Koesoemah Atmadja

Koesoemah Atmadja atau lengkapnya Raden Soelaiman Effendi Koesoemah Atmadja adalah salah seorang pahlawan nasional yang pernah menjabat sebagai Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia. Putra asli Purwakarta yang berasal dari kalangan menak ini lahir pada tanggal 8 September 1898. Menurut Almunfahannah (2020), latar belakang keluarga inilah yang membuat Koesoemah Atmadja memiliki kesempatan luas di bidang pendidikan pada masa pemerintahan Hindia Belanda.

Selesai menamatkan pendidikan di Rechtshcool atau sekolah kehakiman (sekarang FH UI) pada tahun 1913, enam tahun kemudian (1919) Koesoemah Atmadja baru mengawali karier dengan menjadi pegawai di Pengadilan Bogor. Id.wikipedia.org menyatakan bahwa tahun itu juga dia berkesempatan mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikan hukumnya di Universitas Leiden, Belanda. Selama beberapa tahun di Leiden, akhirnya Koesoemah Atmadja berhasil meraih gelar Doctor in de recht geleerheid dengan disertasi berjudul De Mohamedaansche Vrom Stichtingen in Indie yang menguraikan hukum wakaf di Hindia Belanda.

Pulang dari Leiden, Koesoemah Atmadja langsung dipercaya menjadi hakim Raad Van Justitie di Batavia. Tidak lama kemudian, dia diangkat menjadi Ketua Pengadilan Negeri (Voor Zitter Landraad) di Indramayu. Setelah Belanda hengkang Koesoemah Atmadja tetap menjabat sebagai Ketua Pengadilan Negeri (Tihoo Hooin) bentukan Jepang di Semarang. Kemudian menjadi Hakim Pengadilan Tinggi Padang dan pada tahun 1944 sebagai Pemimpin Kehakiman Jawa Tengah (hukumonline.com).

Menjelang Indonesia merdeka, tanggal 29 April 1945 Koesoemah Atmadja ditunjuk menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Lembaga ini dibentuk sebagai upaya mendapatkan dukungan bangsa Indonesia karena Jepang berjanji akan membantu proses kemerdekaan.

Setelah Indonesia merdeka, Koesoemah Atmadja ikut berperan membentuk sebuah lembaga yudikatif dan pemegang kekuasaan kehakiman tertinggi. Hasilnya, terbentuklah Mahkamah Agung Republik Indonesia dengan Koesoemah Atmadja sendiri yang menjadi ketuanya. Pada masa kepimpinannya, Mahkamah Agung pernah dipindahkan ke Yogyakarta antara tahun 1946 hingga 1950 (id.wikipedia.org).

Menurut tokoh.id, susunan Mahkamah Agung sewaktu berada di Yogyakarta adalah Mr. Dr. Koesoemah Atmadja sebagai ketua, Mr. R. Satochid Kartanegara sebagai wakil ketua, Mr. Husen Tirtasmidjaja (anggota), Mr. Wono Prodjodikoro (anggota), Sutan Kali Malikul Add (anggota), Mr. Soebekti (panitera), dan Ranuatmadja (tata usaha).

Selesai Konferensi Meja Bundar dan pemulihan kedaulatan, kedudukan Mahkamah Agung kembali ke Jakarta pada tahun 1950 dengan susunan yang agak berbeda namun tetap diketuai oleh Koesoemah Atmadja dan wakil ketua Satochid Kartanegara. Anggota lainnya adalah Mr. Wirjono Prodjodikoro (hakim agung), Mr. Husen Tirtamidjaja (hakim agung), Mr. Husen Tirtamidjaja (hakim agung), Mr. Soebekti (panitera), dan ranoeatmadja sebagai wakil panitera.

Jabatan sebagai Ketua Mahkamah Agung di Jakarta diemban Koesoemah Atmadja hanya berlangsung sekitar dua tahun. Pada 11 Agustus 1952, pria yang juga Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Pendidikan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), dan Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia ini akhirnya menghembuskan nafas terakhir. Dan, atas jasa dan pengabdiannya, pemerintah kemudian menganugeraginya sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden RI No 124/1965.

