(Cerita Rakyat Daerah Madura)
Alkisah, ada seorang laki-laki yang berprofesi sebagai penyadap nira. Setiap hari pekerjaannya memanjat pohon siwalan untuk menyadap air nira. Nira hasil sadapan kemudian dimasak dan diolah hingga menjadi gula aren. Selanjutnya gula aren dijual di pasar dan keuntungannya digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.
Suatu hari saat sedang asyik menyadap nira, tiba-tiba cuaca berubah drastis. Langit tertutup gumpalan awan hitam dan udara terasa sangat lembab. Tetapi Si laki-laki tidak menghiraukannya. Pikirnya, sebelum hujan turun masih ada cukup waktu mengumpulkan air nira ke dalam wadah bambu. Oleh karena itu, pohon demi pohon tetap dia panjat untuk diambil niranya.
Ketika sampai di puncak pohon keempat hujan turun dengan sangat lebat. Selain itu, hujan disertai pula dengan tiupan angin topan yang membuat pepohonan meliuk-liuk seakan hendak tercerabut dari akarnya. Si penyadap yang berada di puncak pohon tentu terkena imbasnya. Tubuh laki-laki itu terombang-ambing hingga nyaris terlempar dari pohon. Dalam ketakutan yang teramat sangat, dia memohon pada Tuhan agar diselamatkan. Dia berjanji apabila selamat bernazar akan memotong sapinya yang paling gemuk sebagai hidangan bagi para fakir miskin.
Ternyata doa tadi didengar Tuhan. Tidak berapa lama hujan disertai angin topan mulai reda. Si penyadap segera turun dari pohon nira. Namun, baru sampai di bagian tengah batang nira, pikirannya mulai bercampur aduk antara gembira dan penyesalan. Dia gembira karena selamat dari maut, sementara rasa penyelasan karena telah berjanji akan menyembelih sapi gemuk kesayangannya.
Di tengah kebimbangan harus mengorbankan sapi kesayangan, Si penyadap nira memohon lagi pada Tuhan agar diberi keringanan untuk mengganti sapi dengan seekor kambingnya yang paling besar dan gemuk. Tetapi karena masih merasa sayang, permohonan itu diralat lagi menjadi seekor ayam yang dia rasa sudah cukup untuk memuaskan beberapa fakir miskin. Baginya, fakir miskin yang jarang makan daging pasti akan berterima kasih walau hanya diberi potongan kecil daging ayam.
Pikiran mengorbankan daging ayam ternyata tidak bertahan lama. Lagi-lagi dia merasa sayang dan meralat hanya akan memberikan lima butir telur ayam. Dan, karena tidak terjadi apa-apa lagi dia berkeyakinan bahwa negosiasi nazar menjadi hanya lima butir telur ayam dirasa sudah cukup. Bahkan dia menjadi bertanya pada diri sendiri jangan-jangan angin dan hujan tadi hanyalah lewat belaka. Oleh karena itu, dia meneruskan lagi aktivitas memanjat pohon siwalan seakan melupakan kejadian luar biasa yang baru saja dialami.
Saat berada di puncak pohon siwalan, dengan hati gembira dia mulai menyadap sambil bersiul mendendangkan sebuah lagu. Di sini dia benar-benar berkeyakinan bahwa hujan-angin barusan hanya "numpang lewat" sehingga tidak perlu bernazar. Toh dia tetap selamat dan dapat kembali menyadap nira. Oleh karena itu, lebih baik memakan telur nazar itu sendiri daripada diberikan pada fakir miskin.
Dalam suasana gembira tersebut Si penyadap nira menjadi tidak berhati-hati dan waspada. Ketika akan turun kakinya menapak batang pohon yang licin bekas terkena siraman air hujan sehingga membuatnya tidak dapat menjaga keseimbangan dan jatuh ke tanah. Si penyadap nira langsung terkapar dan tidak bergerak lagi untuk selamanya.
Diceritakan kembali oleh Ali Gufron