Soewardjo lahir di Gombong, Jawa Tengah, pada tanggal 5 Mei 1922. Pendidikan umum yang pernah dijalani ialah HIS 7 tahun, sedangkan pendidikan militernya adalah Sekolah Pelatih Infanteri (SPI) tahun 1952, Kupaltu Kupalda tahun 1965. Pangkat terakhir sebagai Letnan Kolonel Purnawirawan TNI Angkatan Darat, dengan alamat Jalan Way Pengubuan No. 37 Pahoman, Bandar Lampung.
Peran Soewardjo dalam Mempertahankan Kemerdekaan RI
a. Masa Pendudukan Jepang
Tahun pertama Pemerintahan Jepang berkuasa di Indonesia, Soewardjo masih berada di Pulau Jawa. Memasuki tahun kedua, dia telah berada di Lampung. Sewaktu tentara Jepang menguasai lampung, mereka memerintahkan penduduk secara paksa untuk diperbantukan membangun perumahan, pergudangan, menggali lubang-lubang perlindungan/pertahanan, membuat lapangan terbang, baik di daerah Lampung sendiri maupun kota-kota lain di Sumatera seperti Palembang, Plaju, Sungai Gerong, dan sekojo. Para pekerja paksa ini oleh Jepang disebut sebagai Romusha.
Hampir bersamaan waktunya dengan pemanggilan paksa penduduk menjadi Romusha, Jepang juga memanggil para pemuda untuk dididik menjadi pembantu tentara Jepang (Heiho). Ternyata, animo mereka menjadi heiho cukup tinggi, dengan pertimbangan bahwa daripada dipanggil sebagai romusha lebih baik menjadi heiho. Mereka dikirim ke berbagai Kesatuan Jepang di Palembang, Jambi, Bengkulu, dan bahkan ada pula yang ke luar negeri.
Beberapa bulan kemudian, pemerintah Jepang memanggil lagi para pemuda untuk dilatih menjadi kader Giyugun. Soewardjo memilih menjadi Giyugun bawahan di Tanjungkarang dan bersama dengan sekitar 500 orang lainnya harus menjalani latihan selama empat bulan di daerah Lahat, Sumatera Selatan. Seusai latihan, mereka disebar ke seluruh pelosok Lampung yang dipimpin oleh masing-masing kader Giyugun serta tentara Jepang. Tugasnya adalah untuk melatih para pemuda di seluruh Lampung agar siap membantu Jepang menghadapi serangan lawan, baik dari darat, laut, maupun udara. Soewardjo waktu itu mendapat tugas melatih para pemuda di Gedongtataan dan Gadingrejo, di bawah pimpinan Letnan Giyugun Margono.
Selesai melatih di Gedongtataan dan Gadingrejo, bersama dengan tiga calon Bintara, yaitu Suprino, Yusuf Rahim, dan Suwardi, Soewardjo dipindahkan ke Hongbu/Markas Pusat Giyugun Lungsir Telukbetung. Di sana, bersama R.M. Riyakudu, Ahmad Ibrahim, dan Harun Sohar, dia mendapat perintah melatih calon Giyugun angkatan kedua sebanyak sekitar 300 orang di bawah pimpinan Kapten Yamamoto. Dan terakhir, diangkat sebagai Gyu Coko (Sersan Mayor) lalu dipindahkan ke Palembang untuk bergabung dalam Kompi Kesatuan pengamanan instalasi minyak Plaju dan Sungai Gerong, di bawah pimpinan Kobayasi Butai hingga perang selesai
b. Membentuk Batalyon Kota Agung
Ketika Jepang menyerah pada Sekutu pada akhir tahun 1945, semua ex Giyugun asal Lampung pulang ke kampung masing-masing, sementara Soewardjo malah berada di Tanjungkarang bersama ex Perwira Giyugun yang dikenalnya, antara lain: M. Nur, Iwan Supardi, Margono dan Salim Batubara. Bermarkas di Lampung Gakeung (sekarang Komplek Gereja Marturia Bambu Kuning) mereka saling bahu-membahu menyalurkan makanan dan pakiakan kepada ex Giyugun yang hendak pulang kampung. Selain itu, Soewardjo juga membantu persiapan didirikannya pusat pendidikan kader tentara di Langkapura di bawah pimpinan Iwan Supardi (Barisan Pelopor) dan Salim Batubara.
Beberapa bulan kemudian, berdasarkan petunjuk-petunjuk dari Emir Moh Nur dan Iwan Supardi dalam sebuah rapat, Soewardjo diminta mengisi jabatan ketua BKR untuk melatih para permuda di lingkungan perkebunan yang kebetulan telah terbentuk menjadi Komite Nasional Indonesia Ranting Perkebunan pimpinan seorang guru Muhammadiyah setempat bernama Supeno.
