(Cerita Rakyat Daerah Bengkulu)
Alkisah, zaman dahulu kala ada tujuh orang adik-beradik tinggal di sebuah desa terpencil. Mereka terdiri dari enam orang laki-laki dan seorang bungsu berjenis kelamin perempuan. Ayah mereka telah lama meninggal dunia. Sementara Sang ibu menyusul sesaat setelah melahirkan si bungsu yang bernama Putri Sedaro Putih. Untuk memenuhi kebutuhan sehar-hari mereka bekerja sebagai peladang dengan menggarap sebidang tanah huma yang terletak di tepi hutan.
Suatu hari, saat tertidur lelap Putri Sedaro Putih bermimpi didatangi seorang tua yang mengaku kakeknya. Dalam mimpi itu Sang kakek mengatakan bahwa hidup Putri Sedaro Putih tidak lama lagi akan berakhir. Oleh karena itu, dia menyarankan Sang Putri bersiap diri agar dapat tabah menghadapi. Selain itu, Sang kakek juga mengatakan bahwa di atas pusaranya nanti akan tumbuh sebatang pohon varietas baru yang belum pernah ada sebelumnya.
Mimpi bertemu Sang kakek tadi selalu diingat sepanjang waktu. Hasilnya, badan semakin kurus dan wajah tampak pucat karena pikiran selalu dihantui oleh ingatan akan kematian. Produktivitas kerja pun semakin merosot. Hampir setiap hari diisi dengan termenung di teras rumah atau di tepi ladang ketika para kakak sedang sibuk menyiangi dan merawat tanaman.
Melihat kondisi Sang adik bungsu yang seolah "hidup segan mati tak mau" (hadeuh ^_^), Sang sulung sebagai pengganti orangtua menanyakan apakah gerangan yang menjadi penyebabnya. Putri Sedaro Putih sebenarnya enggan bercerita. Tetapi karena didesak dia lalu mengungkapkan kronologi kejadian mimpinya pada Sang kakak. Dia takut apabila hal itu benar-benar terjadi, maka tidak akan dapat berkumpul dan bergembira bersama para kakaknya lagi.
Sang sulung yang sudah pandai menyembunyikan emosi segera menghibur dan menenangkan. Dia mengatakan bahwa mimpi bagi seseorang hanyalah sebagai bunga tidur. Setiap orang pasti bermimpi dan umumnya tidak berpengaruh banyak pada kehidupan sehari-hari. Jadi, Putri Sedaro Putih tidak perlu memikirkan mimpi yang hanya bunga pelengkap tidur. Dan, jika dicermati, melihat rupa Ayah dan ibu saja dia belum pernah apalagi Sang kakek. Oleh karena itu, Sang sulung menyarankan agar melupakan mimpi bertemu dengan Sang kakek.
Nasihat kakak sulung tadi rupanya mengena di hati Putri Sedari Putih. Secara perlahan namun pasti dia kembali seperti sedia kala sebagai seorang gadis periang yang energik. Segala pekerjaan rumah kembali dilakukan dengan riang sehingga kamar-kamar yang ada di dalamnya selalu terlihat rapi dan bersih. Bahkan, ketika berada di ladang dia sangat giat membantu pada kakak merawat tanaman. Hasil ladang menjadi berlimpah ketika musim panen tiba.
Namun sayang, beberapa hari selepas panen tanpa menderita sakit Putri Sedaro Putih tiba-tiba meninggal dunia. Sontak saja keenam saudaranya menjadi sedih. Mereka tidak menyangka Sang bungsu pergi begitu cepat. Tetapi mereka belum percaya kalau hal itu berkaitan dengan Sang kakek yang muncul dalam mimpi Putri Sedaro Putih. Oleh karena itu, dia kemudian dimakamkan tidak jauh dari rumah agar dapat mengawasi pusaranya. Apabila di atas pusara tumbuh pohon, perkataan Sang kakek benar adanya. Sebaliknya, apabila tidak ada pohon yang tumbuh, mimpi tadi hanya kebetulan belaka.
Dan benar saja, beberapa minggu setelah dimakamkan di atas pusara tumbuhlah sebatang pohon yang belum pernah ada di daerah itu. Maka percayalah mereka bahwa impian Putri Sedaro Putih tentang Sang kakek benar adanya. Mereka lantas memberinya nama pohon Sedaro Putih dan memelihara dengan penuh kasih sayang seakan merawat Putri Sedaro Putih.
