H. Ilyasa bin H. Malih adalah seorang pejuang kemerdekaan dari daerah Babelan, Kabupaten Bekasi. Beliau merupakan bagian dari Laskar Hisbullah pimpinan oleh H. Noer Alie. Laskar Hisbullah sendiri berawal dari para santri asuhan KH. Makmun Nawawi yang mendapat pelatihan militer sebagai bekal menghadapi tentara sekutu. Adapun pelatihan perdananya dilaksanakan pada 28 Februari 1945 dipimpin oleh KH. Wahid Hasyim (mewakili KH Hasyim Asy’ari) dan beberapa tokoh lain seperti KH. Zainul Arifin, dan KH. Noer Alie (kini telah ditetapkan sebagai pahlawan nasional) serta dihadiri oleh Gunseikan, para perwira Nippon, pimpinan pusat Partai Masyumi, dan para Pangreh Praja.
Para santri yang ikut serta dalam pelatihan tidak melulu berlatih perang menghadapi musuh. Pada malam hari mereka mengaji dengan beberapa ulama seperti KH. Mustada Kamil dari Singaparna dan lain sebagainya. Usai pelatihan para santri kembali ke kampung halaman masing-masing guna memberikan latihan kepada para pemuda lain. Hasilnya, pada saat Jepang menyerah anggota Hizbullah telah mencapai sekitar 50.000 orang. Menurut muslimedianews.com, mereka tidak saja aktif selama revolusi fisik, tetapi juga mampu mengubah peta militer di Indonesia.
Para laskar Hizbullah ini masuk menjadi sayap militer bagi Partai Masyumi yang berdiri pada 7 November 1945. Bersama dengan laskar Sabilillah, mereka kemudian bertempur melawan tentara Sekutu pada pertempuran 10 November 1945. Selanjutnya, bersama Gerakan Pemuda Islam Indonesia yang diprakarsai M. Natsir dan KH. Wahid Hasyim laskar Hizbullah dan Sabilillah membentuk Dewan Mobilisasi Pemuda Islam Indonesia yang menentang semua perundingan dengan Belanda selepas agresi militer pertama 1947.
Sebagai mantan anggota laskar Hisbullah, Ilyasa tentu pernah merasakan pahit getirnya berjuang demi merebut kemerdekaan dari tangan penjajah. Beliau pernah ikut terlibat dalam baku tembak melawan tentara Sekutu di daerah Pedaengan (kini bernama Cakung di Jakarta Timur), tepatnya di sekitar front demarkasi pasca Jakarta dijadikan sebagai kota diplomasi pada 9 November 1945.
Pada waktu itu, seluruh pasukan bersenjata (kecuali polisi) diharuskan keluar dari wilayah Jakarta dan keberadaan tentara hanya boleh diwakilkan oleh kantor penghubung di Jalan Cilacap Nomor 5. Sungai Cakung dijadikan sebagai garis demarkasi yang dijaga oleh pasukan Batalyon III Bekasi dan sejumlah organisasi perjuangan lain termasuk laskar Hisbullah di bawah pimpinan KH Noer Ali.
Garis demarkasi yang dijaga oleh Ilyasa dan kawan-kawannya tersebut tidak dapat bertahan lama karena pasukan Sekutu terus mendesak hingga terjadilan pertempuran Sasak Kapuk di daerah Pondok Ungu pada 29 November 1945. Sebelum terjadi pertempuran, konvoi pasukan Sekutu yang datang dari arah Klender menuju Cakung sempat dihadang di daerah Kranji oleh kelompok pesilat Subang pimpinan Ama Puradiredja.
Meski tidak berdampak besar, konvoi pasukan Sekutu sempat tercerai berai sebelum dihantam lagi di Sasak Kapuk oleh gabungan laskar Hisbullah, angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI), serta para pemuda rakyat. Namun karena kalah dalam persenjataan, Ilyasa dan rekan-rekannya terpaksa mundur ke arah Kaliabang. Beruntung, mereka hanya dihujani tembakan dan tidak dikejar oleh pasukan Sekutu hingga ke Kaliabang.
Ada cerita menarik ketika Ilyasa melarikan diri ke Kaliabang. Saat itu senapan Lee Enfield-nya nyaris hilang. Padahal itulah senjata api satu-satunya yang dimiliki. Sebelumnya, beliau hanya memakai golok atau alat panah bermata bambu yang diberi racun dari tubuh katak beracun. Senapan Lee Enfield sendiri didapat dari seorang penghubung tentara yang sering berkomunikasi dengan atasannya (KH Noer Ali). Senapan Lee Enfield (buatan Inggris) beliau anggap lebih mudah digunakan dan relatif tepat sasaran ketimbang senjata buatan Jepang yang sering meleset alias tidak mengenai target.
