Haji Rijan adalah tokoh pejuang perintis kemerdekaan (1945-1949) yang lahir di Bekasi sekitar tahun 1875. Sebagai perintis kemerdekaan, namanya kerap disebut oleh para pelaku dan saksi sejarah pada masa Hindia Belanda, pendudukan militer Jepang, perang kemerdekaan, hingga awal demokrasi liberal. Sementara menurut anaknya sendiri (Marzuki Hidayat) yang dikutip oleh Anwar (2017), Sang ayah selalu diidentikkan sebagai penggelora semangat juang rakyat. Haji Rijan dipandang sebagai pemimpin kharismatis, guru mengaji yang disegani, dan tempat bertanya para pemuda pejuang.
Predikat sebagai penggelora semangat juang rakyat disebabkan karena pada periode 1930-1950an Haji Rijan kerap hadir dalam segenap perjuangan melawan penjajah. Pada masa Hindia Belanda misalnya, beliau masuk dalam jajaran pimpinan Sarekat Islam Bekasi. Sedangkan pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), aktif di organisasi AAA atau Jepang pemimpin Asia, Jepang cahaya Asia, dan Jepang pelindung Asia.
Bahkan saat awal kemerdekaan, tokoh karismatis ini masih ikut mengayomi dan menggelorakan semangat para pejuang muda untuk ikut bertempur membela tanah air. Dia menjadikan rumahnya sebagai markas pasukan Pelopor dan Barisan Banteng Republik Indonesia (BBRI) yang dipimpin oleh Sang anak, M. Husein Kamaly. Selain itu, dalam arsip Badan Keamanan Rakyat (BKR) Keresidenan Jakarta yang tersimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia, nama Haji Rijan pun juga disebutkan.
Arsip bernomor 47/BKR bertanggal 9 November 1945 itu berisi laporan Pemimpin BKR Keresidenan Jakarta, R. Soeriodipoetra kepada Presiden Republik Indonesia, Soekarno. Dalam lamporannya R. Soeriodipoetra juga melampirkan hasil laporan Tarmidji (salah seorang anggota BKR bagian penyidikan) sejumlah tiga halaman. Sebagian besar isi laporan Tarmidji sebagian besar berisi pertemuan dengan Haji Rijan di rumahnya di daerah Kranji.
Ada semacam tanya jawab dengan Haji Rijan dalam laporan Tarmidji. Dia menceritakan Haji Rijan menyambut dengan gembira dan sekaligus memujinya sebagai anak muda yang bisa menyatukan para haji di Bidara Cina dengan para haji lain untuk mendirikan Madrasatul Islamiyah, yaitu Haji Joenoes, KH. M. Moentaha S., Abdoelkadir bin Mohammad Alhaded, dan Ir. Safwan. Beliau bangga sekaligus heran melihat anak-anak muda seperti Tarmidji berani bertaruh nyawa demi mempertahankan kemerdekaan. Sebaliknya, Tarmidji juga memuji karena walau telah berusia lanjut, Haji Rijan masih bersedia menjadi pemimpin pasukan rakyat berjuang membela agama Islam sekaligus menghancurkan perintang-perintang Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu NICA dan para kaki tangannya.
Dalam kesempatan itu Haji Rijan berharap agar Tarmidji dapat mempertemukannya dengan Ir. Safwan. Namun Haji Rijan tidak menguraikan ciri-ciri fisik atau profil Ir. Safwan secara gamblang. Dia hanya mengatakan bahwa Ir. Safwan adalah seorang pejuang yang berintelegensia tinggi serta seorang sangat taat dalam beragama. Hal ini tentu saja membuat Tarmidji bingun dan hanya dapat berkata akan berusaha mencari tanpa memberi jaminan akan bertemu dengan Ir. Safwan.
Ketokohan Haji Rijan bukan hanya tercatat dalam arsip nasional Republik Indonesia saja, melainkan juga dalam ingatan kolektif para murid, kerabat, serta masyarakat di sekitarnya. Damanhuri Husein misalnya, salah seorang cucu Haji Rijan membenarkan kalau termasuk salah satu pemimpin yang dimusuhi oleh para tuan tanah dan diincar oleh Belanda. Pasalnya, banyak “aksi” beliau yang meresahkan mereka. Salah satunya, ketika para pemuda menggelar rapat raksasa di Ikada pada 19 September 1945, Haji Rijan memimpin rombongan pemuda Bekasi yang berangkat dari rumahnya di Kranji yang dijadikan sebagai markas pejuang. Pada awal revolusi, rumah ini pernah dilempari sebuah mortir namun hanya mengenai pohon yang ada di bagian pekarangannya.
Sebagai catatan, Haji Rijan menikah dengan seorang perempuan bernama Kisah. Dari hasil pernikahan tersebut mereka dikaruniai tujuh orang anak, yaitu: Muhammad, Saabah, Sauwih, Riah, Eno, Amsani, dan Muhammad Husein Kamaly. Muhammad dan Muhammad Husein Kamaly mengikuti jejak Sang Ayah. Muhammad menjabat sebagai detasement comandan atau komandan polisi pertama di Bekasi, sedangkan Muhammad Husein Kamaly, selain ketua BBRI juga merangkap sebagai ketua DPRD Kabupaten Bekasi periode 1956-1960.
Haji Rijan sendiri wafat pada 23 September 1957 dalam usia 82 tahun. Beliau dimakamkan di Komplek Pemakaman Mushala Al-Ikhlas, Gang Swadaya, Jalan Banteng, Kampung Kranji Besar, Kota Bekasi. Di dekat pusaranya terdapat sebuah replika bambu runcing berbendera Merah-Putih yang disematkan oleh Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) terhadap sebagai pengakuan terhadap segala jasa yang telah diberikan pada bangsa dan negara.