(Cerita Rakyat Daerah Kalimantam Timur)
Alkisah, tersebutlah seorang pemuda bernama Aji Pati. Dia adalah anak dari Aji Busamma, putra Pangeran Dipati Raja Berau XX. Suatu hari Aji Pati dan kawan-kawan seperguruannya berlayar ke daerah Kutai. Setelah merapat Aji Pati melihat Ibukota Kerajaan Kutai Lama porak poranda diserang kawanan lanun dari daerah Solok, Mindanao.
Prihatin atas kejadian yang dilihatnya, Aji Pati segera menuju ke istana guna menghadap Raja. Ketika bertemu, sambil bersujud dia dan kawan-kawannya menyatakan siap mempertaruhkan nyawa membantu Sang raja guna mengusir para lanun dari Solok itu.
Raja yang baru melihat rombongan Aji Pati tentu tidak begitu saja mempercayai kesanggupan mereka. Sebab, seluruhnya terlihat masih sangat muda dan belum tahu apa-apa. Sementara gerombolan lanun berilmu tinggi dan mampu melakukan apa pun termasuk menyiksa, memperkosa, hingga membunuh siapa saja yang berusaha menghalangi keinginan mereka.
Namun, karena terlihat bersungguh-sungguh, raja menyetujui dengan syarat mereka harus mengalahkan para pengawal setianya yang juga memiliki ilmu beladiri mumpuni. Adapun tujuannya adalah agar Aji Pati dan kawan-kawannya tidak berjuang sia-sia. Apabila mereka dapat mengalahkan pengawal Raja, maka kemungkinan tidak akan mati konyol di tangan para lanun. Bahkan, boleh jadi Aji Pati memang dapat mengusir lanun Solok.
Setelah syarat disetujui, tiba-tiba melompatlah beberapa orang pengawal Raja menyerang salah seorang kawan Aji Pati yang berada paling depan, yaitu Aji Mukemmat. Dikeroyok dari segala penjuru, Aji Mukemmat rupanya dapat menangkis serangan. Selesai dengan Aji Mukemmat, para penyerang beralih ke kawan Aji Pati yang lain yaitu Puan Barras. Dan, sama seperti Aji Mukemmat, Puan Barras dapat mengalahkan pengawal Raja. Secara ajaib dia dapat membuat dirinya seperti raksasa sehingga penyerang menjadi ketakutan.
Masih belum puas dengan kemampuan dua orang kawan Aji Pati, Raja mempersilahkan orang ketiga yang bernama Iman Katada melawan seekor kerbau jalan yang sengaja tidak diberi makan agar menjadi agresif. Namun, di luar dugaan Iman Katada dapat melemparkan kerbau itu hingga mati terjerembab di tanah. Begitu juga dengan orang terakhir bernama Santarri Si Abu yang tanpa diminta langsung menunjukkan kekuatan mengecilkan tubuh hingga lenyap dari pandangan mata.
Kesaktian yang dimiliki kawan-kawan Aji Pati rupanya mampu mengakhiri rasa penasaran Sang raja. Mereka diperbolehkan ikut menumpas kawanan lanun yang bermarkas di daerah Teluk Rantau Si Bongka-bongka Kampung Loa Duri (antara Samarinda dan Jembayan). Walhasil, dalam sekejap para lanun dibuat kocar-kacir pulang ke negeri asalnya. Daerah bekas pendudukan lanun tadi (Sungai Jembayan) dijadikan sebagai Ibukota Kerajaan Kutai Lama dengan Aji Pangeran Adipati Anom Panji Mendapat sebagai pemimpinnya.
Sementara Aji Pati sendiri memutuskan menetap dan mengawini Aji Galuh Besar, salah seorang anak dari Pangeran Mangku, keturunan Aji Pangeran Anom Panji Mendapat (Marhum Pamarangan). Namun usia perkawinannya hanya sekitar tiga tahun saja karena belum juga dikaruniai momongan. Sebelum resmi bercerai dan pulang ke kampung halaman, Aji Pati mengadakan perjanjian dengan Aji Galuh Besar yang isinya menyatakan bahwa apabila Aji Galub Besar kawin lagi dan memperoleh keturunan, maka anak pertamanya atau umbasan atau sulung adalah milik dari Aji Pati.
Sampai di kampung halaman, dia mendapati kalau Pangeran Raja Muda meninggal dunia akibat penyakit cacar. Sang Pangeran meningalkan tiga orang anak perempuan (Aji Ratu, Aji Puspa, dan Aji Ammas) serta seorang anak laki-laki bernama Si Butu Raja alias Aji Badaruddin. Oleh karena keempatnya masih kecil, diadakanlah musyawarah untuk mengangkat pemimpin baru menggantikan Pangeran Raja Muda.
Dalam musyawarah disepakati dan diputuskan bahwa pengganti Pangeran Raja Muda adalah Aji Pati yang masih merupakan saudara sepupu dari Pangeran Raja Muda sendiri. Kesepakatan yang diberi nama “Tanah-Air” itu awalnya ditolak oleh Adji Pati. Para tetua adat yang dipimpin Sahbandar Amma Bukku memberi kesempatan untuk berpikir dan memberikan keputusan finalnya dalam waktu 24 jam.
Esok harinya, rombongan Sahbandar Amma Bukku datang lagi menemui Aji Pati. Sembari menunggu jawaban Aji Pati, sebagian dari rombongan pengikut Amma Bukku berteriak gaduh dengan menusuk-nusukkan tombak dari bawah hingga tembus ke lantai rumah (panggung).
Sadar bahwa ini adalah “paksaan” untuk menjadikannya sebagai pemimpin, Adji Pati kemudian menyetujui dengan syarat apabila dia meninggal dunia, maka yang berhak menggantikan adalah anak dari Pangeran Raja Muda yaitu Si Butu Raja atau Aji Badaruddin. Syarat itu pun disetujui dan akhirnya Adji Pati menjadi raja dan mengganti nama menjadi Sultan Zainal Abidin.
Semasa kepemimpinannya daerah Berau pernah disatroni lanun dari Solok hingga terpaksa keraton dipindahkan ke daerah Muara Bangun. Dan, di Muara Bangunlah Adji Pati memerintah hingga akhir hayatnya. Dia kemudian disebut Marhum Muara Bangun.
Diceritakan kembali oleh ali gufron