Oleh Prof. Dr. Farida Hanum, M.Si
A.
Pendahuluan
Masyarakat Indonesia sangat beragam dan tinggal di wilayah pulau-pulau
yang tersebar berjauhan. Dalam Deklarasi Djoeanda, laut Indonesia seluas 5,8
km2, di dalamnya terdapat lebih dari 17.500 pulau besar dan kecil dikelilingi
garis pantai sejauh lebih dari 80.000 km, yang merupakan garis pantai
terpanjang di dunia setelah Kanada (Prakoso, B.P., 2008:1). Hal ini menyebabkan
interaksi dan integrasi ekonomi sulit merata, sehingga terdapat ketimpangan
kesejahteraan masyarakat. Ini sangat rentan sebagai awal rasa ketidakpuasan
yang berpotensi menjadi konflik.
Kondisi tersebut di atas dilengkapi pula dengan sistem pemerintahan yang
kurang memperhatikan pembangunan kemanusiaan para era terdahulu, kebijakan
Negara Indonesia didominasi oleh kepentingan ekonomi dan stabilitas nasional.
Sektor pendidikan politik dan pembinaan bangsa kurang mendapat perhatian. Pada
saat itu, masyarakat takut berbeda pandangan, sebab kemerdekaan mengeluarkan
pendapat tidak mendapat tempat; kebebasan berpikir ikut terpasung’ pembinaan
kehidupan dalam keragaman nyaris berada pada titik nadir. Tiba-tiba sejak
dengan adanya Otonomi Daerah “semangat kedaerahan” menjadi mengemuka daripada
“semangat untuk bersatu”. Ikatan berdampingan antaretnis dan agama
dikesampingkan, hanya untuk melepas akumulasi kecemburuan sosial. Perbedaan
suku, agama, RAS, dan antargolongan (SARA) sebagai kondisi nyata yang diwarisi
turun temurun, yang merupakan unsur-unsur kekayaan yang mewarnai khasanah
budaya bangsa, menjadi momok yang menakutkan, sekaligus ancaman potensial bagi
eksistensi bangsa dan menipisnya rasa nasionalisme.
Secara historis dapat diketahui bahwa rasa nasionalisme dapat
membangkitkan bangsa Indonesia terbebas dari cengekraman penjajah. Untuk
konteks masa kini, nasionalisme inilah yang dapat membangkitkan bangsa Indonesia
yang masih sangat besar dependensi (ketergantungan)-nya pada bangsa-bangsa
lain, agar menjadi bangsa yang benar-benar memiliki independensi (kemandirian)
dan selanjutnya mencapai interdependensi, memiliki keunggulan dalam berbagai
bidang untuk dapat bekerja secara sinergis baik dengan suku-suku bangsa (etnis)
yang ada di Indonesia maupun dengan bangsa lain. Sayangnya nasionalisme
tersebut mulai menipis.
Menurut Thomas Lickona (1992), ada sepuluh tanda dari perilaku manusia
yang menunjukkan arah kehancuran suatu bangsa, yaitu:
- Meningkatnya
kekerasan di kalangan remaja.
- Ketidakjujuran
yang membudaya.
- Semakin
tingginya rasa tidak hormat kepada orangtua, guru dan pemimpin.
- Pengaruh
peergroup terhadap tindak kekerasan.
- Meningkatnya
kecurigaan dan kebencian.
- Penggunaan
bahasa yang memburuk.
- Penurunan etos
kerja.
- Menurunnya rasa
tanggung jawab sosial individu dan warga negara.
- Meningginya
perilaku merusak diri.
- Semakin
hilangnya pedoman moral.
Sepuluh hal inilah yang menunjukkan tanda kehancuran suatu bangsa. Apa
yang dikatakan oleh Lickona di atas hampir semua dapat dilihat telah terjadi di
Indonesia. Seperti perkelahian pelajar dan mahasiswa (tawuran); cukup banyak
orangtua, guru dan para pemimpin yang melakukan tindakan tidak terpuji dan
menghilangkan rasa hormat anak pada mereka, atau anak yang tega membunuh
orangtua karena kemauannya tidak dituruti. Maraknya kelompok anak-anak muda
yang melakukan kriminal, contoh geng motor, memperkosa bersama-sama, dan
sebagainya. Meningkatnya rasa bermusuhan antaretnis, antaragama. Cara
berkomunikasi yang menebarkan rasa bermusuhan, konflik dan saling memojokkan,
sangat sering kita dengar di lingkungan atau melalui media. Ajaran para tetua
dulu terutama pada budaya Jawa untuk menggunakan bahasa kromo yang santun sudah
lama ditinggalkan. Perolaku merusak diri dengan narkoba, minuman keras dan
perilaku seks bebas terus saja bertambah jumlahnya. Etos kerja yang rendah dan
bermimpi punya uang banyak, membuat penipuan, pencurian, dan korupsi
merajalela. Pemberitaan yang riuh dan simpang siur oleh media-media yang
komersial membuat warga semakin kehilangan pedoman moral. Ada kesan sulitnya
“menjadi orang baik” dewasa ini.
