(Cerita Rakyat Daerah Riau)
Konon, pada zaman dahulu kala di daerah Indragili Hilir, Provinsi Riau, hidup seorang janda bernama Mak Minah. Dia mempunyai tiga orang anak, dua orang laki-laki dan satu perempuan. Anak pertama diberi nama Utuh, anak kedua diberi nama Ucin, dan yang bungsu berjenis kelamin perempuan diberi nama Diang. Kehidupan keluarga ini sangatlah sederhana, apalagi setelah suami Mak Minah Meninggal Dunia. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, Mak Minah harus bekerja sebagai pencari kayu bakar. Setiap hari, setelah selesai memasak dan mencuci, dia segera berangkat ke hutan mencari dan mengumpulkan ranting-ranting pohon kering untuk dijual ke pasar sebagai kayu bakar.
Pekerjaan ini hanya dilakukan Mak Minah sendirian. Ketiga anaknya, Utuh, Ucin, dan Daing tidak bersedia membantu. Mereka lebih senang bermalas-malasan di rumah atau bermain bersama teman-teman sebayanya. Utuh, Ucin, dan Daing tidak merasa iba melihat ibu mereka bekerja keras membanting tulang untuk menghidupi keluarga. Bahkan, yang membuat Mak Minah lebih bersedih lagi, mereka sering membantah perintah dan nasihat-nasihatnya.
Misalnya, suatu hari Mak Minah memanggil mereka untuk masuk ke rumah karena di luar mulai gelap. “Anak-anakku, pulanglah! Hari telah senja.”
Namun karena masih asyik bermain, mereka tidak menghiraukan panggilan tersebut. Mak Minah pun memanggil lagi, “Utuh, Ucin, Diang, hari sudah mulai gelap. Emak hari ini agak kurang sehat, sebaiknya kalian memasak sendiri untuk makan malam”
Panggilan kedua Mak Minah ternyata juga masih tidak diindahkan oleh anak-anaknya, sehingga dia terpaksa beranjak dari pembaringan menuju dapur untuk memasak. Setelah masakan siap, dia kembali memanggil anak-anaknya, “Utuh, Ucin, Diang, makan malam kalian sudah emak siapkan.”
Ketika mendengar ibunya berkata demikian, barulah mereka berhenti bermain dan beranjak menuju dapur. Tanpa berkata apa-apa lagi ketiganya langsung menyantap segala makanan yang dihidangkan tanpa menyisakan sedikit pun untuk Mak Minah. Bahkan, setelah melahap habis seluruh makanan, tidak lantas membantu membersihkan piring-piring bekasnya, melainkan kembali bermain seperti biasa sampai larut malam.
Hal ini membuat sakit Mak Minah makin bertambah parah. Seluruh tubuhnya terasa pegal-pegal dan lemas karena harus bekerja mencari kayu bakar di hutan lalu menjajakannya di pasar, sementara di rumah tidak ada yang membantunya membereskan pekerjaan rumah, termasuk memasak dan mencuci piring.
Agar sakitnya bisa lebih ringan, Mak Minah memanggil anak-anaknya untuk meminta tolong dipijat. Tapi, Utuh, Ucin, dan Diang tetap saja bermain dan pura-pura tidak mendengar seruan Sang Ibu. Mak Minah pun tidak dapat berbuat apa-apa kecuali hanya meratapi nasibnya sambil meneteskan air mata, “Ya Tuhan, sadarkanlah ketiga anak hamba agar mereka mau berbakti terhadap orang tua.”
Keesokan paginya, setelah menanak nasi dan memasak lauk untuk makan anak-anaknya, secara diam-diam Mak Minah pergi menuju ke sebuah batu yang konon dapat berbicara seperti manusia. Batu itu berada tepi sungai yang jaraknya tidak begitu jauh dari rumahnya. Oleh masyarakat setempat batu berbicara itu dinamakan Batu Batangkup karena dapat membuka dan menutup seperti seekor kerang.
Setelah tiba di hadapan Batu Batangkup, Mak Minah lalu berlutut dan dan berkata, “Wahai Batu Batangkup, apabila engkau berkenan telahlah diriku ini. Aku sudah tidak sanggup lagi hidup bersama anak-anakku.”
“Apakah engkau sudah berpikir masak-masak, Mak Minah?” tanya Batu Batangkup.
“Anak-anakku sudah tidak mau menuruti perintahku lagi. Mereka asyik dengan dunianya sendiri tanpa mempedulikan aku. Jadi, biarlah mereka hidup tanpa diriku lagi,” jawab Mak Minah sambil berlinang air mata.
“Baiklah kalau itu maumu,” kata Batu Betangkup sambil membuka “mulutnya” dan mulai menelan tubuh Mak Minah hingga tinggal sebagian rambutnya saja yang masih berada di luar.
Menjelang maghrib Utuh, Ucin, dan Diang pulang ke rumah selepas puas bermain. Mereka tidak menyadari kalau ibu mereka sudah tidak ada lagi. Utuh, Ucin, dan Diang langsung menuju dapur untuk menyantap makanan yang telah disediakan Mak Minah. Selesai makan, mereka pun bermain kembali seperti biasanya.