Selama menjabat sebagai Ketua Mahkamah Agung banyak sekali hal yang telah dibuat oleh Koeseomah Atmadja, di antaranya adalah: (1) mengambil alih kedudukan Hoogerechtshof dan menjadikan Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan tertinggi pada Januari 1950; (2) melantik kembali Soekarno dan Mohammad Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia Serikat; (3) menetapkan batasan dan kewenangan Mahkamah Agung; (4) melakukan restrukturisasi Mahkamah Agung RIS; dan (5) menetapkan Pengadilan Tentara sebagai bagian dari Mahkamah Agung (Almundahannah, 2020).

Yoseph Iskandar

Yoseph Iskandar adalah seorang pengarang cerpen, novel, roman, dan drama khusus dalam bahasa Sunda. Sastrawan asli Purwakarta ini lahir pada 11 Januari 1953. Karya-karyanya berhasil memperpadukan dan mengangkat sejarah Tatar Sunda dalam karya sastra. Melalui karyanya tersebut dia telah berhasil menjadikan orang Sunda semakin sadar akan sosok Ki Sunda.

Ketertarikan Yoseph pada dunia sastra dimulai setelah masuk ATPU atau Akademi Teknik Pekerjaan Umum Bandung. Menurut Purna dan Yulianto (2008), meski kuliah di bidang teknik aktivitas Yoseph lebih banyak tercurah pada kegiatan seni seperti menjadi pimpinan Teater Khas (1977-1981). Saking minatnya pada dunia seni, Yoseph kemudian lebih memilih meninggalkan studinya di teknik demi mendalami Sastra Sunda. Bersama Eddy D Iskandar, Godi Suwarna, Juniarso Ridwan, dan Beni Setia, dia mendirikan organisasi sastrawan muda Sunda bernama Durma Kangka. Hasilnya adalah dua buah buku berjudul Antologi Puisi Sunda Mutakhir (1980) dan Tumbal (1982).

Selain bergelut di sastra, Yoseph juga terjun dalam dunia jurnalistik dengan menjadi redaktur di majalah Mangle (1979-1985) dan tabloid Giwangkara. Bahkan, dia juga sempat menggeluti dunia pendidikan dengan menjadi tenaga pengajar di UNPAS, UNTIRTA, serta UC Santa Cruz di California, Amerika Serikat.

Ketika menjadi redaktur Manglelah Yoseph memiliki kedekatan dengan Saleh Danasasmita yang membuatnya tertarik pada Sejarah Sunda. Oleh karena itu, tulisannya di Mangle pun didominasi oleh Sejarah Sunda. Begitu juga dengan proses pembuatan karya sastranya seperti Perang Bubat (1988), Wastukancana (1990), Prabu Wangisutah (1991), Pamanahrasa (1991), Putri Subaglarang (1991), Prabu Anom Jayadewata (1996) (p2kp.stiki.ac.id), Tanjeur na Juritan, Jaya di Buana (1991), dan Tri Tangtu di Bumi (1996). Khusus untuk dua karya terakhir, yaitu Tanjeur na Juritan, Jaya di Buana (1991) dan Tri Tangtu di Bumi (1996) Yoseph berhasil mendapat penghargaan Sastra Rancage.

Selain karya sastra di atas, Yoseph juga membuat sejumlah karya lagi baik berupa buku dan artikel sejarah, puisi, serta naskah drama, di antaranya: Yuganing Rajakawasa diterbitkan Geger Sunten; Sejarah Kebudayaan Jawa Barat (empat jilid); Sejarah Cirebon; Sejarah Banten; peristiw serangan pasukan RI terhadap Inggris di daerah Sukabumi pada masa revolusi; Ngadegna Pajajaran (naskah drama); Pemberontakan Cakrawarman (naskah drama); Runtagna Pajajaran (naskah drama); Nyi Puun (naskah drama); Tanjeur Pajajaran (naskah drama); Haji Prawatasan (naskah drama); Juag Toed (naskah drama komedi); Harewos Nu Gaib (naskah drama); BOM (naskah drama); dan Cucunguk (naskah drama ini banyak dipilih oleh peserta FDBS atau Festival Drama Basa Sunda IX tahun 2006).

