Alkisah, pada zaman dahulu kala ada seorang remaja bernama Tongtonge. Dia tidak pernah bersekolah karena sejak kecil bersama Sang Ayah hidup berpindah-pindah dari satu ladang ke ladang lainnya. Sebagai peladang berpindah, Tongtonge bersama ayahnya jarang pulang ke kampung halamannya. Dalam satu tahun Tongtonge hanya pulang tiga atau empat kali saja untuk menjenguk Sang Ibu yang sudah tua dan kurang pendengarannya.
Suatu hari, ketika sedang mengerjakan ladang yang baru akan ditanam, Tongtonge berhasrat ingin memakan ikan sungai. Pada saat istirahat dia segera membuat sebuah bubu (alat penangkap ikan) dari bahan-bahan yang ada di sekitarnya. Tetapi setelah jadi dan akan dipasangnya di sungai, Sang Ayah menyuruhnya mulai menanam singkong diladang sehingga bubu tersebut terpaksa ditinggalkan di tepi ladang.
Beberapa minggu kemudian, saat tanaman sudah mulai tumbuh Tongtonge teringat lagi akan bubu buatannya. Namun sayang, ketika dijumpai bubu itu telah rusak dimakan anai-anai. Dengan nada kesal, Tongtonge berkata, “Sialan, bubu buatanku telah rusak dimakan anai-anai. Sebagai balasanku, aku akan menangkapmu wahai anai-anai. Akan aku kumpulkan kalian dan kuberikan pada ibuku di rumah.”
Setelah berkata demikian, Tongtonge langsung mengumpulkan anai-anai tersebut dalam sebuah wadah lalu bergegas menuju Sang Ayah untuk meminta izin pulang menjenguk Sang Ibu. Oleh karena ladang bukaan baru mereka jauh dari kampung, di tengah perjalanan Tongtonge merasa lelah dan ingin beristirahat sejenak dengan tidur di bawah sebuah pohon rindang. Beberapa jam kemudian Tongtonge bangun dan segera mengambil bungkusan anai-anainya. Tetapi sayang, anai-anai itu telah habis dimakan ayam yang dari tadi berkeliaran tidak jauh dari pohon tempat dia beristirahat.
“Aduh, bubu dimakan anai-anai, anai-anai dimakan ayam, maka ayamlah yang akan kuberikan pada ibuku,” kata Tongtonge sambil meloncat menangkap sang ayam.
Sang ayam lalu dikepit dan dibawanya melanjutkan perjalanan hingga tiba di sebuah kampung. Di kampung itu Tongtonge singgah sebentar untuk makan di sebuah warung. Sang pemilik warung yang merasa aneh melihat Tongtonge makan sambil mengepit ayam segera berkata, “Wahai anak muda, titipkan saja ayammu kepadaku agar engkau dapat makan dan beristirahat dengan tenang.”
“Terima kasih. Tetapi hati-hati yah, jangan sampai ayamku mati,” kata Tongtonge agak khawatir.
“Kalau sampai mati akan saya ganti,” jawab pemilik warung.
Apa yang dikhawatirkan Tongtonge tidak lama kemudian terjadi juga. Sang ayam yang disimpan oleh pemilik warung di dekat lumbung agar dapat memakan beras yang terbuang dari lesung secara tidak sengaja malah tertimpa alu penumbuk padi hingga mati.
“Maaf saudaraku, ayammu secara tidak sengaja tertimpa alu hingga mati. Aku akan menggantinya dengan ayamku,” kata pemilik warung.
“Tidak,” jawab Tongtonge tegas. “Jika ayamku mati karena alu, maka alu itulah yang akan menjadi gantinya.
Agar tidak terjadi percekcokan, pemilik warung segera memberikan alunya walaupun agak sedikit bingung. Sementara Si Tongtonge langsung mengambilnya dan melanjutkan perjalanan menuju kampung halamannya yang masih jauh.
