Riwayat Singkat
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang terletak di ujung barat Indonesia banyak melahirkan pahlawan besar yang berjuang dengan gagah berani melawan penjajah. Salah satu dari pahlawan itu adalah Cut Nyak Dhien yang lahir di Lampadang pada tahun 1848. Ia adalah puteri dari Teuku Nanta Setia, seorang uleebalang VI Mukim yang masih keturunan dari Machmoed Sati, perantau asal Sumatera Barat. Sedangkan, ibunya adalah puteri dari uleebalang Lampagar.
Masa kecil Cut Nyak Dhien hanya berlangsung singkat karena pada umur 12 tahun ia sudah dinikahkan dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga, putera dari uleebalang Lamnga XIII. Namun walau masih sangat belia, sesuai dengan zamannya, ia telah dibekali berbagai macam ilmu untuk berumah tangga, seperti: agama, memasak, merawat bayi dan suami dan lain sebagainya, sehingga tidak canggung lagi ketika menikah dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga. Dan, dari hasil pernikahan ini mereka dikaruniai seorang anak laki-laki.
Berpisah dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga
Pada 26 Maret 1873 Belanda yang dipimpin oleh Kohler bersama 3.198 orang prajuritnya menyatakan perang melawan Kesultanan Aceh. Mereka mulai melepaskan tembakan dari kapal Citdadel van Antwerpen lalu mendarat di Pantai Ceureumen dan menguasai serta membakar Masjid Raya Baiturrahman. Keadaan ini membuat Teuku Cek Ibrahim Lamnga harus berpisah sementara dengan Cut Nyak Dhien untuk mengikuti Panglima Polim dan Sultan Machmud Syah melawan Belanda. Peperangan tersebut dimenangkan oleh rakyat Aceh, sementara Kohler tewas tertembak dan sisa pasukannya lari tunggang-langgang.
Beberapa bulan kemudian Belanda menyerang lagi dibawah pimpinan Jenderal Van Swieten. Pada serangan kali ini pihak Belanda berhasil merebut daerah VI Mukim dan Keraton Sultan Aceh. Cut Nyak Dhien pun terpaksa harus berpisah lagi dengan suaminya. Ia dan bayinya bersama para perempuan lainnya mengungsi ke daerah yang dianggap aman pada tanggal 24 Desember 1875. Sementara suaminya ikut bertempur bersama para pejuang Aceh lainnya untuk merebut kembali daerah VI Mukim.
Perpisahan yang kedua ternyata bukanlah untuk sementara melainkan untuk selamanya, karena pada tanggal 29 Juni 1878 Teuku Cek Ibrahim Lamnga gugur dalam pertempuran melawan pasukan Belanda di daerah Gle Tarum. Kematian Teuku Cek Ibrahim Lamnga begitu menyakitkan hati sehingga Cut Nyak Dhien marah dan bersumpah akan menuntut balas pada pasukan Belanda. Ia pun kemudian mulai melakukan perlawanan terhadap Kapke Ulanda (Belanda kafir) bersama para pejuang Aceh lainnya dengan bergerilya ke seluruh pelosok wilayah Aceh.
Menikah dengan Teuku Umar
Setelah dua tahun menjanda, Cut Nyak Dhien mendapat lamaran lagi dari tokoh pejuang Aceh lainnya yang masih kemenakan ayahnya, yaitu Teuku Umar. Awalnya ia menolak, namun karena Teuku Umar mempersilahkannya untuk ikut bertempur, akhirnya ia menerimanya. Pernikahan pun dilakukan pada tahun 1880. Dari pernikahannya dengan Teuku Umar ia dikaruniai seorang anak bernama Cut Gambang yang dilahirkan di tempat pengungsian karena pada saat itu rumahnya sudah dikuasai oleh Belanda.