Sumber:
“Yoseph Iskandar”, diakses dari https://p2kp.stiki.ac.id/id3/3068-2956/Yoseph-Iskandar_106875_stiki-malang_p2kp-stiki.html, tanggal 2 Mei 2021.

Purna, Dhipa Galuh dan Yulianto Agung. 2008. “Obituari: “Nyekar” Yoseph Iskandar”, diakses dari http://cabiklunik.blogspot.com/2008/03/obituari-nyekar-yoseph-iskandar.html, tanggal 2 Mei 2021.

Ujang Yakub, Perajin Wayang Karakter Asal Purwakarta

Bila mendengar kata wayang, tentu yang tergambar di benak kita adalah sejumlah tokoh dalam epos Mahabarata dan Ramayana yang dibuat dari kulit atau kayu. Di daerah Purwakarta, tepatnya di Desa Sukamaju, Kecamatan Sukatani, ada seorang seniman pembuat wayang dengan karakter yang berbeda, yaitu tokoh-tokoh perpolitikan Indonesia, seperti: Soekarno, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarno Putri, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Joko Widodo. Ia bernama Ujang Yakub.

Ketertarikan Ujang membuat wayang bermula ketika bekerja pada sebuah galeri wayang di Jakarta sekitar tahun 1987 (lulus Sekolah Dasar). Walau di galeri itu hanya sebagai tukang bersih-bersih alias OB, Ujang rupanya tertarik untuk ikut membuat wayang golek. Dia belajar dengan cara mencontoh bentuk wayang yang sudah jadi. Begitu seterusnya, berulang-ulang hingga akhirnya menjadi mahir.

Namun, karena bosan hanya membuat wayang yang karakternya itu-itu saja, baru tahun 1994 (setelah tiga bulan menikah) dia beralih membuat wayang karakter baru. Karakter pertama yang dibuat adalah wajahnya sendiri. Setelah berhasil barulah dia beralih membuat karakter tokoh di Indonesia. Seiring waktu, patung-patung karakter tadi banyak dinikmati orang sehingga pesanan tidak hanya berasal dari Purwakarta atau Jakarta saja, melainkan dari daerah lain seperti Bali dan bahkan mancanegara (Jepang dan Kanada).

Setiap karakter tokoh yang dibuatnya dihargai Rp 3 juta dengan ukuran lebar sekitar 20 centimeter dan tinggi 80 centimeter. Harga sejumlah itu sesuai dengan pengerjaannya yang membutuhkan waktu sekitar dua minggu, mulai dari proses penggambaran hingga penyelesaian. Adapun bahannya dapat berupa kayu lame/pule atau abbasiyah.

Foto: https://news.detik.com/berita-jawa-barat/d-5352924/menengok-pembuat an-wayang-golek-karakter-karya-warga-purwakarta

Achmad Tirtosudiro

Achmad Tirtosudiro adalah salah satu tokoh militer Indonesia yang berkibar di masa awal kemerdekaan dan menduduki berbagai macam jabatran strategis setelah kemerdekaan. Pria yang terlahir dengan nama Mohammad Irsyad pada 9 April 1922 ini adalah putra asli Plered, Purwakarta. Sang kakek H. Thoha (ayah dari sang ibu) adalah pimpinan sebuah pondok pesantren di Legok, sementara Sang ayah adalah seorang ambtenar yang bekerja sebagai Kepala Stasiun Djawatan Kereta Api (DKA) di Ardjawinangun, Tjirebon, antara tahun 1922-1928 (Suhadi, 2021).

Oleh karena berasal dari keluarga priyayi, Achmad memiliki kesempatan mengenyam pendidikan formal yang baik. Pada tahun 1928-1935 dia menempuh pendidikan di HIS (Holand Inlandse School) di berbagai tempat seperti Cirebon, Cimahi, Bandung, dan Bogor karena Sang ayah sering berpindah tugas. Pada periode ini Achmad dinilai sebagai anak cerdas dan dalam hal berhitung lebih cepat ketimbang para gurunya sehingga pernah dijanjikan akan diajak ke negeri Belanda oleh Tuan Bruins, salah seorang kepala sekolahnya di HIS.

