Alkisah, ada seorang pemuda bernama Oheo. Untuk menghidupi dirinya Oheo bekerja sebagai petani ladang yang lokasinya berada di tepi hutan dan dekat dengan sungai. Ladang itu ditanami dengan tebu yang bila sudah tua biasanya akan dicuri sebagian oleh kawanan burung nuri. Mereka selalu saja membuang ampas batang tebu yang telah dicuri sebelum bergerak ke sungai untuk mandi. Hal ini tentu saja membuat areal tepi sungai yang berbatasan dengan ladang Oheo banyak dipenuhi oleh ampas tebu.
Kesal akan kelakuan kawanan nuri tersebut, Oheo berencana menangkap mereka agar ladangnya dapat menghasilkan panen yang melimpah. Suatu saat, ketika sedang beristirahat di salah satu bagian ladangnya, dia melihat kawanan burung nuri terbang mendatangi ladang. Tidak lama kemudian Oheo mengendap perlahan mendekati mereka sambil membawa perangkap. Namun, alangkah terkejutnya dia melihat kawanan burung nuri pencuri tebu tersebut beralih wujud menjadi tujuh bidadari yang cantik jelita. Mereka sedang melepas pakaian di tepi sungai lalu bersama-sama menceburkan diri untuk mandi.
Melihat pemandangan yang "menawan" itu, terbersitlah pikiran Oheo untuk menjahili balik para pencuri tebunya. Dengan hati berdebar-debar dia merayap menuju ke tempat pakaian-pakaian itu diletakkan. Selanjutnya, diambilah salah satu pakaian milik bidadari lalu dibawanya pulang untuk disembunyikan dalam ujung kasau bambu dekat jendela rumahnya. Setelah dirasa sangat tersembunyi, dia ke ladang lagi untuk kembali menikmati pemandangan "menawan" yang dilihatnya tadi.
Di lain pihak, usai mandi para bidadari bergegas mengenakan pakaian masing-masing dan langsung terbang tanpa menunggu yang lainnya. Walhasil, tinggallah seorang bidadari yang tidak dapat terbang ke kahyangan karena pakaiannya dicuri oleh Oheo. Nama bidadari malang itu adalah Anawangguluri. Dia segera kembali lagi menceburkan diri ke sungai karena malu tidak berpakaian.
Kesempatan ini dimanfaatkan oleh Oheo untuk keluar dari tempat persembunyiannya dan menghampiri Anawangguri. Sambil pura-pura tidak tahu, dia bertanya, "mengapa engkau ada di sini, wahai perempuan cantik?"
Tanpa menjelaskan kenapa dia berendam di sungai, Anawangguri malah balik bertanya, "Apakah engkau melihat pakaian yang kuletakkan di atas batu itu?"
"Tidak," jawab Oheo berbohong.
"Dapatkah engkau menolongku mencarikannya?" pinta Anawangguluri.
"Baiklah," jawab Oheo sambil berjalan ke arah yang ditunjuk Anawangguluri.
Beberapa saat kemudian Oheo datang lagi dan mengatakan bahwa pakaian Anawangguluri sudah tidak ada lagi. Agar tidak kedinginan karena hari telah menjelang petang, Oheo menawarkan untuk tinggal di rumahnya. Bahkan, dia mengiming-imingi Anawangguluri pakaian baru asalkan mau dijadikan sebagai isterinya.
Oleh karena tidak ada jalan keluar yang lebih baik, maka mau tidak mau Anawangguluri menerima tawaran itu. Tetapi, dia mengajukan sebuah syarat aneh sebelum mau menjadi isteri Oheo. Syarat itu adalah bahwa apabila kelak mereka dikaruniai seorang bayi, maka Oheolah yang harus membersihkan kotoran bayinya.
Permintaan aneh Anawangguluri tidak begitu diperhatikan oleh Oheo karena dia sudah terlanjur bernafsu melihat kecantikan dan kemolekan tubuh Anawangguluri. Dia langsung menyanggupinya karena baginya Anawangguluri hanya beralasan saja karena mungkin dia masih perawan dan belum pernah mengasuh atau merasa jijik membasuh kotoran bayi. Dia tidak tahu bahwa Anawangguluri adalah seorang bidadari yang berpantang untuk mencuci kotoran bayi.
