Asal Usul
Suku bangsa Sasak yang berdiam di Pulau Lombok, Provinsi NusaTenggara Barat, memiliki banyak unsur-unsur kebudayaan yang hingga saat ini masih dipertahankan. Salah satu dari sekian banyak unsur kebudayaan yang ditumbuhkembangkan dan dipertahankan tersebut adalah kesenian berupa sebuah permainan yang disebut peresean atau dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai pelindung atau penangkis pukulan (Idealita, 2011). Jadi, dalam permainan ini para pemainnya akan melakukan suatu pertarungan (saling pukul) dengan menggunakan sebatang tongkat dari rotan sebagai alat pemukul dan sebuah perisai atau dalam bahasa setempat disebut ende untuk menangkis pukulan lawan.
Ada beberapa versi mengenasi asal usul permainan bela diri ini. Versi pertama, menyatakan bahwa konon peresean berasal dari legenda Ratu Mandalika yang bunuh diri karena melihat dua orang saling berkelahi hingga mati untuk memperebutkan cintanya. Sedangkan versi yang lainnya lagi menyatakan bahwa peresean timbul dari pelampiasan emosional para raja Sasak ketika akan dan atau telah selesai menghadapi peperangan melawan musuh-musuhnya. Oleh karena itu, peresean juga digunakan sebagai ajang untuk menunjukkan atau memupuk keberanian, ketangkasan dan ketangguhan seseorang dalam sebuah pertempuran. Darah yang menetes ke bumi dalam pertarungan peresean akibat sabetan alat pemukul juga diyakini sebagai simbol turunya hujan, sehingga semakin banyak darah yang menetes, semakin lebat pula hujan yang akan turun.
Namun seiring dengan perkembangan zaman, peresean tidak hanya bertujuan sebagai sarana melatih mental seseorang dan atau meminta hujan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Permainan ini telah berkembang menjadi suatu atraksi budaya sebagai ajang promosi untuk memikat wisatawan, baik lokal maupun mancanegara. Selain itu, juga untuk memeriahkan hari-hari besar nasional atau daerah, seperti: peringatan hari kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus, hari Pahlawan 10 November, hari jadi Kota Mataram, dan lain sebagainya.
Pemain
Peresean dapat dikategorikan sebagai permainan remaja dan dewasa yang hanya dilakukan oleh kaum laki-laki. Jumlah pemainnya (disebut pepadu) tidak dibatasi, asalkan pertarungan dilakukan dengan cara satu lawan satu. Sedangkan, untuk memilih pepadunya sendiri dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: (1) pepadu yang telah berada di dalam arena menantang salah satu penonton untuk melakukan pertarungan; dan atau (2) panitia pertandingan memilih langsung para calon pepadu dari para penonton yang hadir.
Panitia pengatur jalannya permainan peresean ini disebut Pekembar atau Pekembarakan yang terdiri dari Pekembar Tengaq (tengah) dan Pekembar Sedi (pinggir). Pekembar Tengaq adalah orang yang bertugas memimpin jalannya permainan atau dapat disamakan dengan wasit yang mengawasi jalannya permainan sesuai dengan awig-awig atau peraturan yang telah ditetapkan. Dalam menjalankan perannya, Pekembar Tengaq dibantu oleh Pekembar Sedi yang bertugas memilih calon pepadu yang seimbang, sebagai juri pemberi nilai pada setiap pukulan pepadu serta menetapkan pemenangnya. Selain itu ada juga yang bertugas sebagai “tukang adu” yang disebut Pengadok.
Tempat dan Peralatan Permainan
Arena bertarung para pepadu dalam peresean sebenarnya tidak membutuhkan tempat yang luas karena hanya dilakukan oleh dua orang pemain dalam satu pertandingannya. Namun karena disaksikan oleh banyak orang, maka lokasi peresean umumnya diadakan di tanah lapang atau lapangan.
Adapun peralatan yang digunakan oleh seorang pepadu hanya dua macam, yaitu: (1) sebuah alat pemukul semacam cemeti terbuat dari rontan atau penjalin sepanjang sekitar 50 centimeter berbalut kulit yang kadang ujungnya dilapisi balutan aspal dan pecahan kaca yang ditumbuk sangat halus; serta (2) sebuah perisai atau ende terbuat dari kulit sapi atau kerbau sebagai pelindung dan penangkis serangan lawan.
