang hidup. Mereka sangat rajin bekerja di ladang, mulai dari pagi buta hingga matahari terbenam. Oleh karena itu, setiap tahun hasil tanaman ladang yang mereka usahakan selalu melimpah ruah.

Suatu hari mereka mengadakan acara pemberian gelar Lejau Madaang (gelar bangsawan sukubangsa Dayah Bahau) bagi anak semata wayang bernama Tingaang. Dalam acara tersebut diadakanlah pesta besar-besaran dengan mengundang penduduk kampung-kampung yang tersebar di sepanjang aliran Sungai Mahakam. Para tamu dijamu beraneka macam makanan berbahan puluhan ekor babi serta ratusan ekor ayam. Adapun tujuan pesta, selain pengukuhan gelar adat, juga agar Tingaang diberkati oleh para dewa dan kelak dapat menjadi arif dan bijaksana.

Namun, pemberian gelar ini tidak ada pengaruhnya sama sekali bagi Tingaang. Dia tetap malas dan kerjanya tiada lain hanyalah berpesta pora, mabuk-mabukan, serta bermain judi bersama kawan-kawannya. Nenek Mujaan Paran dan Kakek Ibau terlalu memanjakan sehingga Tingang tumbuh menjadi seorang yang keras kepala, sulit diatur, dan mau menang sendiri. Dia tidak peduli kalau uang yang digunakan berjudi dan mabuk-mabukan adalah hasil jerih payah orang tua.

Bahkan, dia juga tidak peduli ketika Kakek Ibau sakit keras dan akhirnya meninggal dunia. Malahan dia menjadi lebih leluasa menggasak harta kekayaannya. Sang ibu tidak dapat berbuat banyak untuk mengendalikan perilaku Tingaang. Walhasil, harta benda yang selama ini dikumpulkan secara perlahan berkurang dan akhirnya ludes. Nenek Mujan Paran terpaksa bekerja pada orang lain sebagai penumbuk padi demi kelangsungan hidup mereka.

Tingaang yang melihat Sang Ibu harus bekerja pada orang lain tetap tidak bergeming. Hanya saja, kebiasaan buruk bersama teman-temannya agak berkurang karena Nenek Mujan Paran telah jatuh miskin. Sedangkan kebiasaan lainnya tetap dipertahankan seperti bermalasan dan hidup mewah layaknya seorang bangsawan. Dia tidak mau memakan makanan yang diberikan oleh orang yang mempekerjakan Sang Ibu. Alasannya, makanan tersebut hanya untuk orang miskin dan tidak baik bagi kesehatan tubuh.

Kelakuan Tingang hanya bisa dihadapi Nenek Mujan Paran dengan mengurut dada. Namun, namanya juga manusia, semakin perasaan dipendam maka penyakitlah yang akan menyerang. Tubuh Nenek Mujan Paran semakin hari melemah hingga tinggal tulang berbalut kulit. Dia tidak mampu berobat karena tidak memiliki biaya. Harta satu-satunya yang masih tersisa adalah waang bataang umaaq yang diberikan oleh Kakek Ibau sebagai barang jujuran ketika mereka menikah. Sayangnya, waang bataang umaaq telah disembunyikan Tingaang di suatu tempat sebagai bekal untuk berjudi.

Dan, karena dibiarkan begitu saja akhirnya Sang Nenek meninggal dunia menyusul Kakek Ibau. Jenazahnya tidak diurus Tingaang melainkan oleh para tetangga terdekat yang merasa kasihan melihat jasad Nenek Mujan Paran yang selama hidup selalu membantu mereka. Sementara Si Tingaang yang tidak peduli semakin hari hidupnya semaki sulit. Akibat dari menyia-nyiakan orang tua Si Tingaang menjadi orang sengsara hingga akhir hayat.
Cara Pasang Tali Layangan agar Manteng di Udara
Topeng Monyet
Keraton Surosowan

Archive