(Cerita Rakyat Daerah Banten)
Di Provinsi Banten, tepatnya di sekitar wilayah Kecamatan Kramat Watu, Kabupaten Serang, terdapat sebuah gunung yang diberi nama Gunung Pinang. Konon, gunung yang salah satu sisinya dilalui oleh jalur lintas Serang-Cilegon ini dahulu berasal dari perahu milik Dampu Awang yang karam. Bagaimana perahu dapat beralih wujud menjadi sebuah gunung? Berikut kisahnya.
Pada zaman dahulu kala di teluk Banten hiduplah seorang pemuda bernama Dampu Awang. Dia tinggal bersama ibunya di sebuah gubug reot di wilayah perkampungan nelayan. Oleh karena ingin memperbaiki nasib, Dampu Awang meminta izin pada ibundanya agar diperbolehkan pergi ke daerah Malaka untuk mencari pekerjaan layak. Awalnya Sang Ibu menolak karena Dampu Awang adalah satu-satunya anak yang dimilikinya. Karena Dampulah dia masih sanggup menjalani hidup walau tanpa ada suami lagi.
Namun setelah berkali-kali merengek, Sang Ibu akhirnya menyerah dan merestui Dampu Awang berlayar ke Malaka. "Dampu janji, apabila nanti telah menjadi kaya akan membangun rumah besar buat ibu. Kita akan hidup layaknya orang bangsawan, Bu," kata Dampu Awang
Ketika akan berangkat berlayar menumpang perahu milik seorang saudagar asal Samudera Pasai, Sang Ibu berpesan, "Dampu, ibu titip perkutut. Dulu dia adalah burung kesayangan ayahmu yang mahir mengirim pesan. Nanti apabila engkau sudah di sana, berkirimlah kabar melalui burung ini."
"Baik, Bu. Aku akan menulis surat setiap awal purnama," jawab Dampu singkat sambil mencium tangan Sang Ibu.
Sesampainya di Malaka Dampu Awang melamar pekerjaan pada seorang saudagar kaya raya bernama Teuku Abu Matsyah. Setelah diterima, pekerjaan sehari-harinya adalah membersihkan galangan dan mengangkut sekaligus merapihkan barang-barang jualan milik Sang Saudagar. Oleh karena sangat rajin, hanya dalam waktu beberapa tahun Dampu Awang sudah menjadi orang kepercayaan Teuku Abu Matsyah. Bahkan Siti Nurhasanah, puteri semata wayang Sang Saudagar pun sampai menaruh hati padanya.
Agar tidak beralih ke lain hati, suatu hari Sang Saudagar memanggil Dampu Awang untuk berbincang empat mata. Ketika sudah menghadap, Sang Saudagar berkata, "Dampu, aku sudah cukup lama mempekerjakanmu dan bahkan kini engkau telah menjadi tangan kananku. Aku rasa engkau telah bekerja dengan baik."
"Terima kasih, Tuan," jawab Dampu singkat.
"Nah, agar lebih baik lagi dan bukan sebagai atasan dan bawahan, bagaimana kalau engkau aku jodohkan dengan Siti Nurhasanah?" tanya Sang Saudagar.
Pertanyaan itu membuat jantung Dampu Awang berdegup kencang bagai tertimpa durian jatuh. Dia sebenarnya memang menaruh hati juga pada Siti Nurhasanah, tetapi hanya sebatas cinta yang tak terucap. Pikirnya, manalah mungkin seorang bawahan seperti dirinya dapat mempersunting gadis cantik jelita puteri seorang saudagar kaya raya.
"Bagaimana, Dampu?," tanya Sang Saudagar lagi.
"Maaf, Tuan. Bukannya saya menolak, tetapi apakah saya pantas bersanding dengan puteri tuan? Saya hanyalah orang biasa yang tidak memiliki apa-apa," jawab Dampu Awang.
"Aku bukan melihat dari mana kamu berasal. Tapi aku melihat semangat dan kemampuanmu dalam bekerja. Orang semacam itulah yang pantas untuk mendapatkan anakku sekaligus mewarisi usaha dagangku," kata Sang Saudagar.
Singkat cerita, Dampu Awang pun menikah dengan Siti Nurhasanah yang cantik jelita. Tidak berapa lama sesudahnya Teuku Abu Matsyah meninggal dunia dan secara otomatis seluruh hartanya diwariskan pada Siti Nurhasanah. Sebagai pewaris tunggal, Siti Nurhasanah menyerahkan pengelolaan harya Sang Ayah kepada Dampu Awang. Tetapi berita ini tidak sampai ke telinga Sang Ibu karena selama di perantauan Dampu Awang hanya berkirim kabar sejumlah empat kali. Isinya berupa pemberitahuan singkat tentang keberadaannya di negeri seberang.
Satu dasawarsa kemudian, tersiarlah kabar bahwa akan datang seorang saudagar besar dari Malaka yang akan berdagang di Banten. Berita ini cepat sekali tersebar hingga terdengar pula oleh Ibu Dampu Awang. Pikirnya, mungkin saja kali ini yang datang adalah Dampu Awang, karena dia sudah berjanji akan pulang bila telah menjadi orang kaya.