Problem dan permasalahan yang kompleks itu memerlukan jalan keluar dan
tindakan yang nyata. Karakter bangsa yang terpuji, kecerdasan warga yang prima,
nasionalisme Indonesia yang kuat, kemampuan hidup dalam masyarakat dan budaya
yang multikultural, sangat perlu menjadi fokus pengembangan pribadi setiap
warga bangsa. Hal tersebut dapat dicapai melalui proses pendidikan, pembudayaan
dan pelatihan baik secara formal melalui lembaga sekolah maupun secara informal
melalui lembaga kemasyarakatan, kelompok-kelompok kerja, organisasi-organisasi
masyarakat dan dimulai sejak usia dini sampai dewasa ini bahkan sampai tua,
antara lain melalui pendidikan multikulutral.
B.
Memahami
Pendidikan Multikulural dan Hakekatnya
Dalam konteks kehidupan bangsa dan budaya yang multikultural, pemahaman
multikultural harus dihadirkan untuk memperluas wacana pemikiran manusia yang
selama ini masih mempertahankan “egoisme” kebudayaan dan keagamaan. Sejarah
pahit telah membuktikan ketika sebagian dari warga bangsa berpandangan
primordial, baik dalam paham agama, kewilayahan maupun ideologi telah
mengakibatkan bangsa tercabik-cabik oleh perbedaan tersebut, seperti perang
antaretnis, agama, dan lain-lain.
Pada dasarnya “ruh” dan “napas” pendidikan multikulutral adalah
demokrasi, humanisme, dan pluralisme yang anti terhadap adanya kontrol, tekanan
yang membatasi dan menghilangkan kebebasan manusia. Yang selanjutnya,
pendidikan multikulutral inilah yang menjadi motor penggerak dalam menegakkan
demokrasi, humanisme, dan pluralisme yang dilakukan melalui sekolah, perguruan
tinggi, dan institusi-institusi lainnya seperti halnya terjadi di Amerika
Serikat dan diikuti banyak negara lainnya.
Haviland mengatakan bahwa multikultural dapat diartikan pula sebagai
pluralitas kebudayaan dan agama. Dengan demikian, memelihara pluralitas akan
tercapai kehidupan yang ramah penuh kedamaian. Pluralitas kebudayaan adalah
interaksi sosial dan politik antara orang-orang yang berbeda cara hidup dan
berpikirnya dalam suatu masyarakat. Secara ideal, pluralisme kebudayaan
multikulturalisme berarti penolakan terhadap kefanatikan, purbasangka,
rasialisme, tribalisme, dan menerima secara inklusif keanekaragaman yang ada (William
A. Haviland, 1988).
Sikap saling menerima, menghargai nilai-nilai, keyakinan, budaya, cara
pandang yang berbeda tidak otomatis akan berkembang sendiri. Apalagi karena
dalam diri seseorang ada kecenderungan untuk berharap orang lain menjadi
seperti dirinya (Ruslan Ibrahim, 2008). Sikap saling menerima dan menghargai
akan cepat berkembang bila dilatihkan, dididikkan, dibudayakan agar
menginternalisasi/terhayati dan ditindakkan pada generasi muda penerus bangsa.
Dengan pendidikan dan pembudayaan, sikap penghargaan terhadap perbedaan
direncanakan dengan baik, generasi muda dilatih dan disadarkan akan pentingnya
penghargaan pada orang lain dan budaya lain bahkan dilatihkan dalam kehidupan
sehari-hari, sehingga setelah dewasa mereka sudah punya sikap dan perilaku
tersebut. Fay (1998) mengatakan dalam dunia multikultural harus mementingkan
adanya bermacam perbedaan antara yang satu dengan yang lain dan adanya
interaksi sosial di antara mereka. Oleh sebab itu para multikulturalis
memfokuskan pada pemahaman dan hidup bersama dalam konteks sosial budaya yang
berbeda.
Banks (2001) berpendapat bahwa pendidikan multikultural merupakan suatu
rangkaian kepercayaan (set of beliefs) dan penjelasan yang mengkaji dan menilai
pentingnya keragaman budaya dan etnis di dalam membentuk gaya hidup, pengalaman
sosial, identitas pribadi, kesempatan pendidikan dari individu, kelompok maupun
negara. Banks mendefinisikan pendidikan multikultural adalah ide, gerakan
pembaharuan pendidikan dan proses pendidikan, yang tujuan utamanya adalah
merubah struktur lembaga pendidikan supaya siswa baik pria dan wanita, siswa
berkebutuhan khusus, dan siswa yang merupakan anggota dari kelompok ras, etnis,
dan budaya (kultur) yang bermacam-macam itu akan memiliki kesempatan yang sama
untuk mencapai prestasi (Banks, 1993).