Setelah terjadi kesepakatan, mereka pun pulang ke rumah Oheo. Beberapa minggu kemudian diadakanlah perkawinan secara meriah dan sejak itu mereka hidup bahagia. Kurang lebih satu tahun kemudian lahirlah seorang bayi laki-laki hasil dari perkawinan itu. Dan, sesuai dengan janjinya, setiap sang bayi buang air besar, maka Oheolah yang membersihkannya. Begitu seterusnya hingga sekali waktu Oheo sangat malas membersihkan kotoran bayinya dan melanggar janjinya.
Kejadian tersebut bermula ketika Oheo sedang menganyam di halaman rumah. Waktu itu anak mereka buang air besar untuk kedua kalinya dalam waktu yang tidak terlalu lama. Anawangguluri yang sedang berada di dapur bergegas ke serambi rumah memanggil suaminya. Tetapi panggilan itu tidak diindahkan oleh Oheo. Bahkan setelah namanya dipanggil berkali-kali, Oheo malah berkeras menyuruh sang isteri yang membersihkan kotoran bayinya karena sudah jamak apabila perempuan yang mengurus bayi. Dan, karena Anawangguluri mengingatkan kembali pada janjinya sebelum kawin, Oheo malah menjadi murka dan membentak agar Anawangguluri jangan mengungkit masa lalu.
Kaget, kesal, dan sekaligus sedih akan kalimat yang keluar dari mulut Oheo, sambil berderai air mata Anawangguluri berjalan mendekati tempat tidur sang bayi yang berada dekat dengan jendela. Setelah membersihkan kotoran dan mengganti celananya, dia mendekatkan sang bayi ke jendela agar badannya cepat kering. Namun, ketika jendela akan dibuka lebar dari ujung kasau bambu tersembullah secuil kain berwarna agak cerah. Secara perlahan kain ditariknya keluar dari kasau bambu dan tahulah dia bahwa kain itu adalah pakaian yang biasa dikenakannya di kahyangan.
Anawangguluri langsung meletakkan bayinya kembali di tempat tidur lalu mengenakan pakaian bidadarinya. Selanjutnya, dia berjalan ke teras rumah seraya memanggil suaminya. Tujuannya adalah untuk menitipkan sang bayi sekaligus berpamitan karena akan kembali ke kahyangan. Anawangguluri telah rindu dan ingin berkumpul kembali dengan ayah, ibu, serta sanak saudara yang lain.
Awalnya seruan Anawangguluri tidak ditanggapi oleh Oheo. Dia tetap asyik menganyam sambil duduk di bawah sebuah pohon rindang. Namun, ketika Anawangguluri menyerukan hal yang sama untuk kedua kalinya barulah Oheo sadar kalau pakaian yang disembunyikannya telah ditemukan. Dia pun segera bangun dan berlari menuju teras rumah. Tetapi sudah terlambat. Anawangguruli telah terbang dan hinggap di pohon pinang. Selanjutnya, dia hinggap lagi di pohon kelapa dan akhirnya terbang ke kahyangan.
Melihat isterinya pergi, Oheo merasa sangat menyesal sekaligus bingung. Dia menyesal karena telah melanggar janjinya sebelum menikah sehinggaAnawangguluri pergi meninggalkannya. Selain menyesal dia juga bingung karena selama ini tugasnya hanyalah membersihkan kotoran bayinya saja, sementara tugas perawatan lainnya diserahkan sepenuhnya pada Anawangguluri.