Hal yang sama juga terjadi pada keesokan harinya. Mereka tetap asyik bermain hingga perut terasa lapar lalu pulang ke rumah untuk makan. Ketika persediaan makanan di dapur sudah habis, barulah mereka sadar kalau Mak Minah sudah tidak ada. Ketiga anak itu mulai kebingungan dan berusaha mencari ibunya di seluruh penjuru rumah hingga ke pekarangan depan dan belakang. Namun, Mak Minah belum ditemukan juga hingga akhirnya mereka tertidur karena kelelahan.
Hari berikutnya, Utuh bersama kedua adiknya berusaha mencari Mak Minah lagi karena perut mereka sudah sangat lapar. Kali ini pencarian dilakukan di luar rumah menyusuri tepian sungai hingga sampai di tempat Batu Batangkup berada.
Alangkah terkejutnya mereka ketika melihat sebagian rambut Mak Minah berada di luar “mulut” Batu Batangkup. Ketiganya bergegas mendekati Batu Batangkup kemudian berkata, “Wahai Batu Batangkup, kami mohon sudilah engkau mengeluarkan Emak dari dalam perutmu.”
Mulanya, Sang Batu Batangkup hanya diam saja. Tetapi karena mereka terus merengek, akhirnya Batu Batangkup berkata, “Kalian hanya peduli pada Mak Minah ketika perut sedang lapar saja. Setelah kenyang, kalian akan segera melupakan dan bahkan tidak pernah mau membantu serta menuruti segala nasihatnya.”
Sambil bercucuran air mata, Diang menjawab, “Kami berjanji untuk membantu serta mematuhi segala nasihat Emak.”
“Iya, Batu Batangkup. Kami berjanji akan patuh pada Emak,” sambung kedua kakaknya.
“Baiklah kalau begitu. Aku akan mengeluarkan Emakmu dari dalam perutku. Tetapi bila mengingkari janji, Emak kalian akan kutelan kembali,” ancam Batu Batangkup.
Setelah berkata demikian, Batu Batangkup perlahan mulai membuka “mulutnya” dan keluarlah Mak Minah dalam kondisi seperti sediakala. Utuh, Ucin, dan Diang pun langsung berlari menghampiri dan memeluk tubuh ibu mereka.
“Maafkan kami Emak. Kami berjanji tidak akan menyia-nyiakan Emak lagi,” kata mereka hampir serempak.
“Sudahlah, Anak-anakku! Emak sudah memaafkan kalian,” kata Mak Minah sambil terharu.
Hari-hari berikutnya terjadilah perubahan drastis pada keluarga Mak Minah. Ucin, Utuh, dan Diang mulai rajin membantu Mak Minah. Utuh dan Ucin membantu mencari kayu bakar di hutan, sementara Diang sibuk menyelesaikan pekerjaan rumah termasuk menyiapkan makanan untuk ibu dan kedua kakaknya.
Namun sayang, kebahaangiaan Mak Minah hanya berlangsung sesaat. Berangsur-angsur keadaan berubah menjadi seperti sediakala. Perilaku ketiga anak Mak Minah kembali malas dan bahkan semakin berani membantah perintahnya. Mak Minah pun menjadi sedih lagi dan berniat untuk kembali ditelah oleh Batu Batangkup.
Singkat cerita, hampir mirip seperti kejadian sebelumnya, Mak Minah menanak nasi dan memasak lauk pauk cukup banyak untuk persediaan selama beberapa hari. Selesai memasak hingga larut malam, perlahan-lahan dia menghampiri anak-anaknya yang sudah tertidur lelap di pembaringan. Dengan perasaan sedih Mak Minah menyelimuti dan menciumi mereka sebagai tanda perpisahan sebelum berangkat menuju ke tempat Batu Batangkup berada.
Sesampainya di hadapan Batu Batangkup, Mak Minah langsung berlutut dan memohon, “Wahai Batu Batangkup, telanlah aku kembali. Anak-anakku telah mengingkari janji. Mereka tidak patuh lagi kepadaku.”
Tanpa berkata apa-apa lagi Batu Batangkup langsung membuka mulutnya dan menelan tubuh Mak Minah. Batu Batangkup juga kesal kepada anak-anak Mak Minah karena mereka telah mengingkari janji untuk selalu patuh terhadap Ibundanya.
Beberapa hari kemudian, setelah persediaan makanan di rumah tidak ada lagi, barulah Utuh, Ucin, dan Diang sadar kalau telah mengingkari janjinya kepada Ibu dan Batu Batangkup. Tanpa membuang waktu, mereka langsung berlari menuju Batu Batangkup berada. Di hadapan Batu Batangkup mereka kembali mengungkapkan kata-kata penyesalan dan meminta agar Sang Ibu dikeluarkan.
Namun Batu Batangkup sudah tidak mau menghiraukan permohonan mereka. Dia sangat kesal pada perilaku Utuh, Ucin, dan Diang yang hanya peduli dan ingat kepada Mak Minah ketika perut sedang lapar. Tanpa berkata-kata Batu Batangkup mulai membuka “mulutnya” sehingga ketiga anak Mak Minah menjadi senang karena dikira akan mengeluarkan Ibu mereka. Tetapi setelah “mulutnya” terbuka lebar, tiba-tiba saja dia langsung menelan ketiga anak itu lalu secara perlahan masuk ke dalam tanah dan hingga kini tidak pernah muncul kembali.
Diceritakan kembali oleh ali gufron