Dasar psikologi pendidikan multikultural menekankan pada perkembangan
pemahaman diri yang lebih besar, konsep diri yang lebih positif dan kebanggaan
pada identitas pribadi. Individu merasa baik tentang dirinya karena terbuka dan
reseptif (menerima) dalam berinteraksi dengan orang lain dan menghormati budaya
dan identitasnya. Adapun Howard (1993) berpendapat bahwa pendidikan multikultural
memberi kompetensi multikultural. Pada masa awal kehidupan seseorang (anak),
waktu banyak dilalui di daerah etnis dan kultur masing-masing. Kesalahan dalam
mentransformasi nilai, aspirasi, etiket, dan budaya tertentu, sering berdampak
pada primordialisme kesukuan, agama dan golongan secara berlebihan. Faktor
tersebut menyebabkan timbulnya permusuhan antaretnis dan golongan, seperti
fenomena sosial yang terdapat di beberapa wilayah tanah air Indonesia.
Melalui pendidikan multikultural sejak dini diharapkan anak mampu
menerima dan memahami perbedaan budaya yang berdampak pada perbedaan usage
(cara-cara), folkways (kebiasaan), mores (tata kelakukan), customs (adat
istiadat) seseorang. Dengan pendidikan multikultural seseorang sejak dini mampu
menerima perbedaan, kritik, dan memiliki rasa empati, toleransi pada sesama
tanpa memandang status, kelas sosial, golongan, gender, etnis, agama maupun
kemampuan akademik (Farida Hanum, 2005). Hal senada juga ditekankan oleh Musa
Asya’rie (2004) bahwa pendidikan multikultural bermakna sebagai proses cara
hidup, menghormati, tulus, toleran terhadap keragaman budaya yang hidup di
tengah-tengah masyarakat plural, sehingga peserta didik kelak memiliki
kekenyalan dan kelenturan mental bangsa dalam menyikapi konflik sosial di
masyarakat. Artinya pendidikan multikultural dapat mendidik warga bangsa Indonesia
memiliki karakter sesuai dengan karakter bangsa Indonesia yang menjunjung
tinggi harkat martabat manusia.
C.
Karakter
Bangsa
1.
Karakter
dan Perkembangannya
Karakter, menurut Fromm (via Alwisol, 2006) berkembang berdasarkan
kebutuhan menggantikan insting kebinatangan yang hilang ketika manusia
berkembang tahap demi tahap. Karakter membuat seseorang mampu berfungsi di
dunia tanpa harus memikirkan apa yang harus dikerjakan. Karakter manusia
berkembang dan dibentuk oleh pengaturan sosial (sosial arrangements).
Masyarakat membentuk karakter melalui proses pendidikan yang diberikan orangtua
dan pendidik lainnya, agar anak bersedia bertingkah laku seperti yang
dikehendaki masyarakat. Karakter yang dibentuk secara sosial meliputi
accepting, preserving, taking, exchanging, dan biophilous (Alwisol dalam
Tadkiroatun M., 2008).
Karakter (character) mengacu pada serangkaian sikap (attitudes),
perilaku (behaviors) motivasi (motivations), dan keterampilan (skills).
Karakter meliputi sikap seperti keinginan untuk melakukan hal yang terbaik,
Kapasitas intelektual seperti berpikir kritis dan alasan moral, perilaku
seperti jujur dan bertanggung jawab, mempertahankan prinsip-prinsip moral dalam
situasi penuh ketidakadilan, kecakapan interpersonal dan emosional yang
memungkinkan seseorang berinteraksi secara efektif dalam berbagai keadaan, dan
komitmen untuk berkontribusi dengan komunitas dan masyarakatnya. Karakteristik
adalah realisasi perkembangan positif sebagai individu (intelektual, sosial,
emosional, dan etika). Individu yang berkarakter adalah seseorang yang berusaha
melakukan hal yang terbaik (Battistich, 2008).
Karakter menurut Alwisol (2006) diartikan sebagai gambaran tingkah laku
yang menonjolkan nilai benar-salah, baik-buruk, baik secara eksplisit maupun
implisit. Kata karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark”
(menandai) dan memfokuskan pada bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam
bentuk tindakan atau tingkah laku (Wynne, 1991). Oleh sebab itu, orang yang
berperilaku tidak jujur, kejam, dan rakus dikatakan sebagai orang yang
berkarakter jelek, sementara orang yang berperilaku jujur, suka menolong,
dikatakan orang yang berkarakter mulia. Jadi istilah karakter erat kaitannya
dengan personality (kepribadian) seseorang. Seseorang bisa disebut orang yang
berkarakter (a person of character) apabila perilakunya sesuai dengan kaidah
moral.
Karakter dikembangkan melalui tahap pengetahuan (knowing), acting,
menuju kebiasaan (habit). Hal ini berarti, karakter tidak sebatas pada
pengetahuan. Menurut William Kilpatrick (dalam Tadkiroatun M., 2008), seseorang
yang memiliki pengetahuan tentang kebaikan belum tentu mampu bertindak sesuai
dengan pengetahuannya itu, kalau ia tidak terlatih untuk melakukan kebaikan
tersebut. Karakter tidak sebatas pengetahuan, karakter lebih dalam lagi,
menjangkau wilayah emosi dan kebiasaan diri. Dengan demikian, diperlukan tiga
komponen karakter yang baik (components of good character), yaitu moral knowing
atau pengetahuan tentang moral; moral feeling atau perasaan tentang moral, dan
moral action atau perbuatan bermoral. Hal ini diperlukan agar individu mampu
memahami, merasakan, dan mengerjakan (menindakkan) nilai-nilai kebajikan.