Komite Nasional Indonesia Ranting Perkebunan tersebut memiliki lima afdeling yang masing-masing mengirimkan 8 orang untuk dilatih selama 10 hari secara bergantian. Soewardjo dibantu oleh Samid (ex-heiho) dan Paimi serta Sudarsono (ex-giyugun) memberikan pelatihan kemiliteran yang bertitik tekan pada kedisiplinan dan kesatuan. Agar tidak lekas bosan serta dapat menambah semangat peserta didik, kadang kala didatangkan pelatih-pelatih dari Tanjung karang, seperti H.A. Rahman dan Kiswoto.
Setelah dinilai sukses sebagai seorang pelatih, karir Soewardjo semakin menanjak dengan dilantik menjadi Letnan Dua TKR oleh Mayor Jenderal Suharjo Harjowardoyo selaku Pangliman Komandemen Sumatera di lapangan Enggal pada tanggal 25 Desember 1945. Selanjutnya, dia ditempatkan dalam susunan Batalyon IA Telukbetung di bawah pimpinan Kapten Ahmad Ibrahim dengan tugas melatih Kompi BKR/TKR di Perkebunan Natar.
Tugas berikutnya adalah membentuk Batalyon Kota Agung bersama dengan Letnan Endro Suratmin. Sebagai modalnya, Soewardjo membawa anggota BKR dari perkebunan Talangpadang, Gisting, Kota Agung dan Wonosobo hingga membentuk sebuah staf Batalyon dan dua kompi dalam waktu empat bulan.
Adapun susunan dari Batalyon Kota Agung atau biasa disebut sebagai Batalyon IIB ini adalah: Komandan (Kapten Baheramsyah), Wakil Komandan (Lettu Suseno), Dan Kompi I berkedudukan di Pringsewu, Dan Kompi II (Letnan Dua Soewardjo), Dan Seksi I (Waandrig Sayuto), Dan Seksi II (Letnan Keman), Dan Seksi III (Lettu M. Amir), Dan Kompi III (Letnan Dua Harjosucipto), Dan Seksi I (Sersan Mayor Marhasan), Dan Seksi II (Sersan Mayor A. Murod), dan Dan Seksi III (Sersan Mayor Sapar P.H.)
Tidak lama setelah menjabat Dan Kompi II Batalyon Kota Agung, pada tahun 1947 Soewardjo mendapat kenaikan pangkat lagi menjadi Letnan Satu dan menduduki jabatan Komandan Kompi di Pringsewu menggantikan Leetu Subandi. Di Pringsewu ini Soewardjo banyak menambah pengalaman berkat kerjasamanya dengan Wedana Ramelan, Asisten Wedana Waluyo Sugondo di Gadingrejo, Komandan Seksi I-II-III Letnan Tahiran, Letda Azhari, dan Pembantu Letnan R. Chussaeni.
Tetapi karena adanya reorganisasi, Batalyon Kota Agung serta Kompi Pringsewu akhirnya dipindahkan ke Kotabumi dengan susunan personalia yang baru, yaitu: Mayor Harun Hadimarto (Dan Batalyon), Kapten Endro Suratmin (Wakil Komandan), Lettu Tambuh Semendawai (Perwira Staff), Lettu Zainal Abidin (Perwira Staff), Lettu Supangat (Perwira Staff), Lettu Yusuf Hanan (Perwira Staf), Letda PAR Hifny (Perwira Staff), dan Lettu Barmo Amidjoyo (Komandan Kompi I).
c. Bertugas di Front Martapura/Baturaja
Ketika beredar informasi bahwa Palembang Selatan akan disebut oleh Belanda, Resimen XI yang bermarkan di daerah Kampung Baru, sekitar dua kilomter sebelum jembatan Sungai Komering/Martapura segera membentuk satu kesatuan komando yang dipimpin oleh Letkol M. Arief dengan nama Komando Front Lampung Utara.
Komando Front Lampung Utara mempunyai dua Batalyon, tempur yakni: (a) Batalyon Ismail Husin sebagai kesatuan sayap kiri, bertugas mempertahankan jalan raya antara Baturaja/Muaradua/Krui; dan (b) Batalyon Harun Hadimarto sebagai kesatuan sayap kanan, berkedudukan di Martapura dengan tugas jalan raya antara Baturaja-Martapura.
Pada tahun 1947 pasukan Belanda ternyata benar-benar menyerang Palembang Selatan hingga ke wilayah Baturaja. Batalyon Harun Hadimarto dengan kode Batalyon Pertempuran 22, segera mengirim Kompi III pimpinan Soewardjo ke Martapura untuk menghadangnya.
Kompi ini langsung menuju Martapura dengan menggunakan kereta api khusus. Tiba di Martapura Soewardjo dan kawan-kawannya diterima oleh Mayor Soekardi Hamdani selaku Wakil Komandan Resimen Baturaja. Saat itu juga Kompi III diperintahkan untuk mengawal kesatuan pionir menghancurkan jembatan beton yang terletak antara Desa Kemelak-Baturaja.