Beberapa hari kemudian, ketika perahu Sang Saudagar besar hendak bersandar terdengarlah suara sorak sorai di sekitar pelabuhan yang membuat Ibu Dampu Awang tergoda untuk menyaksikannya. Oleh karena sedang bekerja merajut jaring, tanpa berdandan dan merapihkan pakaian terlebih dahulu, Sang Ibu langsung keluar dari gubugnya dan berlari ke arah suara sorai sorai tersebut. "Mungkin itu Si Dampu," pikirnya sambil setengah berlari.
Sesampainya di pelabuhan, ada sebuah perahu sangat besar dan megah tengah bersandar. Sesaat kemudian munculah para awaknya yang gagah perkasa sambil memanggul barang-barang milik Sang Saudagar untuk dibawa ke darat. Barang-barang tersebut adalah dagangan Sang Saudagar untuk dijual pada Sultan Banten, diantaranya: pakaian, perhiasan, dan barang-barang mewah lainnya.
Setelah seluruh barang dagangan berada di darat, dari dalam perahu muncul sepasang suami-isteri dengan pakaian dan perhiasan serba mewah. Sang suami berwajah tampan mengenakan pakaian bersulam emas lengkap dengan sebuah peci yang sangat menawan. Pada bagian pinggang terselip sebilah golok sakti bersarung emas dan bagian pundaknya bertengger seekor burung perkutut bersayap kokoh. Di sebelah kanan sang suami berdiri isterinya yang juga berpakaian serba mewah. Sang Isteri berperawakan tinggi semampai, rambut hitam terurai, kulit kuning langsat, dan wajah yang cantik jelita.
Penampilan kedua orang ini tentu saja mengundang decak kagum bagi siapa saja yang melihatnya. Bahkan, ada beberapa kaum lelaki di antara penonton yang sangat terpana hingga tanpa sadar menitikkan air liur (ngacai bo! ^_^). Mereka jarang atau bahkan belum pernah melihat orang secantik dan seanggun itu sehingga membuat kerumunan pun menjadi semakin padat.
Namun, ketika keduanya akan menuruni tangga perahu tiba-tiba saja ada seseorang yang berteriak histeris di antara kerumunan. "Dampuuu! Dampuuu Awaaang! Ibu di sini, nak," katanya sambil melambai-lambaikan tangan.
Sang isteri yang kebetulan melihat si peneriak lalu bertanya pada suaminya, "Ada orang tua berpakaian sangat lusuh menyebut namamu, Bang. Apakah dia itu ibumu?"
Kerumunan massa serta Sang Suami yang ternyata memang Dampu Awang segera mengarahkan pandangannya pada arah yang ditunjukkan oleh isterinya. Dan, betapa terkejutnya dia karena si peneriak adalah ibu tercintanya. Wajahnya tiba-tiba menjadi pucat pasi. Dia tidak menyangka dan sekaligus malu kalau Sang Ibu juga ada diantara kerumunan massa dengan pakaian yang sangat tidak layak, bagaikan seorang pengemis.
Oleh karena malu melihat Sang Ibu layaknya seorang pengemis tua, sementara dirinya bagaikan seorang raja, Dampu Awang langsung berteriak, "Tidak! Dia bukan Ibuku! Pengawal, usir perempuan itu dari hadapanku!"
Padahal, sebenarnya di dalam hati Dampu Awang sangat gembira sekali melihat Sang Ibu yang telah lama ditinggalkan. Rencananya, nanti malam ketika seluruh penduduk telah berada di rumah masing-masing, secara diam-diam dia akan pergi menemuinya. Akan didandani Sang Ibu tercinta dengan pakaian dan perhiasan mahal lalu dibawa ke Malaka. Namun apa boleh buat, Sang ibu malah ikut "nongol" dengan pakaian seadanya.
"Kalau memang ibumu, sambutlah beliau dengan baik, Suamiku," kata Siti Nurhasanah tulus dan lembut untuk meredakan suasana.
Perkataan lembut Siti Nurhasanah malah membuat Dampu Awang semakin bertambah malu. Oleh karena tidak ingin direndahkan dan dipermalukan, Dampu Awang berteriak lagi, "Tidak! Ayah dan Ibuku telah lama mati. Dia hanya wanita gila yang sedang meracau. Aku tidak pernah punya ibu seperti dia!"
"Pengawal, angkut lagi barang-barang yang telah kalian turunkan. Kita pulang dan batalkan perniagaan ini!" sambungnya agar tidak bertambah malu.
Perkataan Dampu Awang tadi terasa bagaikan petir di siang bolong. Seketika itu juga hatinya hancur seperti teriris-iris sembilu. Dengan tertunduk lesu sambil berlinang air mata Sang Ibu pun berucap, "Wahai Gusti yang Maha Agung, apabila bukan anakku, biarkanlah dia pergi. Tapi kalau dia memang anakku, berilah dia pelajaran yang setimpal."
Doa Sang Ibu ternyata didengar oleh Tuhan. Baru beberapa mil perahu berlayar meninggalkan pelabuhan, tiba-tiba langit tertutup gumpalan awan gelap disertai petir menyambar-nyambar. Sejurus kemudian terjadilah hujan deras bercampur angin puting beliung yang membentuk laut menjadi sebuah pusaran besar. Akibatnya, perahu Dampu Awang pun mulai terseret ke dalam pusaran hingga terlempar dan terbalik di daratan. Tidak lama berselang, perahu mulai membatu dan akhirnya menjadi sebuah gunung besar. Oleh masyarakat setempat, gunung besar itu kemudian diberi nama Pinang.
Diceritakan kembali oleh Gufron