2.
Hakekat
Karakter Bangsa
Karakter bangsa adalah serangkaian sikap, perilaku, motivasi dan
keterampilan dalam berbangsa yang mempengaruhi individu dalam berperilaku
maupun berinteraksi dengan orang lain, yang mencerminkan nilai-nilai luhur
bangsanya. Soft skill ini perlu dipelajari, dilatihkan dan dibudayakan pada
semua warga bangsa. Sehingga setiap warga bangsa memiliki pengetahuan tentang
bangsanya, memiliki rasa sebagai warga suatu bangsa (nasionalisme) dan mampu
bertindak, berpikir dan bertingkah laku sesuai dengan nilai-nilai luhur dari
bangsanya.
Bangsa seperti yang didefinisikan oleh Ernerst Rinan (dalam Depdagri,
2003) adalah jiwa yang mengandung kehendak bersatu (le desir d\etre ensamble).
Pendapatnya menjelaskan bahwa “jiwa” adalah suatu prinsip kerokhanian (une
ntion est une ame, un principe spirituale). Tampak di sini bahwa bangsa tidak
sebatas sebagai hasil suatu proses politik, melainkan dari kehendak banyak
orang/individu atau kelompok (masyarakat) untuk menyatukan diri, menjadi satu
komponen baru dengan maksud secara bersama menuju tujuan hidup yang sama, yang
terwujud dalam wawasan kebangsaan.
Wawasan kebangsaan mengandung tuntutan suatu bangsa untuk mewujudkan
jati diri, serta mengembangkan karakter dan perilaku sebagai bangsa yang
meyakini nilai-nilai budayanya yang lahir dan tumbuh sebagai penjelmaan
kepribadiannya. Bangsa Indonesia terbentuk melalui perjalanan sejarah yang
sangat panjang. Penderitaan bersama selama penjajahan oleh bangsa lain,
mendorong masyarakat bersatu, bangkit memperjuangkan kemerdekaannya. Semangat
bersatu yang dimulai dari Sumpah Pemuda tahun 1928 mengantar bangsa Indonesia
ke gerbang kemerdekaan, diwujudkan dengan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus
1945.
Namun, perjalanan sejarah kemerdekaan Indonesia telah banyak mengalami
kenyataan pahit. Ketika sebagian dari warga bangsa ini berpandangan primordial,
baik dalam paham, agama, kewilayahan, maupun ideologi telah mengakibatkan
bangsa lain tercabik-cabik oleh perbedaan tersebut, seperti
pemberontakan-pemberontakan terhadap negara, perang antaretnis dan agama,
korupsi yang membudaya, tindak kekerasan yang merajalela, dan sebagainya. Hal
ini mencerminkan kurangnya pembinaan bangsa (nation building), sehingga
mengakibatkan rendahnya kadar pemahaman terhadap wawasan kebangsaan dan jati
diri bangsa Indonesia.
Ada tiga tiang utama jati diri bangsa Indonesia yang tidak boleh
digerogoti dengan cara apapun (Hasjim Djalal, 2007). Pertama, Indonesia sebagai
satu kebangsaan. Hal ini dicapai sejak Sumpah Pemuda 1928 yang menegaskan bahwa
Indonesia adalah satu bangsa, satu tanah air, dan satu bahasa. Dengan demikian,
bangsa Indonesia bukanlah berdasar agama, suku, ras ataupun mementingkan
kelompok-kelompok tertentu, tetapi adalah semua warga yang mendiami seluruh
tanah air Indonesia. Kedua, Indonesia adalah satu negara yang diproklamasikan
tanggal 17 Agustus 1945. Ini berarti bahwa manusia-manusia Indonesia yang
menyatakan dirinya hidup dalam satu negara yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI). Itu adalah sudah final, oleh karenanya tidak mungkin ada negara di
dalam NKRI tersebut. Ketiga, Indonesia adalah satu kewilayahan, dalam arti
orang-orang Indonesia yang telah menjadi satu bangsa itu, berdiam di dalam satu
kesatuan kewilayahan, yaitu satu kesatuan nusantara Indonesia yang mencakup
wilayah darat, laut, udara, dan kekayaan alamnya.
Pendiri bangsa (founding fathers) mendirikan NKRI dengan dasar Pancasila
dan Bhinneka Tunggal Ika. Di mana Pancasila dengan kelima silanya menuntun
bangsa Indonesia untuk menjadi bangsa yang bermoral, dengan rasa kebangsaan
yang tinggi, bangga terhadap tanah air dan menghindari konflik dengan
musyawarah dan mufakat, serta bersama-sama menuju masyarakat sejahtera dan
makmur. Sementara Bhinneka Tunggal Ika adalah prinsip yang menghargai perbedaan
dan selalu bertoleransi dalam menghadapi perbedaan. Pancasila dan Bhinneka
Tunggal Ika merupakan karakter bangsa Indonesia, di dalamnya mengandung
nilai-nilai utama dari bangsa Indonesia, yaitu:
a.