Untuk itu, pasukan Soewardjo dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu: (a) Seksi I bertugas mengawal penghancuran jembatan arah Baturaja, dipimpin langsung Soewardjo; (b) Seksi II bertugas membuat pertahanan di simpang jalan raya dengan jalan kereta api; dan (c) Seksi III berstatus sebagai kekuatan cadangan yang selalu siap membantu di mana diperlukan.
Tetapi karena konstruksinya sangatlah kuat, walau telah dilakukan penghancuran menggunakan bor dan bom plastik pada sekitar pukul 19.00 pasukan Soewardjo tetap tidak dapat meruntuhkan jembatan. Akibatnya, pada pukul 03.00 Belanda secara tidak terduga menyeberang dan menyerang Kompi III yang mengakibatkan dua orang anggota kompi ditawan, sedangkan sisanya mundur di daerah Sepancar, sekitar 10 kilometer dari Baturaja arah Martapura. Namun, hari berikutnya giliran Sepancar diserang Belanda. Hal ini membuat kompi Soewardjo harus menghindar masuk hutan dan digantikan oleh pasukan kompi lain di bawah pimpinan Barmo Amidjoyo.
Sebagai balasan, Komando Front Lampung Utara di bawah pimpinan M. Arief melakukan serangan ke Baturaja dari tiga arah, yaitu: Muaradua-Baturaja oleh Batalyon Ismail Hurin, jalan kereta api oleh pasukan Resimen Mayor Nurdin, dan Jalan Raya Martapura-Baturaja oleh Batalyon Harun Hadimarto yang terdiri dari Kompi Soewardjo di sayap kanan dan Kompi Barmo Amidjoyo di sayap kiri.
Sayangnya, gerak langkah pasukan Soewardjo harus terhenti oleh Sungai Ogan. Satu-satunya jalan memasuki Kota Baturaja hanyalah melewati jembatan yang letaknya sangat strategis dan dijaga oleh pasukan Belanda. Dan tentu saja, ketika pasukan Soewardjo hendak menyeberang datanglah mortir dan mitraliur M. 23 yang ditembakkan pasukan Belanda dari seberang jembatan. Soewardjo dan kawan-kawannya terpaksa mundur lagi ke Martapura melewati Rumah Sakit Umum Baturaja.
Belum puas menguasai Baturaja, Belanda melanjutkan ekspansi hingga akhirnya menguasai Martapura pada akhir tahun 1947. Menjelang jatuhnya Martapura, Kompi Soewardjo bertugas di Gilas, sekitar 8 km dari Martapura arah Baturaja. Sedangkan Kompi Barmo Amidjoyo bertugas di Sungau Tua, kira-kira pertengahan jarak antara Baturaja-Gilas.
Menjelang jatuhnya Martapura, Soewardjo, Lettu Tarmizi (Komandan Pasukan Harimau Kumbang) bertukar pikiran dengan Barmo Amidjoyo. Setelah itu Soewardjo disertai pasukannya kembali ke Gilas melalui jalan kereta api menuju ke pertahanan Seksi Lettu Djimin, sedangkan Tarmizi menuju ke pertahanan Harimau Kumbang.
Pagi harinya, Soewardjo dan pasukannya bersama pasukan Seksi Lettu Djimin segera menghubungi pasukan Kompi Barmo, namun pertahanan Barmo telah porak poranda. Yang tersisa hanyalah ceceran darah serta puntung-puntung rokok dan kaleng-kaleng bekas makanan prajurit Belanda. Soewardjo, Djimin, dan pasukannya pun langsung menuju ke ke Martapura.
Dalam perjalanan mereka mendapat keterangan dari masyarakat bahwa pasukan Belanda telah masuk Kota Martapura dan membumihanguskannya. Oleh karena itu, mereka lantas memutuskan untuk menghindar ke arah Desa Pracak jurusan Martapura Muaradua. Selanjutnya pasukan menyeberang Sungai Komering ke arah Way Tuba. Sesampainya di stasiun kereta api Way Tuba, mereka telah ditunggu Komandan Front Lampung Utara, Letkol M. Arief.
d. Ke Giham Menggunakan Rakit Pohon Pisang
Setelah selesai Perang Kemerdekaan I sekitar tahun 1948, Kompi Soewardjo bertugas di perbatasan antara wilayah Lampung dan Palembang Selatan sebagai pasukan penyangga di daerah status quo bersama dengan Kompi Abdul Hak dan pasukan Lettu Barmo Amidjoyo.
Suatu saat ketika Lettu Abdulhak dan Lettu Yusuf Hasan dari staf Batalyon mengunjungi Giham, mereka diajak Soewardjo melihat medan antara Giham dan Way Tuba. Maksud perjalanan itu adalah untuk menentukan bagian jalan mana yang dapat dibuat rintangan menghadapi serangan musuh. Mereka membawa seorang sersan dan seorang lasykar rakyat berjalan menyusuri jalan rel kereta api sambil membuat catatan lokasi mana yang dapat digunakan untuk menghambat pergerakan lawan.
