Negeri Olok Gading adalah salah satu kelurahan yang secara administratif termasuk dalam Kecamatan Teluk Betung Barat dengan batas geografis sebelah utara dengan Kelurahan Sumur Putri; sebelah timur dengan Kelurahan Kuripan; sebelah selatan dengan Kelurahan Bakung; dan sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Sukarame (plpbknegeriolokgading.blogspot.com). Kelurahan yang memiliki luas wilayah sekitar 109 ha ini merupakan kebandaran pertama yang ada di Kota Bandarlampung. Mulanya daerah yang didirikan oleh Ibrahim gelar Pangeran Pemuka sekitar tahun 1618 Masehi bernama Kampung Negeri dengan lamban dalom sebagai pusatnya. Adapun tujuan pendiriannya menurut naskah Tambo Kebandaran Marga Balak adalah untuk memperluas wilayah kedudukan adat Saibatin Marga Balak di daerah Teluk Betung. Namun pada sekitar tahun 1883 Kampung Negeri terpaksa ditinggalkan setelah porak-poranda diterjang gelombang pasang sebagai dampak meletusnya Gunung Krakatau.
Kondisi Kampung Negeri berangsur pulih setelah banyak orang datang dan menetap, terutama di sekitar pelabuhan Teluk Lampung yang aktivitas perekonomiannya cukup ramai. Di antara mereka ada sekolompok orang yang berasal dari Olok Gading. Agar "statusnya" diakui, mereka mendatangi kepala Marga Balak untuk meminta izin. Dan, mungkin karena komposisi orang Olok Gading lebih banyak, maka Kampung Negeri pun berubah nama menjadi Kampung Negeri Olok Gading.
Orang-orang dari Olok Gading sebenarnya masih satu “rumpun” dengan Marga Balak. Mereka adalah pendukung adat Saibatin. Saibatin sendiri merupakan satu dari dua adat besar sukubangsa Lampung. Satunya lagi adalah adat Pepadun. Orang Saibatin umumnya tinggal di sepanjang pesisir selatan hingga barat provinsi ini, sedangkan penduduk beradat Pepadun bermukim di daerah pedalaman sebelah barat Bukit Barisan. Masyarakat adat Saibatin terdiri atas Paksi Pak (Buay Belunguh, Buay Pernong, Buay Nyerupa, Buay Lapah) dan Komering-Kayuagung. Mereka mendiami sebelas wilayah adat, yaitu: Kalianda, Teluk Betung, Padang Cermin, Cukuh Balak, Way Lima, Talang Padang, Kota Agung, Semaka, Belalau, Liwa, dan Ranau (seandanan.wordpress.com).
Sebagai sebuah kesatuan sosial, masyarakat adat Saibatin mempunyai struktur tersendiri yang tercermin dalam kelas-kelas sosial yang ditentukan berdasarkan asal usul serta hubungan kekerabatan. Struktur tersebut dipertahankan dari satu generasi ke generasi berikutnya dalam bentuk mitos-mitos sebagai perwujudan keyakinan yang berkembang menjadi identitas kelompok (Rudito, 2013:3). Menurut mitos tentang asal usul, orang Saibatin berkeyakinan bahwa mereka berasal dari keturunan Kepaksian Skala Brak/Sekala Beghak yang lokasinya berada di kawasan lereng Gunung Pesagi (sekarang di sekitar Kabupaten Lampung Barat). Sebelum menjadi kepaksian, menurut Masduki (2006: 23-25), pada abad 15 datang empat kelompok masyarakat yang menduduki sekitar Danau Ranau.
Di sebelah barat danau dihuni orang-orang yang datang dari Pagaruyung Sumatera Barat pimpinan Dipati Alam Padang. Di sisi timur danau, kelompok orang-orang Sekala Beghak yang dipimpin Pangeran Liang Batu dan Pahlawan Sawangan (berasal dari Kepaksian Nyekhupa) serta kelompok yang dipimpin Raja Singa Jukhu (dari Kepaksian Bejalan Di Way). Sementara kelompok terakhir menempati sisi utara danau yang dipimpin Umpu Sijadi Helau yang juga dari Sekala Beghak.
Ketiga kelompok dari Sekala Beghak ini kemudian berbaur dan menempati kawasan Banding Agung, Pematang Ribu, Warkuk, dan daerah-daerah pesisir Lampung termasuk Teluk Betung/Teluk Lampung. Di Teluk Betung sendiri orang-orang Sekala Beghak yang tinggal di Kampung Negeri Olok Gading terdiri atas tiga marga yaitu: Lunik, Bumiwaras, dan Balak. Oleh karena komposisi penduduknya semakin banyak, pada tahun 1929 Pemerintah Belanda melalui Keresidenan Teloek Betoeng mengeluarkan Staatsbald Nomor 362 yang menetapkan penyatuan tiga marga (Lunik, Bumiwaras, dan Balak) menjadi Marga Teluk Betung sebagai bagian terpadu dari struktur pemerintahan kolonial sekaligus menjadi lembaga pemerintahan terendah Belanda.
Agar tidak terjadi perebutan kekuasaan, Mr Gele Harun (perwakilan dari Keresidenan Teloek Betong) kemudian mengumpulkan para penyimbang paksi dan tiyuh untuk berembuk membahas pemimpin serta batas teritorial Marga Teluk Betung. Dalam pertemuan tersebut mereka bersepakat mengangkat Pangeran Pokok Ratu sebagai pemimpin konfederasi penyimbang di daerah Teluk Betung dan Tanjung Karang yang terdiri atas 4 Penyimbang Paksi dan 9 Penyimbang Tiuh.