Dalam situasi yang tidak disangka-sangka itu terbersitlah pikiran Oheo untuk menyusul ke kahyangan dan meminta maaf pada isterinya. Siapa tahu sang isteri akan luluh hati dan mau memaafkannya. Tetapi bagaimanakah caranya, dia sendiri tidak tahu. Untuk mencari jawabannya, bersama sang bayi dia pergi kesana kemari meminta bantuan siapa saja yang dapat mengantarkan ke kahyangan. Dan, setelah berhari-hari mencari, akhirnya ada juga yang dapat mengantarkan mereka, yaitu tumbuhan besar bernama Ue-wai. Dia mengaku dapat mengantarkan ke kahyangan asalkan Oheo membuatkan cincin untuk dipasang pada setiap tangkai daun Ue-wai.
Setelah cincin terpasang, Oheo diminta duduk di tangkai Ue-wai sambil menggendong erat-erat bayinya. Sebelum mulai memanjangkan batangnya Ue-wai memberi petunjuk agar Oheo memejamkan mata ketika mendengar suara ledakan keras pertama dan baru membukanya kembali setelah ada ledakan keras kedua.
Singkat cerita, setelah Oheo membuka matanya ketika mendengar suara ledakan keras yang kedua, tiba-tiba saja dia sudah berada di taman istana raja Kahyangan. Di sana para puteri raja (termasuk Anawangguluri) sedang berjalan-jalan menikmati indahnya taman istana. Salah seorang diantara mereka yang melihat Oheo sedang duduk di ranting Ue-wai bersama bayinya segera memberitahukan saudari-saudarinya dan kemudian berlari masuk istana menemui ayahandanya.
Mendengar berita dari salah seorang anaknya yang menyatakan bahwa ada seorang laki-laki bersama bayinya sedang duduk di taman istana, tahulah sang raja kahyangan bahwa mereka adalah Oheo dan bayinya. Sang raja kahyangan lalu menitah seorang pengawalnya menjemput Oheo. Setelah berada dalam istana Oheo langsung ditanya maksud serta tujuan kedatangannya. Oheo dengan tegas menyatakan kepada raja kahyangan bahwa dia datang untuk meminta maaf sekaligus menjemput Anawangguluri.
Raja Kahyangan sebenarnya sadar bahwa anaknya telah menjadi tanggung jawab Oheo. Namun karena harus menjaga kewibawaannya, maka dia memberi tiga syarat berat apabila Oheo hendak membawa kembali istrinya turun ke bumi. Syarat pertama, Oheo harus mampu menumbangkan sebuah batu sebesar istana. Kedua, harus memungut seluruh bibit padi yang dihambur di padang rumput. Dan Terakhir, pada waktu malam hari dia harus menemukan isterinya yang berada di salah satu dari beberapa buah kamar. Setiap kamar dibuat sangat gelap dan di dalamnya hanya ada tempat tidur beserta seorang puteri di atasnya.
Syarat pertama dan kedua dapat dilaksanakan Oheo dengan mudah karena dibantu oleh hewan-hewan yang hidup di sekitar istana kahyangan. Sedangkan untuk syarat yang terakhir Oheo menjadi bingung dan tidak tahu harus berbuat apa karena setiap ruangan dalam keadaan gelap gulita. Selama beberapa saat dia hanya duduk termenung dengan pandangan yang kosong dan tampak hampir berputus asa.
Ketika pikiran Oheo sudah sangat buntu, tiba-tiba datanglah kunang-kunang yang terbang berkeliling di hadapannya. Awalnya Oheo hanya menganggap kalau binatang itu secara kebetulan masuk ke dalam istana. Tetapi, setelah diperhatikan kunang-kunang itu hanya terbang di depan mukanya saja dan seolah-olah akan menunjukkan sesuatu. Sadar akan "petunjuk" yang diberikan oleh kunang-kunang, Oheo langsung bangkit dari duduknya dan berjalan mengikuti. Begitu dia hinggap pada salah satu pintu kamar, tanpa ragu Oheo membukanya dan berhasil menemukan Anawangguluri.
Dan, sesuai dengan janjinya Raja Kahyangan pun mempersilahkan Oheo membawa isterinya turun kembali ke bumi. Selanjutnya, mereka merajut kembali hubungan yang pernah retak akibat Oheo melanggar janji. Mereka akhirnya hidup bahagia selamanya.
Diceritakan kembali oleh gufron