Nilai
religius (Ketuhanan Yang Maha Esa)
b.
Nilai
kemanusiaan (Kemanusiaan yang adil dan beradab)
c.
Nilai
persatuan (Persatuan Indonesia)
d. Nilai
Kerakyatan (Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan)
e.
Nilai
keadilan (Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia)
f.
Nilai
menerima keragaman (Bhinneka Tunggal Ika)
Tidak dapat diragukan nilai-nilai itulah yang menjadi kesepakatan para
founding fathers kita dulu untuk membangun karakter bangsa Indonesia. Kalau
sekarang terjadi banyak kesalahan dan penyimpangan, bukan karena nilai-nilai
dasar (utama) ini yang salah, tetapi karena tidak adanya komitmen yang tinggi
dari bangsa ini untuk menerapkannya secara tepat. Oleh sebab itu perlu dibangun
kembali menjadi karakter bangsa Indonesia.
D.
Pendidikan
Multikultural dan Karakter Bangsa
1.
Pendidikan
Multikultural di Indonesia
Berbeda dengan negara Amerika Serikat, Inggris, dan negara-negara di
Eropa, di mana pada umumnya multikultural bersifat budaya antarbangsa (bangsa
lain datang berimigrasi), keragaman budaya datang dari luar bangsa mereka.
Adapun multikultural di Indonesia bersifat budaya antaretnis yang kecil, yaitu
budaya antarsuku bangsa. Keragaman budaya datang dari dalam bangsa Indonesia
sendiri. Oleh sebab itu, hal ini sebenarnya dapat menjadi modal yang kuat bagi
keberhasilan pelaksanaan pendidikan multikultural di Indonesia. Semangat Sumpah
Pemuda dapat menjadi “ruh” yang kuat untuk mempersatukan warga negara Indonesia
yang berbeda budaya. Namun, bila nilai-nilai kebangsaan tidak terus menerus
ditanamkan dan mengingat kondisi sosial politik ekonomi Indonesia yang sangat
beragam, maka keragaman budaya tersebut berpotensi menjadi modal perpecahan dan
konflik.
Gerakan reformasi Mei 1998 untuk mentransformasikan otoritarianisme Orde
Baru menuju transisi demokrasi, telah menyemai kesadaran baru tentang
pentingnya otonomi masyarakat sipil. Dalam konteks perkembangan sistem politik
yang demikian, pengembangan sistem politik yang kuat. Pendidikan multikultural
sangat menekankan pentingnya akomodasi hak setiap kebudayaan dan masyarakat
sub-nasional (etnis) untuk memelihara dan mempertahankan identitas kebudayaan
dan masyarakat nasional.
Robinson (dalam Nasikun, 2005) menyampaikan bahwa ada tiga perspektif
multikulturalisme di dalam sistem pendidikan, yaitu:
a. Perspektif Cultural Assimilation
Merupakan suatu model transisi di dalam sistem pendidikan yang
menunjukkan proses asimilasi individu dari berbagai kebudayaan (masyarakat sub
nasional/masyarakat suku bangsa) ke dalam suatu “core society” (nilai bersama).
b. Perspektif Cultural Pluralism
Suatu sistem pendidikan yang menekankan pada pentingnya hak bagi semua kebudayaan
dan masyarakat sub nasional (suku bangsa) untuk memelihara dan mempertahankan
identitas kultural masing-masing.
c. Perspektif Cultural Synthesis
Merupakan sintesis dari perspektif asimilasionis dan pluralis yang
menekankan pentingnya proses terjadinya ekletisme dan sintesis di dalam diri
individu dan masyarakat, dan terjadinya perubahan di dalam berbagai kebudayaan
dan masyarakat sub nasional.
Menurut Nasikun (2005) bahwa di dalam masyarakat Indonesia yang sangat
majemuk ini diperlukan aplikasi pilihan perspektif pendidikan yang ketiga.
Pendidikan perspektif cultural synthesis memberi peran pada pendidikan
multikultural sebagai instrumen bagi pengembangan ekletisisme dan sintesis
beragam kebudayaan sub nasional pada tingkat individual dan masyarakat serta
bagi promosi terbentuknya suatu “melting pot” dari beragam kebudayaan dan
masyarakat sub nasional.
Perspektif cultural synthesis, memiliki rasional yang paling dasar di
dalam hakekat tujuan suatu pendidikan multikultural, yang dapat diidentifikasi
melalui tiga tujuan, yaitu 1) tujuan atitudinal, 2) tujuan kognitif, dan 3)
tujuan instruksional.
Pada tingkat atitudinal, pendidikan multikultural memiliki fungsi untuk
menyemai dan mengembangkan sensitivitas kultural, toleransi kultural,
pengembangan sikap budaya responsif dan keahlian untuk melakukan penolakan dan
resolusi konflik.