Sesampainya di sebuah padang rumput Tongtonge disapa oleh seorang pemilik sapi, “Wahai anak muda, bolehkah aku meminjam alumu untuk dijadikan palang pintu kandang sapiku?”
“Boleh, tapi engkau harus hati-hati. Apabila patah, maka sapimu yang akan aku ambil sebagai gantinya,” jawab Tongtong.
Setelah terjadi kesepakatan, Tongtonge lalu membantu sang pemilik sapi memasang alu itu sebagai palang pintu penghalang sapi-sapi keluar kandang. Tetapi, tidak lama setelah terpasang, tiba-tiba ada seekor sapi cukup besar berlari kencang dan menabrak alu hingga patah menjadi beberapa bagian.
“Aduh, aluku patah! Sapi itu harus kuambil sebagai gantinya,” teriak Tongtonge sambil berlari mengejar sapi yang mematahkan alunya.
Ketika berhasil di tangkap, sang sapi diikat moncongnya dan dibawa melanjutkan perjalanan pulang. Tetapi karena siang itu cuaca sangat terik, Tongtonge memutuskan untuk beristirahat lagi di bawah sebuah pohon nangka besar dan rindang sambil menunggu matahari agak condong ke barat.
Baru beberapa menit beristirahat, perut Tongtonge terasa lapar lagi karena mencium bau harum dari bebuahan nangka berukuran besar yang sedang masak di pohon. Tergiur oleh keharuman bebuahan nangka tersebut, tanpa berpikir panjang Tongtonge langsung memanjat dan memakannya hingga perutnya besar karena kekenyangan dan akhirnya tertidur pulas di atas pohon. Sementara Tongtonge tertidur pulas, bertiuplah angin agak besar hingga membuat buah-buah nangka berjatuhan. Beberapa buah diantaranya jatuh menimpa kepala sapi hingga mati seketika.
Pada saat terbangun Tongtonge melihat dari atas pohon kalau sapinya telah mati. Di sekitar kepala sapi itu terdapat beberapa buah nangka berukuran besar, sehingga ia menyimpulkan bahwa buah-buah nangkalah yang menyebabkan kematian sapinya. “Bubu rusak dimakan anai-anai, anai-anai habis dimakan ayam, ayam mati tertimpa alu, alu patah diterjang sapi, sekarang sapi mati tertimpa buah nangka, maka buah nangkalah yang akan kubawa pulang,” pikirnya dalam hati.
Tongtonge segera turun dari pohon dan memungut buah nangka yang berada paling dekat dengan kepala sapi lalu melanjutkan perjalanan pulang. Oleh karena nangka yang dibawanya lumayan berat, baru beberapa puluh menit berjalan ia sudah kelelahan dan memutuskan beristirahat di sebuah gubuk.
Secara tidak disangka, dari dalam gubuk keluarlah seorang gadis cantik jelita yang mensilahkan Tongtonge masuk. Mendapat tawaran dari seorang gadis cantik tentu saja Tongtonge langsung menerimanya dengan senang hati. Tanpa dipersilahkan lagi Tongtonge menuju ke bale-bale untuk beristirahat, sementara buah nangkanya ditaruh di dapur.
Celakanya, karena diletakkan di dapur, Sang Gadis cantik mengira kalau buah nangka itu diperuntukkan baginya. Ia pun memotong sebagian dan memakannya hingga habis. Sedangkan sisanya, dia taruh di piring dan ditutup dengan tudung saji agar tidak dihinggapi lalat.
Sekitar satu jam kemudian Tongtonge bangun dari tidur lalu beranjak menuju ke dapur mengambil buah nangkanya sekaligus berpamitan pada pemilik gubuk. Tetapi ketika sampai di dapur, ia melihat buah nangkanya telah berada dalam tudung saji dan hanya tinggal setengahnya saja. Sedangkan setengahnya lagi, tinggal kulit dan biji-bijinya saja.