Sewaktu asyik membuat catatan-catatan tersebut, tanpa disadari mereka melewati Way Tuba dan telah sampai di Way Tami dalam kondisi cuaca sedang hujan. Untuk kembali lagi menyusuri rute yang telah ditempuh rasanya tidak mungkin karena terlalu jauh dan cuaca tidak mendukung. Akhirnya mereka mengambil keputusan praktis untuk memakai rakit mengikuti aluran Sungai Way Tami yang sedang banjir. Dibuatlah dua buah rakit dari pohon pisang, Soewardjo dan Abdulhak berada dalam satu rakit, sedangkan rakit lainnya untuk tiga orang kawan mereka.
Tidak lama kemudian sampailah mereka di sebuah lubuk bawah jembatan Way Tami yang waktu itu terkenal akan buaya-buayanya. Semula Soewardjo merasa ketakutan, tetapi segera mereda setelah Abdulhak menjelaskan bahwa buaya akan kembali ke sarangnya manakala sungai sedang banjir. Perjalanan pun dilanjutkan hingga sampai ke Giham.
e. Menjadi Kurir ke Metro
Pertengahan bulan Desember 1948 Soewardjo berangkat menuju Tanjungkarang. Terlebih lebih dahulu dia melapor pada Kapten Soekardi Hamdani selaku Komandan Distrik Militer Lampung Utara yang hanya didampingi oleh dua orang staf saja, yakni Lettu Alihan dan Lettu Ucu Sugandi. Tiba di Tanjungkarang, melapor lagi kepada Kepala Staf Batalyon Mobil Lettu Ahmad Ibrahim.
Pada hari kedua berada di Tanjungkarang, Lettu Yusuf Rahim membawa berita bahwa kota Yogyakarta telah diserang Belanda pada tanggal 19 Desember 1948. Setelah genap satu minggu di Tanjungkarang, Suwardjo bersama pasukan seksinya diperintahkan agar berada tidak jauh dari pusat asrama Kedaton (kini pusat PNI X).
Sebelas hari kemudian, tepatnya tanggal 31 Desember 1948 sekitar pukul 20.00, Soewardjo dan pasukan seksinya bersama Batalyon Mobil menuju ke utara menggunakan kereta api. Pagi harinya, sekitar pukul 07.00 mereka tiba di Kotabumi dan langsung mendengar berita bahwa pasukan Belanda telah masuk Lampung melalui Panjang dan telubetung.
Saat Kompi Abdulhak mendapat perintah untuk berangkat ke Front Selatan (Front Tanjungkarang) pada tanggal 3 Januari 1949, Soewardjo juga mendapat perintah untuk mencari hubungan dengan Komandan Distrik Militer Lampung Tengah di Metro, Kapten Harun Hadimarto. Sebagai penunjuk jalan, dia diperbolehkan membawa seorang prajurit bernama Sersan Marijan yang telah paham seluk beluk Kota Metro. Untuk mempersingkat waktu, bersama dengan Kompi Abdulhak, Soewardjo berangkat menggunakan kereta api hingga sampai di Stasiun Haji Pemanggilan. Dari Haji Pemanggilan Soeradjo dan Sersan Marijan menuju ke Gunung Sugih untuk bermalam di sana. Pagi harinya, barulah mereka berangkat menuju Kampung Buyut untuk mendapat petunjuk dari tua-tua kampung.
Menurut petunjuk dari tua-tua Kampung Buyut, apabila perjalanan menuju Metro/Punggur menggunakan jalan besar, maka waktu yang akan ditempuh dapat berhari-hari lamanya. Tetapi apabila mereka berani melalui hutan di bagian selatan Lampung, maka perjalanan dapat ditempuh dalam waktu satu hari saja. Di sana juga terdapat sebuah daerah kolonisasi (sekarang transmigrasi) yang diperkirakan siap membantu apabila memerlukan bantuan.
Setelah melalui beberapa pertimbangan, akhirnya Soewardjo dan Marijan memutuskan untuk mengikuti petunjuk tua-tua Kampung Buyut menggunakan jalur hutan agar lebih cepat sampai di Metro. Mereka ditemani oleh seorang petani yang diutus oleh tua-tua Kampung Buyut untuk menjadi penunjuk jalan.
Perjalanan melalui hutan ini ditempuh sekitar 8 jam menuju Pekalongan dengan melewati Bedeng 21, 22, dan 29. Di sana mereka akhirnya berhasil menemui Kapten Harun Hadimarto beserta para stafnya sehingga Soewardjo dapat langsung melaporkan hal-hal yang diperintahkan oleh Komandan Batalyon Mobil.