Pengangkatan Pangeran Pokok Ratu selain didasarkan atas status sosialnya di masyarakat juga ada beberapa persyaratan tertentu yang dapat dipenuhinya berupa pedoman hidup orang Saibatin versi Olok Gading, yaitu: berani menghadapi tantangan, teguh pendirian, tekun, dapat memahami kehendak orang lain, lebih mengutamakan persatuan dan kesatuan, taat menjalankan syariat agama, serta arif dan bijaksana.
Pangeran Pokok Ratu kemudian menyederhanakan stratifikasi sosial dari ke-13 kepenyimbangan menjadi 12 hierarki, yaitu: Gusti Pangeran, Kriya, Palon, Batin, Raja, Raden, Minak, Kimas, Layang, cap, Alam, dan Dasar. Sedangkan struktur kepemimpinannya, terdiri atas: Gusti Pangeran, Penyimbang Tuha, Penyimbang Paksi, Penyimbang Tiyuh, Penyimbang Suku, Isi Lamban, dan Pelamban.
Jabatan Pangeran Pokok Ratu memimpin konfederasi penyimbang hanya berlaku sampai anak laki-laki tertuanya (putra mahkota) menikah. Selanjutnya putra mahkota menggantikan kedudukannya hingga anak laki-laki tertua menikah dan menggantikannya. Begitu seterusnya secara turun temurun hingga sekarang dipimpin oleh M. Yusuf Erdiansyah yang bergelar Putra Gelar Gusti Pangeran Igama Ratu.
Sebelum menjadi Kepala Adat Kebandaran Marga Balak, Erdiansyah harus melalui sebuah upacara khusus penobatan penyimbang adat agar mendapat adok (gelar) resmi Putra Gelar Gusti Pangeran Igama Ratu. Upacara yang telah diadakan sejak abad ke-14 ini dilakukan tidak lama setelah Erdiansyah menikah yang secara otomatis harus menggantikan kedudukan Sang ayah sebagai pemimpin penyimbang adat kesaibatinan Negeri Olok Gading.
Sebagai pemimpin konfederasi penyimbang, Putra Gelar Gusti Pangeran Igama Ratu memiliki hak dan wewenang dalam menyelenggarakan pemerintahan adat. Oleh karena itu, dia diharapkan dapat berpegang pada aturan adat, tidak memihak saat bertindak menjadi penengah dalam suatu perkara, dan tidak berat sebelah dalam memuat suatu keputusan. Selain itu, kepala adat juga harus mampu menjadi panutan bagi masyarakat dan berperan aktif mengurusi masalah-masalah yang berkaitan dengan adat sehingga mampu menjaga kelestarian adat Marga Teluk Betung.
Bentuk kepemimpinan ini terus bertahan walaupun Negeri Olok Gading sekarang telah menjadi sebuah kelurahan dengan luas sekitar 109 ha. Konsekuensinya, peran-peran kepala pemerintahan adat pun harus mengikuti aturan dari pemerintah setempat. Aturan tersebut ditentukan oleh Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL) sesuai dengan Peraturan Daerah Provinsi Lampung No. 5 Tahun 2013 (Bab IV bagian kedua pasal 6), yaitu:
(a) menggali dan mengembangkan serta mempromosikan adat istiadat Lampung;
(b) mengurus dan mengelola hal-hal yang berkaitan dan berhubungan dengan adat istiadat Lampung;
(c) menyelesaikan perselisihan atau perkara yang menyangkut atau berkaitan dengan adat istiadat Lampung;
(d) menginventarisasi, mengamankan, memelihara, dan mengurus serta memanfaatkan sumber kekayaan yang dimiliki oleh Lembaga Adat;
(e) memberikan usulan atau saran kepada pemerintah daerah dalam pembangunan di segala bidang, terutama pada bidang sosial kemasyarakatan dan budaya.
Adapun pusat pemerintahan adatnya di Lamban Dalom Kebandaran Marga Balak, sebuah bangunan tradisional yang dibuat oleh Ibrahim Gelar Pemuka ketika dia mendirikan Kampung Negeri. Bangunan ini pernah direnovasi sejumlah dua kali. Pertama setelah rusak dihantam tsunami saat terjadi letusan Gunung Krakatau sekitar tahun 1883, sedangkan renovasi kedua pada medio 2015 guna memperbaiki beberapa bagian yang telah lapuk termakan usia.
Bangunan lamban dalom terbuat dari kayu dengan siger besar berada di atasnya. Bagian halaman difungsikan sebagai tempat penyelenggaraan upacara adat (begawi, deduaian, perkawinan). Bagian terasnya (jepana/bhekanda) berfungsi sebagai tempat pertemuan para tokoh penyimbang adat. Bagian bawah bangunan (dahulu berbentuk panggung) saat ini difungsikan sebagai ruang serba guna tempat penyelenggaraan kesenian tradisional (Tari Bedana, Tari Siger Penguten) dan penyimpanan benda-benda budaya (pemanohan), di antaranya adalah: siger berusia ratusan tahun, keris, payan (tombak), kain sarat khas Lampung pesisir, terbangan (alat musik pukul menyerupai rebana), tala (alat musik sejenis kulintang), busana adat pengantin Saibatin, pedang Ngusikh Bajau, dan lain sebagainya
Sementara bagian dalam bangunan terdiri atas sapang (ruang utama dan tempat pertemuan); sapang lom (ruang keluarga); bilik kebik (kamar Pangeran Olok Gading/kepala keluarga); tebelaian (kamar anak pangeran); pusiban (ruang pertemuan yang berada di bagian tengah rumah); bilik tamu (kamar khusus tamu); sekhudu (ruang khusus bagi kaum perepuan berkumpul); dapogh (dapur), ghagang (tempat cuci piring); dan bilik mandi (kamar mandi).