(Cerita Rakyat Daerah Nusa Tenggara Barat)
Alkisah, zaman dahulu kala ada sebuah kerajaan bernama Kenaga dengan pusat pemerintahannya di Suradadi, Desa Kenaga. Daerah pusat pemerintahan kerajaan ini suatu saat pernah dibumihanguskan oleh Kerajaan Bali, sehingga membuat pemimpinnya bernama Raden Satria Nata beserta para pengikutnya terpaksa harus mencari tempat tinggal baru.
Dalam usaha pencarian lokasi tempat tinggal tersebut dijumpailah sebuah desa bernama Madya dengan karakteristik mirip seperti seperti Desa Kenaga. Raden Satria Nata dan para pengikutnya kemudian membuat rumah dan membuka lahan guna bercocok tanam sebagai mata pencaharian. Tanaman yang mereka usahakan adalah komak atau oleh orang Jawa disebut sebagai kara. Tetapi sayang, baru beberapa bulan ditanam, datanglah puteri jin yang menghisap sari bunganya. Oleh Raden Satria Nata, Sang Puteri Jin segera ditangkap tetapi tidak dikurung sebagaimana layaknya seorang pencuri. Raden Satria Nata yang melihat kecantikan dan keelokan Sang Puteri Jin malah berniat untuk mempersuntingnya. Sang Puteri Jin pun bersedia asalkan selama mereka menjadi suami-isteri tidak boleh saling berbicara.
Beberapa tahun kemudian lahirlah seorang bayi laki-laki dari perkawinan “bisu” mereka. Raden Satria Nata sangat menyayangi puteranya, namun perasaan itu tidak bisa dia ungkapkan dalam kata-kata kepada Sang Isteri karena telah berjanji untuk tidak saling berbicara. Dia hanya bisa menunjukkannya melalui bahasa tubuh dengan tatapan dan belaian lembut pada tubuh mungil bayinya.
Suatu hari Sang Isteri pergi ke perigi untuk mengambil air. Seperti biasa, sebelum pergi dia menidurkan anaknya di atas geong atau ayunan terbuat dari selendang. Tujuannya, agar dapat membawa lebih banyak air tanpa harus menggendong bayinya yang baru bisa duduk.
Sementara ditinggal, Raden Satria Nata segera mendekati bayinya yang sedang tertidur pulas dalam ayunan. Dia agak kesal karena Sang Bayi ditinggal begitu saja tanpa memberikan isyarat kepadanya. Untuk melampiaskan kekesalannya, Raden Satria Nata pun menggendong Sang Bayi lalu menyembunyikan selendang yang dipakai sebagai ayunan.
Tidak berapa lama kemudian, datanglah Sang Ibu dari perigi sambil membawa sebuah wadah besar berisi air. Sesampainya di belakang rumah dia langsung menuju dapur untuk mengisi tempayan air yang tinggal sedikit lagi. Selanjutnya, dia menuju ruang tidur bermaksud hendak mengambil Sang Anak yang dikira masih tertidur dalam ayunan.
Namun, belum sempat memasuki kamar tidur dia telah melihat anaknya sedang duduk di ruang tamu yang lantainya masih berupa tanah, sementara sang suami hanya melihat sambil duduk santai di kursi tamu. Walau agak kesal melihat kelakuan Sang Suami (Raden Satria Nata), tanpa berbicara sedikit pun Sang Isteri langsung masuk ke kamar tidur mencari selendang guna menggendong Sang Anak.
Ternyata selendang yang dicari sudah tidak berada di dalam kamar karena telah ditaruh di tempat lain oleh Raden Satria Nata. Sang Isteri pun kebingungan, dia bolak-balik dari kamar satu ke kamar lain untuk mencarinya.
Kasihan melihat tingkah laku Sang Isteri seperti orang bingung, Raden Satria Nata segera mengambil selendang yang tadi disembunyikannya. “Benda inikah yang engkau cari, isteriku?” tanya Raden Satria Nata sambil menyodorkan selendang.
Sang Isteri terkejut karena Raden Satria Nata tiba-tiba berbicara kepadanya. Dia segera meraih selendang itu lalu bersimpuh dan berkata, “Kanda telah melupakan perjanjian kita. Hamba terpaksa pergi dari sini karena Kanda telah melanggar janji untuk tidak berbicara selama perkawinan kita.”
Setelah berkata demikian, dia lalu bangkit untuk menggeondong anaknya dan pergi menuju dapur mengambil joman (jerami). Joman itu dibawanya ke belakang rumah lalu dibakarnya hingga menimbulkan kepulan asap yang sangat banyak. Dan, bersamaan dengan kepulan asap yang membumbung tinggi tersebut, dia pun lenyap bersama dengan putera yang digendongnya.
Raden Satria Nata tidak dapat berbuat apa-apa menyaksikan kepergian Sang Isteri bersama putera semata wayangnya. Dia hanya berdiri diam selama beberapa saat hingga akhirnya pingsan karena tidak dapat menahan kesedihannya.