Pada tingkat kognitif, pendidikan multikultural memiliki tujuan bagi
pencapaian kemampuan akademik, pengembangan pengetahuan tentang kemajemukan
kebudayaan, kompetensi untuk melakukan analisis dan interpretasi perilaku
kultural, dan kemampuan membangun kesadaran kritis tentang kebudayaan sendiri.
Pada tingkat instruksional, pendidikan multikultural memiliki tujuan
untuk mengembangkan kemampuan melakukan koreksi atas distorsi-distorsi,
stereotipe-stereotipe, peniadaan-peniadaan, dan mis informasi tentang kelompok-kelompok
etnis dan kultural yang dimuat di dalam buku dan media pembelajaran,
menyediakan strategi-strategi untuk melakukan hidup di dalam pergaulan
multikultural, mengembangkan keterampilan-keterampilan komunikasi
interpersonal, menyediakan teknik-teknik untuk melakukan evaluasi dan
membentuk, menyediakan klarifikasi serta penjelasan-penjelasan tentang
dinamika-dinamika perkembangan kebudayaan (Ekstrand dalam Nasikun, 2005).
Penerapan perspektif cultural synthesis dengan tiga tujuan (atitudinal,
kognitif, instruksional) di atas dapat dilakukan pada para warga masyarakat
secara bertahap melalui berbagai wahana untuk membicarakan berbagai masalah
budaya dan kondisi bangsa. Dialog-dialog budaya, temu budaya, pertukaran
budaya, dan even-even budaya lainnya, akan berdampak pada terjadinya akulturasi
budaya, pemahaman budaya, penghargaan budaya, kebanggaan budaya dan berikutnya
dapat terinternalisasi pada perilaku warga bangsa dan menjadi karakter bangsa.
Nilai-nilai luhur yang terdapat pada butir-butir Pancasila dan Bhinneka Tunggal
Ika benar-benar dapat diresapi dan terinternalisasi menjadi landasan kepribadian
warga Indonesia, yang akhirnya membentuk karakter bangsa. Melalui pendidikan
multikultural dibangun karakter bangsa yang kokoh sesuai dengan nilai-nilai
luhur bangsa Indonesia yang telah tertuang dalam Pancasila dan Bhinneka Tunggal
Ika.
2.
Strategi
Membangun Karakter Bangsa melalui Pendidikan Multikultural
Indonesia termasuk negara atau bangsa yang sangat multikultural. Indonesia
dikaruniai sebagai sebuah bangsa yang mempunyai ratusan suku bangsa, sub-etnik,
bahasa, tradisi, dan budaya. Keragaman bukanlah tragedi, tetapi sebuah potensi
yang dapat dijadikan instrumen untuk menciptakan kehidupan yang kreatif,
inovatif, dan kompetitif. Bangsa Indonesia harusnya semakin cerdas dalam
membaca berbagai aspek kehidupan yang selalu mengalir mulai dari ekonomi,
sosial, politik, dan kebudayaan tanpa harus menanggalkan nilai-nilai adiluhung
yang diwariskan pendahulu.
Ada beberapa standar minimal yang berupa langkah positif yang hendaknya
senantiasa dipegang oleh setiap individu Indonesia dalam menghadapi perubahan
jaman yang semakin mengglobal. Agar tidak kehilangan jati diri dan karakter
sebagai bangsa Indonesia di satu sisi dan agar mampu bersaing dalam kompetisi
global di sisi lain. Langkah-langkah ini membangun diri individu warga bangsa
agar memiliki rasa kebangsaan yang tinggi dan mampu berperilaku yang sesuai
dengan karakter bangsa Indonesia, antara lain dengan:
a. Melatih Anak Sejak Dini Memahami Orang Lain di Sekitarnya
Manusia dengan berbagai ragam karakteristik dan pola pikirnya, bukanlah
sebuah petaka, melainkan merupakan potensi. Untuk mengoptimalkan potensi
tersebut perlu kesadaran rakyat negeri ini untuk saling mengenal dan memahami
orang di sekitarnya. Kepedulian sosial perlu ditingkatkan dengan even-even
kebersamaan untuk melatih empati, kepekaan sosial, solidaritas dan kebersamaan.
Komunikasi antarwarga perlu terus dibangun di berbagai kesempatan dan tempat.