Perkawinannya yang kedua ini juga ternyata berlangsung singkat (sekitar 19 tahun), karena Teuku Umar gugur dalam pertempuran melawan pasukan Belanda di Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899. Cut Nyak Dhien bersama Cut Gambang kemudian memimpin pasukan Teuku Umar melakukan perlawanan secara gerilya terhadap Kapke Ulanda yang sangat dibencinya.
Ditangkap Belanda
Selama beberapa tahun ia berjuang bersama pasukannya secara bergerilya di pedalaman Meulaboh. Namun seiring dengan berlalunya waktu, Cut Nyak Dhien pun semakin bertambah tua dan fisiknya mulai melemah (pengelihatan mulai rabun, sering terkena encok, dll).
Melihat hal itu, Pang Laot, panglima perang dan orang kepercayaannya merasa kasihan dan berinisiatif untuk menyerahkannya pada pihak Belanda. Maksudnya, agar Belanda mau memberikan pelayanan medis sehingga Cut Nyak Dhien dapat menjalani hari tuanya dengan sedikit lebih tenteram. Cut Nyak Dhien pun akhirnya ditangkap di Beutong Le Sageu dan dibawa ke Banda Aceh.
Tetapi penangkapan oleh Belanda ternyata tidak lantas membuat perlawanan Cut Nyak Dhien mereda. Ia masih saja berhubungan dengan para pejuang Aceh yang belum tertangkap. Pihak Belanda menjadi khawatir dan akhirnya mengeluarkan Surat Keputusan No 23 (Kolonial Verslag 1907: 12) untuk mengasingkan Cut Nyak Dhien ke Sumedang, Jawa Barat.
Pada tanggal 11 Desember 1906, bersama dengan dua pengikutnya, seoranng panglima berusia 50 tahun dan kemenakannya sendiri yang masih berusia 15 tahun bernama Teungku Nana, Cut Nyak Dhien dititipkan pada Bupati Sumedang, Pangeran Aria Suriaatmaja, yang diberi gelar Pangeran Makkah. Oleh Pangeran Aria Suriaatmaja, ia tidak ditempatkan di dalam penjara, melainkan dititipkan lagi di rumah H. Ilyas, seorang tokoh agama setempat yang tinggal di belakang Kaum (Masjid Besar Sumedang).
Meninggal
Sebagai tahanan politik, perempuan yang oleh masyarakat setempat diberi gelar Ibu Perbu (Ratu) itu jarang sekali keluar dari rumah. Walau demikian, ia sering dikunjungi oleh anak-anak disekitarnya untuk belajar mengaji. Hal ini terus berlangsung selama 2 tahun sebelum akhirnya pejuang wanita yang gigih dan berani ini meninggal dunia pada tanggal 6 November 1908. Ia dimakamkan di komplek pemakaman para bangsawan Sumedang di daerah Gunung Puyuh.
50 tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1959, atas dasar permintaan Gubernur Aceh waktu itu, Ali Hasan, dilakukan pencarian terhadap makam berdasarkan arsip data dari pihak Belanda. Setelah makam ditemukan dan dibersihkan, pada tanggal 2 Mei 1964 Cut Nyak Dhien resmi dinobatkan oleh pemerintah menjadi Pahlawan Nasional Indonesia melalui SK Presiden RI No. 106 tahun 1964.
Pada tahun 1987 makam Cut Nyak Dhien untuk pertama kali dipugar yang peresmiannya ditandatangani oleh Gubernur Daerah Istimewa Aceh waktu itu, Ibrahim Hasan. Hasil dari pemugaran berupa pagar besi yang ditanam bersama beson dengan luas 1.500 meter persegi mengelilingi makam yang dibelakangnya didirikan sebuah meunasah (mushola). Sementara pada batu nisannya sendiri tertulis riwayat hidupnya, hikayat cerita Aceh, Surat At Taubah dan Surat Al Fajar. (pepeng)
Foto:
http://ridiah.wordpress.com/2010/01/16/cut-nyak-dien-wanita-revolusioner-indonesia-1/
Sumber:
http://www.tokohindonesia.com
http://id.wikipedia.org
http://samanui.wordpress.com
http://www.geocities.com
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang terletak di ujung barat Indonesia banyak melahirkan pahlawan besar yang berjuang dengan gagah berani melawan penjajah. Salah satu dari pahlawan itu adalah Cut Nyak Dhien yang lahir di Lampadang pada tahun 1848. Ia adalah puteri dari Teuku Nanta Setia, seorang uleebalang VI Mukim yang masih keturunan dari Machmoed Sati, perantau asal Sumatera Barat. Sedangkan, ibunya adalah puteri dari uleebalang Lampagar.