Ketika siuman, Raden Satria Nata segera menemui penasihatnya untuk meminta jalan keluar. Oleh Sang Penasihat dia dianjurkan bertapa di Gunung Sesang agar dapat bertemu dengan anak dan isterinya. Selama sembilan hari sembilan malam Raden Satria Nata bertapa di Gunung Sesang, tetapi tidak juga bertemu dengan keluarganya. Yang terdengar hanyalah suara gaib Sang Isteri pada malam kesembilan yang mengatakan bahwa dia tidak mungkin kembali lagi, sementara Sang Anak dapat kembali dengan syarat harus diadakan suatu upacara selamatan dengan sesajen berupa dulang sebanyak empat puluh empat macam dan harus dibawa ke Desa Kenaga.
Singkat cerita, upacara selamatan diadakan dengan dipimpin oleh Nek Sura. Dalam upacara itu Sang anak berhasil dikembalikan. Namun karena Raden Satria Nata masih ingin bertemu dengan Sang Isteri, maka dia pun melanjutkan tapanya hingga akhirnya meninggal dunia di Gunung Sesang. Sementara, Sang Anak dititipkan untuk dipelihara oleh Nek Sura.
Oleh karena Raden Satria Nata telah meninggal serta isterinya tidak diketahui lagi dimana rimbanya, hingga berumur empat tahun Sang Putera masih belum mempunyai nama. Nek Sura bersama seluruh penduduk Madya bermusyawarah untuk menentukan nama anak tersebut. Dalam musyawarah dicapailah kesepakan mencari orang “pintar” di daerah Gel-gel, tanah leluhur Raden Satria Nata.
Beberapa hari kemudian berangkatlah Nek Sura, putera Raden Satria Nata beserta beberapa orang penduduk Madya menuju Gel-gel. Konon, ketika mereka berada di pelabuhan guna menunggu perahu yang akan menyeberangkan ke Pulau Bali, tiba-tiba datang seorang tua yang mengaku keturunan dari Satria Dayak sebagai satu-satunya keturunan yang berhak memberi nama bagi putera Raden Satria Nata.
Orang tua itu kemudian memberi nama putera Raden Satria Nata sebagai “Satria tampena”. Dari nama Satria Tampena inilah konon sekarang menjadi kata Ampenan, nama sebuah kota di Kabupaten Lombok. Keturunan Satria Tampenan saat ini banyak terdapat di Desa Suradadi, Kabupaten Lombok.
Diceritakan kembali oleh ali gufron
Alkisah, zaman dahulu kala ada sebuah kerajaan bernama Kenaga dengan pusat pemerintahannya di Suradadi, Desa Kenaga. Daerah pusat pemerintahan kerajaan ini suatu saat pernah dibumihanguskan oleh Kerajaan Bali, sehingga membuat pemimpinnya bernama Raden Satria Nata beserta para pengikutnya terpaksa harus mencari tempat tinggal baru.
Dalam usaha pencarian lokasi tempat tinggal tersebut dijumpailah sebuah desa bernama Madya dengan karakteristik mirip seperti seperti Desa Kenaga. Raden Satria Nata dan para pengikutnya kemudian membuat rumah dan membuka lahan guna bercocok tanam sebagai mata pencaharian. Tanaman yang mereka usahakan adalah komak atau oleh orang Jawa disebut sebagai kara. Tetapi sayang, baru beberapa bulan ditanam, datanglah puteri jin yang menghisap sari bunganya. Oleh Raden Satria Nata, Sang Puteri Jin segera ditangkap tetapi tidak dikurung sebagaimana layaknya seorang pencuri. Raden Satria Nata yang melihat kecantikan dan keelokan Sang Puteri Jin malah berniat untuk mempersuntingnya. Sang Puteri Jin pun bersedia asalkan selama mereka menjadi suami-isteri tidak boleh saling berbicara.
Beberapa tahun kemudian lahirlah seorang bayi laki-laki dari perkawinan “bisu” mereka. Raden Satria Nata sangat menyayangi puteranya, namun perasaan itu tidak bisa dia ungkapkan dalam kata-kata kepada Sang Isteri karena telah berjanji untuk tidak saling berbicara. Dia hanya bisa menunjukkannya melalui bahasa tubuh dengan tatapan dan belaian lembut pada tubuh mungil bayinya.
Suatu hari Sang Isteri pergi ke perigi untuk mengambil air. Seperti biasa, sebelum pergi dia menidurkan anaknya di atas geong atau ayunan terbuat dari selendang. Tujuannya, agar dapat membawa lebih banyak air tanpa harus menggendong bayinya yang baru bisa duduk.
Sementara ditinggal, Raden Satria Nata segera mendekati bayinya yang sedang tertidur pulas dalam ayunan. Dia agak kesal karena Sang Bayi ditinggal begitu saja tanpa memberikan isyarat kepadanya. Untuk melampiaskan kekesalannya, Raden Satria Nata pun menggendong Sang Bayi lalu menyembunyikan selendang yang dipakai sebagai ayunan.