Dan, untuk lebih memeriahkan suasana, Peresean juga dilengkapi musik pengiring yang disebut Gendang (Gending) Peresean, terdiri dari: satu buah gong, dua buah gendang, satu buah petuk, satu set rencek/rincik, dan satu buah suling bambu. Gending Peresean ini dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu: (1) Gending Rangsang atau Gending Ngadokang, dimainkan pada saat Pekembar dan Pengadok mencari pepadu yang akan ditandingkan; (2) Gending Mayuang, dimainkan sebagai tanda bahwa telah ada dua orang pepadu yang siap melakukan peresean; dan (3) Gending Beradu yang dimainkan selama pertandingan berlangsung dengan tujuan untuk membangkitkan semangat pepadu maupun para penonton yang menyaksikannya.
Aturan Permainan
Aturan dalam permainan peresean disebut awig-awig, diantaranya adalah: (1) menggunakan sistem ronde sebanyak tiga hingga lima ronde yang ditandai dengan peniupan peluit oleh Pekembar Tengaq; (2) seorang Pepadu hanya boleh memukul bagian atas tubuh (kepala, pundak, punggung) dan dilarang mengenai bagian bawah tubuh lawannya (dari pinggang hingga kaki); dan (3) menggunakan sistem nilai yang diberikan oleh Pekembar Sedi bila kedua Pepadu masih dapat bertahan dan tidak mengeluarkan darah hingga ronde terakhir. Namun, apabila seorang Pepadu telah mengeluarkan darah akibat sabetan rotan lawan mainnya, maka ia dinyatakan kalah dan pertarungan langsung dihentikan. Sedangkan lawannya dinyatakan menang.
Jalannya Permainan
Permainan peresean diawali dengan memilih para pepadu dari kalangan penonton. Mereka (calon pepadu) umumnya mengenakan sapuq (ikat kepala) dari kain, lereng leang (kain panjang) dan sabuk yang kadang diselipkan bebadong atau ajimat untuk menjaga diri dan atau melemahkan lawan. Cara memilih pepadu ada yang dilakukan langsung oleh pekembar dengan mencari orang-orang yang seimbang sebagai lawan tanding dan ada pula yang dipilih sendiri oleh pepadu dengan menantang pepadu lain yang masih berada dalam kerumunan penonton. Selama memilih pepadu ini umumnya diiringi pula oleh Gending Parasean dengan irama Gending Rangsang atau Gending Ngadokang agar suasana semakin meriah.
Bila dua orang pepadu telah terpilih, mereka akan segera memasuki arena permainan sambil membawa rotan dan ende. Keduanya lalu berdiri saling berhadapan dengan Pekembar Tengaq diantara keduanya untuk menjelaskan awig-awig atau peraturan dalam paresean, seperti: berapa banyak ronde yang harus dijalani, waktu setiap rondenya, hal-hal yang tidak boleh dilakukan selama pertarungan berlangsung, pemberian nilai bagi pukulan yang dianggap sah, dan lain sebagainya yang bersifat teknis pelaksanaan.
Selesai menjelaskan awig-awig peresean, Pekembar Tengaq lalu memberi aba-aba dengan peluit untuk segera memulai pertarungan. Sementara di sisi arena, Pekembar Sedi mulai mengawasi jalannya pertarungan untuk memberikan penilaian dan para nayaga mulai mengganti alunan irama musik mereka dari Gending Mayuan menjadi Gending Baradu dengan tujuan untuk membangkitkan semangat pepadu maupun para penonton yang menyaksikannya.
Sejurus setelah peluit berbunyi, kedua pepadu akan saling “empok kadu penjalin” atau menyerang satu sama lain menggunakan penjalin (rontan). Mereka berusaha menunjukkan kelihaian gerakan menyerang, menangkis pukulan, serta mencuri kelengahan agar dapat mendaratkan penjalin tepat di kepala lawan dan mendapat nilai tinggi dari Pekembar Sedi. Bagi sebagian pepadu, khususnya yang sudah mahir, permainan tidak sekadar menggunakan teknik dan jurus tertentu saja, tetapi juga ilmu kekebalan dan hal-hal yang bersifat mistis lainnya.
Apabila waktu yang ditentukan dalam satu ronde berakhir, maka Pekembar Tengaq akan meniup peluit untuk memberikan waktu bagi pepadu beristirahat. Kesempatan ini digunakan oleh pepadu untuk menari mengikuti irama Gending Peresean sambil memulihkan tenaga dan menganalisis kondisi lawan. Selain itu, waktu istirahat juga digunakan sebagai ajang adu gertak untuk melemahkan mental dan semangat lawan sebelum pertarungan dilanjutkan lagi.