Malam harinya mereka mengadakan pembicaraan mengenai posisi tentara Indonesia di Lampung diantara kepungan tentara Belanda. Dalam pembicaraan itu Kapten Harun Hadimarto menyinggung mengenai sangat kurangnya kesatuan-kesatuan teritorial yang melakukan perlawanan terhadap Belanda, yaitu kesatuan pimpinan Lettu Sutrasno, Letda Suripno, dan Lettu Arifin RI.
f. Pidato di Pasar dengan Podium Lincak
Keesokan harinya Soewardjo dan Marijan kembali ke Kotabumi dengan membawa pesan dari Harun Hadimarto agar Batalyon Mobil memberi bantuan ke Metro. Sesampainya di Kotabumi Soewarjo segera melapor kepada atasannya dan mendapat perintah untuk kembali lagi ke Metro. Sebelum berangkat ke Metro, terlebih dahulu Soewardjo pergi ke Nakau menemui Kapten Sudarko untuk meminta tambahan persenjataan berupa dua buah bom tarik (trek-bom) serta petunjuk penggunaannya.
Selanjutnya, Soewardjo beserta pasukan seksinya berkekuatan 20 personil berangkat ke Metro menggunakan kereta api hingga Stasiun Haji Pemanggilan dan diteruskan dengan berjalan kaki ke arah Metro. Sesampainya di daerah Gunung Sugih mereka memutuskan untuk beristirahat, tetapi suasana terlihat sepi dan mencekam karena banyak penduduknya yang berevakuasi ke daerah lain.
Hari berikutnya perjalanan diteruskan menuju Bumi Ratu dan memperoleh keterangan dari warga masyarakat setempat bahwa mereka yang masih bertahan antara Bumi Ratu-Teginengeng tengah melakukan tebang bohon di sepanjang jalan arah Teginengeng guna menghambat laju ekspansi lawan (Belanda). Penebangan pohon ini dipimpin oleh Surpto, kawan sekompi Soewarjo sewaktu perang Kemerdekaan I dahulu.
Saat akan meneruskan perjalanan lagi, tiba-tiba seorang anak buah Soewardjo bernama Buyung melaporkan bahwa Oeang Republik Indonesia (ORI) tidak lagu di Pasar Welit. Padar pedagang disana lebih memilih uang krincing buatan NICA daripada ORI. Pasukan Soewardjo pun segera berkumpul untuk menentukan langkah-langkah yang harus dilakukan.
Hasilnya, ada tiga hal yang mendapat prioritas utama untuk ditindaklanjuti, yaitu: (a) mencari informasi tentang kedudukan Lettu Sutrasno selaku perwira urusan teritorial wilayah Kota Metro, (b) menjelaskan kepada masyarakat bahwa ORI adalah mata uang sah yang telah digunakan secara nasional, dan (c) mengajak penduduk setempat untuk berjuang bersama Tentara Nasional Indonesia melawan tentara Belanda.
Hal pertama yang dilakukan adalah menjelaskan kepada masyarakat bahwa ORI masih berlaku. Caranya adalah dengan mendatangi Pasar Welit. Di tengah pasar Soewardjo segera berdiri di atas lincak milik para pedagang pasar yang belum digunakan. Di atas “podium lincak” itu Soewardjo berdiri sambil berorasi menjelaskan tentang Oeang Republik Indonesia. Katanya, ORI harus dipakai sebagai alat pembayaran yang sah. Barang siapa tidak atau belum menggunakan ORI berarti orang itu tidak mau membantu perjuangan RI.
Selesai berpidato, Soewardjo bersama pasukannya meninggalkan Paser Welit dan pergi ke suatu tempat yang telah ditentukan. Tidak lama berjalan, Buyung yang datang menyusul melaporkan bahwa ORI sudah dapat digunakan untuk membeli rokok. Semua anggota pasukan tentu saja senang, bukan hanya karena dapat merokok lagi tetapi juga pertanda bahwa pidato Soewadjo di Pasar Welit tadi telah mencapai sasaran.
Kemudian, perjalanan pun dilanjutkan hingga akhirnya bertemu dengan Lettu Sutrasno. Setelah bermusyawarah, mereka sepakat untuk sementara waktu bermarkas di tepi Sungai Punggur. Agar terjadi konsolidasi yang lebih solid, pasukan Lettu Sutrasno dan Soewardjo mengundang para ketua pemuda dari Bedeng 15-21 guna bersama-sama berjuang melawan musuh.
Tidak lama bermarkas di tepian Sungai Punggur, datanglah berita bahwa Kota Metro telah berhasil diduduki Belanda dengan kekuatan satu datasemen (60 personil), dibawah pimpinan Sersan Mayor Empen. Mereka telah membentuk pemerintahan pendudukan sehingga pemerintah darurat Republik Indonesia di Lampung terpaksa harus mundur ke luar kota dibawah pimpinan Wedono Idrus. Pemerintah pendudukan tersebut bermarkas di ex sekolah Cina Metro dan sudah mulai berpatroli ke segala penjuru kota. Selain berita pendudukan, ada berita lain yang mengatakan bahwa ada seorang ex anggota TNI dan seorang sipil ex Asisten Wedono RI yang membantu pasukan Belanda. Akibat pengkhianatan itu, Sersan Mayor B. Sunardi berhasil ditawan Belanda, sedangkan Mayor Sunarto dan Kopral Suyud gugur.
