(Cerita Rakyat Nusa Tenggara Barat)
Di Kabupaten Sumbawa, tepatnya di Sungai Lengkong, Desa Lekong, Kecamatan Alas, terdapat sebuah batu besar, bulat, tinggi, bagian atasnya datar, dan seakan menggantung pada tebing sebuah bukit. Sesuai dengan namanya yaitu “nong” yang dapat diartikan sebagai “melihat ke bawah dari atas”, orang dapat melihat pemandangan di sekelilingnya dengan jelas apabila berada di atas batu nong. Namun haruslah berhati-hati karena jika dilihat dari bawah posisi batu nong sangatlah “mengkhawatirkan.” Apabila terjadi suatu getaran di perut bumi, kemungkinan batu tersebut akan runtuh.
Bagi masyarakat yang tinggal di sekitar Kecamatan Alas, batu nong bukanlah sekadar batu biasa yang terbentuk oleh alam. Batu nong memiliki “sejarahnya” sendiri yang tersaji dalam sebuah cerita rakyat. Berikut ini adalah kisahnya.
Alkisah, tersebutlah sebuah negeri makmur, aman, dan damai. Di negeri ini tidak pernah terdengar perselisihan di antara penduduknya. Mereka, baik laki-laki maupun perempuan, mempunyai hak yang sama, kecuali sebuah larangan bagi seorang laki-laki mencuci pantat anaknya yang baru selesai buang air besar. Larangan atau tabu mencuci pantat anak ini diyakini benar oleh warga masyarakat karena konon dapat mendatangkan malapetaka bagi yang melanggarnya.
Suatu hari, terdengarlah berita bahwa negeri tetangga akan mengadakan sebuah perhelatan besar. Sudah barang tentu berita ini disambut gembira oleh semua orang, tidak terkecuali sebuah keluarga di negeri yang mempunyai tabu “aneh” itu. Sang Isteri dalam keluarga itu merengek pada suaminya agar diizinkan menonton keramaian. Alasannya, sejak kawin hingga anaknya tidak menyusu lagi belum pernah mendapat kesempatan menonton keramaian.
“Bolehkah saya menonton keramaian di negeri tetangga?” tanya Sang Isteri.
“Kalau nanti anak kita buang air besar bagaimana?” tanya Sang Suami.
“Saya tidak akan menginap. Tunggu saya datang saja baru dibersihkan,” kata isterinya lagi.
“Baiklah kalau engkau tetap bersikeras hendak menonton,” kata suaminya mengalah.
Perkiraan Sang Isteri ternyata salah karena untuk dapat mencapai lokasi keramaian di negeri tetangga dibutuhkan lebih dari satu hari perjalanan. Dan, ketika sampai di sana dia pun lupa pada anak dan suaminya hingga tidak terasa telah tiga hari waktu berlalu.
Sementara di rumah, Sang suami sudah mulai tidak tahan mencium bau yang sangat busuk. Bau itu keluar pantat anaknya yang telah tiga kali buang kotoran. Oleh karena sudah tidak kuat lagi, dia lalu membawa anaknya ke kamar mandi untuk dibersihkan. Dia tidak menyadari kalau hal itu merupakan sebuah tabu yang dapat mendatangkan malapetaka berupa kutukan.
Malam harinya, kutukan itu pun datang. Sekujur tubuh Sang suami secara perlahan mulai bersisik, tangan dan kakinya mengerut dan akhirnya menjadi seekor naga yang berkepala manusia. Barulah dia sadar kalau telah melanggar tabu, tetapi apa hendak dikata, nasi pun telah menjadi bubur.
Beberapa hari setelahnya, Sang isteri pulang bersama teman-teman sekampungnya. Sesampainya di rumah, dia terkejut dan langsung menjerit melihat tubuh suaminya yang telah beralih wujud menjadi seekor naga.
Agar isterinya tidak sedih bercampur malu, Sang Suami berkata, “Wahau Isteriku, janganlah engkau bersedih. Ini semua akibat perbuatanku yang secara tidak sengaja membasuh pantat anak kita. Aku sudah tidak tahan mencium bau busuk dari kotoran yang dikeluarkan anak kita”.
“Lalu aku harus berbuat bagaimana,” tanya Sang isteri kebingungan.
“Sekarang belilah sebuah tempayan besar di pasar. Kemudian, masukkanlah aku dalam tempayan itu dan taruh di tepi sungai,” kata Sang suami.
Dengan perasaan sedih bercampur penyesalan, Sang isteri pun menuruti perintah suaminya. Dan, sejak saat itu setiap hari dia selalu pergi ke tepi sungai untuk mengantarkan makanan bagi suaminya. Hal itu dilakukannya selama bertahun-tahun hingga suatu hari terjadilah peperangan dengan negeri tetangga. Seluruh penjuru negeri menjadi porak-poranda hingga mengakibatkan banyak orang kehilangan nyawanya.
Sementara yang masih hidup berusaha mengungsi untuk menyelamatkan diri masing-masing. Ada yang bersembunyi di dalam hutan, ada yang bersembunyi di puncak gunung, dan ada pula yang memanfaatkan sungai untuk pindah ke tempat lain menggunakan perahu. Diantara para pengungsi yang menggunakan perahu tersebut adalah isteri Sang Naga.
Sang isteri bersama puluhan orang lainnya berlayar selama berhari-hari mencari daerah yang dianggap aman. Rombongan pengungsi itu tidak sadar kalau ada sebuah tempayan besar berisi seekor ular naga yang selalu mengikuti hingga mereka berhenti di suatu tempat dekat muara Sungai Lekong, Sumbawa bagian barat.
Malam harinya ketika sebagian pengungsi sudah terlelap dalam gubuk-gubuk sederhana yang masih bersifat sementara, tiba-tiba Sang pemilik perahu merasa perutnya mulas dan ingin buang air besar. Dengan tergopoh-gopoh, dia berjalan menuju perahunya untuk buang air di tepi muara sungai. Tetapi sebelum sempat melaksanakan hajatnya, dia terkejut karena melihat sebuah tempayan besar yang menghalangi aliran air sungai.
Sang pemilik perahu menjadi lebih terkejut lagi ketika mendengar sebuah suara dari dalam tempayan, “Aku harus pindah ke tebing di bukit itu. Tubuhku sudah tidak muat lagi dalam tempayan ini.”
Belum sempat hilang dari rasa keterkejutannya, tiba-tiba Sang pemilik perahu melihat tempayan itu terbang dan menempel pada tebing di dekat para pengungsi mendirikan gubuk. Ketika telah menempel di tebing, berangsur-angsur tempayan tersebut berubah menjadi sebuah batu besar.
Pagi harinya, ketika seluruh pengungsi sudah bangun dari tidurnya, Sang Juragan Perahu langsung menceritakan pengalamannya yang luar biasa itu. Penasaran akan cerita Sang Juragan Perahu, para pengungsi pun lantas beramai-ramai naik ke bukit. Setelah sampai di atas bukit, sebagian diantaranya berdiri di atas batu besar itu. Dari atas batu ternyata mereka dapat melihat alam semesta yang terbentang indah, terutama daratan yang berada di bawahnya. Oleh karena takjub, batu tersebut kemudian mereka beri nama Batu Nong yang dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai “batu tempat melihat ke bawah dari atas”.
Diceritakan kembali oleh ali gufron