Melalui komunikasi ini banyak hal yang tersampaikan sehingga para warga dapat
saling memahami. Perbedaan-perbedaan yang ada justru bisa menjadi topik menarik
dalam temu warga dan dapat mengakrabkan mereka. “Sesungguhnya Allah menciptakan
kalian terdiri dari laki-laki dan perempuan dan menjadikan kalian
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal” (Q.S. Al Hujurt:
13, dikutip dari Sail Agil Siraj, 2007), sehingga kesadaran sesama warga,
sesama manusia terinternalisasi.
b. Membudayakan Komitmen Berbangsa dan Bernegara
Melalui berbagai suasana dan cara ditanamkan komitmen menjaga esensi
kemanusiaan dalam berbangsa dan negara di tengah realitas sebagai masyarakat
yang multikultural dan beragam kepentingan. Maka warga masyarakat perlu
disadarkan bahwa seseorang tidak mungkin dapat melangkah sendirian tanpa orang
lain. Semua kelompok masyarakat mempunyai hak dan kewajiban yang sama di mata
hukum. Komitmen berbangsa dan bernegara berarti komitmen untuk tidak melakukan
penindasan, diskriminasi, serta aksi kekejaman, kejahatan, penganiayaan
terhadap kelompok anak bangsa sendiri maupun bangsa lain. Menegakkan supremasi
hukum dan mempercayakan penyelesaian permasalahan pada aparat penegak hukum
merupakan komitmen bernegara dan berbangsa. Karena dengan begitu menghormati
perangkat-perangkat negara yang diciptakan untuk keteraturan bernegara.
Komitmen ini harus ditanamkan seawal mungkin, baik melalui lembaga keluarga,
persekolahan maupun lembaga masyarakat secara luas dan berkesinambungan.
Program-programnya perlu perencanaan yang berkelanjutan, sebab ini berkaitan
dengan nation building.
c. Melatih Warga Bangsa Mampu hidup dalam keberagaman
Hal ini sangat memungkinkan untuk dilakukan mulai dari keluarga, dalam
kehidupan warga sekitar, di sekolah sampai dalam komunitas yang lebih luas.
Para pendidik dapat menanamkan dan melatihkan pada siswa untuk mampu melakukan
soft skill yang berkaitan dengan substansi nilai-nilai multikultural, seperti
mampu menerima perbedaan, toleransi, menghormati pendapat orang lain, bekerja
sama, mampu menganalisis persamaan dan perbedaan yang ada pada orang lain,
mampu berlaku adil, mampu melihat ketimpangan sosial, dan mencari solusinya
(problem solving). Selain itu membiasakan warga untuk saling membantu tanpa
memandang perbedaan agama, status sosial, gender, umur, wilayah tempat tinggal
(desa/kota). Dengan demikian sejak awal anggota masyarakat dilatih untuk mampu
menyesuaikan diri dan hidup dalam keragaman serta mampu berperilaku sesuai
dengan karakter bangsa Indonesia yang multikultural. Untuk dapat melaksanakannya
diperlukan kebijakan dari penyelenggaran negara, organisasi masyarakat,
organisasi keagamaan, partai dan lembaga-lembaga masyarakat lainnya. Kebijakan
itu kemudian diwujudkan ke dalam program praktik terencana dan disesuaikan
dengan kondisi maupun potensi masyarakatnya.
d. Melatihkan Kemampuan untuk Memahami Ideologi (Agama) Lain
Warga bangsa Indonesia merupakan masyarakat religius yang berlandaskan
pada ajaran agama yang diakui di Indonesia (Islam, Kristen, Katolik, Hindu,
Budha) dan aliran kepercayaan. Ini perwujudan dari sila pertama, yaitu
Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan demikian, pada setiap warga negara perlu
ditanamkan kesadaran bahwa di Indonesia terdapat bermacam-macam ideologi dan
agama. Setiap manusia mempunyai agama ataupun ideologi yang tidak harus sama
dengan ideologi kita. Oleh sebab itu yang paling baik adalah memahami substansi
ideologi dan agama tersebut sebagai sebuah ajaran yang mencita-citakan
kedamaian dan kebaikan. Bila hal ini dilaksanakan dengan sungguh-sungguh maka
konflik antaragama tidak akan terjadi.
e. Mengembangkan dan Melestarikan tradisi
Pengakuan terhadap bangsa Indonesia yang terdiri dari beratus suku
bangsa, berarti mengakui keragaman budaya dan tradisi yang hidup serta
berkembang di Indonesia. Setiap warga bangsa harus mengetahui dan memahami
negara Indonesia kaya akan tradisi bangsa. Menghormati budaya sendiri dan
melestarikannya merupakan upaya menanamkan sikap kebangsaan yang kuat pada diri
sendiri. Sehingga tercipta suatu identitas/komunitas yang dapat melahirkan
karakter sebuah bangsa. Pemahaman keberagaman yang multikultural berarti
menerima adanya keragaman ekspresi budaya yang mengandung nilai-nilai
kemanusiaan dan keindahan. Keragaman budaya dan tradisi yang ada dari sub
nasional atau etnis, merupakan kekayaan bangsa dan negara. Negara harus
menjamin kebebasan pengembangan dan pelestarian tradisi dan budaya daerah
(lokal) atau etnis. Pengembangan dan pelestarian tradisi dan budaya daerah
(etnis) ini, bukan untuk menguatkan primordialisme kesukuan, tetapi untuk
menguatkan kekayaan khasanah budaya nasional yang pada dasarnya berasal dari
budaya sub-nasional. Sebagai warga negara dan bagian dari wilayah Indonesia,
dimanapun berada setiap warga negara haruslah memiliki rasa nasionalisme yang
tinggi, memiliki rasa kesatuan dan persatuan bangsa, menjunjung tinggi harkat
dan martabat bangsa serta mematuhi semua aturan-aturan negara demi kelanjutan
dan keteraturan hidup berbangsa bernegara. Makna yang terkandung pada Sumpah
Pemuda 1928 yang menegaskan bahwa Indonesia adalah satu bangsa, satu tanah air,
dan satu bahasa, harus diinternalisasikan kepada setiap warga negara Indonesia
untuk menjadi janji luhur yang tetap dipegang sampai akhir hayat. Mengembangkan
dan melestarikan tradisi bukan berarti melunturkan rasa nasionalisme.