Agar tidak lekas tertawan oleh pasukan Belanda, Soewardjo bersama Sutrasno segera menentukan sikap dengan membuat perencanaan dalam melawan Belanda, membakar rumah-rumah yang telah digunakan oleh Belanda, dan mengeluarkan ancaman bagi orang-orang yang ingin menjadi lurah federal.
g. Melakukan Sabotase
Selanjutnya, atas persetujuan Sutrasno, Soewardjo kemudian menemui Harun Hadimarto untuk melapor bahwa dia membawa kekuatan sebanyak satu seksi dari Bedeng 19/Sekampung sekaligus juga peristiwa yang dialami bersama dengan Sutrasno selama bermarkas di tepian Sungai Punggur.
Selesai melapor, Soewardjo beserta pasukannya lalu bergerak arah Trimurdjo melewati jembatan Sungai Batanghari. Sampai di daerah Bantul mereka bertemu dengan Lettu Suratomo, seorang perwira onder distrik untuk wilayah Trimurdjo. Tetapi baru satu malam di Bantul, ada berita lagi bahwa markas Kapten Harun diserang musuh saat menjelang subuh yang mengakibatkan beberapa prajurit menjadi korban, diantaranya: Sersan Mayor Sunawiri, Sersan Marzuki, dan Kopral Saleh. Sementara Kapten Harun bersama Lettu Zainal Abidin berhasil meloloskan diri.
Untunglah di daerah Bantul masih banyak orang tua-tua yang memiliki ilmu kekebalan tubuh. Soewardjo berinisiatif mengundang empat orang dari mereka untuk bergabung melawan pasukan Belanda. Dalam pembicaraan dengan keempat orang tersebut, terjadi kesepakatan bahwa mereka siap menyediakan 8 orang murid yang handal guna membantu pasukan Soewardjo.
Kedelapan orang murid yang mempunyai ilmu kekebalan itu selanjutnya bergabung bersama pasukan Soewardjo dan Suratomo untuk melakukan sabotase berupa pemutusan kabel telepon antara Metro-Tegigeneng dan Metro-Sukadana, membakar rumah-rumah penduduk yang digunakan untuk kepentingan musuh, serta memasang trek-bom di jalan-jalan yang diperkirakan bakal dilalui musuh (jalan di Bedeng 12, 13, dan 14).
Tetapi sebelum rencana sabotase dilaksanakan, secara mendadat tentara Belanda menyerang dari arah Metro sehingga pasukan Soewardjo terpaksa mundur ke Bedeng 16. Dalam peristiwa tersebut dari pihak Soewardjo dan Suratomo ada dua orang korban, yakni Sersan Mansyur gugur, sedangkan Sersan Mayor A. Kamid tertembak bagian pahanya.
Untuk menghindari serbuan tentara Belanda, pasukan Soewardjo berada di Bedeng 16, lalu secara perlahan bergerak ke arah Pasar Trimurdjo, Pasar Welit, dan kemudian menerobos hutan menuju Desa Bumi Ratu. Di tengah perjalanan, secara tidak terduga mereka berjumpa dengan pasukan Letnan Barmo Amidjoyo dan pasukan Letnan Masno Asmono. Terjadilah pertukaran informasi dan kesepatakan untuk bersama-sama melakukan serbuah ke Kota Metro. Komando penyerangan dipercayakan pada Letnan Sutrasno, sedangkan pasukan Soewardjo ditugasi untuk memasang trek-bom di Bedeng 12.
Trek-bom segera dibawa oleh pasukan Soewardjo menuju jalan yang biasa dilalui tentara Belanda ketika berpatroli. Selesai pemasangan trek-bom, sekitar pukul 03.00 dini hari Soewarjo memberitahukan kepada pasukannya mengenai kode tembakan yang ditetapkan ketika pasukan Belanda melewati jalan bertrek-bom. Tetapi hingga fajar menyingsing, apa yang dinanti tidak kunjung tiba. Tentara Belanda baru kelihatan dari arah Metro menggunakan mobil patroli saat hari telah siang.
Saat akan melewati trek-bom, tiba-tiba mereka berhenti karena ada kabel telepon yang lepas dan melintang jalan. Sejurus selepas itu, tiba-tiba mereka melepaskan tembakan ke arah pasukan pejuang. Pasukan pejuang pun terpaksa mundur dengan tidak mengetahui lagi apakah trek-bom yang dipasang mengenai sasaran atau meleset. Mereke mundur hingga ke Gunung Sugih melalui simpang Bumi Ratu dengan harapan dapat berjumpa dengan Letnan Masno Asmono dan pasukan Barmo Amidjoyo.
h. Cocor Merah Beraksi di Kotabumi
Pada bulan April 1948, pasukan pejuang diserang Belanda secara mendadak dari dua jurusan, yakni dari daerah Haji Pemanggilan dan dari arah Tegigeneng. Pasukan Soewardjo yang juga turud mendapat serangan terpaksa mundur sampai daerah Umbul Lempem (sekarang Poncowati) lalu ke Terbanggi Besar.