Tidak lama berselang tumbuh pula sebatang pohon berjenis kayu kapung di sisi pohon sedaro putih. Beberapa tahun kemudian kedua pohon tumbuh sama tinggi. Setiap ada angin berhembus agak kencang dahan-dahan pohon kayu kapung membuat tangkai buah sedaro putih menjadi memar sehingga mempermudah air mengalir ke arah tangkai-tangkai buahnya. Tangkai-tangkai buah inilah yang kemudian menarik perhatian beberapa jenis binatang, salah satunya tupai. Para tupai kadang datang menggigit cairan yang terdapat pada tangkai buah sedaro putih.
Kelakuan para tupai menarik perhatian salah seorang saudara Putri Sedaro Putih. Dia mendekat dan mencoba melakukan hal serupa. Begitu dicicipi air tangkai buah itu berasa manis. Dia lalu pulang dan menceritakan rentetan kejadian tadi pada saudaranya yang lain. Mereka menjadi penasaran dan bergegas menuju pohon sedaro putih sambil membawa tabung bambu (tikoa) untuk menampung air manis itu.
Namun, karena air yang keluar dari tangkai buah tidaklah deras dan hanya menetes, tikoa tadi diletakkan sedemikian rupa agar dapat menampung tetesannya. Keesokan hari mereka datang lagi untuk mengambilnya. Dan, namanya juga manusia, setelah mencicipi timbul rasa ketagihan dan bernafsu ingin mendapatkan lebih banyak air lagi dan lagi dan lagi (kayak iklan aja ^_^). Beberapa tikoa pun disiapkan untuk menampung air dari tangkai- tangkai buah sedaro putih.
Begitu seluruh tikoa penuh ternyata tidak seluruhnya dapat dihabiskan. Sisanya disimpan di dapur sebagai cadangan. Beberapa hari kemudian ketika akan dikonsumsi air telah menjadi masam dan tidak layak digunakan. Agar tidak mengalami kejadian serupa, mereka menampung lagi kemudian hasilnya dimasak hingga kental lalu didinginkan sampai membeku dan berwarna coklat kekuningan.
Seiring waktu, karena tidak ada sebelumnya air pohon itu mereka namakan nira, sedangkan pohonnya (mungkin karena sebutan sedaro putih terlalu panjang ^_^) diganti menjadi enau atau aren. Pohon inilah yang menjadi cikal bakal adanya gula aren.
Diceritakan kembali oleh ali gufron
Alkisah, zaman dahulu kala ada tujuh orang adik-beradik tinggal di sebuah desa terpencil. Mereka terdiri dari enam orang laki-laki dan seorang bungsu berjenis kelamin perempuan. Ayah mereka telah lama meninggal dunia. Sementara Sang ibu menyusul sesaat setelah melahirkan si bungsu yang bernama Putri Sedaro Putih. Untuk memenuhi kebutuhan sehar-hari mereka bekerja sebagai peladang dengan menggarap sebidang tanah huma yang terletak di tepi hutan.
Suatu hari, saat tertidur lelap Putri Sedaro Putih bermimpi didatangi seorang tua yang mengaku kakeknya. Dalam mimpi itu Sang kakek mengatakan bahwa hidup Putri Sedaro Putih tidak lama lagi akan berakhir. Oleh karena itu, dia menyarankan Sang Putri bersiap diri agar dapat tabah menghadapi. Selain itu, Sang kakek juga mengatakan bahwa di atas pusaranya nanti akan tumbuh sebatang pohon varietas baru yang belum pernah ada sebelumnya.
Mimpi bertemu Sang kakek tadi selalu diingat sepanjang waktu. Hasilnya, badan semakin kurus dan wajah tampak pucat karena pikiran selalu dihantui oleh ingatan akan kematian. Produktivitas kerja pun semakin merosot. Hampir setiap hari diisi dengan termenung di teras rumah atau di tepi ladang ketika para kakak sedang sibuk menyiangi dan merawat tanaman.
Melihat kondisi Sang adik bungsu yang seolah "hidup segan mati tak mau" (hadeuh ^_^), Sang sulung sebagai pengganti orangtua menanyakan apakah gerangan yang menjadi penyebabnya. Putri Sedaro Putih sebenarnya enggan bercerita. Tetapi karena didesak dia lalu mengungkapkan kronologi kejadian mimpinya pada Sang kakak. Dia takut apabila hal itu benar-benar terjadi, maka tidak akan dapat berkumpul dan bergembira bersama para kakaknya lagi.