Selepas HIS Achmad melajutkan ke MULO Bogor antara tahun 1936 sampai 1939. Kemudian dia ke AMS (Algemeen Midelbare School) Yogyakarta hingga tahun 1941. Lulus AMS, Achmad sempat mengikuti latihan dasar militer Chuo Seinen Kunrensho (1943-1944) dan Tyuo Kyo Shu Sho (1944-1945) bentukan Jepang dan bekerja sebagai Pegawai Menengah TK.II DKA Bandung (1942-1946).

Lepas pendudukan Jepang dia masuk Universitas Gadjah Mada jurusan Hukum. Namun, walau tidak sampai menamatkan kuliah, Achmad sempat menduduki jabatan sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (1948), Komandan Kompi Bandung TRI-KA (1947-1948), Kepala Bagian Yogya-Korps Karta Mhs (1947-1948), dan Ketua Umum Perhimpunan Pemuda Mahasiswa Indonesia (1948).

Beberapa jabatan tadi rupanya membuat Achmad tertarik pada bidang militer. Dia lalu memilih militer sebagai jalan hidupnya. Dan, semenjak itu karirnya menanjak. Merdeka.com mencatat berbagai jabatan yang pernah diembannya baik dalam bidang militer maupun sipil, antara lain: Wakas 1948 Klaten KDM; Ass KS 1949 Bandung GM IV; Ses IC VI (Local Joint Committee) Jawa Barat GM IV (1949); KS KMK Bandung (1949); Kepala Biro-B Bandung GM.IV (1950); Kms. Pst. Priangan Garut TT III (1950); Kmd. Pst II (Priangan) Bandung TT III (1951); Kmd. Pst Cirebon TT III (1952); Ks. Br. C/Reg Cirebon TT III (1952); Hakim Perwira Bandung TT III (1952); Ks. Res. 9 21-03-1952 05-02-1953 Cirebon TT III; Kmd. RI. 18 Terr V (ditolak) 14-07 -1954; Ks. Res. 10 01-10-1954Bandung; Kmd. Sektor (Brigade)' 0 1-11-1955 01-06-1956Ciamis n III; Pel.Kel.Mil. 01-11-1955 Ciamis 01-06-1956 Bandung n III 19. Guru SSKAD 01-09-1957; Ass. Dir. SSKAD 30-04-1958 Bandung MBAD; Kep.Dep.Persiapan Tarap II SSKAD (SESKOAD) 29-05-1959 Bandung MBAD; Kep. Dep. Staf. Peng. Umum SSKAD 01-01-1959 Bandung M BAD; Anggota DEPERNAS 29-07-1959Bandung MBAD; Wk. AD dIm Panitia Istilah Lembaga Bhs/ Kebudayaan 15-11- 1961; Dir. Intendans . AD 01-03-1961 01-03-1966 Jakarta MBAD; Ketua G-7/Koti 18-11-1965 Jakarta MBAD; Kep. Staf Kolognas 01-05-1966 Jakarta MBAD; Kepala BULOG 10-05-1966 Jakarta MBAD; Sekretaris Sektor Penyediaan dan Penyaluran Pangan 15-02-1968 Jakarta M BAD; Pakokar 22 BU LOG 03-06-1971 Jakarta HANKAM; Caretaker (Di- rut) PT. PP. Berdikari 03-12-1971 HANKAM; Anggota MPR 05-01-1972 HANKAM; Duta Besar RI diBonn 1973-1976; Dirjen Pariwisata 1977-1982; Duta Besar RI utk Arab Saudi, Rep. Arab. Yaman &Oman 1982-1985; Rektor Universitas Islam Bandung (UNISBA) 1986-1996; Ketua Badan Musyawarah Perguruan Tinggi Islam Swasta Indonesia (BKS-PTIS) 1988-1996; Ketua Umum Badan Kerja sama Perguruan Tinggi Islamic Swasta Indonesia (BKS-PTIS) 1988-1996; Anggota MPR RI Utusan Golongan 1997 -1998; Wakil Ketua DPA/Ketua Komisi Politik 1998-1999; Ketua Dewan Pembina Rumah Sakit AI-lslam BKSWI Jawa Barat; Ketua Dewan Penasehat Yayasan Wakaf Paramadina; Ketua Dewan Penasehat Majelis Nasional KAHMI; Ketua Dewan Penasehat ICMI; Wakil Ketua IIFTIHAR (The International Islamic Forum For Science I; Technology and Human Resources Development) mewakili Republik Indonesia; Ketua Harian ICMI, 1997-2002); dan Ketua Dewan Pertimbangan Agung RI (DPA-RI), 1999-2003.