“Alamak, sial sekali diriku! Bubu rusak dimakan anai-anai, anai-anai habis dimakan ayam, ayam mati tertimpa alu, alu patah diterjang sapi, sapi mati tertimpa buah nangka, sekarang buah nangka dimakan si gadis, maka giliran si gadislah yang akan kubawa pulang,” pikirnya dalam hati.
Selanjutnya, Tongtonge langsung membuat dua buah keranjang berukuran besar beserta pikulannya. Setelah jadi, satu keranjang sebagai tempat membawa si gadis cantik dan satunya lagi diisi dengan batu agar seimbang. Tongtonge pun melanjutkan perjalanannya kembali.
Di tengah perjalanan Tongtonge merasa perutnya mulas dan ingin buang air besar. Oleh karena sudah tidak kuat lagi menahan rasa mulasnya, Tongtonge segera berhenti dan langsung membuka celananya. Ia tidak menyadari kalau yang dibawa dalam keranjangnya adalah seorang gadis.
“Kalau ingin buang air besar menjauhlah dari sini. Carilah sungai agar engkau dapat mencuci tubuhmu,” teriak Sang Gadis.
Menyadari kalau yang dibawa adalah seorang gadis, Tongtonge menaikkan lagi celananya dan bergegas mencari sungai. Sementara itu, Sang Gadis yang ditinggal sendirian memanfaatkan kesempatan tersebut untuk melarikan diri pulang ke rumahnya. Agar tidak lekas diketahui Tongtonge, sebelum melarikan diri Sang Gadis mengisi keranjang yang ditempatinya dengan bebatuan lalu ditutup dengan dedaunan.
Sekitar setengah jam kemudian Tongtonge telah kembali untuk mengambil dan mengangkut keranjangnya pulang ke rumah. Ia tidak menyadari kalau Sang Gadis yang ditaruh dalam keranjang telah melarikan diri karena berat keranjang yang dipikulnya relatif seimbang.
Sesampainya di rumah, Tongtonge segera memanggil ibunya, “Ibu, aku datang membawa sesuatu untukmu!”
Dari dalam rumah Sang Ibu menyahut, “Kalau hanya batu dan kayu kering engkau taruh saja dikolong rumah.”
“Tidak, dalam keranjangku tidak hanya berisi batu, tetapi juga seorang gadis cantik. Aku akan menjadikan dia sebagai isteriku,” teriak Tongtonge dari halaman rumah.
Mendengar Tongtonge datang membawa seorang perempuan yang akan dijadikan isteri, Sang Ibu bergegas keluar untuk melihatnya.
“Mana perempuan itu?” tanya Sang Ibu penasaran.
“Itu di dalam keranjang,” sahut Tongtonge singkat.
“Ooo…, coba bukalah salah satu keranjang yang engkau tutup dengan dedaunan itu,” kata Sang Ibu sambil tersenyum karena tahu bahwa yang dibawa anaknya hanyalah bebatuan.
Dengan bersemangat Tongtonge langsung membuka dedaunan yang menutupi keranjangnya. Ia ingin memperlihatkan kepada Sang Ibu kalau gadis yang dibawanya memang benar-benar cantik. Tetapi alangkah terkejutnya dia ketika dedaunan penutup telah disingkirkan yang tampak hanyalah bebatuan saja.
“Alamak, sial lagi diriku! Bubu rusak dimakan anai-anai, anai-anai habis dimakan ayam, ayam mati tertimpa alu, alu patah diterjang sapi, sapi mati tertimpa buah nangka, buah nangka dimakan si gadis, kini giliran si gadislah yang menjadi batu, maka batu inilah yang akan kuberikan pada ibuku” pikirnya dalam hati.
“Gadis itu telah beralih menjadi batu, Bu! Jadi, sekarang batu itulah yang akan kuberikan padamu,” kata Tongtonge polos.
Diceritakan kembali oleh ali gufron