Sang sulung yang sudah pandai menyembunyikan emosi segera menghibur dan menenangkan. Dia mengatakan bahwa mimpi bagi seseorang hanyalah sebagai bunga tidur. Setiap orang pasti bermimpi dan umumnya tidak berpengaruh banyak pada kehidupan sehari-hari. Jadi, Putri Sedaro Putih tidak perlu memikirkan mimpi yang hanya bunga pelengkap tidur. Dan, jika dicermati, melihat rupa Ayah dan ibu saja dia belum pernah apalagi Sang kakek. Oleh karena itu, Sang sulung menyarankan agar melupakan mimpi bertemu dengan Sang kakek.
Nasihat kakak sulung tadi rupanya mengena di hati Putri Sedari Putih. Secara perlahan namun pasti dia kembali seperti sedia kala sebagai seorang gadis periang yang energik. Segala pekerjaan rumah kembali dilakukan dengan riang sehingga kamar-kamar yang ada di dalamnya selalu terlihat rapi dan bersih. Bahkan, ketika berada di ladang dia sangat giat membantu pada kakak merawat tanaman. Hasil ladang menjadi berlimpah ketika musim panen tiba.
Namun sayang, beberapa hari selepas panen tanpa menderita sakit Putri Sedaro Putih tiba-tiba meninggal dunia. Sontak saja keenam saudaranya menjadi sedih. Mereka tidak menyangka Sang bungsu pergi begitu cepat. Tetapi mereka belum percaya kalau hal itu berkaitan dengan Sang kakek yang muncul dalam mimpi Putri Sedaro Putih. Oleh karena itu, dia kemudian dimakamkan tidak jauh dari rumah agar dapat mengawasi pusaranya. Apabila di atas pusara tumbuh pohon, perkataan Sang kakek benar adanya. Sebaliknya, apabila tidak ada pohon yang tumbuh, mimpi tadi hanya kebetulan belaka.
Dan benar saja, beberapa minggu setelah dimakamkan di atas pusara tumbuhlah sebatang pohon yang belum pernah ada di daerah itu. Maka percayalah mereka bahwa impian Putri Sedaro Putih tentang Sang kakek benar adanya. Mereka lantas memberinya nama pohon Sedaro Putih dan memelihara dengan penuh kasih sayang seakan merawat Putri Sedaro Putih.
Tidak lama berselang tumbuh pula sebatang pohon berjenis kayu kapung di sisi pohon sedaro putih. Beberapa tahun kemudian kedua pohon tumbuh sama tinggi. Setiap ada angin berhembus agak kencang dahan-dahan pohon kayu kapung membuat tangkai buah sedaro putih menjadi memar sehingga mempermudah air mengalir ke arah tangkai-tangkai buahnya. Tangkai-tangkai buah inilah yang kemudian menarik perhatian beberapa jenis binatang, salah satunya tupai. Para tupai kadang datang menggigit cairan yang terdapat pada tangkai buah sedaro putih.
Kelakuan para tupai menarik perhatian salah seorang saudara Putri Sedaro Putih. Dia mendekat dan mencoba melakukan hal serupa. Begitu dicicipi air tangkai buah itu berasa manis. Dia lalu pulang dan menceritakan rentetan kejadian tadi pada saudaranya yang lain. Mereka menjadi penasaran dan bergegas menuju pohon sedaro putih sambil membawa tabung bambu (tikoa) untuk menampung air manis itu.
Namun, karena air yang keluar dari tangkai buah tidaklah deras dan hanya menetes, tikoa tadi diletakkan sedemikian rupa agar dapat menampung tetesannya. Keesokan hari mereka datang lagi untuk mengambilnya. Dan, namanya juga manusia, setelah mencicipi timbul rasa ketagihan dan bernafsu ingin mendapatkan lebih banyak air lagi dan lagi dan lagi (kayak iklan aja ^_^). Beberapa tikoa pun disiapkan untuk menampung air dari tangkai- tangkai buah sedaro putih.
Begitu seluruh tikoa penuh ternyata tidak seluruhnya dapat dihabiskan. Sisanya disimpan di dapur sebagai cadangan. Beberapa hari kemudian ketika akan dikonsumsi air telah menjadi masam dan tidak layak digunakan. Agar tidak mengalami kejadian serupa, mereka menampung lagi kemudian hasilnya dimasak hingga kental lalu didinginkan sampai membeku dan berwarna coklat kekuningan.
Seiring waktu, karena tidak ada sebelumnya air pohon itu mereka namakan nira, sedangkan pohonnya (mungkin karena sebutan sedaro putih terlalu panjang ^_^) diganti menjadi enau atau aren. Pohon inilah yang menjadi cikal bakal adanya gula aren.
Diceritakan kembali oleh ali gufron