(Cerita Rakyat Kepulauan Seribu)
Sebuah nama tidak lahir dengan sendirinya. Nama biasa digunakan untuk mengidentifikasikan suatu benda atau menjadi sebuah konsep yang melambangkan suatu makna. Demikian pula nama yang diberikan oleh penduduk pada sebuah pulau di Kepulauan Seribu, yaitu Lancang. Nama yang unik bagi pulau yang sekarang termasuk ke dalam Kelurahan Pulau Pari, Kepulauan Seribu Selatan ini ternyata memiliki cerita tersendiri. Ceritanya adalah sebagai berikut.
Sebuah nama tidak lahir dengan sendirinya. Nama biasa digunakan untuk mengidentifikasikan suatu benda atau menjadi sebuah konsep yang melambangkan suatu makna. Demikian pula nama yang diberikan oleh penduduk pada sebuah pulau di Kepulauan Seribu, yaitu Lancang. Nama yang unik bagi pulau yang sekarang termasuk ke dalam Kelurahan Pulau Pari, Kepulauan Seribu Selatan ini ternyata memiliki cerita tersendiri. Ceritanya adalah sebagai berikut.
Pada zaman dahulu di pulau ini hidup sepasang suami-isteri bernama Uwak dan Nini Arus. Mereka hidup dari hasil berkebun buah-buahan dan mengumpulkan kayu bakar yang banyak terdapat disekitar pulau. Hasil dari berkebun dan mengumpulkan kayu bakar tersebut mereka jual ke Pulau Jawa, sekarang tepatnya di daerah Tangerang, Banten.
Suatu hari, Uwak dan Nini Arus bermaksud hendak menjual kayu bakar ke Jawa dengan menggunakan sebuah perahu kecil. Namun ketika baru beberapa puluh meter berlayar, secara tiba-tiba banyak sekali ikan yang berloncatan ke dalam perahu. Perahu pun semakin lama menjadi semakin berat dan nyaris tenggelam.
Untuk mengatasinya Uwak Arus segera membuang kayu bakar yang hendak dijualnya hingga tinggal dua ikat saja. Tetapi para ikan tetap saja meloncat ke dalam perahu, khususnya ke arah sebuah batang kayu dari tanaman klancang. Setelah kayu itu dibuang ternyata ikan-ikan berhenti meloncat ke dalam perahu. Dan, karena kayu bakar yang akan dijual telah habis dibuang, mereka pun pulang lagi ke rumahnya.
Singkat cerita, kejadian lompatnya ikan-ikan karena tertarik pada kayu klancang diceritakan kepada para tetangga. Oleh para tetangga yang waktu itu hanya terdiri dari tiga keluarga, peristiwa “kesaktian kayu klancang” kemudian dijadikan sebagai penanda bagi pulau yang mereka diami. Mulai saat itu, pulau dinamakan Pulau Klancang. Seiring dengan berjalannya waktu, nama klancang berubah menjadi lancang karena lebih mudah dalam pelafalan atau pengucapannya.
Diceritakan kembali oleh Gufron