Saat ini, di sisa-sisa hidupnya Ilyasa tetap menyimpan semangat sebagai seorang pejuang. Beliau enggan menerima tunjangan dari pemerintah. Kendati hidup dalam kesederhanaan, Ilyasa tetap memegang teguh sumpah sebagai anggota laskar Hisbullah yang harus berjuang tanpa pamrih (tanpa mengharapkan balas jasa) demi menegakkan kemerdekaan Indonesia.
Foto: https://historia.id/politik/articles/aksi-pejuang-bekasi-DrBeb
Para santri yang ikut serta dalam pelatihan tidak melulu berlatih perang menghadapi musuh. Pada malam hari mereka mengaji dengan beberapa ulama seperti KH. Mustada Kamil dari Singaparna dan lain sebagainya. Usai pelatihan para santri kembali ke kampung halaman masing-masing guna memberikan latihan kepada para pemuda lain. Hasilnya, pada saat Jepang menyerah anggota Hizbullah telah mencapai sekitar 50.000 orang. Menurut muslimedianews.com, mereka tidak saja aktif selama revolusi fisik, tetapi juga mampu mengubah peta militer di Indonesia.
Para laskar Hizbullah ini masuk menjadi sayap militer bagi Partai Masyumi yang berdiri pada 7 November 1945. Bersama dengan laskar Sabilillah, mereka kemudian bertempur melawan tentara Sekutu pada pertempuran 10 November 1945. Selanjutnya, bersama Gerakan Pemuda Islam Indonesia yang diprakarsai M. Natsir dan KH. Wahid Hasyim laskar Hizbullah dan Sabilillah membentuk Dewan Mobilisasi Pemuda Islam Indonesia yang menentang semua perundingan dengan Belanda selepas agresi militer pertama 1947.
Sebagai mantan anggota laskar Hisbullah, Ilyasa tentu pernah merasakan pahit getirnya berjuang demi merebut kemerdekaan dari tangan penjajah. Beliau pernah ikut terlibat dalam baku tembak melawan tentara Sekutu di daerah Pedaengan (kini bernama Cakung di Jakarta Timur), tepatnya di sekitar front demarkasi pasca Jakarta dijadikan sebagai kota diplomasi pada 9 November 1945.
Pada waktu itu, seluruh pasukan bersenjata (kecuali polisi) diharuskan keluar dari wilayah Jakarta dan keberadaan tentara hanya boleh diwakilkan oleh kantor penghubung di Jalan Cilacap Nomor 5. Sungai Cakung dijadikan sebagai garis demarkasi yang dijaga oleh pasukan Batalyon III Bekasi dan sejumlah organisasi perjuangan lain termasuk laskar Hisbullah di bawah pimpinan KH Noer Ali.
Garis demarkasi yang dijaga oleh Ilyasa dan kawan-kawannya tersebut tidak dapat bertahan lama karena pasukan Sekutu terus mendesak hingga terjadilan pertempuran Sasak Kapuk di daerah Pondok Ungu pada 29 November 1945. Sebelum terjadi pertempuran, konvoi pasukan Sekutu yang datang dari arah Klender menuju Cakung sempat dihadang di daerah Kranji oleh kelompok pesilat Subang pimpinan Ama Puradiredja.
Meski tidak berdampak besar, konvoi pasukan Sekutu sempat tercerai berai sebelum dihantam lagi di Sasak Kapuk oleh gabungan laskar Hisbullah, angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI), serta para pemuda rakyat. Namun karena kalah dalam persenjataan, Ilyasa dan rekan-rekannya terpaksa mundur ke arah Kaliabang. Beruntung, mereka hanya dihujani tembakan dan tidak dikejar oleh pasukan Sekutu hingga ke Kaliabang.
Ada cerita menarik ketika Ilyasa melarikan diri ke Kaliabang. Saat itu senapan Lee Enfield-nya nyaris hilang. Padahal itulah senjata api satu-satunya yang dimiliki. Sebelumnya, beliau hanya memakai golok atau alat panah bermata bambu yang diberi racun dari tubuh katak beracun. Senapan Lee Enfield sendiri didapat dari seorang penghubung tentara yang sering berkomunikasi dengan atasannya (KH Noer Ali). Senapan Lee Enfield (buatan Inggris) beliau anggap lebih mudah digunakan dan relatif tepat sasaran ketimbang senjata buatan Jepang yang sering meleset alias tidak mengenai target.
Saat ini, di sisa-sisa hidupnya Ilyasa tetap menyimpan semangat sebagai seorang pejuang. Beliau enggan menerima tunjangan dari pemerintah. Kendati hidup dalam kesederhanaan, Ilyasa tetap memegang teguh sumpah sebagai anggota laskar Hisbullah yang harus berjuang tanpa pamrih (tanpa mengharapkan balas jasa) demi menegakkan kemerdekaan Indonesia.
Foto: https://historia.id/politik/articles/aksi-pejuang-bekasi-DrBeb