Masa kecil Cut Nyak Dhien hanya berlangsung singkat karena pada umur 12 tahun ia sudah dinikahkan dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga, putera dari uleebalang Lamnga XIII. Namun walau masih sangat belia, sesuai dengan zamannya, ia telah dibekali berbagai macam ilmu untuk berumah tangga, seperti: agama, memasak, merawat bayi dan suami dan lain sebagainya, sehingga tidak canggung lagi ketika menikah dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga. Dan, dari hasil pernikahan ini mereka dikaruniai seorang anak laki-laki.
Berpisah dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga
Pada 26 Maret 1873 Belanda yang dipimpin oleh Kohler bersama 3.198 orang prajuritnya menyatakan perang melawan Kesultanan Aceh. Mereka mulai melepaskan tembakan dari kapal Citdadel van Antwerpen lalu mendarat di Pantai Ceureumen dan menguasai serta membakar Masjid Raya Baiturrahman. Keadaan ini membuat Teuku Cek Ibrahim Lamnga harus berpisah sementara dengan Cut Nyak Dhien untuk mengikuti Panglima Polim dan Sultan Machmud Syah melawan Belanda. Peperangan tersebut dimenangkan oleh rakyat Aceh, sementara Kohler tewas tertembak dan sisa pasukannya lari tunggang-langgang.
Beberapa bulan kemudian Belanda menyerang lagi dibawah pimpinan Jenderal Van Swieten. Pada serangan kali ini pihak Belanda berhasil merebut daerah VI Mukim dan Keraton Sultan Aceh. Cut Nyak Dhien pun terpaksa harus berpisah lagi dengan suaminya. Ia dan bayinya bersama para perempuan lainnya mengungsi ke daerah yang dianggap aman pada tanggal 24 Desember 1875. Sementara suaminya ikut bertempur bersama para pejuang Aceh lainnya untuk merebut kembali daerah VI Mukim.
Perpisahan yang kedua ternyata bukanlah untuk sementara melainkan untuk selamanya, karena pada tanggal 29 Juni 1878 Teuku Cek Ibrahim Lamnga gugur dalam pertempuran melawan pasukan Belanda di daerah Gle Tarum. Kematian Teuku Cek Ibrahim Lamnga begitu menyakitkan hati sehingga Cut Nyak Dhien marah dan bersumpah akan menuntut balas pada pasukan Belanda. Ia pun kemudian mulai melakukan perlawanan terhadap Kapke Ulanda (Belanda kafir) bersama para pejuang Aceh lainnya dengan bergerilya ke seluruh pelosok wilayah Aceh.
Menikah dengan Teuku Umar
Setelah dua tahun menjanda, Cut Nyak Dhien mendapat lamaran lagi dari tokoh pejuang Aceh lainnya yang masih kemenakan ayahnya, yaitu Teuku Umar. Awalnya ia menolak, namun karena Teuku Umar mempersilahkannya untuk ikut bertempur, akhirnya ia menerimanya. Pernikahan pun dilakukan pada tahun 1880. Dari pernikahannya dengan Teuku Umar ia dikaruniai seorang anak bernama Cut Gambang yang dilahirkan di tempat pengungsian karena pada saat itu rumahnya sudah dikuasai oleh Belanda.
Perkawinannya yang kedua ini juga ternyata berlangsung singkat (sekitar 19 tahun), karena Teuku Umar gugur dalam pertempuran melawan pasukan Belanda di Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899. Cut Nyak Dhien bersama Cut Gambang kemudian memimpin pasukan Teuku Umar melakukan perlawanan secara gerilya terhadap Kapke Ulanda yang sangat dibencinya.