Selain jabatan, merdeka.com juga mencatat sejumlah penugasan ke luar negeri, di antaranya: Amerika Serikat-Tugas belajar pada CCSC 1956-1957; Inggris, Jerman Barat dan Jugoslavia Selaku Ketua Panitia Persiapan SESKOAD 1968; Denmark, Swedia dan Jugoslavia-Dewan Perancang Nasional 1959; Tokyo-Mengadakan Pembicaraan dengan Pemerintah Jepang dalam rangka bantuan pangan 1970; Amsterdam-Anggota Delegasi Perundingan IGGI (08-12- 1971 ; 20-04-1972; 16-12-1972); Tokyo-Mengadakan perundingan dengan Jepang dalam rangka bantuan pangan Juni 1971; Jepang/Thailand--Perundingan pengadaan beras 04-08-1972; Republik Federasi Jerman-Duta Besar Luar Berkuasa Penuh 1973-1976; Kerajaan Saudi Arabia-Duta Besar Luar Berkuasa Penuh 1982-1985; Republik Arab Yaman-Duta Besar Luar Berkuasa Penuh (Berkedudukan di Arab Saudi) 1983-1985; dan Kesultanan Oman-Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh (Berkedudukan di Arab Saudi) 1983-1985.

Kemudian, ada pula sejumlah penghargaan dari Pemrintah Indonesia yang diterima atas jasa-jasanya, yaitu: Bintang Gerilya; Bintang Kartika Fka Paksi; S.L Kesetiaan 8 tahun; S.L. Kesetiaan 16 tahun; S.L. Kesetiaan 24 tahun; S.L. P.K. I; S.L. P.K. II; S.L. CON I; S.L. CON II; S.L. GOM III; S.L. GOM V; S.L. Penegak; S.L. Dwija Sistha; Bintang Dharma; Medal For Military of II class (Jugoslavia); Groskreuz des Verdienstes (Republik Federasi Jerman); Satya Lencana Pembangunan 18. Bintang Maha Putra Utaina; dan Bintang Maha Putra Adipradana.

Seluruh prestasi yang diraih oleh Achmad Tirtosudiro adalah berkat kedisiplinan dan kerja maksimal yang dilandasi keimanan dan ketakwaan kepada Yang Maha Kuasa. Suhadi (2021) dalam resensi buku Jenderal dari Pesantren Legok menyatakan bahwa apa pun pangkat kemiliteran yang diraih Achmad Tirtosudiro, dia tetap menjadi seorang prajurit yang dalam setiap geraknya selalu di bawah pengawasan Allah SWT.

Berbekal keyakinan inilah hingga berumur 80 tahun Ahmad Tirtosudiro masih dipercaya menjalankan amanat ikut memikirkan nasib bangsa. Pengabdiannya kepada tanah air tetap dilakukan hingga tutup usia pada 9 Maret 2011 akibat infeksi paru-paru yang dideritanya. Achmad Tirtosudiro dimakamkan di samping makam Sng Istri (Suresmi Natalegawa) di TPU Tanah Kusir, Jakarta Selatan.

Sumber:
Suhadi. 2021. “Resensi Buku: Jenderal dari Pesantren Legok 80 Tahun Achmad Tirtosudiro”, diakses dari https://sejarah-tni.mil.id/2021/02/24/resensi-buku-jenderal-dari-pesantren-legok-80-tahun-achmad-tirtosudiro/, tanggal 10 Maret 2021

“Achmad Tirtosudiro”, diakses dari https://www.merdeka.com/achmad-tirtosudiro/profil/, tanggal 10 Maret 2021.
Cara Pasang Tali Layangan agar Manteng di Udara
Topeng Monyet
Pijat Susu

Archive