Beberapa hari kemudian, Soewardjo menemui Letnan Suratmin selaku Komandan Sektor jalan raya untuk minta izin dan persetujuan agar pasukannya berganti pakaian dan sepatu ke Kotabumi dan sekaligus mencari tambahan peluru. Setelah mendapat persetujuan dari Letnan Suramin, pasukan Soewardjo sebanyak satu regu tiba di Kotabumi. Situasi di sana jauh berbeda dengan keadaan empat bulan yang lalu. Di Kotabumi Soewardjo masih mempunyai simpanan pakaian, sepatu, peluru walaupun dalam jumlah yang tidak begitu besar.
Selesai berganti pakaian, pada hari itu juga Soewardjo mengajak lima orang anggota pasukannya ke Perkebunan Nakau menemui Kapten RM. Sudarko Kapten untuk minta bantuan sekaligus memberi laporan termasuk tentang bom tarik yang pernah diterima darinya.
Pada pagi hari berikutnya, ada pesawat terbang cocor merah melayang-layang di atas Kota Kotabumi, lalu disusul dengan tembakan dari pesawat tersebut. Tidak lama kemudian, pesawat mengelilingi perkebunan Nakau. Datanglah Letnan Muchyin kepada Soewardjo, menanyakan sikap apakah yang harus dilakukan terhadap adanya tembakan tadi.
Soewardjo tidak dapat memutuskan apa yang harus dilakukan, sehingga dia menyerankan agar Muchyin segera menelpon ke Kotabumi guna memperoleh instruksi lebih lanjut. Jawaban dari Kotabumi adalah, agar dilakukan bumi hangus. Maka bumi hangus pun segera dijalankan atas perkebunan Nakau. Sore harinya sekitar pukul 17.00 Soewardjo bersama dua orang anggotanya menuju Kotabumi, sedangkan tiga orang lainnya diminta tetap di nakau.
Dalam perjalanan Soewardjo mendapat berita dari beberapa warga masyarakat, bahwa Belanda telah masuk dan menduduki Kotabumi. Sampai di Kotabumi kenyataan memang menunjukkan demikian. Sekembalinya ke Nakau, Soewardjo dengan dua orang anak buahnya bermalam di Desa Tanjunganom.
Di tengah jalan mereka bertemu Kapten Sudarko. Dengan nada marah Sudarko menanyakan di mana keluarga R. Siswoyo (Kepala Perkebunan Nakau), dan dijawab oleh Soewardjo bahwa keluarga Siswoyo telah diungsikan ke tempat yang aman.
Selanjutnya, beberapa anggota pasukan diutus Soewardjo untuk menemui Kepada Desa Trimodadi, guna memberitahu bahwa Belanda telah menduduki Kotabumi. Penduduk/warga masyarakat diharap tetap tenang, karena TNI ada di tengah mereka.
Di lain kesempatan Soewardjo menyarankan kepada Sudarko maupun Siswoyo, agar mereka segera mengungsi saja ke Padang Ratu karena di sana terdapat pertahanan dan mengingat bahwa lambat atau cepat tempat itu pasti diduduki lawan. Usul tersebut diterima dan mereka lalu bergerak menuju Padang Ratu. Dari Padang Ratu Soewardjo kembali ke Kotabumi untuk mengambil peluru milik Sudarko yang tersimpan di Desa Kelapa Tujuh. Saat kembali ke Kotabumi tersebut datanglah berita yang menyatakan bahwa Buyung telah gugurnya dalam pertempuran di Ketapang.
i. Dikira Telah Gugur
Oleh karena situasi dan kondisi di Lampung cukup mengkhawatirkan, Komandan Sektor pun terpaksa mengumpulkan para komandan pasukan termasuk Soewardjo. Ketika seluruh Komandan Pasukan telah berkumpul, Komandan Sektor menyatakan bahwa apabila pasukan sudah tidak mampu mempertahankan wilayah yang diserbu lawan, maka mereka sebaiknya mundur ke daerah yang relatif aman.
Atas pernyataan tersebut, Soewardjo selaku komandan pasukan memberi tanggapan yang intinya apabila telah terkepung, sebaiknya pasukan tetap maju terus. Alasannya, dengan sikap seperti itu setidaknya pasukan akan memperoleh pengamatan terhadap kekuatan lawan.
Dalam pertemuan berikutnya, Komandan Sektor menanyakan kepada para komandan pasukan untuk memberikan nama orang yang bersedia diutus ke Komandan Atasan karena sudah sekitar 7 bulan tidak lagi terdengar kabar beritanya.