Ditangkap Belanda
Selama beberapa tahun ia berjuang bersama pasukannya secara bergerilya di pedalaman Meulaboh. Namun seiring dengan berlalunya waktu, Cut Nyak Dhien pun semakin bertambah tua dan fisiknya mulai melemah (pengelihatan mulai rabun, sering terkena encok, dll).
Melihat hal itu, Pang Laot, panglima perang dan orang kepercayaannya merasa kasihan dan berinisiatif untuk menyerahkannya pada pihak Belanda. Maksudnya, agar Belanda mau memberikan pelayanan medis sehingga Cut Nyak Dhien dapat menjalani hari tuanya dengan sedikit lebih tenteram. Cut Nyak Dhien pun akhirnya ditangkap di Beutong Le Sageu dan dibawa ke Banda Aceh.
Tetapi penangkapan oleh Belanda ternyata tidak lantas membuat perlawanan Cut Nyak Dhien mereda. Ia masih saja berhubungan dengan para pejuang Aceh yang belum tertangkap. Pihak Belanda menjadi khawatir dan akhirnya mengeluarkan Surat Keputusan No 23 (Kolonial Verslag 1907: 12) untuk mengasingkan Cut Nyak Dhien ke Sumedang, Jawa Barat.
Pada tanggal 11 Desember 1906, bersama dengan dua pengikutnya, seoranng panglima berusia 50 tahun dan kemenakannya sendiri yang masih berusia 15 tahun bernama Teungku Nana, Cut Nyak Dhien dititipkan pada Bupati Sumedang, Pangeran Aria Suriaatmaja, yang diberi gelar Pangeran Makkah. Oleh Pangeran Aria Suriaatmaja, ia tidak ditempatkan di dalam penjara, melainkan dititipkan lagi di rumah H. Ilyas, seorang tokoh agama setempat yang tinggal di belakang Kaum (Masjid Besar Sumedang).
Meninggal
Sebagai tahanan politik, perempuan yang oleh masyarakat setempat diberi gelar Ibu Perbu (Ratu) itu jarang sekali keluar dari rumah. Walau demikian, ia sering dikunjungi oleh anak-anak disekitarnya untuk belajar mengaji. Hal ini terus berlangsung selama 2 tahun sebelum akhirnya pejuang wanita yang gigih dan berani ini meninggal dunia pada tanggal 6 November 1908. Ia dimakamkan di komplek pemakaman para bangsawan Sumedang di daerah Gunung Puyuh.
50 tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1959, atas dasar permintaan Gubernur Aceh waktu itu, Ali Hasan, dilakukan pencarian terhadap makam berdasarkan arsip data dari pihak Belanda. Setelah makam ditemukan dan dibersihkan, pada tanggal 2 Mei 1964 Cut Nyak Dhien resmi dinobatkan oleh pemerintah menjadi Pahlawan Nasional Indonesia melalui SK Presiden RI No. 106 tahun 1964.
Pada tahun 1987 makam Cut Nyak Dhien untuk pertama kali dipugar yang peresmiannya ditandatangani oleh Gubernur Daerah Istimewa Aceh waktu itu, Ibrahim Hasan. Hasil dari pemugaran berupa pagar besi yang ditanam bersama beson dengan luas 1.500 meter persegi mengelilingi makam yang dibelakangnya didirikan sebuah meunasah (mushola). Sementara pada batu nisannya sendiri tertulis riwayat hidupnya, hikayat cerita Aceh, Surat At Taubah dan Surat Al Fajar. (pepeng)
Foto:
http://ridiah.wordpress.com/2010/01/16/cut-nyak-dien-wanita-revolusioner-indonesia-1/
Sumber:
http://www.tokohindonesia.com
http://id.wikipedia.org
http://samanui.wordpress.com
http://www.geocities.com