f. Mewajibkan Media Massa Mengambil Peran dalam Membangun Karakter
Bangsa
Media massa, khususnya mempengaruhi pembentukan watak dan akhlak bangsa,
diharapkan dapat mengambil peran sosio-kultural, sosial-ekonomi, sosial-politik
untuk tugas nation and character building (membangun karakter bangsa), dan
pengukuran kebhinneka-tunggalikaan. Dengan adanya dialog, persuasif, dan
menyamakan pandangan untuk kepentingan bangsa dan negara, antara para pemimpin
media massa dengan pemimpin-pemimpin negara dan masyarakat diperoleh
kesepakatan, kebersamaan kewajiban dan kepedulian untuk bersama-sama membangun
karakter bangsa di bidangnya masing-masing. Melalui media massa dapat
dikembangkan tentang pentingnya bangsa memiliki karakter, serta dapat
disosialisasikan strategi untuk membangunnya.
Selain langkah-langkah di atas masih banyak lagi cara yang dapat
dilakukan untuk membangun karakter bangsa. Walau cara, teknik, sarana
berbeda-beda tetapi tujuan dan komitmen tetap sama yaitu membangun karakter
bangsa yang baik. Bangsa yang memiliki karakter yang baik adalah bangsa yang
terhormat dan dapat menjadi teladan bangsa-bangsa lain di dunia. Semoga Indonesia
suatu saat menjadi teladan bangsa lain, khususnya dalam hal karakter bangsa.
Amin.
Daftar Pustaka
Alwisol. 2006. Psikologi Kepribadian. Malang: UMM.
Bank, James A. 1993. An Introduction to Multicultural Education. Boston:
Allyn & Bacon.
….., and Cherry A. McGee Banks (editor). Handbook of Research on
Multicultural Education 2nd Edition. San Fransisco: Jossey Bass.
Battistich, Victor. 2007. Character Education. Prevention, and Positive
Youth Development. Illionois: University of Missouri.
Departemen Dalam Negeri. 2003. Sosialisasi Kebangsaan, Modul 8. Jakarta:
Depdagri Dirjen Kesatuan Bangsa.
Farida Hanum. 2005. Fenomena Pendidikan Multikultural pada Mahasiswa
Aktivis UNY. Laporan Penelitian. Yogyakarta: Lemlit UNY.
Hasyim Djalal. 2007. Jati Diri Bangsa dalam Ancaman Globalisasi.
Pokok-Pokok Pikiran Guru Besar. Surabaya: Airlangga University Press.
Haviland, William A. 1998. Antropologi 2. Terj. Jakarta: Airlangga.
Killpatrick, W. 1992. Why Jhony Can’t Tell Right from Wrong. New York:
Simon & Schuster Inc.
Kirschenbaum. Howard. 1995. 100 Ways to Ecnhange Values and Morality in
Schools and Youth Settings. Massachusetts; Allyn & Bacon.
Lickona, Thomas. 1992. Educating for Character. How our scholl can teach
respect and responsibility. New York: Bantam Books.
Musa Asy;arie. 2004. Pendidikan Multikultural dan Konflik 1-2. www.kompas.co.id. Diunduh pada bulan Juli
2005.
Nasikun. 2005. Imperatif Pendidikan Multikultural di Masyarakat Majemuk.
Makalah. Disampaikan di UMM Surakarta 8 Januari 2005.
Ruslan Ibrahim. 2008. Pendidikan Multikultural: Upaya Meminimalisir
Konflik dalam Era Pluralitas Agama. Jurnal Pendidikan Islam. El-Carbawi No. 1
Vol. 1.
Said Agil Siraj. 2007. Upaya Membangun Kembali Kebangsaan dalam Jati
Diri Bangsa dalam Ancaman Globalisasi. Forum Intelektual Indonesia-Konferensi
Guru Besar Indonesia. Jakarta 16-17 Mei 2007.
Tadkiroatun Musfiroh. 2008. Pengembangan Karakter Anak Melalui
Pendidikan Karakter, dalam Tinjauan Berbagai Aspek Character Building.
Yogyakarta: Tiara Wacana.
Sumber:
Makalah disampaikan dalam Dialog Budaya Daerah Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta dengan tema “Aneka Ragam Budaya Daerah Sebagai Modal Dasar Dalam
Membangun Karakter Bangsa” yang diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Sejarah
dan Nilai Tradisional Yogyakarta pada tanggal 18-19 Mei 2011