Atas pertanyaan tadi Soewardjo memberi jawabanyang isinya menyarankan agar komandan Sektor menunjuk saja siapa yang dijadikan kurir, bukan hanya ditawarkan kepada siapa yang bersedia. Setelah agak lama berpikir, Komandan Sektor lalu menunjuk Letnan Soewardjo sebagai kurir, dengan catatan boleh membawa seorang sersan sebagai pendamping. Soewardjo menyanggupi tugas tersebut, dan memilih Sersan Girun untuk menemaninya dalam perjalanan. Berdua mereka menuju Bukit Kemuning.
Di tengah perjalanan mereka kadang-kadang berkelakar, dengan maksud menghilangkan perasaan Girun yang rupanya agak kurang gembira. Tidak lama kemudian mereka bertemu dengan Letnan Laut Abubakar Siddiq. Pertemuan ini adalah pertemuan yang cukup mengharukan karena bagi Abubakar Siddiq hal tersebut sama sekali diluar dugaannya, karena Soewardjo telah diperkirakan gugur di Kotabumi.
Tidak terasa, perjalanan sampai di Simpang Way Kunang, lalu lewat pasar Ogan Lima sampailah di Simpang Desa Cahaya Negeri. Dari Cahaya Negeri belok ke kiri, tiba di Tanjung Raja. Dari Tanjung Raja terus berjalan, dan akhirnya sampai di Bukit Kemuning. Di Bukit Kemuning inilah Soewardjo bersua dengan Abubakar Siddiq. Sesudah istirahat secukupnya, perjalanan dilanjutkan menuju Kasui, dan sore harinya tibalah di Blambangan Umpu. Di Blambangan Umpu itulah berjumpa dengan Komandan dan para stafnya, suatu pertemuan yang penuh haru karena Soewardjo sudah diberitahukan gugur.
Soewardjo kemudian melapor secara lisan, lalu menyampaikan laporan tertulis yang dibawanya dari Padang Ratu. Malam harinya sempat berkelakar dengan para staf, di antaranya Letnan M. Nawawi, Letnan Umar, Letnan Maris, dan Letnan RA. Manaf. Dalam bergurai RA. Manaf berkata bahwa Soewardjo telah dicoret dari buku besar karena sudah meninggal dalam pertempuran.
Dalam pertemuan tersebut Soewardjo telah memperoleh informasi mengenai keadaan sekitar, dan petunjuk tentang jalan yang mengarah ke Banjit. Pagi harinya berangkat menuju Banjit. Hari berikutnya telah sampai ke Bukit Kemuning kembali, dari Bukit menuju Way Tenung/Way Petai dengan selamat.
Di Way Tenung (pusat pemerintahan Karesidenan) Soewardjo melapor kepada Gele Harun. Malam harinya ia berbincang-bincang dengan beberapa staf, antara lain Pembantu Letnan Putut, Letnan Yusdjam, dan Letnan Marsidy. Dua hari kemudian Soewardjo pulang ke Padang Ratu, diantar beberapa lasykar pembawa bekal dan sekedar oleh-oleh untuk kawan-kawan pasukan di Padang Ratu.
Soewardjo tiba di Padang Ratu dengan selamat, kemudian membuka bungkusan oleh-oleh, yang ternyata ada yang berisi bahan pakaian terbuat dari dril. Bahan lalu dibagi-bagi dan dijahit, sehingga mereka masing-masing memperoleh satu stel. Beberapa hari kemudian Soewardjo terserang malaria. Badannya terasa sangat panas, sedangkan obat tidak ada. Ia hanya berpasrah kepada Yang Maha Kuasa. Setelah menderita selama 12 hari, datanglah R. Toto putera dari RM. Sudarko yang kebetulan membawa 3 ampul kinine injeksi. Dengan obat tersebut Tuhan memberi kesembuhan, sehingga Soewardjo sehat kembali, dan dapat mempersiapkan diri menyambut datangnya hari Pahlawan.
Hari Pahlawan diperingati dengan upacara bendera, dan dimeriahkan dengan perlombaan atletik, bersama dengan penduduk/masyarakat setempat. Sementara itu perundingan tingkat sektor mengenai penyerahan pos perbatasan antara tentara Belanda dnegan pasukan pejuang telah dimulai.
Penyerahan di pos Haji Pemanggilan, Komandan ditunjuk pasukan Soewardjo bersama dengan pasukan Masno Asmono untuk menerimanya. Beberapa hari kemudian semua anggpta dari sektor Padang Ratu pindah ke Tanjungkarang.
Di Tanjungkarang Soewardjo sementara masuk staf Batalyon membantu Kapten M. Hasan, namun lalu pindah ke Telukbetung memimpin Peleton 8 yang bermarkas di kompleks sekolah Xaverius Telukbetung. (gufron)
Sumber: Badan Perpustakaan, Arsip, dan Dokumentasi Daerah Provinsi Lampung