Dan, begitu peluit dibunyikan lagi, kedua pepadu pun kembali bertarung hingga ronde yang ditentukan berakhir. Jika kedua pepadu sama-sama mampu bertahan, maka pemenangnya ditentukan dengan skor berdasarkan penilaian dari Pekembar Sedi. Namun, bila seorang pepadu telah mengeluarkan darah akibat pukulan penjalin, pertandingan segera dihentikan untuk menjaga keselamatan. Pepadu yang berhasil membuat lawannya berdarah dinyatakan sebagai pemenang dan pertarungan diakhiri dengan saling rangkul sebagai tanda persahabatan.
Apabila satu pertarungan selesai, Pekembar akan mencari lagi para pepadu lain yang masih berada di dalam kerumunan penonton untuk ditarungkan. Begitu seterusnya hingga seluruh pepadu mendapat giliran untuk bermain atau waktu penyelenggaraan peresean telah berakhir.
Nilai Budaya
Peresean, sebagai suatu permainan atau dapat dikategorikan juga sebagai seni bela diri yang tumbuh dan berkembang di kalangan masyarakat Sasak, Nusa Tenggara Barat, jika dicermati mengandung nilai-nilai yang pada gilirannya dapat dijadikan acuan dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai itu antara lain: kesakralan, kesehatan, kerja keras, kedisiplinan, kepercayaan diri, dan sportivitas.
Nilai kesakralan tercermin dari tujuan peresean yaitu sebagai bentuk permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar menurunkan hujan. Mereka percaya bahwa semakin banyak darah tertumpah, kemungkinan hujan turun akan semakin nyata.
Nilai kesehatan tercermin dari gerakan atau teknik-teknik pukulan dan tangkisan yang dilakukan, baik ketika sedang berlatih maupun bertanding. Dalam hal ini, gerakan-gerakan dalam bermain paresean harus dilakukan sedemikian rupa, sehingga otot-otot tubuh akan menjadi kuat dan aliran darah pun menjadi lancar. Ini membuat tubuh menjadi kuat dan sehat.
Nilai kerja keras tercermin dari usaha untuk menguasai teknik-teknik yang ada dalam peresean. Tanpa kerja keras mustahil teknik-teknik untuk memukul maupun menangkis serangan lawan dapat dikuasai secara sempurna.
Mempelajari seni peresean juga memerlukan kedisiplinan, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap aturan-aturan atau awig-awig peresean yang diberlakukan. Tanpa kedisplinan dan ketaatan atau kepatuhan kepada aturan-aturan tersebut akan sulit bagi seseorang untuk menguasai kesenian ini secara sempurna.
Selain itu, mempelajari peresean, sebagaimana permainan bela diri lainnya, berarti mempersiapkan diri untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang tidak diinginkan, baik demi keselamatan diri maupun orang lain. Dengan menguasai peresean seseorang akan memiliki keberanian dan menjadi percaya diri sehingga tidak takut gangguan dan atau ancaman dari pihak lain.
Dan, nilai sportivitas tercermin dari sikap dan perilaku para pelakunya yang secara jantan mau mengakui keunggulan lawan dan menerimanya dengan lapang dada. Hal ini penting karena dalam suatu pertandingan tentu ada kalah dan menang yang jika tidak disikapi secara sportif dapat menjurus ke arah kekerasan. (ali gufron)
Foto: http://sosbud.kompasiana.com/2010/07/29/peresean-gladiator-unik-ala-suku-sasak-209522.html
Sumber:
Peresean (Stick Fighting), dalam http://wirangpatut.blogspot.com/2007/06/peresean-stick-fighting.html, diakses tanggal 25 Januari 2013
Peresean, dalam http://peresean.blogspot.com/, diakses tanggal 25 Januari 2013
Peresean Khas Lombok, dalam http://lombok-sumbawa-ntb.blogspot.com/2011/08/peresean-khas-lombok.html, diakses tanggal 26 Januari 2013
Keruak Mengadakan Acara Peresean, dalam http://www.sasak.org/kabar-lombok/budaya/keruak-mengadakan-acara-peresean/12-11-2009, diakses 27 Januari 2013
Peresean, dalam http://razez.wordpress.com/2006/09/18/Peresean/, diakses tanggal 27 Januari 2013
Retno, Ismawati, “Peresean: Gladiator Unil Ala Suku Sasak”, dalam http://sosbud.kompasiana.com/2010/07/29/peresean-gladiator-unik-ala-suku-sasak-209522.html, diakses tanggal 27 Januari 2013
Idealita, Neky Noorwinda, “Budaya Lokal Lombok Peresean”, dalam http://neky-neky.blogspot.com/2011/05/budaya-lokal-lombok-peresean.html, diakses tanggal 27 Januari 2013