Tidak berapa lama kemudian, datanglah Sang Ibu dari perigi sambil membawa sebuah wadah besar berisi air. Sesampainya di belakang rumah dia langsung menuju dapur untuk mengisi tempayan air yang tinggal sedikit lagi. Selanjutnya, dia menuju ruang tidur bermaksud hendak mengambil Sang Anak yang dikira masih tertidur dalam ayunan.
Namun, belum sempat memasuki kamar tidur dia telah melihat anaknya sedang duduk di ruang tamu yang lantainya masih berupa tanah, sementara sang suami hanya melihat sambil duduk santai di kursi tamu. Walau agak kesal melihat kelakuan Sang Suami (Raden Satria Nata), tanpa berbicara sedikit pun Sang Isteri langsung masuk ke kamar tidur mencari selendang guna menggendong Sang Anak.
Ternyata selendang yang dicari sudah tidak berada di dalam kamar karena telah ditaruh di tempat lain oleh Raden Satria Nata. Sang Isteri pun kebingungan, dia bolak-balik dari kamar satu ke kamar lain untuk mencarinya.
Kasihan melihat tingkah laku Sang Isteri seperti orang bingung, Raden Satria Nata segera mengambil selendang yang tadi disembunyikannya. “Benda inikah yang engkau cari, isteriku?” tanya Raden Satria Nata sambil menyodorkan selendang.
Sang Isteri terkejut karena Raden Satria Nata tiba-tiba berbicara kepadanya. Dia segera meraih selendang itu lalu bersimpuh dan berkata, “Kanda telah melupakan perjanjian kita. Hamba terpaksa pergi dari sini karena Kanda telah melanggar janji untuk tidak berbicara selama perkawinan kita.”
Setelah berkata demikian, dia lalu bangkit untuk menggeondong anaknya dan pergi menuju dapur mengambil joman (jerami). Joman itu dibawanya ke belakang rumah lalu dibakarnya hingga menimbulkan kepulan asap yang sangat banyak. Dan, bersamaan dengan kepulan asap yang membumbung tinggi tersebut, dia pun lenyap bersama dengan putera yang digendongnya.
Raden Satria Nata tidak dapat berbuat apa-apa menyaksikan kepergian Sang Isteri bersama putera semata wayangnya. Dia hanya berdiri diam selama beberapa saat hingga akhirnya pingsan karena tidak dapat menahan kesedihannya.
Ketika siuman, Raden Satria Nata segera menemui penasihatnya untuk meminta jalan keluar. Oleh Sang Penasihat dia dianjurkan bertapa di Gunung Sesang agar dapat bertemu dengan anak dan isterinya. Selama sembilan hari sembilan malam Raden Satria Nata bertapa di Gunung Sesang, tetapi tidak juga bertemu dengan keluarganya. Yang terdengar hanyalah suara gaib Sang Isteri pada malam kesembilan yang mengatakan bahwa dia tidak mungkin kembali lagi, sementara Sang Anak dapat kembali dengan syarat harus diadakan suatu upacara selamatan dengan sesajen berupa dulang sebanyak empat puluh empat macam dan harus dibawa ke Desa Kenaga.
Singkat cerita, upacara selamatan diadakan dengan dipimpin oleh Nek Sura. Dalam upacara itu Sang anak berhasil dikembalikan. Namun karena Raden Satria Nata masih ingin bertemu dengan Sang Isteri, maka dia pun melanjutkan tapanya hingga akhirnya meninggal dunia di Gunung Sesang. Sementara, Sang Anak dititipkan untuk dipelihara oleh Nek Sura.
Oleh karena Raden Satria Nata telah meninggal serta isterinya tidak diketahui lagi dimana rimbanya, hingga berumur empat tahun Sang Putera masih belum mempunyai nama. Nek Sura bersama seluruh penduduk Madya bermusyawarah untuk menentukan nama anak tersebut. Dalam musyawarah dicapailah kesepakan mencari orang “pintar” di daerah Gel-gel, tanah leluhur Raden Satria Nata.
Beberapa hari kemudian berangkatlah Nek Sura, putera Raden Satria Nata beserta beberapa orang penduduk Madya menuju Gel-gel. Konon, ketika mereka berada di pelabuhan guna menunggu perahu yang akan menyeberangkan ke Pulau Bali, tiba-tiba datang seorang tua yang mengaku keturunan dari Satria Dayak sebagai satu-satunya keturunan yang berhak memberi nama bagi putera Raden Satria Nata.
Orang tua itu kemudian memberi nama putera Raden Satria Nata sebagai “Satria tampena”. Dari nama Satria Tampena inilah konon sekarang menjadi kata Ampenan, nama sebuah kota di Kabupaten Lombok. Keturunan Satria Tampenan saat ini banyak terdapat di Desa Suradadi, Kabupaten Lombok.
Diceritakan kembali oleh ali gufron